Miftah Fauzi Rakhmat
Anggota Dewan Syura IJABI
Anggota Dewan Syura IJABI
“Sungguh, orang beriman tak pernah berhenti dalam gangguan: saudaranya yang mendengkinya, inilah gangguan yang paling berat dari yang lainnya; munafik yang menunggu kesalahannya; musuh yang memeranginya; dan setan yang menungu saat menjerumuskannya…” (Al-Kafi, 3:349)

25 Muharram, 95H. Seorang pahlawan Islam gugur. Ia syahid karena racun yang menjalar di tubuhnya. Namanya Ali. Mungkin belum banyak orang yang mengenalnya. Ia putra al-Husain putra Fathimah putri Rasulullah Saw. Ia menyaksikan keluarganya dibantai di sebuah padang bernama Karbala. Ayahnya syahid. Keluarganya syahid dan mereka yang tersisa hidup diarak sebagai tawanan, dirantai dari istana Ibnu Ziyad di Kufah hingga istana Yazid di Damaskus.
Sejarah menyebut peristiwa ini Asyura. Asyura artinya hari kesepuluh. Pada tanggal ini terjadi tragedi paling memilukan dalam sejarah umat manusia. Seorang cucu Nabi Saw dibantai oleh mereka yang mengaku pengikut agama kakeknya. Sejak itu, dunia tak pernah lagi sama.
Islam sebagai agama telah teruji dihantam badai gelombang. Dakwah Nabi Saw membuktikan ia bertahan menghadapi orang-orang kafir. Kemudian datang ujian bagi para pengikut dan mereka yang datang kemudian. Tantangan paling besar ternyata bukan tantangan dari luar, tapi tantangan dari dalam. Ketika kita digoda untuk dipecahbelah. Ketika kita digiring untuk memusuhi satu sama lain. Ketika kita menelan mentah-mentah virus kebencian dan mengobarkannya pada yang lainnya. Ibarat seorang ayah, bayangkan hati Baginda Nabi Saw melihat umatnya bersengketa. Anak-anak yang tumbuh dalam asuhannya bertengkar dengan sesama. Kita bisa membalas keburukan dengan keburukan lagi. Atau bisa membalas dengan kebaikan. Atau menyerahkannya pada Tuhan Sang Maha Pemberi Keadilan.
Ali bin Husain, pahlawan besar Islam itu. Ia berikan minuman pada orang yang memperlakukannya dengan buruk. Meski demikian, ia tak pernah lupa apa yang terjadi pada keluarganya. Katanya, Ya’qub as seorang nabi. Ia menangisi kehilangan Yusuf as hingga memutih kedua matanya, kehilangan penglihatannya. (Mereka berkata: Demi Allah, senantiasa kamu mengingat Yusuf, sehingga kamu mengidap penyakit yang berat atau termasuk orang-orang yang binasa. QS. Yusuf: 85) Ali bin Husain hendak berkata, ia bukan nabi. Bagaimana mungkin ia terlarang untuk berduka. Sedangkan Ya’qub sang Nabi saja berduka hingga orang-orang di sekitarnya mengira ia punya penyakit berat, atau hampir-hampir bisa celaka karena dukanya.
Benar, tertawa bisa menyembunyikan duka. Tetapi menampakkannya pun adalah hal yang utama. Saat badai fitnah menggelora, ingatlah pesan ilahiah: Dia tidak akan menguji kita melebihi kemampuan kita menanggungnya. Bersabarlah, seperti Ya’qub as. Sesungguhnya sabar itu indah. Berkaryalah, bekerja keras, berikan yang terbaik. Tough times never last, but tough people do. Masa sulit tidak pernah berlangsung lama, tapi orang yang tabah bertahan selamanya. Semua ada batasnya. Beramal saja. Kita tidak tahu malaikat maut datang menjemput siapa. Mereka yang memfitnah atau para korban fitnah itu. Dan tiba-tiba, alam barzakh sudah menunggu pertanggungjawaban. Ia akan datang, cepat dan segera: padaku, pada saudara, pada kita semua.
Ciri orang beriman itu: wajah mereka ceria, meski batin menyimpan duka. Tidak tampak sedikit pun raut merengut rona kecewa. Mereka yakin makin tinggi mendaki, makin besar pula angin akan menerpa. Anugerah Tuhan diberikan pada yang berusaha. Hidup biasa saja, berbahagia. Kalau ada yang menyakiti kita, mereka tidak berhak merampas kebahagiaan kita. Bila orang Barat berkata, revenge is a dish best served cold (balas dendam adalah sajian yang paling baik saat dingin dihidangkan), saya sependapat dengan George Herbert, penyair Inggris itu: Living well is the best revenge. Balas dendam terbaik adalah hidup bahagia.
Maka kita melihat bagaimana Ali bin Husain tegar dan menjawab dengan pintar di majelis-majelis para pembesar itu. Ia menjadi kemuliaan Islam. Islam istimewa karena ia punya Ka’bah, rumah tertua. Islam istimewa karena ia punya Al-Qur’an, kitab suci teramat terpelihara. Islam istimewa karena ia punya Rasulullah Saw, teladan kasih untuk semesta. Islam istimewa karena ia punya kisah kepahlawanan semisal Hamzah dan Ali. Semisal Badar, Uhud, Khandaq, dan Khaibar. Islam istimewa karena ia punya pengorbanan seperti Al-Husain. Islam istimewa karena punya keluasan ‘hilm’ seperti Ali bin Husain. Islam istimewa karena punya bukit kesabaran semisal Zainab cucunda Rasulullah Saw. Islam istimewa karena ia disakiti, tapi membalas itu semua dengan kepasrahan pada Allah Swt. Orang baik memang dilematis, langkahnya mudah diprediksi. Ia takkan mengembalikan fitnah dengan fitnah lagi. Ia takkan membalas perbuatan buruk dengan yang buruk lagi. Ia takkan membalas cacian dengan cacian lagi. Ia harus cerdik, waspada, dan cerdas pada saat yang sama. “Sesungguhnya seburuk-buruknya manusia adalah ia yang kau kuatirkan keburukan dari lisannya.”
Marilah melihat diri saja, betapa banyak waktu sudah berlalu, dan ajal mendekat tetapi timbangan amal tak kunjung berat. Ada dua ayat Al-Quran yang membuat bulu kuduk saya merinding. Pertama, ketika Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah: Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi [18]:103-104). Ternyata orang paling merugi di akhirat adalah mereka yang di dunia mengira telah berbuat baik. Bukan hanya baik, mereka mengira telah berbuat yang paling baik. Ya Allah, jauhkan kami dari berakhir seperti itu.
Ayat kedua, Surat Shad [38]:62, “Dan mereka berkata: “Mengapa kami tidak melihat orang-orang yang dahulu (di dunia) kami anggap sebagai orang-orang yang jahat…” Ayat ini berkisah tentang mereka yang digiring ke neraka dan di sana tidak melihat kelompok yang mereka sebut jahat. Yang mereka sebut melakukan keburukan. Yang mereka sebut sesat, ahli maksiat dan sebagainya.
Mari kita lihat amal saja, kita lihat kontribusi untuk sesama. Di sebuah majelis di HMI, kepada kawan-kawan mahasiswa saya berkata, “Mohon jawab dengan cepat. Bila saudara kita Katolik punya Paus Benediktus, bila saudara kita Budha punya Dalai Lama, Islam punya siapa sebagai tokoh muslim dunia sekarang ini?” Para mahasiswa tidak dengan cepat menjawab. Ini sebuah keprihatinan. Saya bertanya kembali, “Bila Katolik punya Romo Mangun, Bunda Theressa, Romo Sandy yang berkhidmat di tengah-tengah orang miskin…Islam punya siapa?” Mereka akan menjawab, “Itu karena orang Islam ikhlas dalam beramal, takkan diketahui siapa donaturnya.” Tetapi, tidakkah orang-orang yang menerima akan mengetahui apa bantuannya? Adakah sosok misterius yang dikenal sebagai malaikat yang membantu tanpa dikira identitasnya? Bisakah dengan cepat kita menjawab?
