Jalaluddin Rakhmat, lahir di Bandung, 29 Agustus 1949. Kang Jalal, begitu panggilan populernya dikenal sebagai salah satu tokoh cendikiawan dan mubaligh Islam terkemuka di Indonesia, bersama Gus Dur (KH Abdurahman Wahid) dan Cak Nur almarhum (Prof.Dr. Nurcholis Madjid).
Ibunya adalah seorang aktifis Islam di desanya. Ayahnya adalah seorang kiai dan sekaligus lurah desa. Karena kemelut politik Islam pada waktu itu, ayahnya terpaksa meninggalkan Jalal kecil yang masih berusia dua tahun. Ia berpisah dengan ayahnya puluhan tahun sehingga ia hampir tidak mempunyai ikatan emosional dengannya. Menurut teori ateisme, mestinya Jalal menjadi ateis ; tetapi ibunya mengirimkan Jalal ke Madrasah sore hari, membimbingnya membaca kitab kuning malam hari, setelah mengantarkannya ke sekolah dasar pagi hari. Jalal mendapatkan pendidikan agama hanya sampai akhir sekolah dasar.
Dalam suatu wawancara, ia menuturkan: “Saya dilahirkan dalam keluarga Nahdiyyin (orang-orang NU). Kakek saya punya pesantren di puncak bukit Cicalengka. Ayah saya pernah ikut serta dalam perjuangan gerakan keagamaan untuk menegakkan syariat Islam. Begitu bersemangatnya, beliau sampai meninggalkan saya pada waktu kecil untuk bergabung bersama para pecinta syariat. Saya lalu berangkat ke kota Bandung untuk belajar di SMP.”
Karena merasa rendah diri Jalal menghabiskan masa remajanya di perpustakaan negeri, peningggalan Belanda. Ia tenggelam dalam buku-buku filsafat, yang memaksanya belajar bahasa Belanda. Di situ ia berkenalan dengan para filosof, dan terutama sekali sangat terpengaruh oleh Spinoza dan Nietzsche. Ayahnya juga meninggalkan lemari buku yang dipenuhi oleh kitab-kitab berbahasa Arab. Dari buku-buku (kitab) peninggalan ayahnya itu, ia bertemu dengan Ihya Ulum al-Din-nya al Ghazali. Ia begitu terguncang karenanya sehingga seperti (dan mungkin memang) gila. Ia meninggalkan SMA-nya dan berkelana menjelajah ke beberapa pesantren di Jawa Barat. Pada masa SMA itu pula ia bergabung dengan kelompok Persatuan Islam (Persis) dan aktif masuk dalam kelompok diskusi yang menyebut dirinya Rijalul Ghad atau pemimpin masa depan.
Ini pun tidak berlangsung lama. Ia kembali ke SMA-nya. Karena keinginannya untuk mandiri, ia mencari perguruan tinggi yang sekaligus memberikan kesempatan bekerja kepadanya. Ia masuk kuliah Fakultas Publisistik, sekarang Fakultas Ilmu Komunikasi, Unpad Bandung. Pada saat yang sama, ia memasuki pendidikan guru SLP Jurusan Bahasa Inggris. Ia terpaksa meninggalkan kuliahnya, ketika ia menikah dengan santrinya di masjid, Euis Kartini. Setelah berjuang menegakkan keluarganya, ia kembali lagi ke almamaternya.
“Saat yang sama, saya juga bergabung dengan Muhammadiyah, dan dididik di Darul Arqam Muhammadiyah dan pusat pengkaderan Muhammadiyah. Dari latar belakang itu saya sempat kembali ke kampung untuk memberantas bidáh, khurafat dan takhayul. Tapi yang saya berantas adalah perbedaan fiqih antara Muhammadiyah dan fiqih NU orang kampung saya. Misi hidup saya waktu itu saya rumuskan singkat: menegakkan misi Muhammadiyah dengan memuhammadiyahkan orang lain. Saya membuang beduk dari mesjid di kampung saya, karena itu dianggap bidáh. Tapi apa yang kemudian terjadi? Saya bertengkar dengan Uwa’ (Paman) saya yang membina pesantren dan dengan penduduk kampung. Sebab ketika semua orang berdiri untuk untuk shalat qabliyah Jumát, saya duduk secara demonstratif. Saya hampir-hampir dipukuli karena membawa fiqih yang baru itu.’’
Dalam posisinya sebagai dosen, ia memperoleh beasiswa Fulbright dan masuk Iowa State University. Ia mengambil kuliah Komunikasi dan Psikologi. Tetapi ia lebih banyak memperoleh pengetahuan dari perpustakaan universitasnya. Berkat kecerdasannya Ia lulus dengan predikat magna cum laude. Karena memperoleh 4.0 grade point average , ia terpilih menjadi anggota Phi Kappa Phi dan Sigma Delta Chi.
Pada tahun 1981, ia kembali ke Indonesia dan menulis buku Psikologi Komunikasi. Ia merancang kurikulum di fakultasnya, memberikan kuliah dalam berbagai disiplin, termasuk Sistem Politik Indonesia. Kuliah-kuliahnya terkenal menarik perhatian para mahasiswa yang diajarnya. Ia pun aktif membina para mahasiswa di berbagai kampus di Bandung. Ia juga memberikan kuliah Etika dan Agama Islam di ITB dan IAIN Bandung, serta mencoba menggabungkan sains dan agama.
Kegiatan ekstrakurikulernya dihabiskan dalam berdakwah dan berkhidmat kepada kaum mustadháfin. Ia membina jamaah di masjid-masjid dan tempat-tempat kumuh gelandangan. Ia terkenal sangat vokal mengkritik kezaliman, baik yang dilakukan oleh elit politik maupun elit agama. Akibatnya ia sering harus berurusan dengan aparat militer, dan akhirnya dipecat sebagai pegawai negeri. Ia meninggalkan kampusnya dan melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke kota Qum, Iran, untuk belajar Irfan dan filsafat Islam dari para Mullah tradisional, lalu ke Australia untuk mengambil studi tentang perubahan politik dan hubungan internasional dari para akademisi moderen di ANU. Dari ANU inilah ia meraih gelar Doktornya.
Sekarang, lénfant terrible ini kembali lagi ke kampusnya, Fakultas ilmu Komunikasi, Unpad. Ia juga mengajar di beberapa perguruan tinggi lainnya dalam Ilmu Komunikasi, Filsafat Ilmu, Metode Penelitian, dan lain-lain. Secara khusus ia pun membina kuliah Mysticism (Irfan/Tasawuf) di Islamic College for Advanced Studies (ICAS) - Paramadina University, yang ia dirikan bersama almarhum Prof.Dr. Nurcholis Madjid, Dr. Haidar Bagir, dan Dr. Muwahidi sejak tahun 2002.
Di tengah kesibukannya mengajar dan berdakwah di berbagai kota di Indonesia, ia tetap menjalankan tugas sebagai Kepala SMU Plus Muthahhari Bandung, sekolah yang yang didirikannya 1 Juli 1992 dan kini menjadi sekolah model (Depdiknas) untuk pembinaan akhlak. Beliau juga mendirikan Sekolah Cerdas Muthahhari (SCM, untuk level sekolah dasar) pada tanggal 11 Februari 2007 dan SMP Bahtera pada tanggal 12 Februari 2010 di Bandung yang "melengkapi" jenjang sekolah SMU yang sudah didirikan sebelumnya. Sebagai ilmuwan ia menjadi anggota berbagai organisasi professional, nasional dan internasional, serta aktif sebagai nara sumber dalam berbagai seminar dan konferensi. Sebagai mubaligh, ia sibuk mengisi berbagai pengajian. Jamaah yang bergabung dengannya menyebut diri mereka sebagai “laron-laron kecil… menuju misykat pelita cahaya ilahi”. Misykat juga menjadi pusat kajian tasawuf dan sekaligus nama jamaáhnya.
Sebagai aktifis, ia membidani dan menjadi Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) sejak awal lahirnya tanggal 1 Juli 2000, yang kini sudah mempunyai hampir 100 Pengurus Daerah (tingkat kota) di seluruh Indonesia dengan jumlah anggota sekitar 2,5 juta orang. Ia juga menjadi pendiri Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta bersama Dr. Haidar Bagir dan Umar Shahab, MA.
Keaktifannya sebagai intelektual mengantarkannya untuk menghasilkan puluhan buku dalam berbagai disiplin keilmuan dan tema. Lebih dari 45 buku sudah dia tulis dan diterbitkan oleh beberapa penerbit terkemuka. Kini ia mencoba mengembangkan jangkauan pencerahan pemikiran umat dan dakwahnya melalui dunia cyber. Pernah memiliki website The Jalal Center for the Enlightenment (www.jalal-center.com) yang menjadi rumah maya bersama dan kampus virtual yang mudah dijangkau dari berbagai penjuru dunia (dihentikan tahun 2010 karena masalah teknis). Juga pernah menyebarkan pesan-pesan dakwahnya yang bergaung melalui layanan SMS yang menyajikan ayat Qurán, hadits dan hikmah lainnya, melalui REG JALAL (kirim ke 9388) (berhenti setelah layanan sms premium bermasalah di Indonesia tahun 2011). Hasil keuntungan dari layanan dakwah SMS ini didedikasikannya untuk membiayai kegiatan dakwah dan pendidikan yang dikelola para ustadz, madrasah dan pesantren di berbagai peloksok Nusantara, yang dibinanya. Dan saat ini, ceramah-ceramah rutin beliau di mesjid al-Munawwarah setiap hari Ahad, bisa didengarkan langsung di website www.almunawwarah.com.
Selain aktif sebagai dosen di berbagai perguruan tinggi, Kang Jalal aktif berdakwah dan berkhidmat kepada kaum mustadháfin. Ia membina jamaah di masjid-masjid dan di tempat-tempat kumuh dan gelandangan. Menyempurnakan perhatiannya di bidang pendidikan, pada tahun 1997, ia mendirikan sekolah gratis SMP Muthahhari dan As-Sajjadiyyah di Cicalengka Bandung yang dikhususkan bagi siswa dari keluarga yang kurang mampu. “Obsesi saya yang lain, melihat SMP Muthahhari berdiri di seluruh pelosok tanah air sehingga anak-anak miskin tidak terputus aksesnya dari pendidikan. Mereka tidak bayar apapun, namun semua fasilitas disediakan dan mutu pendidikan yang diperolehnya tetap bermutu,” ujarnya.
Sebagai kepala keluarga, ia sangat bahagia karena dikaruniai lima orang anak dan empat orang cucu. Sebagai hamba Allah, ia masih juga merasa belum sanggup mengsyukuri anugrah-Nya. Dari pengalaman hidup masa remajanya ketika mengalami pubertas beragama, Kang Jalal akhirnya menemukan bahwa fiqih hanyalah pendapat para ulama dengan merujuk pada sumber yang sama, yaitu Al-Qurán dan Sunnah.
“Artinya kalau orang menentang al-Quran dan Sunnah, jelas ia kafir. Tapi kalau hanya menentang pendapat orang tentang Al-Qurán dan Sunnah, kita tidak boleh menyebutnya kafir. Itu hanya perbedaan tafsiran saja,” jelasnya.
“Karena itulah kemudian saya berfikir bahwa sebenarnya ada hal yang mungkin mempersatukan kita semua, yaitu akhlak. Dalam bidang akhlak, semua orang bisa bersetuju, apapun mazhabnya. Lalu saya punya pendirian: kalau berhadapan dengan perbedaan pada level fiqih saya akan dahulukan akhlak,” tambahnya.
Beberapa waktu yang lalu, ia –bersama sejumlah tokoh populer, antara lain KH Abdurahman Wahid (ketika masih hidup), Prof.Dr. Quraisy Shihab, hingga Dawam Raharjo – memperoleh atribut sesat lewat sebuah buku berjudul Aliran-aliran Sesat. ‘’Saya anggap saja numpang beken. Karena ngak cuma saya yang dicap sesat, tapi juga Gus Dur dan dan Ustadz Quraisy Shihab,’’ kelakarnya. Cap sesat acap dilekatkan padanya mungkin karena karena kedekatannya dengan komunitas agama lain. Ia tidak saja begitu toleran kepada Ahmadiyah yang dianggap sesat oleh MUI, tapi juga dengan umat lain. Cendikiawan yang belakangan dipanggil kiai ini sering juga diminta berbicara di gereja dan forum-forum umat Kristiani.
“Banyak berinteraksi dengan umat agama lain justru membuat keimanan saya menjadi lebih kuat,” akunya. “Tuhan menciptakan berbagai agama itu dimaksudkan untuk menguji kita semua: seberapa banyak kita memberikan konstribusi kebaikan kepada umat manusia. Kepada Tuhanlah semua agama itu kembali, maka kita tidak boleh mengambil alih kewenangan Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan agama dengan cara apapun, termasuk dengan fatwa,” tambahnya.
