"Dore menyimpulkan gerakan pengkafiran akan terus berlangsung selama Arab Saudi masih menggelontorkan uangnya ke lembaga-lembaga pendidikan sejak dari Tunisia sampai ke Indonesia. Dalam buku itu dia berikan bukti-bukti ilmiah. Uang itu pula membikin Taliban, Boko Haram, dan sebagainya."
Sejak perang Suriah antara pemerintahan Bashar Assad dan para pemberontak yang didukung oleh kekuatan asing bermula di tahun 2011, diawali oleh "musim semi" di Timur Tengah, isu Sunnah Syiah muncul dan semakin menguat ke permukaan. Dulu tidak. Ketika Arab Saudi dan Iran di bawah Reza Pahlevi menjadi "saudara kandung" dalam asuhan Amerika Serikat, tak ada pertentangan Sunnah Syiah yang terdengar. Tetapi setelah Revolusi Islam Iran yang dipimpin oleh Imam Khomeini berhasil menumbangkan Reza Pahlevi tahun 1979, lalu Amerika didepak dari Teheran, perebutan pengaruh antara Saudi dan Iran kemudian sayup-sayup mulai terdengar. Saat itulah isu Sunnah Syiah menjadi jualan monarki Saudi yang beraliran Wahabi. Terlebih lagi kelompok pemberontak Suriah yang didukung oleh Saudi dan sekutunya di kawasan tak menunjukkan tanda-tanda kemenangan setelah beberapa tahun berperang.
KH Dr. Jalaluddin Rahmat sebagai Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI), memberikan perspektif tentang isu ini, khususnya apa yang terjadi akhir-akhir ini di tanah air. Dalam wawancara beliau dengan situs online al-balad.co, Ust Jalal mengatakan bahwa di balik gerakan menghapus pluralisme dan toleransi itu ada petro dolar.
Berikut wawancara KH Dr. Jalaluddin Rahmat dengan Faisal Assegaf dari situs online Albalad.co.
Apakah menurut Anda pesan anti-Syiah tersebar luas di media sosial kini sudah sangat mengerikan dan membahayakan?
Menurut saya sudah sangat berbahaya karena beberapa alasan. Pertama, durasi. Lamanya pemberitaan ujaran kebencian terhadap Syiah ini mungkin sudah cukup lama. Jadi kalau dalam pembentukan opini, ia sudah dianggap sebagai pandangan mayoritas.
Kedua, intensitas. Serangan terhadap Syiah itu sudah sangat intensif. Bukan saja durasinya panjang, frekuensinya berulang-ulang, dan disebarkan di sekian banyak media sosial.
Dalam teori komunikasi, menurut ilmuwan politik asal Jerman Elisabeth Noelle-Neumann, sebagai lingkaran kebisuan. Lingkaran kebisuan terjadi ketika sebuah berita sangat dominan. Orang-orang ingin menyampaikan berita
sebenarnya merasa sendirian. Orang ingin memberikan komentar juga merasa sendiri karena tidak ada kawan. Tidak ada yang mau sendirian melaporkan itu karena dianggap terisolasi. Karena tidak mau sendirian akhirnya mereka bisu. Padahal boleh jadi mereka itu mayoritas senyap.
Saya menemukan istilah bagus dari wali kota Bandung (Ridwan Kamil), yakni minoritas berisik. Sebenarnya orang-orang anti-Syiah itu minoritas tapi karena hiruk pikuknya mereka berbicara, orang menganggap mereka mayoritas. Maka terjadilah lingkaran kebisuan.
Ketiga, liar. Artinya sudah tidak lagi memperhatikan sumber berita, etika. Jangankan etika jurnalistik, tapi etika sebagai orang beradab saja sudah tidak diperhatikan.
Keempat, berbahaya karena muatan emosionalnya. Kalau kita buat analisis wacana, akan kita temukan kata-kata dalam kalimat mereka gunakan itu nuansa emosional luar biasa.
Sampai sekarang para ahli komunikasi masih sepakat penggunaan emosi dan kebencian sangat mudah menyulut provokasi, pertengkaran, dan akhirnya bisa menimbulkan rasisme.
Dulu ada tokoh propaganda komunis dari Rusia bernama Anatoly Lunacharsky. Dia bilang, “Singkirkan kata-kata penuh kasih, gunakan kebencian. Hanya dengan kebencian kita menguasai dunia.”
Rupanya metode digunakan dalam agitasi komunisme itu sekarang digunakan oleh kelompok-kelompok anti-Syiah.