Lihat saja rekam jejak para tokoh di sekitar kita. Jadikan mereka panutan. Belajar dari mereka. Ada yang sudah menulis puluhan buku. Ada yang mendirikan sekolah-sekolah bagi mereka yang tidak mampu. Ada yang berkiprah memberikan yang terbaik bagi bangsa. Lalu ada sekelompok orang yang hanya dikenal dari demo-demo dan parade yang diselenggarakan di jalanan. Hati nurani saudara akan memilih yang mana? Ikutilah mereka yang telah menunjukkan kontribusinya dalam kemanusiaan, dalam membantu sesama, dalam upaya mewujudkan Islam sebagai rahmat untuk semesta, sebagai sebuah gerakan cinta.
Ikutilah Ali bin Husain, ia tetap santun, berakhlak baik, menyampaikan ilmu, berkhidmat pada sesama. Ketika berangkat haji, ia yang paling melayani jamaah yang lainnya. Ia yang paling berbakti. Meski ia tidak pernah menyembunyikan dukanya, ketika ia bermunajat pada Yang Mahasuci.
Saudaraku, siapa saja yang punya musibat, ujian berat yang tengah ditanggungnya. Masalah kehidupan, atau fitnah yang mendera menghantam badan. Bersyukurlah, karena Tuhan Yang Mahakasih tengah memilih saudara. Dia hendak menyelamatkan saudara. Hargai benar waktu ketika batin meronta sepi, gemuruh dada menghentak dan gelisah berganti mengisi. Ketahui benar nilai tangisan yang mengalir dalam pengaduan pada Sang Mahasuci. “Takutilah berbuat zalim pada orang yang tidak punya pelindung kecuali Allah.” Karena tak ada jarak antara doanya dengan Dia Yang Maha segala.
Alkisah al-Nakha’i adalah seorang jamaah setia di Masjid Kufah. Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw adalah Imam masjid sekaligus Amirul Mu’minin, khalifah Rasulillah Saw. Al-Nakha’i selalu datang mengikuti shalat Maghrib dan Isya. Ia tinggal agak jauh dari Kufah. Ia datang setiap malam, karena rindu pada sang Imam. Tetapi, kesibukan khalifah, banyaknya orang yang punya keperluan tak memberinya kesempatan untuk bisa dekat dengan Ali. Ia bahkan yakin, Ali tak tahu siapa dirinya, tak tahu siapa namanya. Sekadar hadir saja sudah sangat membahagiakannya.
Satu hari, ia jatuh sakit. Selama beberapa hari, ia absen dari masjid. Istrinya yang merawatnya. Setelah hari ketiga, tiba-tiba muncul dalam dirinya kerinduan yang tak dapat dibendung. Keinginan yang tak dapat ditahan. Masih dalam keadaan sakit itu, ia meminta izin pada istrinya untuk berangkat ke masjid. “Engkau masih sakit,” cegah istrinya. Al-Nakha’i menjawab “Semoga kepergianku ke masjid menyembuhkanku…”
Sesampainya di masjid, ia bergabung bersama jamaah shalat. Wajahnya berseri melihat pemimpin yang dicintainya. Usai Maghrib dan Isya, Ali berpaling dan terdengar memanggil namanya, “Kemarilah al-Nakha’i…” Hampir-hampir al-Nakha’i tak percaya, dalam batin ia berkata, “Ali tahu namaku…dari mana? Akukah yang ia seru.”
