Anggota Dewan Syura IJABI
Di bulan suci ada waktu-waktu penuh berkah berdoa itu. Ketika puasa, selesai shalat, ketika berbuka, di waktu sahur, dan di antara raka’at-raka’at tarawih. Konon, di hari akhir ada sekelompok hamba yang menyesal karena sedikit berdoa. Kelak mereka lihat, ternyata setiap doa dijawab Tuhan. Makna diijabah bukan dipenuhi sesuai keinginan. Makna diijabah adalah hadirnya jawaban Tuhan
Bulan suci Ramadhan adalah bulan berdoa. Bila ditanya ibadah apa yang Allah Ta’ala sertakan dalam ayat-ayat puasa? Jawabannya adalah doa. “Dan apabila bertanya kepadamu hamba-hambaKu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku itu dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepadaKu. Hendaklah mereka memenuhi perintahKu dan beriman kepadaKu agar mereka memperoleh kebenaran.” (QS. Al-Baqarah [2]:186). Ayat itu Allah Ta’ala ‘tempatkan’ di antara ayat-ayat puasa. Menurut sebagian, karenanya ibadah terutama di bulan suci adalah berdoa, memperbanyak doa. Jamuan teristimewa di bulan ini adalah kesempatan untuk tersungkur di mihrab doa.
Berbahagialah mereka yang banyak berdoa. Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala merujuk pada diriNya, pada dzatNya Yang Mahasuci berulang kali. Kata para ulama, bila ada kata “Kami” digunakan dalam al-Qur’an dan merujuk pada Allah Ta’ala, maknanya menunjukkan kebesaran dan keagungan Allah Swt. Tapi kalau kata ‘Aku’ artinya Allah Ta’ala menunjukkan kedekatan dan kasih sayangNya. Nah, dalam ayat di atas, Allah Ta’ala menyebut kata ‘Aku’ sebanyak tujuh kali. Ayatnya pendek, tetapi kata Aku-nya paling banyak disebut dalam seluruh ayat Al-Qur’an. Apa maknanya? Melalu doa, hamba beroleh kedekatan dengan Allah Swt.
Agak membingungkan memang. Kita tahu, kita diperintahkan berdoa. Tapi tidak banyak khazanah doa yang membimbing kita, selain doa-doa yang diajarkan di dalam kitab suci atau hadits-hadits nabawi. Apakah kita boleh berdoa dengan bahasa dan maksud sendiri? Tentu saja. Memang ada sebagian yang berpendapat, doa harus jelas riwayatnya. Harus jelas sumbernya. Tetapi, bila kita berangkat ke tanah suci, imam dan khatib Masjidil Haram dan Masjid Nabawi akan mendoakan kebaikan negeri-negeri kaum Muslimin, akan menyebut konflik yang terjadi di dunia, mendoakan diberikan persatuan dan diperkokoh persaudaraan. Bahkan banyak doa penutup khutbah Jum’at di kedua tempat suci itu tak ditemukan rujukannya pada hadits nabawi. Mengapa? Karena doanya yang sangat aktual. Islam bukan hanya mencontohkan bentuk. Islam mengajarkan juga esensi.
Nanti kita bahas lebih jauh tentang itu. Simak saja lanjutan tulisan serba-serbi ini setiap hari. Kita kembali dulu pada doa penutup khutbah Jum’at. Mungkin saya terlalu sensi, tapi inilah serba-serbi di kita punya negeri. Bila doa saya sudah agak panjang, saya merasa ‘amin’ jamaah terdengar lebih kencang. Seakan-akan mereka berkata, “sudah doanya Ustadz…sudah (cukup) doanya. Bukankah Allah Mahatahu apa yang kita inginkan?” Padahal boleh jadi, mereka mengaminkan lebih keras karena memohon lebih deras. Husnuzhan selalu harus didahulukan.
Nah, di bulan suci ada waktu-waktu penuh berkah berdoa itu. Ketika puasa, selesai shalat, ketika berbuka, di waktu sahur, dan di antara raka’at-raka’at tarawih. Konon, di hari akhir ada sekelompok hamba yang menyesal karena sedikit berdoa. Kelak mereka lihat, ternyata setiap doa dijawab Tuhan. Makna diijabah bukan dipenuhi sesuai keinginan. Makna diijabah adalah hadirnya jawaban Tuhan. Dan Allah Ta’ala telah berjanji untuk menjawab setiap doa. “Dan Tuhanmu berfirman: Berdoalah kepadaKu niscaya akan Kuperkenankan bagimu...” (QS. Ghafir [40]:60) Setiap doa akan Allah Ta’ala perkenankan, akan Allah Ta’ala jawab dalam sebaik keadaan. Bahkan ayat itu diakhiri dengan kecaman pada mereka yang enggan berdoa, “…Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembahKu, akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” Tak berdoa disebut sombong. Tak berdoa dianggap tak menyembah. Tak berdoa akan dihinakan. Masuk neraka dalam siksaan.
Maka berdoalah sebanyak-banyaknya, sesering-seringnya. Jangan pernah merasa cukup berdoa. Jangan pernah merasa panjang meminta. Tak ada doa yang terbuang percuma. Allah Ta’ala Mahatahu apa yang baik bagi kita. Bila tidak diperkenankanNya doa itu di dunia, di akhirat didatangkan dalam bentuk tambahan pahala, ampunan dosa. Bukankah kita jauh lebih memerlukan semuanya?
Berdoalah di bulan suci agar tidak termasuk yang menyesal di hari akhir nanti. Berdoalah di bulan suci untuk kebaikan negeri. Untuk persatuan dan persaudaraan sesama umat manusia. Untuk menebarkan cinta. Untuk kekuatan berbagi senyum di hari penuh prahara. Untuk perkenan Allah Ta’ala yang jauh lebih baik dari segalanya.
Di bulan suci, ada doa yang lazim dibaca, hampir di seantero negeri. Allahumma innaka ‘afuwwun kariim, tuhibbul ‘afwa, fa’fu ‘anna ya Kariim. Allahumma Tuhanku, sungguh Engkau Maha Pengampun dan Maha Mulia. Engkau mencintai ampunan (dan mereka yang memohonkannya). Maka ampunilah kami, wahai Yang Maha Mulia.
Dulu, saya mengira yang kita mohonkan ampun hanya dosa. Ternyata, banyak sesal kita mengemuka. Kita mohon ampun karena tidak mensyukuri nikmat. Kita mohon ampun karena tak sanggup bersabar lebih lama. Kita mohon ampun karena tak peka pada derita sesama. Kita mohon ampun karena doa lebih sering untuk sendiri ketimbang tetangga.
Kita mohon ampun karena sedikit berdoa.
Kita mohon ampun karena tak tahu caranya.
Kita mohon ampun karena tak tahu apa-apa.
Kalimat perkasa dalam doa di antara shalat tarawih di negeri kita. Serba-serbi bulan suci di kita punya negeri. Allahumma innaka ‘afuwwun karim. Tuhibbul ‘afwa. Fa’fu ‘anna ya Karim.
Kita mohon ampun karena tak banyak memohon ampun. Untuk itu. Untuk segalanya.