Jadi memang sudah sangat berbahaya?
Secara praktis, saya sebagai orang Syiah merasa perlakuan diskriminatif makin keras terhadap diri saya sebagai anggota DPR. Saya bayangkan apa yang akan terjadi kepada rakyat biasa. Dengan stigmatisasi Syiah, kita bisa didiskriminasi, mulai dari pekerjaan sampai hubungan interpersonal. Diskriminasi ini sudah lumrah terjadi. Misalnya kontrak dagang atau perkawinannya dibatalkan hanya karena stigma, “Awas dia itu Syiah.”
Bahkan ada seorang ustad populer tiba-tiba dikasih stigma Syiah, pasarannya akhirnya merosot dan dia dijauhi orang. Secara sosial itu sangat berbahaya. Pertama, stigmatisasi. Jadi disebarkan berita-berita buruk tentang Syiah.
Kemudian diskriminasi. Ada seorang motivator sudah dapat sertifikat internasional diminta memberikan pelatihan kepada kader-kader sebuah partai politik. Tiba-tiba ditemukan dalam sebuah bukunya ucapan terima kasih kepada saya, Jalaluddin Rahmat. Itu buku psikologi dan dia menyebut saya bukan sebagai Syiah tapi psikolog. Karena itu, kontraknya untuk pendidikan kader dibatalkan.
Itu langkah-langkah menuju genosida, peniadaan kelompok-kelompok Syiah dan pembenaran atas kekerasan terhadap kelompok Syiah.
Tahap ketiga adalah kriminalisasi. Orang-orang Syiah bukan saja dianggap aliran sesat tapi juga penjahat dan berbahaya. Jadi disebarkan kepanikan sehingga orang merasa terancam. Kalau merasa terancam, orang itu duluan melakukan kekerasan.
Syiah sekarang sudah dianggap ancaman. Kalau ada 20 persen orang Syiah di suatu tempat, katanya, Sunni bakal dibantai.
Tahap ketiga adalah persekusi. Orang-orang Syiah dikejar-kejar, ditandai, dan mulai ada kekerasan terhadap mereka.
Terakhir adalah genosida.
Jadi pesan-pesan anti-Syiah di media sosial sudah mampu pengubah opini masyarakat?
Sudah bisa mengubah opini publik dan dalam perkembangannya bisa berubah menjadi norma sosial kalau diterima sekian banyak orang. Itu bahayanya.
Apakah ada dana dari Arab Saudi sebagai rezim Wahabi untuk kampanye anti-Syiah di Indonesia?
Saya baru saja menulis untuk Maarif Institute. Saya kutip dari berbagai penelitian Barat, lebih objektif ketimbang sektarian. Salah satu saya kutip adalah penelitian Dore Gold, mantan duta besar Israel untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dia menulis buku berjudul Hatred’s Kingdom. Dia bercerita soal bagaimana Arab Saudi mendukung terorisme global baru.
Dore menyimpulkan gerakan pengkafiran akan terus berlangsung selama Arab Saudi masih menggelontorkan uangnya ke lembaga-lembaga pendidikan sejak dari Tunisia sampai ke Indonesia. Dalam buku itu dia berikan bukti-bukti ilmiah. Uang itu pula membikin Taliban, Boko Haram, dan sebagainya.
Dana dari Arab Saudi juga membantu pendirian madrasah-madrasah di Indonesia kita kenal sebagai pusat penyebaran kebencian terhadap Syiah. Jadi memang ada penggelontoran uang untuk itu.
Jadi, kata Dore, penggelontoran uang dari Saudi itu melindas pluralisme di dunia Islam. Yang dihabisi adalah kelompok Islam liberal, Syiah, dan tarekat. Itu tidak hanya terjadi di Indonesia namun di seluruh dunia.
Di Indonesia memang ada teori ISIS tidak begitu laku di sini karena ada kekuatan Islam Nusantara moderat dan sebagainya. Yang mengerikan sekarang ada barisan-barisan penyebar kebencian dari kalangan Nahdhatul Ulama sendiri, seperti NU Garis Lurus, Brigade Aswaja. Kebencian mereka terhadap Syiah kalau tidak setara boleh jadi lebih besar dibanding Wahabi. Bahkan ada yang menyamakan ISIS itu sama dengan Syiah.
Kita terpaksa, bukan menuding, tapi menunjukkan di balik gerakan menghapus pluralisme dan toleransi itu ada petro dolar.
