Majulah IJABI
Hubungi kami di
  • Teras
  • Beranda Ustadz Jalal
  • Khazanah
  • IJABI
  • IJABIkita
  • IJABITube

Para Penghibur

9/11/2015

 
Miftah Fauzi Rakhmat
​Anggota Dewan Syura IJABI
Di sini, saya teringat para pelawak itu. Dalam artian yang lebih luas, mereka adalah ‘para penghibur’. Dan tidak ada tugas mencontoh para nabi yang lebih besar selain “memasukkan rasa bahagia pada sesama orang yang beriman, pada sesama manusia”
Picture
Ayahku sering berkata, “Para pelawak adalah orang jenius.” Saya percaya kini, lebih dari sebelumnya. Secara materi, tugas pelawak bisa jadi lebih berat dari para ustadz. Para ustadz bisa mengulang materi yang sama dan sama lagi, sebagai pengingat, sebagai penguat. Tapi tidak bagi para pelawak. Begitu materi disampaikan dan penonton tergelak, ia tak dapat mengulanginya lagi. Detik itu juga materinya basi. Otak mereka harus bekerja lebih giat. Itulah barangkali ada resiko profesi pelawak terserang penyakit semisal radang atau tumor yang bersarang di otak mereka. 

Dan saya menyimpan salut pada mereka. Topi saya angkat tinggi-tinggi. Mereka telah menghibur di saat manusia memerlukan tawa. Memang ada beda tipis antara tertawa dan menertawakan, antara menghibur dan mempermalukan. Di situ kejeniusan bertiraikan tipis kegilaan. 

Saya selalu yakin menyampaikan ilmu dan kebenaran adalah tugas kenabian. Para ulama dan guru dalam hadis terkenal disebut sebagai pewaris kenabian (Sunan Abi Dawud 364, Turmudzi 2682) karena mereka menyampaikan ilmu dan kebenaran. Sebagian dari tugas kenabian itu. Para pewaris itu selayaknya juga mempelajari keteladanan Nabi Saw, berusaha berakhlak dengan akhlak Nabi Saw. Memelihara lisan, menjaga persaudaraan dan persatuan. Bukan menyebarkan fitnah dan perpecahan. Adakah yang demikian? Telahkah datang zaman yang disabdakan Nabi Saw: “Akan datang satu masa, Islam tinggal nama. Al-Qur’an tinggal tulisan. Masjid ramai tapi kosong dari petunjuk. Ulama zaman itu seburuk-buruk makhluk di bawah naungan langit. Dari mereka keluar fitnah. Pada mereka fitnah itu kembali.” (Sunan Baihaqi, Shahih Bukhari, Kitab “Khalq Af’al ‘Ibad).

Di sini, saya teringat para pelawak itu. Dalam artian yang lebih luas, mereka adalah ‘para penghibur’. Dan tidak ada tugas mencontoh para nabi yang lebih besar selain “memasukkan rasa bahagia pada sesama orang yang beriman, pada sesama manusia”. Mengapa hadis-hadis itu seperti tenggelam dalam nuansa kebencian. Begitu rupa, hingga Pak Kapolri mengeluarkan Surat Edaran tentang Hate Speech. Karena begitu maraknya, karena begitu masifnya. Bukankah kedatangan para nabi adalah ungkap kasih Tuhan untuk semesta? Para pewaris nabi seharusnya menjadi wajah-wajah penyebar kasih di mana-mana. 

Ah, mari kembali pada para penghibur itu. Orang-orang yang luar biasa. Mereka yang siap memberikan sebaris tawa di kala suasana duka. Mungkin kita mengeluh, mengapa fitnah tak pernah berhenti. Mungkin kita mengaduh, mengapa sulit sekadar mengkonfirmasi. Mungkin kita menghadapi masalah di keluarga, di pekerjaan, di lingkungan. Mungkin lalu lintas pikiran kita dijejali kata-kata di sosial media yang dipilihkan orang lain bagi kita. Cukup, sudahi itu semua. Kembali pada Dia saja. Semua ada dalam ilmuNya, dalam timbangan keadilanNya. Setiap fitnah akan terbuka satu saat nanti. Semua copy paste akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hadapanNya kita berdiri. Dan kalau kita benar-benar percaya hari akhir itu… serahkan semua pada Dia. Kata Amirul Mu’minin, Ali bin Abi Thalib as, tokoh yang pernah dicaci maki di mimbar-mimbar puluhan tahun lamanya itu, “Kalau kau ingin urusanmu dengan manusia selesai, selesaikanlah urusanmu dengan Allah. Kalau kau ingin duniamu baik, perbaikilah akhiratmu.” Seraya mencari sebaik-baiknya jalan keluar dari permasalahan, tawakal pada Tuhan adalah sebaik-baiknya perbekalan. Di malam-malam sunyi itu kita mendengar sabda Nabi Saw: “Berdoa adalah senjata setiap orang yang beriman.”

Setiap kita menghadapi masalah. Pasrahlah pada Allah, atas segala ketentuan yang sudah dituliskanNya. Belajarlah dari para pengibur itu. Charlie Chaplin, komedian legendaris itu pernah berkata, “I have many problems, but my lips don’t know that. They always smile.” Aku punya banyak masalah. Tapi kedua bibirku tak mengetahuinya. Mereka selalu tersenyum.

Sebagaimana kata Imam Ali as, “Katakan pada masalah besar, aku punya Allah, Tuhan yang Mahabesar…”

Dan tiba-tiba saya teringat Pak Ridwan Kamil…

Baca juga:
Para Penghibur
Masihkah Bisa Tersenyum?
Orang Beriman Yang Sesungguhnya



Telah Dikunjungi Sebanyak

Comments are closed.

    Taqrib

    Picture
    Tulisan tentang Persatuan Islam

    Literatur

    Picture
    Sumber e-book dan literatur lainnya

    Ramadhan 1439H

    Serba-Serbi Ramadhan, catatan ringan Ust Miftah Rakhmat untuk hikmah Ramadhan 1439H

    ​Jangan Nilai Buku dari Sampulnya
    ​Zaman Post Truth
    ​Doa dan Puasa
    ​Islam User-Friendly
    ​Sahur dan Imsak
    ​Ta'jil
    ​Membuang Keakuan
    ​Ramadhan di Antara Hisab dan Rukyat
    Empati

    Kategori

    All
    Ahlulbait
    Akhlak
    Arbain1441
    Asyura
    Dunia Islam
    Fikih
    Imam
    Indonesia
    Khutbah
    Pendidikan
    Perempuan
    Ramadhan 1435H
    Ramadhan 1439H
    Sejarah Islam
    Sosial
    Tafsir
    Ushuluddin


    Arsip

    Alquran
    Hadis
    Sejarah 
    Fikih
    Akhlak
    Sastra

    RSS Feed



Picture
2012-2018 © IJABI (Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia)
Hubungi kami melalui: