Anggota Dewan Syura IJABI
Di sini, saya teringat para pelawak itu. Dalam artian yang lebih luas, mereka adalah ‘para penghibur’. Dan tidak ada tugas mencontoh para nabi yang lebih besar selain “memasukkan rasa bahagia pada sesama orang yang beriman, pada sesama manusia”
Dan saya menyimpan salut pada mereka. Topi saya angkat tinggi-tinggi. Mereka telah menghibur di saat manusia memerlukan tawa. Memang ada beda tipis antara tertawa dan menertawakan, antara menghibur dan mempermalukan. Di situ kejeniusan bertiraikan tipis kegilaan.
Saya selalu yakin menyampaikan ilmu dan kebenaran adalah tugas kenabian. Para ulama dan guru dalam hadis terkenal disebut sebagai pewaris kenabian (Sunan Abi Dawud 364, Turmudzi 2682) karena mereka menyampaikan ilmu dan kebenaran. Sebagian dari tugas kenabian itu. Para pewaris itu selayaknya juga mempelajari keteladanan Nabi Saw, berusaha berakhlak dengan akhlak Nabi Saw. Memelihara lisan, menjaga persaudaraan dan persatuan. Bukan menyebarkan fitnah dan perpecahan. Adakah yang demikian? Telahkah datang zaman yang disabdakan Nabi Saw: “Akan datang satu masa, Islam tinggal nama. Al-Qur’an tinggal tulisan. Masjid ramai tapi kosong dari petunjuk. Ulama zaman itu seburuk-buruk makhluk di bawah naungan langit. Dari mereka keluar fitnah. Pada mereka fitnah itu kembali.” (Sunan Baihaqi, Shahih Bukhari, Kitab “Khalq Af’al ‘Ibad).
Di sini, saya teringat para pelawak itu. Dalam artian yang lebih luas, mereka adalah ‘para penghibur’. Dan tidak ada tugas mencontoh para nabi yang lebih besar selain “memasukkan rasa bahagia pada sesama orang yang beriman, pada sesama manusia”. Mengapa hadis-hadis itu seperti tenggelam dalam nuansa kebencian. Begitu rupa, hingga Pak Kapolri mengeluarkan Surat Edaran tentang Hate Speech. Karena begitu maraknya, karena begitu masifnya. Bukankah kedatangan para nabi adalah ungkap kasih Tuhan untuk semesta? Para pewaris nabi seharusnya menjadi wajah-wajah penyebar kasih di mana-mana.
Ah, mari kembali pada para penghibur itu. Orang-orang yang luar biasa. Mereka yang siap memberikan sebaris tawa di kala suasana duka. Mungkin kita mengeluh, mengapa fitnah tak pernah berhenti. Mungkin kita mengaduh, mengapa sulit sekadar mengkonfirmasi. Mungkin kita menghadapi masalah di keluarga, di pekerjaan, di lingkungan. Mungkin lalu lintas pikiran kita dijejali kata-kata di sosial media yang dipilihkan orang lain bagi kita. Cukup, sudahi itu semua. Kembali pada Dia saja. Semua ada dalam ilmuNya, dalam timbangan keadilanNya. Setiap fitnah akan terbuka satu saat nanti. Semua copy paste akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hadapanNya kita berdiri. Dan kalau kita benar-benar percaya hari akhir itu… serahkan semua pada Dia. Kata Amirul Mu’minin, Ali bin Abi Thalib as, tokoh yang pernah dicaci maki di mimbar-mimbar puluhan tahun lamanya itu, “Kalau kau ingin urusanmu dengan manusia selesai, selesaikanlah urusanmu dengan Allah. Kalau kau ingin duniamu baik, perbaikilah akhiratmu.” Seraya mencari sebaik-baiknya jalan keluar dari permasalahan, tawakal pada Tuhan adalah sebaik-baiknya perbekalan. Di malam-malam sunyi itu kita mendengar sabda Nabi Saw: “Berdoa adalah senjata setiap orang yang beriman.”
Setiap kita menghadapi masalah. Pasrahlah pada Allah, atas segala ketentuan yang sudah dituliskanNya. Belajarlah dari para pengibur itu. Charlie Chaplin, komedian legendaris itu pernah berkata, “I have many problems, but my lips don’t know that. They always smile.” Aku punya banyak masalah. Tapi kedua bibirku tak mengetahuinya. Mereka selalu tersenyum.
Sebagaimana kata Imam Ali as, “Katakan pada masalah besar, aku punya Allah, Tuhan yang Mahabesar…”
Dan tiba-tiba saya teringat Pak Ridwan Kamil…
Baca juga:
Para Penghibur
Masihkah Bisa Tersenyum?
Orang Beriman Yang Sesungguhnya