“Kemarilah al-Nakha’i,” kali ini suara Ali terdengar lebih berat. Jelas ditujukan pada dirinya. Dalam kebingungan bercampur kebahagiaan, ia mendekat. Ia peluk Amirul Mu’minin sambil berkata, “Aku sungguh merindukanmu, wahai pemimpinku.”
“Tidak,” Ali menjawab, “melainkan aku merindukanmu lebih dari dirimu.”
“Bagaimana mungkin, engkau bahkan tak mengetahuiku? Aku sakit, dan dalam sakitku aku merindukanmu.”
Kemudian terdengar jawaban Ali, “Kau merinduku karena aku merindukanmu. Kerinduanmu kepadaku karena kerinduanku kepadamu. Akulah yang memanggilmu, hingga kau merindukanku.”
Ya Allah, bagaimana mungkin kini aku mengeluh. Bila tangisku dalam kesepian adalah kerinduan yang tertumpahkan. Bagaimana mungkin aku harus mengaduh, bila hujan anak panah tuduhan sejatinya adalah pesan-pesan kerinduan. Bersabarlah, ujian itu takkan lama. Bersabarlah, di balik awan kelabu ada garis keperakan bercahaya. Bersabarlah, dalam tangismu masih tersimpan tawa…
Beruntunglah bila Tuhan masih memberi kenikmatan dalam berdoa, tersungkur bermunajat, mengadukan padanya segala kesah dan musibat. Bersyukurlah bila Tuhan masih memberikan padamu ujian untuk memperkuat sayapmu demi untuk menerbangkanmu. Tersungkurlah dalam puji bila Tuhan masih memberimu tanda-tanda orang yang beriman.
“Sungguh, orang beriman tak pernah berhenti dalam gangguan: saudaranya yang mendengkinya, inilah gangguan yang paling berat dari yang lainnya; munafik yang menunggu kesalahannya; musuh yang memeranginya; dan setan yang menungu saat menjerumuskannya…” (Al-Kafi, 3:349)
Siapkah kita menjadi orang beriman yang sesungguhnya? Hadapi itu semua tanpa kehilangan keceriaan, tanpa kehilangan senyuman. Belajarlah dari para penghibur handal itu. Di atas segalanya, belajarlah dari para teladan suci. Para pahlawan yang sejati. Dan di keheningan malam, kita sampaikan keluh kesah pada Tuhan. Dialah semata, Penenteram segala kegelisahan. Dialah saja, Jawaban segala permohonan.
Baca juga:
Para Penghibur
Masihkah Bisa Tersenyum?
Orang Beriman Yang Sesungguhnya
Sejarah menyebut peristiwa ini Asyura. Asyura artinya hari kesepuluh. Pada tanggal ini terjadi tragedi paling memilukan dalam sejarah umat manusia. Seorang cucu Nabi Saw dibantai oleh mereka yang mengaku pengikut agama kakeknya. Sejak itu, dunia tak pernah lagi sama.
Islam sebagai agama telah teruji dihantam badai gelombang. Dakwah Nabi Saw membuktikan ia bertahan menghadapi orang-orang kafir. Kemudian datang ujian bagi para pengikut dan mereka yang datang kemudian. Tantangan paling besar ternyata bukan tantangan dari luar, tapi tantangan dari dalam. Ketika kita digoda untuk dipecahbelah. Ketika kita digiring untuk memusuhi satu sama lain. Ketika kita menelan mentah-mentah virus kebencian dan mengobarkannya pada yang lainnya. Ibarat seorang ayah, bayangkan hati Baginda Nabi Saw melihat umatnya bersengketa. Anak-anak yang tumbuh dalam asuhannya bertengkar dengan sesama. Kita bisa membalas keburukan dengan keburukan lagi. Atau bisa membalas dengan kebaikan. Atau menyerahkannya pada Tuhan Sang Maha Pemberi Keadilan.