Ada seorang doktor medis perempuan asal Riyadh (Arab Saudi) menulis surat ke MEMRI (Middle East Media Research Institute), lembaga berkantor di London. Menurut terjemahannya, doktor itu mengatakan, “Sistem pendidikan di negeri kami (Arab Saudi) melahirkan orang-orang seperti Usamah Bin Ladin, Abu Musab az-Zarqawi, atau Abu Bakar al-Baghdadi karena banyak khatib berkhotbah soal kekerasan. Di pasar banyak orang bicara soal kesucian diri kita dan kekafiran kelompok lain.”
Itu satu bukti juga paham agama di balik Kerajaan Saudi itu menyebabkan terjadinya penyebaran kebencian, karena itu bagian dari ideologi mereka.
Berapa fulus digelontorkan Arab Saudi untuk mendanai kampanye anti-Syiah di Indonesia?
Saya tidak tahu tapi saya berjumpa banyak orang di mana masing-masing individu itu dibantu Arab Saudi untuk membangun masjid, buku, atau membikin akun media sosial untuk menyebarluaskan kebencian terhadap Syiah.
Salah satu contoh saya alami sendiri. Ketika mau menyelenggarakan Asyura tahun lalu, biasanya kami gelar di gedung, dibatalkan dengan alasan ada tekanan dari umat Islam. Biasanya kita lari ke gedung-gedung milik tentara, tapi kemarin kita juga tidak diizinkan menyelenggarakan Asyura di sana. Sampai akhirnya kita mengadakan Asyura di stadion milik Persib.
Tapi apa benar pembatalan Asyura dua tahun lalu karena ada permintaan dari Pangeran Bandar bin Sultan ketika datang ke Jakarta?
Dia memang datang dua tahun lalu. Setelah kedatangan beliau, serangan terhadap Syiah meningkat sangat drastis. Jadi penerbitan dan media-media sosial anti-Syiah tumbuh subur seperti cendawan di musim hujan.
Saya menduga dan saya ingin dugaan saya benar. Saudi sekarang mengalami goncangan ekonomi akibat biaya Perang Yaman dan melorotnya harga minyak. Saya duga tekanan ekonomi besar itu bakal membikin gelontoran uang ke Indonesia berkurang. Saya berharap serangan terhadap Syiah berkurang sesuai berkurangnya bantuan keuangan dari Saudi.
Artinya yang mendorong kampanye anti-Syiah bukan ideologi tapi pasokan uang kepada mereka.
Catatan
Tulisan ini kami ambil dari situs online www.albalad.co dengan mengambil hasil wawancara saja. Dimuat 22 Januari 2016 dan kami ambil tanggal 24 Januari 2016. Di situs tersebut, tulisan ini diberi judul "Arab Saudi danai kampanye anti-Syiah di Indonesia".
Baca juga
Indonesia Lahir Karena Toleransi
Wahabisme dan "Kerajaan Kebencian"
KH Dr. Jalaluddin Rahmat sebagai Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI), memberikan perspektif tentang isu ini, khususnya apa yang terjadi akhir-akhir ini di tanah air. Dalam wawancara beliau dengan situs online al-balad.co, Ust Jalal mengatakan bahwa di balik gerakan menghapus pluralisme dan toleransi itu ada petro dolar.
Berikut wawancara KH Dr. Jalaluddin Rahmat dengan Faisal Assegaf dari situs online Albalad.co.
Apakah menurut Anda pesan anti-Syiah tersebar luas di media sosial kini sudah sangat mengerikan dan membahayakan?
Menurut saya sudah sangat berbahaya karena beberapa alasan. Pertama, durasi. Lamanya pemberitaan ujaran kebencian terhadap Syiah ini mungkin sudah cukup lama. Jadi kalau dalam pembentukan opini, ia sudah dianggap sebagai pandangan mayoritas.
Kedua, intensitas. Serangan terhadap Syiah itu sudah sangat intensif. Bukan saja durasinya panjang, frekuensinya berulang-ulang, dan disebarkan di sekian banyak media sosial.
Dalam teori komunikasi, menurut ilmuwan politik asal Jerman Elisabeth Noelle-Neumann, sebagai lingkaran kebisuan. Lingkaran kebisuan terjadi ketika sebuah berita sangat dominan. Orang-orang ingin menyampaikan berita
sebenarnya merasa sendirian. Orang ingin memberikan komentar juga merasa sendiri karena tidak ada kawan. Tidak ada yang mau sendirian melaporkan itu karena dianggap terisolasi. Karena tidak mau sendirian akhirnya mereka bisu. Padahal boleh jadi mereka itu mayoritas senyap.
