Anggota Dewan Syura IJABI
Kompleksitas masalah telah membuat kita tak mampu lagi tersenyum. Alih-alih membahagiakan orang lain, kita sendiri tidak bahagia. Bawaannya selalu ingin berantem, ribut, adu mulut. Status masuk harus segera ditimpali. Komen yang terbaca tak mau pergi dari hati. Dan sedikit demi sedikit kita kehilangan nikmat Tuhan yang luas itu. Dunia kita terpaku pada layar lima inci yang kita bawa ke mana-mana
Saya tidak follow akun Pak Ridwan Kamil. Tapi sesekali saya melihat akun instagramnya. Stalking kata orang di media sosial. Tidak juga, saya hanya pernah dua atau tiga kali membukanya. Tapi saya kagum dengan upayanya melibatkan masyarakat, terutama anak muda. Ia pun muncul dengan ciri khas, “membincangkan jomblo, para mantan.” Dan mengunggah foto-foto dengan seorang perempuan yang ia sebut ‘si cinta.’ Netizen kota Bandung (dan mungkin Indonesia) pun jatuh hati padanya. Followersnya sudah menembus angka jutaan. Jauh lebih banyak dari followers orang-orang yang menyebarkan virus kebencian. Dan Kang Emil—begitu ia akrab disapa—sadar benar itu. Di tangannya ada generasi masa depan. Tuts keyboard layar telepon pintarnya ia gunakan untuk berbagi kebahagiaan.
Sesekali, ia mengunggah foto lama. Di captionnya ia tulis, “Dulu, ketika riak kehidupan masih tenang. Berkelana menjelajah dunia bersama si cinta. (Portovino, 2010).” Sepertinya, dunianya kini berguncang. Politik dan menjadi wali kota telah membuat lautnya yang tenang penuh riak. Ia dihadapkan pada segudang mimpi, seabreg isu, dan tekanan dari kanan dan kiri. Ia tengah meniti pelajaran dalam hidup: bab sabar, bab ikhlas, bab adil, dan sebagainya. Entah di bagian mana ia kini.
Menurut saya, ia berhasil menyalurkan tekanan-tekanan dalam pekerjaannya itu pada sesuatu yang produktif. Ia masih bisa berbagi kebahagiaan. Para followersnya terkadang tertawa ngakak, terbahak-bahak. Silakan tengok akun Instagram beliau, saya jamin Anda akan ikut tertawa. Paling tidak, tersenyum. Ada foto seorang ibu hamil sedang bersamanya. Caption Pak Wali: Ini minta selfie ya, bukan pertanggungjawaban. Ada foto bersama Ibu Atalia istrinya, captionnya: Sebagai walikota saya pun mendengarkan curhatan perempuan ini tentang suaminya yang tidak pulang-pulang. Pak Wali jenius, ia tetap bisa tersenyum di tengah tantangan yang mungkin garang.
Kompleksitas masalah telah membuat kita tak mampu lagi tersenyum. Alih-alih membahagiakan orang lain, kita sendiri tidak bahagia. Bawaannya selalu ingin berantem, ribut, adu mulut. Status masuk harus segera ditimpali. Komen yang terbaca tak mau pergi dari hati. Dan sedikit demi sedikit kita kehilangan nikmat Tuhan yang luas itu. Dunia kita terpaku pada layar lima inci yang kita bawa ke mana-mana. Apalagi, kata-kata pedas muncul di situ. Tudingan tak berdasar bertebaran di mana-mana.
Di kajian bakda Zhuhur saya cerita pada anak-anak Sekolah, hadis Nabi Saw dalam Shahih Bukhari: “Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menyukai tiga hal…” Kata tidak menyukai adalah terjemahan dari makruh. Saya mengumpamakan bila dalam tata tertib ada pelanggaran ringan dan berat, nah yang berat itu haram, sedangkan yang ringan itu makruh. Melanggar juga, tapi kadarnya ringan. “Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menyukai tiga hal: qiila wa qaal, idhaa’atul maal, wa katsratu su’aal.” (Bukhari 1407). Apa itu qiila wa qaal? Terjemahan saya adalah: katanya dan katanya. Ketika kita mendasarkan informasi dari ‘kata orang begitu…’. Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw menggambarkannya dengan sangat baik, “Perbedaan kebenaran dan kebatilan itu empat jari, “ kemudian ia meletakkan keempat jarinya di antara mata dan telinga, “kebatilan kalau kau berkata ‘aku mendengar’ dan kebeneran kalau kau berkata ‘aku melihat’.”
Dalam riwayat yang lain, qiila wa qaal disebut juga sebagai hal yang turut menghancurkan umat di akhir zaman. Qiila wa qaal adalah mendengar informasi tanpa mencari imbangannya. Memperoleh kabar tanpa memastikan kebenarannya. Menerima berita dan dengan segera menyebarkannya. Saya menyebut qiila wa qaal sekarang ini: copy paste. Dia hanya berjarak satu jari saja kini. Antara mengantarkan kita ke surga atau menjerumuskan ke neraka.
Apalagi bila kabar yang kita terima berkaitan dengan nama baik seseorang, keluarga, atau lembaga. Bila di situ ada kehormatan yang harus dijaga. Meski kita sekadar mengemasnya dengan bertanya, “Benarkah berita ini?” Kita keliru bila menyebarkannya ke grup yang tidak berkenaan dengan itu. Tabayunlah dengan obyek berita, bukan yang lainnya. Kalau ada isu tentang perusahaan tertentu, datanglah pada perusahaan itu dan bertanya tentangnya, bukan malah menyebarkan pada yang tidak berhubungan dengannya. Terkadang begitu gampang menjatuhkan seseorang. Bila ada warung bakso dianggap cukup laku, coba sebarkan isu: di sana ada daging tikus. Warung bakso itu bisa dijauhi pelanggannya. Ada warung martabak penuh hingga antri pembelinya, sebarkan isu: pasti ia ngelmu dan ditolong makhluk halus. Warung itu dapat diperkirakan tutup dengan segera. Begitu rentannya kita dimakan isu.
Lain halnya, bila yang disebarkan mendatangkan kebahagiaan. Kita kebagian pahala. Tirulah Kang Emil. Karena ia terkenal dengan jargon “mantan, jomblo, tikungers” dan sebagainya, lihat bagaimana ia berpantun ketika mengunggah foto hitam putih dengan si cinta, “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Kami sudah ke penghulu, kamu-kamu kenapa masih sendirian. Dia fans Madrid, kamu fans Barcelona. Dia sudah married, kamu masih saja berkelana…mengheningkan cipta dimulai…”
Ah, konon menurut para pelawak itu, tingkat tertinggi dari hiburan adalah ketika kita sudah bisa menertawakan diri sendiri? Kang Emil sepertinya sedang belajar untuk itu? Sudahkah kita? Mampukah tersenyum dan tertawa saat diguncang coba?
Baca juga:
Para Penghibur
Masihkah Bisa Tersenyum?
Orang Beriman Yang Sesungguhnya