Ali bin Husain, pahlawan besar Islam itu. Ia berikan minuman pada orang yang memperlakukannya dengan buruk. Meski demikian, ia tak pernah lupa apa yang terjadi pada keluarganya. Katanya, Ya’qub as seorang nabi. Ia menangisi kehilangan Yusuf as hingga memutih kedua matanya, kehilangan penglihatannya. (Mereka berkata: Demi Allah, senantiasa kamu mengingat Yusuf, sehingga kamu mengidap penyakit yang berat atau termasuk orang-orang yang binasa. QS. Yusuf: 85) Ali bin Husain hendak berkata, ia bukan nabi. Bagaimana mungkin ia terlarang untuk berduka. Sedangkan Ya’qub sang Nabi saja berduka hingga orang-orang di sekitarnya mengira ia punya penyakit berat, atau hampir-hampir bisa celaka karena dukanya.
Benar, tertawa bisa menyembunyikan duka. Tetapi menampakkannya pun adalah hal yang utama. Saat badai fitnah menggelora, ingatlah pesan ilahiah: Dia tidak akan menguji kita melebihi kemampuan kita menanggungnya. Bersabarlah, seperti Ya’qub as. Sesungguhnya sabar itu indah. Berkaryalah, bekerja keras, berikan yang terbaik. Tough times never last, but tough people do. Masa sulit tidak pernah berlangsung lama, tapi orang yang tabah bertahan selamanya. Semua ada batasnya. Beramal saja. Kita tidak tahu malaikat maut datang menjemput siapa. Mereka yang memfitnah atau para korban fitnah itu. Dan tiba-tiba, alam barzakh sudah menunggu pertanggungjawaban. Ia akan datang, cepat dan segera: padaku, pada saudara, pada kita semua.
Ciri orang beriman itu: wajah mereka ceria, meski batin menyimpan duka. Tidak tampak sedikit pun raut merengut rona kecewa. Mereka yakin makin tinggi mendaki, makin besar pula angin akan menerpa. Anugerah Tuhan diberikan pada yang berusaha. Hidup biasa saja, berbahagia. Kalau ada yang menyakiti kita, mereka tidak berhak merampas kebahagiaan kita. Bila orang Barat berkata, revenge is a dish best served cold (balas dendam adalah sajian yang paling baik saat dingin dihidangkan), saya sependapat dengan George Herbert, penyair Inggris itu: Living well is the best revenge. Balas dendam terbaik adalah hidup bahagia.
Maka kita melihat bagaimana Ali bin Husain tegar dan menjawab dengan pintar di majelis-majelis para pembesar itu. Ia menjadi kemuliaan Islam. Islam istimewa karena ia punya Ka’bah, rumah tertua. Islam istimewa karena ia punya Al-Qur’an, kitab suci teramat terpelihara. Islam istimewa karena ia punya Rasulullah Saw, teladan kasih untuk semesta. Islam istimewa karena ia punya kisah kepahlawanan semisal Hamzah dan Ali. Semisal Badar, Uhud, Khandaq, dan Khaibar. Islam istimewa karena ia punya pengorbanan seperti Al-Husain. Islam istimewa karena punya keluasan ‘hilm’ seperti Ali bin Husain. Islam istimewa karena punya bukit kesabaran semisal Zainab cucunda Rasulullah Saw. Islam istimewa karena ia disakiti, tapi membalas itu semua dengan kepasrahan pada Allah Swt. Orang baik memang dilematis, langkahnya mudah diprediksi. Ia takkan mengembalikan fitnah dengan fitnah lagi. Ia takkan membalas perbuatan buruk dengan yang buruk lagi. Ia takkan membalas cacian dengan cacian lagi. Ia harus cerdik, waspada, dan cerdas pada saat yang sama. “Sesungguhnya seburuk-buruknya manusia adalah ia yang kau kuatirkan keburukan dari lisannya.”