Saya menemukan istilah bagus dari wali kota Bandung (Ridwan Kamil), yakni minoritas berisik. Sebenarnya orang-orang anti-Syiah itu minoritas tapi karena hiruk pikuknya mereka berbicara, orang menganggap mereka mayoritas. Maka terjadilah lingkaran kebisuan.
Ketiga, liar. Artinya sudah tidak lagi memperhatikan sumber berita, etika. Jangankan etika jurnalistik, tapi etika sebagai orang beradab saja sudah tidak diperhatikan.
Keempat, berbahaya karena muatan emosionalnya. Kalau kita buat analisis wacana, akan kita temukan kata-kata dalam kalimat mereka gunakan itu nuansa emosional luar biasa.
Sampai sekarang para ahli komunikasi masih sepakat penggunaan emosi dan kebencian sangat mudah menyulut provokasi, pertengkaran, dan akhirnya bisa menimbulkan rasisme.
Dulu ada tokoh propaganda komunis dari Rusia bernama Anatoly Lunacharsky. Dia bilang, “Singkirkan kata-kata penuh kasih, gunakan kebencian. Hanya dengan kebencian kita menguasai dunia.”
Rupanya metode digunakan dalam agitasi komunisme itu sekarang digunakan oleh kelompok-kelompok anti-Syiah.
Jadi memang sudah sangat berbahaya?
Secara praktis, saya sebagai orang Syiah merasa perlakuan diskriminatif makin keras terhadap diri saya sebagai anggota DPR. Saya bayangkan apa yang akan terjadi kepada rakyat biasa. Dengan stigmatisasi Syiah, kita bisa didiskriminasi, mulai dari pekerjaan sampai hubungan interpersonal. Diskriminasi ini sudah lumrah terjadi. Misalnya kontrak dagang atau perkawinannya dibatalkan hanya karena stigma, “Awas dia itu Syiah.”
Bahkan ada seorang ustad populer tiba-tiba dikasih stigma Syiah, pasarannya akhirnya merosot dan dia dijauhi orang. Secara sosial itu sangat berbahaya. Pertama, stigmatisasi. Jadi disebarkan berita-berita buruk tentang Syiah.
Kemudian diskriminasi. Ada seorang motivator sudah dapat sertifikat internasional diminta memberikan pelatihan kepada kader-kader sebuah partai politik. Tiba-tiba ditemukan dalam sebuah bukunya ucapan terima kasih kepada saya, Jalaluddin Rahmat. Itu buku psikologi dan dia menyebut saya bukan sebagai Syiah tapi psikolog. Karena itu, kontraknya untuk pendidikan kader dibatalkan.
Itu langkah-langkah menuju genosida, peniadaan kelompok-kelompok Syiah dan pembenaran atas kekerasan terhadap kelompok Syiah.
Tahap ketiga adalah kriminalisasi. Orang-orang Syiah bukan saja dianggap aliran sesat tapi juga penjahat dan berbahaya. Jadi disebarkan kepanikan sehingga orang merasa terancam. Kalau merasa terancam, orang itu duluan melakukan kekerasan.
Syiah sekarang sudah dianggap ancaman. Kalau ada 20 persen orang Syiah di suatu tempat, katanya, Sunni bakal dibantai.
Tahap ketiga adalah persekusi. Orang-orang Syiah dikejar-kejar, ditandai, dan mulai ada kekerasan terhadap mereka.
Terakhir adalah genosida.
Jadi pesan-pesan anti-Syiah di media sosial sudah mampu pengubah opini masyarakat?
Sudah bisa mengubah opini publik dan dalam perkembangannya bisa berubah menjadi norma sosial kalau diterima sekian banyak orang. Itu bahayanya.
Apakah ada dana dari Arab Saudi sebagai rezim Wahabi untuk kampanye anti-Syiah di Indonesia?
Saya baru saja menulis untuk Maarif Institute. Saya kutip dari berbagai penelitian Barat, lebih objektif ketimbang sektarian. Salah satu saya kutip adalah penelitian Dore Gold, mantan duta besar Israel untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dia menulis buku berjudul Hatred’s Kingdom. Dia bercerita soal bagaimana Arab Saudi mendukung terorisme global baru.