Refleksi dan perjalanan hidupnya itu mengilhami Kang Jalal untuk membangun jembatan ukhuwah sesama Muslim, apapun mazhabnya. Meski sejak awal berdiri Yayasan dan SMU Muthahhari yang dicurigai sebagai pelopor gerakan Syiah di Indonesia, kurikulumnya justru justru mengajarkan pemikiran seluruh mazhab dan menjadi pelopor pembaharuan metode pendidikan-pengajaran di Indonesia. “Saya tidak mengajak orang masuk Syiah. Di sini kami mengajarkan keterbukaan untuk menghargai perbedaan di antara berbagai mazhab,” jelasnya. Dan puncak dari ikhtiar Kang Jalal dalam menjembatani ukhuwah sesama kaum muslimin adalah ketika menjadi pengusung dan pencetus Majelis Ukhuwwah Sunni Syiah Indonesia (MUHSIN). Bersama pengurus pusat Dewan Masjid Indonesia, H. Daud Poliradja, Kang Jalal mendeklarasikan MUHSIN pada tanggal 20 Mei 2011 di masjid Akbar Kemayoran Jakarta.
Bahkan Pluralisme menjadi isu yang kini kerap digaunkannya. Pluralisme versi Kang Jalal adalah menghormati dan mengapresiasi perbedaan dan tidak memaksakan pemahaman dan penafsiran kita tentang keselamatan dan kebenaran kepada pihak lain. Ia ingin menampilkan wajah Islam yang benar-benar ‘Rahmatan lil Álamin’. Yakni Islam apa adanya yang rasional-progresif (modern) namun tidak meninggalkan pedoman Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Pendekatannya terhadap Islam yang moderat, yang mengharmoniskan aktifitas dan metode pendekatan ‘fikir. dan ‘zikir’ secara proporsional, mendayung di antara dua karang ekstrimitas: Liberalisme dan Fundamentalisme Literal.
Sisi Lain Dari Kang Jalal
Kang Jalal—panggilan popular dari Jalaluddin Rakhmat—adalah nama yang identik dengan perkembangan tasawuf kota (urban sufism). Bahkan, bisa dibilang dialah yang merintis kajian-kajian tasawuf dengan kelompok sasaran masyarakat kelas menengah perkotaan, yaitu kalangan pengusaha, pejabat, politisi, selebriti, dan kalangan profesional dari berbagai bidang yang rata-rata berpendidikan baik (well educated).
Hal ini bisa dilihat ketika pria yang akrab disapa Kang Jalal itu mendirikan dan Pusat Kajian Tasawuf (PKT): Tazkia Sejati, OASE-Bayt Aqila, Islamic College for Advanced Studies (ICAS-Paramadina), Islamic Cultural Center (ICC) di Jakarta, PKT Misykat di Bandung. Di lembaga-lembaga inilah putra Kiai Haji Rakhmat dan ahli komunikasi lulusan Iowa State University, AS, ini secara intensif menyampaikan pengajian atau kuliah-kuliah tasawufnya kepada masyarakat urban yang dahaga akan siraman ruhani Islam.
Bekal pendidikannya yang diperoleh di negara-negara maju—setelah meraih masternya di Amerika Serikat, ia juga memperoleh gelar doktor dari Australian National University—menjadikan Kang Jalal cukup paham idiom-idiom masyarakat kelas menengah perkotaan dan memahami model dakwah Islam seperti apa yang mereka inginkan. Itulah sebabnya dakwahnya mudah diterima oleh audiensnya yang kebanyakan orang-orang terdidik dengan kehidupan ekonomi yang baik itu.
Sejak kecil, Kang Jalal sebenarnya bercita-cita menjadi pilot, bukan juru dakwah. Meskipun demikian, Jalal kecil sudah akrab dengan kehidupan bernuansa agamis dalam keluarga, meski sekolah formalnya sendiri bukan sekolah Islam. Jalal kecil memulai pendidikan formalnya dimulai dari Sekolah Dasar (SD) di kampungnya. Lalu ia meninggalkan kampung halamannya guna melanjutkan sekolah di SMP Muslimin III Bandung. Jalal terbilang murid yang cerdas, buktinya sejak kelas satu SMP sampai tamat, ia selalu menjadi juara kelas. Itulah sebabnya ia hanya dibebani biaya sekolah satu kuartal saja, selebihnya beasiswa. Lulus SMP, Jalal melanjutkan ke SMA II Bandung. Kemudian dengan bekal ijazah SMA ia melanjutkan studinya di Fakultas Publisistik Universitas Padjajaran (UNPAD) yang sekarang berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Komunikasi.