Marilah melihat diri saja, betapa banyak waktu sudah berlalu, dan ajal mendekat tetapi timbangan amal tak kunjung berat. Ada dua ayat Al-Quran yang membuat bulu kuduk saya merinding. Pertama, ketika Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah: Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi [18]:103-104). Ternyata orang paling merugi di akhirat adalah mereka yang di dunia mengira telah berbuat baik. Bukan hanya baik, mereka mengira telah berbuat yang paling baik. Ya Allah, jauhkan kami dari berakhir seperti itu.
Ayat kedua, Surat Shad [38]:62, “Dan mereka berkata: “Mengapa kami tidak melihat orang-orang yang dahulu (di dunia) kami anggap sebagai orang-orang yang jahat…” Ayat ini berkisah tentang mereka yang digiring ke neraka dan di sana tidak melihat kelompok yang mereka sebut jahat. Yang mereka sebut melakukan keburukan. Yang mereka sebut sesat, ahli maksiat dan sebagainya.
Mari kita lihat amal saja, kita lihat kontribusi untuk sesama. Di sebuah majelis di HMI, kepada kawan-kawan mahasiswa saya berkata, “Mohon jawab dengan cepat. Bila saudara kita Katolik punya Paus Benediktus, bila saudara kita Budha punya Dalai Lama, Islam punya siapa sebagai tokoh muslim dunia sekarang ini?” Para mahasiswa tidak dengan cepat menjawab. Ini sebuah keprihatinan. Saya bertanya kembali, “Bila Katolik punya Romo Mangun, Bunda Theressa, Romo Sandy yang berkhidmat di tengah-tengah orang miskin…Islam punya siapa?” Mereka akan menjawab, “Itu karena orang Islam ikhlas dalam beramal, takkan diketahui siapa donaturnya.” Tetapi, tidakkah orang-orang yang menerima akan mengetahui apa bantuannya? Adakah sosok misterius yang dikenal sebagai malaikat yang membantu tanpa dikira identitasnya? Bisakah dengan cepat kita menjawab?
Lihat saja rekam jejak para tokoh di sekitar kita. Jadikan mereka panutan. Belajar dari mereka. Ada yang sudah menulis puluhan buku. Ada yang mendirikan sekolah-sekolah bagi mereka yang tidak mampu. Ada yang berkiprah memberikan yang terbaik bagi bangsa. Lalu ada sekelompok orang yang hanya dikenal dari demo-demo dan parade yang diselenggarakan di jalanan. Hati nurani saudara akan memilih yang mana? Ikutilah mereka yang telah menunjukkan kontribusinya dalam kemanusiaan, dalam membantu sesama, dalam upaya mewujudkan Islam sebagai rahmat untuk semesta, sebagai sebuah gerakan cinta.
Ikutilah Ali bin Husain, ia tetap santun, berakhlak baik, menyampaikan ilmu, berkhidmat pada sesama. Ketika berangkat haji, ia yang paling melayani jamaah yang lainnya. Ia yang paling berbakti. Meski ia tidak pernah menyembunyikan dukanya, ketika ia bermunajat pada Yang Mahasuci.
Saudaraku, siapa saja yang punya musibat, ujian berat yang tengah ditanggungnya. Masalah kehidupan, atau fitnah yang mendera menghantam badan. Bersyukurlah, karena Tuhan Yang Mahakasih tengah memilih saudara. Dia hendak menyelamatkan saudara. Hargai benar waktu ketika batin meronta sepi, gemuruh dada menghentak dan gelisah berganti mengisi. Ketahui benar nilai tangisan yang mengalir dalam pengaduan pada Sang Mahasuci. “Takutilah berbuat zalim pada orang yang tidak punya pelindung kecuali Allah.” Karena tak ada jarak antara doanya dengan Dia Yang Maha segala.