Dore menyimpulkan gerakan pengkafiran akan terus berlangsung selama Arab Saudi masih menggelontorkan uangnya ke lembaga-lembaga pendidikan sejak dari Tunisia sampai ke Indonesia. Dalam buku itu dia berikan bukti-bukti ilmiah. Uang itu pula membikin Taliban, Boko Haram, dan sebagainya.
Dana dari Arab Saudi juga membantu pendirian madrasah-madrasah di Indonesia kita kenal sebagai pusat penyebaran kebencian terhadap Syiah. Jadi memang ada penggelontoran uang untuk itu.
Jadi, kata Dore, penggelontoran uang dari Saudi itu melindas pluralisme di dunia Islam. Yang dihabisi adalah kelompok Islam liberal, Syiah, dan tarekat. Itu tidak hanya terjadi di Indonesia namun di seluruh dunia.
Di Indonesia memang ada teori ISIS tidak begitu laku di sini karena ada kekuatan Islam Nusantara moderat dan sebagainya. Yang mengerikan sekarang ada barisan-barisan penyebar kebencian dari kalangan Nahdhatul Ulama sendiri, seperti NU Garis Lurus, Brigade Aswaja. Kebencian mereka terhadap Syiah kalau tidak setara boleh jadi lebih besar dibanding Wahabi. Bahkan ada yang menyamakan ISIS itu sama dengan Syiah.
Kita terpaksa, bukan menuding, tapi menunjukkan di balik gerakan menghapus pluralisme dan toleransi itu ada petro dolar.
Ada seorang doktor medis perempuan asal Riyadh (Arab Saudi) menulis surat ke MEMRI (Middle East Media Research Institute), lembaga berkantor di London. Menurut terjemahannya, doktor itu mengatakan, “Sistem pendidikan di negeri kami (Arab Saudi) melahirkan orang-orang seperti Usamah Bin Ladin, Abu Musab az-Zarqawi, atau Abu Bakar al-Baghdadi karena banyak khatib berkhotbah soal kekerasan. Di pasar banyak orang bicara soal kesucian diri kita dan kekafiran kelompok lain.”
Itu satu bukti juga paham agama di balik Kerajaan Saudi itu menyebabkan terjadinya penyebaran kebencian, karena itu bagian dari ideologi mereka.
Berapa fulus digelontorkan Arab Saudi untuk mendanai kampanye anti-Syiah di Indonesia?
Saya tidak tahu tapi saya berjumpa banyak orang di mana masing-masing individu itu dibantu Arab Saudi untuk membangun masjid, buku, atau membikin akun media sosial untuk menyebarluaskan kebencian terhadap Syiah.
Salah satu contoh saya alami sendiri. Ketika mau menyelenggarakan Asyura tahun lalu, biasanya kami gelar di gedung, dibatalkan dengan alasan ada tekanan dari umat Islam. Biasanya kita lari ke gedung-gedung milik tentara, tapi kemarin kita juga tidak diizinkan menyelenggarakan Asyura di sana. Sampai akhirnya kita mengadakan Asyura di stadion milik Persib.
Tapi apa benar pembatalan Asyura dua tahun lalu karena ada permintaan dari Pangeran Bandar bin Sultan ketika datang ke Jakarta?
Dia memang datang dua tahun lalu. Setelah kedatangan beliau, serangan terhadap Syiah meningkat sangat drastis. Jadi penerbitan dan media-media sosial anti-Syiah tumbuh subur seperti cendawan di musim hujan.
Saya menduga dan saya ingin dugaan saya benar. Saudi sekarang mengalami goncangan ekonomi akibat biaya Perang Yaman dan melorotnya harga minyak. Saya duga tekanan ekonomi besar itu bakal membikin gelontoran uang ke Indonesia berkurang. Saya berharap serangan terhadap Syiah berkurang sesuai berkurangnya bantuan keuangan dari Saudi.
Artinya yang mendorong kampanye anti-Syiah bukan ideologi tapi pasokan uang kepada mereka.
Catatan
Tulisan ini kami ambil dari situs online www.albalad.co dengan mengambil hasil wawancara saja. Dimuat 22 Januari 2016 dan kami ambil tanggal 24 Januari 2016. Di situs tersebut, tulisan ini diberi judul "Arab Saudi danai kampanye anti-Syiah di Indonesia".
Baca juga
Indonesia Lahir Karena Toleransi
Wahabisme dan "Kerajaan Kebencian"