Menurut pengakuannya, kuliah di Fakultas Publisistik itu hanya kebetulan. Karena desakan ekonomi, ia kuliah di Fakultas Publisistik yang belajarnya sore, sehingga pagi hari ia masih bisa mencari tambahan biaya hidup. Maklum sejak kecil ia sudah ditinggal oleh ayahnya. Untuk tetap membekali Jalal dengan pendidikan agama sepeninggal ayahnya, ibunda Kang Jalal menitipkannya kepada kiai Sidik, seorang kiai NU. Dari kiai Sidik inilah Jalal diperkenalkan dengan Ilmu Nahwu (gramatika) dari kitab Jurumiyah dan Sharaf (ilmu yang membahas perubahan kata dalam bahasa Arab). Menurut Kang Jalal, penguasaan literatur dan kemampuan bahasa Arabnya Kiai Sidik sangat fasih. Kiai Sidiklah yang berjasa membimbing Kang Jalal mengenal dan memahami beberapa bab dari kitab Alfiah Ibnu Malik.
Ketika memasuki usia remaja, Jalal membaca kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, karya besar Imam al-Ghazali. Buku itu telah menggoncangkan jiwanya, kemudian mengubah cara pandangnya tentang dunia. “Saya merasa dunia ini terlalu banyak dilumuri dosa,” ujarnya.
Oleh karenanya kehidupan dunia harus ditinggalkan. Setelah mengalami goncangan itu Jalal nekad meninggalkan sekolah dan pergi ke pesantren. Tapi pihak pesantren ternyata merasa keberatan menerima Jalal sebagai santrinya. Bukan karena ia hanya membawa beberapa liter beras, tapi karena ia hanya datang sendiri tanpa diantar oleh orang tua. Setelah peristiwa itu ia pun melanjutkan kembali sekolahnya hingga tamat.
Materi dakwah yang dibawakan Jalal muda dengan pemahaman Islam yang lebih rasional, membumi dan lebih membela orang-orang lemah baik dari sisi ekonomi, pendidikan, politik (kaum mustadl‘afîn) mengundang kontroversi. Bagi kaum muda, da’i model Kang Jalal memang cocok dengan semangat mereka. Sementara bagi kalangan tua dan mereka yang lebih senior dalam jenjang keulamaan, kehadiran Jalal kurang disukai. Sebagai kelanjutan ketidaksukaan itu Jalal dicap sebagai agen Syiah dan dianggap meresahkan masyarakat. Maka pada 1985 ia pun “diadili” oleh Majelis Ulama Kotamadya Bandung dengan “hukuman” dilarang berceramah di kota kota Bandung.
Larangan ceramah yang dikeluarkan oleh MUI kota Bandung tidak menghentikan langkah Kang Jalal untuk tetap berdakwah. Meskipun kali ini dakwahnya lebih banyak pada dakwah dengan tulisan. Karena ketika ada larangan ceramah, Kang Jalal lebih banyak waktu untuk menulis artikel dan buku. Tak lama kemudian, undangan untuk ceramah pun datang dari Yayasan Paramadina milik Dr. Nurcholish Madjid di Jakarta. Jalal diminta untuk menjadi salah satu pengisi materi pada pengajian rutin yang diselenggarakan oleh Yayasan tersebut. Dan sejak itu Jalal malah laris ceramah di luar Bandung, dan ia pun memiliki akses dan reputasi nasional dan internasional. Masih dalam bidang dakwah, pada 3 Oktober 1988 bersama-sama Haidar Baqir, Agus Effendy, Ahmad Tafsir, dan Ahmad Muhajir, Kang Jalal mendirikan Yayasan Muthahari. Salah satu tujuan dari didirikannya yayasan ini adalah menumbuhkan kesadaran Islami melalui gerakan dakwah yang direncanakan secara professional berbekal ilmu pengetahuan moderen dan khazanah keilmuan Islam tradisional.
Sukses di Bandung, Kang Jalal merambah Jakarta. Dengan dukungan dana dan fasilitas dari keluarga H.Sudharmono, mantan wakil presiden semasa Orde Baru, Kang Jalal pernah mendirikan pusat kajian tasawuf dengan nama Yayasan Tazkiya Sejati.
