Anggota Dewan Syura IJABI
“Bagaimana bila tujuan puasa memang supaya kau merasakan kriuk-kriuk itu?” Supaya kau merasakan lapar itu.
Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa Ali Sayyidina Muhammad
Kemarin malam, Ali anakku berencana untuk begadang. Katanya, aku punya rencana. Aku tidak akan tidur sampai sahur. Supaya besok pagi aku bisa tidur lamaaa sekali. Lalu bangun bakda Zhuhur, dan bermain (sepuasnya) hingga Maghrib tiba. Katanya, “Dengan begitu, aku tidak akan merasakan perutku kriuk kriuk.”
Mendengarnya, saya menjawab: “Bagaimana bila tujuan puasa memang supaya kau merasakan kriuk-kriuk itu?” Supaya kau merasakan lapar itu.
Sering kita lakukan banyak cara agar kita lupa dari rasa lapar itu. Mungkin kita buat banyak acara, sehingga waktu berlalu tak terasa. Di negeri ini, ada kegiatan yang khas nusantara, tak ditemukan semisalnya di belahan lain dunia: ngabuburit. Menjemput adzan Maghrib dengan kegiatan istimewa. Di antaranya, wisata kuliner (mencari) makanan pembuka.
Boleh jadi juga, datang waktu berbuka dan kita berpesta. Makanan yang kita hidangkan beraneka. Bila kita belajar dengan puasa untuk merasakan derita sesama saudara kita, lalu kita melupakan mereka ketika adzan Maghrib tiba? Puasa semestinya mengasah empati kita. Puasa selayaknya menghadirkan ‘kriuk-kriuk’ saudara yang menderita di meja makan kita.
Apa itu empati? Kemampuan untuk merasakan, menghayati dan bersikap sangat peka terhadap situasi. Makin tinggi tingkat kemanusiaan seseorang, makin tinggi kepekaannya terhadap lingkungan di sekitarnya, terhadap apa yang dirasakan sesamanya. Belasungkawa kita atas peristiwa duka cita di tanah air tercinta. Semoga bangsa dikuatkan, dinaungi perlindungan Tuhan, diberikan jalan keluar dari berbagai kesulitan dalam kemudahan. Bila tak mampu berempati, cukuplah dengan tidak memperkeruh situasi. Doa khusus kita juga di bulan suci ini untuk kaum Muslimin di seluruh dunia. Saudara kita di Palestina, Suriah, Yaman, Bahrain dan berbagai tempat yang penuh derita. Mereka yang menyambut bulan suci dengan derai air mata.
Serba-serbi bulan suci di kita punya negeri. Empati. Begitu adzan berkumandang, santapan segera dinikmati. Ta’jil katanya, harus bersegera. Mungkin ada baiknya kita tunggu beberapa saat dulu. Untuk apa? Berempati pada para muadzzin itu. Kumandang adzannya mengizinkan orang berbuka. Ia sendiri (mungkin) belum melakukannya. Ketika menyantap hidangan pembuka, adakah terima kasih dalam doa kita haturkan pada mereka yang mengabarkan kedatangannya? Adakah doa terucap bagi mereka yang tak punya hidangan di hadapannya?
Di antara doa jelang makan dari keluarga Nabi Saw adalah kalimat berikut ini: Subhaanaka Allahumma maa ahsana maa tabtaliina. Subhaanaka Allahumma maa aktsara maa tu’thiina. Subhaanaka Allahumma maa aktsara maa tu’aafiina. Allahumma awsi’ ‘alaina wa ‘ala fuqaraa’il mu’minin wal mu’minaat, wal muslimiina wal muslimaat. Mahasuci Engkau Ya Allah, betapa indah perhatianMu atas kami. Mahasuci Engkau Ya Allah, betapa banyak pemberianMu untuk kami. Mahasuci Engkau Ya Allah, tak terhitung Kausejahterakan kami. Ya Allah, luaskan rezekiMu bagi kami, dan bagi (saudara-saudara kami) _kaum fuqara_ mukminin dan mukminat, muslimin dan muslimat. Dalam doa sebelum makan itu, kita doakan orang-orang fakir di antara kita. Empati.
Dan Ali usai sahur ini tidak tidur seperti rencananya semula. “Just like you said, Bi, I have to feel my tummy crumbling…”_ katanya.
Not exactly as I meant though, but…it’s a good start. It’s a good start.
Selamat (belajar) mencari kenikmatan pada rasa lapar itu.