Alkisah al-Nakha’i adalah seorang jamaah setia di Masjid Kufah. Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw adalah Imam masjid sekaligus Amirul Mu’minin, khalifah Rasulillah Saw. Al-Nakha’i selalu datang mengikuti shalat Maghrib dan Isya. Ia tinggal agak jauh dari Kufah. Ia datang setiap malam, karena rindu pada sang Imam. Tetapi, kesibukan khalifah, banyaknya orang yang punya keperluan tak memberinya kesempatan untuk bisa dekat dengan Ali. Ia bahkan yakin, Ali tak tahu siapa dirinya, tak tahu siapa namanya. Sekadar hadir saja sudah sangat membahagiakannya.
Satu hari, ia jatuh sakit. Selama beberapa hari, ia absen dari masjid. Istrinya yang merawatnya. Setelah hari ketiga, tiba-tiba muncul dalam dirinya kerinduan yang tak dapat dibendung. Keinginan yang tak dapat ditahan. Masih dalam keadaan sakit itu, ia meminta izin pada istrinya untuk berangkat ke masjid. “Engkau masih sakit,” cegah istrinya. Al-Nakha’i menjawab “Semoga kepergianku ke masjid menyembuhkanku…”
Sesampainya di masjid, ia bergabung bersama jamaah shalat. Wajahnya berseri melihat pemimpin yang dicintainya. Usai Maghrib dan Isya, Ali berpaling dan terdengar memanggil namanya, “Kemarilah al-Nakha’i…” Hampir-hampir al-Nakha’i tak percaya, dalam batin ia berkata, “Ali tahu namaku…dari mana? Akukah yang ia seru.”
“Kemarilah al-Nakha’i,” kali ini suara Ali terdengar lebih berat. Jelas ditujukan pada dirinya. Dalam kebingungan bercampur kebahagiaan, ia mendekat. Ia peluk Amirul Mu’minin sambil berkata, “Aku sungguh merindukanmu, wahai pemimpinku.”
“Tidak,” Ali menjawab, “melainkan aku merindukanmu lebih dari dirimu.”
“Bagaimana mungkin, engkau bahkan tak mengetahuiku? Aku sakit, dan dalam sakitku aku merindukanmu.”
Kemudian terdengar jawaban Ali, “Kau merinduku karena aku merindukanmu. Kerinduanmu kepadaku karena kerinduanku kepadamu. Akulah yang memanggilmu, hingga kau merindukanku.”
Ya Allah, bagaimana mungkin kini aku mengeluh. Bila tangisku dalam kesepian adalah kerinduan yang tertumpahkan. Bagaimana mungkin aku harus mengaduh, bila hujan anak panah tuduhan sejatinya adalah pesan-pesan kerinduan. Bersabarlah, ujian itu takkan lama. Bersabarlah, di balik awan kelabu ada garis keperakan bercahaya. Bersabarlah, dalam tangismu masih tersimpan tawa…
Beruntunglah bila Tuhan masih memberi kenikmatan dalam berdoa, tersungkur bermunajat, mengadukan padanya segala kesah dan musibat. Bersyukurlah bila Tuhan masih memberikan padamu ujian untuk memperkuat sayapmu demi untuk menerbangkanmu. Tersungkurlah dalam puji bila Tuhan masih memberimu tanda-tanda orang yang beriman.
“Sungguh, orang beriman tak pernah berhenti dalam gangguan: saudaranya yang mendengkinya, inilah gangguan yang paling berat dari yang lainnya; munafik yang menunggu kesalahannya; musuh yang memeranginya; dan setan yang menungu saat menjerumuskannya…” (Al-Kafi, 3:349)
Siapkah kita menjadi orang beriman yang sesungguhnya? Hadapi itu semua tanpa kehilangan keceriaan, tanpa kehilangan senyuman. Belajarlah dari para penghibur handal itu. Di atas segalanya, belajarlah dari para teladan suci. Para pahlawan yang sejati. Dan di keheningan malam, kita sampaikan keluh kesah pada Tuhan. Dialah semata, Penenteram segala kegelisahan. Dialah saja, Jawaban segala permohonan.
Baca juga:
Para Penghibur
Masihkah Bisa Tersenyum?
Orang Beriman Yang Sesungguhnya