Lalu pada 2004 Kang Jalal juga mendirikan dan memimpin satu forum lagi yang khusus bergerak di bidang kajian tasawuf, yaitu Kajian Kang Jalal (KKJ) yang pernah bermarkas di Gedung Bidakara, dan kini KKJ tiap bulannya dilaksanakan di Universitas Paramadina, Jln. Gatot Subroto, Kav.96-97, Mampang, Jakarta.
Berikutnya, tahun 2003 bersama Cak Nur, Dr. Muwahidi dan Dr Haidar Bagir ia mendirikan ICAS-Paramadina, bersama Haidar Bagir dan Umar Shahab ia mendirikan Islamic Cultural Center (ICC), sejak tahun 2004 ia membina LSM OASE dan Bayt Aqila dan aktif membina Badan Perjuangan Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (BPKBB), sebuah forum dialog. silaturahmi dan kerjasama atak tokoh-tokoh pemimpin agama-agama dan aliran kepercayaan di Indonesia. Terakhir sejak Agustus 2006 Ia membina The Jalal-Center for Enlightenment (JCE) di Jakarta.
Selain aktif berdakwah, Kang Jalal juga mengisi seminar keagamaan di berbagai tempat, mengajar di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ICAS-Paramadina & ICC Jakarta dan UNPAD Bandung. Dan yang tetap ia lakukan di tengah kesibukannya ialah menyisihkan waktu untuk mengisi pengajian rutin (Kuliah Ahad Pagi) di Masjid al-Munawarah, masjid di dekat rumah yang jama’ahnya sudah dibina sejak tahun 1980-an. Juga, tahun 2001-2003 setiap pagi ia sering mengisi pengajian rutin yang disiarkan langsung oleh radio Ramako Group di Jakarta.
Pada Mulanya Ahli Fikih
Sebenarnya, pria kelahiran Bojong Salam Rancaekek, Bandung, pada 29 Agustus 1949 ini pada mulanya adalah seorang ahli fikih. Dakwah yang ia sampaikan pun dengan sendirinya lebih kental nuansa fikihnya. Malahan, ia pernah berbangga diri bahwa dalam setiap debat mengenai fikih ia selalu berhasil “menaklukkan” lawan-lawannya. Kebanggaan yang berlebihan sempat membuatnya lupa diri dan kelewat PeDe (percaya diri) bahkan sombong. Banyak sekali paham keislaman yang sudah mapan di tengah masyarakat Bandung ia libas. Misalnya, ia menentang tahlilan untuk orang meninggal, bolehnya kawin mut’ah, perlunya menambah rukun Islam dengan amar makruf nahi munkar, dan lain-lain.
Keponggahan dan kesombongan intelektual itu kemudian berhenti ketika salah seorang jamaah Kang Jalal yang bernama Darwan meninggal dunia akibat ditabrak kereta api di dekat stasiun Kiaracondong. Menurut penuturan Kang Jalal dalam pengantar bukunya Rindu Rasul, Darwan yang pengetahuan agamanya sangat sederhana, tidak banyak tahu tentang tafsir dan hadis, pada menit-menit terakhir hidupnya, yang ia ingat hanya Nabi Muhammad, dan bulan itu adalah bulan Maulid. Ia pun berpesan pada istrinya agar bikin selamat buat kanjeng Nabi. Ia tidak ingat anak, ubi-ubi yang ia tanam, dan semua harta yang ia miliki. Peristiwa itulah di antaranya yang meruntuhkan keponggahan dan kesombongan intelektual Kang Jalal yang memahami agama.
Tahun 1983-1985 Kang Jalal aktif memberikan kajian rutin atas buku-buku karya para tokoh Ikhwanul Muslimin Mesir seperti Hasan al-Bana, Said Hawa, Syayid Qutb kepada para mahasiswa di Mesjid Salman ITB, Bandung, sebelum ia akhirnya mulai melirik kitab-kitab dan pemikiran para tokoh Syiah.
Tertarik dengan Tasawuf
Jalal sendiri mengenal dunia tasawuf dan tertarik dengan tasawuf, ketika bersama-sama Haidar Bagir dan Endang Saefuddin Anshory diundang pada sebuah konferensi di Kolombia pada 1984. Dari konferensi itu ia bertemu dengan ulama-ulama asal Iran yang memiliki pemahaman mendalam tentang tasawuf dan ia merasa kagum pada mereka. Ia pun mendapat hadiah banyak buku dari ulama Iran tersebut, yang di dalamnya banyak membahas masalah ‘irfân (tasawuf).
Pascapulang dari konferensi tersebut, Kang Jalal banyak tertarik dengan dunia tasawuf termasuk pemikiran ulama-ulama Syiah Iran seperti Imam Khomeini, Murtadha Muthahari, dan lain-lain. Para ulama tersebut disamping memiliki kualitas keilmuan yang tinggi, mereka juga memiliki integritas moral yang luar biasa. Maka, menurut Kang Jalal, sosok seperti Murtadha Muthahari bisa dijadikan sebuah model keterbukaan. Tak heran jika sejak saat itu tulisan-tulisan Kang Jalal banyak mengutip pendapat dari tokoh-tokoh tersebut. Tentang Imam Khomeini, ia melihatnya sebagai sosok pejuang yang tangguh dan sekaligus seorang sufi besar yang aktivitas politiknya bisa mengguncang dunia, termasuk merepotkan negara penindas sebesar Amerika sekalipun.
Sejak itulah Kang Jalal memilih tasawuf, dan bukan fikih, sebagai materi dakwahnya. Alasan dan pertimbangan kenapa ia memilih pendekatan tasawuf di antaranya adalah pertama, perhatian umat terhadap fikih sudah terlalu lama dan terlalu dalam. Banyak organisasi keagamaan didirikan atas dasar fikih. Sebagai contoh beberapa organisasi keagamaan di Indonesia seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (PERSIS), Al-Irsyad, dan lain-lain banyak dilatarbelakangi oleh perbedaan pemahaman fikih para pendirinya. Maka sampai sekarang ini beberapa organisasi keagamaan ini memiliki fikih sendiri-sendiri yang dijadikan pegangan bagi para pengikutnya.
Kedua, fikih tidak memberi kehangatan dalam beragama. Karena kesalehan seseorang hanya diukur oleh sejauhmana dia mengikuti dan mentaati fikih yang sesungguhnya masih ijtihadi. Karena fikih itu sendiri artinya pemahaman terhadap nash-nash al-Qu’an maupun al-sunnah yang dilakukan oleh para ulama.
Menurut Kang Jalal, orang beragama yang terlalu berpegang pada pendapat fikih akan terasa kaku, sempit dan terkesan formalistik. Maka keberagamaan yang ia miliki kurang memberikan kesejukan, keteduhan, dan kehangatan. Hal ini akan sangat berbeda dengan mereka yang beragama dengan bertasawuf, ia akan merasakan kehangatan, kelonggaran dalam beragama. Karena dalam tasawuf, para sufi dalam melihat berbagai persoalan tidak hitam putih, benar salah, halal haram, surga neraka. Bahkan terhadap orang yang banyak berbuat maksiat pun para sufi masih mau menerima, asalkan mereka mau bertaubat dan kembali ke jalan Allah. Hal ini mungkin berbeda dari para ulama fikih yang melihat berbagai persoalan hanya dari sisi luarnya saja tanpa bisa melihat apa makna atau hakekat di balik dari semua peristiwa yang terjadi.
Ketiga, fikih sering menjadi sebab pertentangan di antara umat Islam yang berakibat pada rapuhnya sendi ukhûwah Islamîyah. Beberapa perbedaan pendapat tentang jumlah rakaat salat tarawih apakah 8 rakaat, 20 ataukah 33 rakaat, salat rawatib (sebelum atau sesudah salat wajib), membaca basmalah sirri (pelan) atau jahr (keras), dan perbedaan-perbedaan yang lain pada waktu dulu dan mungkin sampai kini, masih sering menimbulkan ketegangan di antara sesama Muslim.
Sebagai contoh banyak kaum Muslim yang tidak mau bergabung salat berjamaah dengan dengan Muslim yang lain oleh karena beda fikih, sehingga ia membuat jamaah dan masjid sendiri. Bahkan penulis menemukan ada seorang adik menganggap kakaknya yang Muslim dianggap belum beriman lantaran berbeda fikih. Akibat lanjutan dari perbedaan fikih ini berimbas pada perbedaan pilihan politik. Sebagai contoh orang NU akan cenderung memilih PKB atau PPP, dan orang Muhammadiyah akan cenderung memilih PAN, demikian juga yang lain. Sehingga dalam dunia politik kita mengenal istilah politik aliran; aliran ideologi, aliran keagamaan, atau tepatnya adalah aliran fikih.
Keempat, kecenderungan masyarakat era 80-an, banyak orang berbondong-bondong mendalami Islam. Pada umumnya mereka tidak mau mendalami persoalan fikih, tetapi mereka mencari dari Islam sesuatu yang bisa mendatangkan ketenangan batin, yakni tasawuf. Atau dengan kata lain kecenderungan “pasar” menghendaki tasawuf. Gejala ini terjadi khususnya bagi masyarakat perkotaan dengan segmen kelas sosial menengah ke atas. Gejalanya bisa dilihat dari semakin ramainya majelis taklim yang menyelenggarakan kajian tasawuf. Di media massa baik cetak maupun elektronik seperti TV disuguhkan mimbar tasawuf dengan mendatangkan para pakar tasawuf dan dipandu oleh presenter berkelas. Dan acara ini disambut hangat oleh masyarakat. Di media-media cetak yang sekuler pun hampir setiap hari Jumat disediakan ruang bagi para penulis tasawuf yang berkualitas untuk membeberkan seluk beluk tasawuf, baik dari sisi teoritis maupun praksisnya. Ciri yang lain adalah semakin larisnya buku-buku yang bertema agama, termasuk buku-buku tasawuf. Semua itu menunjukkan adanya gejala meningkatnya spiritualitas masyarakat perkotaan yang semakin haus dengan siraman keruhanian.
Kelima, Kang Jalal telah banyak membaca buku-buku fikih, baik yang klasik maupun kitab-kitab fikih kontemporer. Isinya hampir sama, dan kebanyakan hanya pengulangan dari kitab-kitab sebelumnya. Berbeda dengan buku-buku tasawuf yang kaya akan nuansa, yang tidak akan habis untuk dibaca dan dipelajari.
Alasan keenam , berhubungan dengan aspek psikologis, yakni merasa capek dan merasa jenuh, jika terus menerus berdebat dan “bertengkar” untuk soal-soal fikih yang tidak ada habisnya. Seperti pada penjelasan di atas, ketika Kang Jalal dakwah dengan materi fikih ia selalu berbenturan dengan kelompok Islam yang berbeda faham. Di kampung sendiri ia berselisih faham dengan saudaranya-saudaranya yang berfaham NU, yang akhirnya keduanya bersepakat untuk membangun masjid masing-masing.
Maka, sejak dekade ‘90-an sampai sekarang Kang Jalal lebih tertarik pada materi-materi dakwah yang bernuansa sufistik (aspek batiniah) daripada materi lainnya seperti fikih. Kalaupun ia menjelaskan hal-hal yang bersifat fikih sesungguhnya itu bukan keinginan dia, tetapi karena jamaah yang menanyakan hal itu. Hal ini bisa disimak pada acara tanya jawab pada pengajian rutin yang pernah diasuh Kang Jalal yang disiarkan oleh radio Ramako FM Jakarta setiap pagi.
“Sebenarnya saya malas berbicara masalah fikih, oleh karena jamaah yang selalu menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan masalah fikih, maka terpaksalah saya berbicara masalah fikih,” ungkapnya.
Meskipun Kang Jalal harus berbicara dengan materi fikih, yang mengharuskan dia merujuk pada pendapat para imam mazhab, tetapi ia selalu berusaha melengkapinya dengan pendapat dan pandangan para ulama yang menekankan pentingnya mendahulukan akhlak daripada fikih semata. Ia pun memberikan beberapa alternatif jawaban agar jamaah tidak sempit pandangan. Di sini terlihat bahwa ia lebih menekankan aspek akhlak (tasawuf) dengan tidak meninggalkan aspek fikihnya.
Terjun ke Dunia Politik
Kang Jalal dikenal sebagai pakar komunikasi. Buku Psikologi Komunikasi yang ditulis tahun 1985 sepulang dari Iowa University, menjadi karya masterpiece-nya yang menjadi textbook pendidikan komunikasi dan psikologi di Indonesia. Itulah sebabnya beliau rujukan utama di bidang komunikasi, termasuk salah satunya bidang komunikasi politik.
Selain menjadi salah satu narasumber utama di bidang ilmu-ilmu keIslaman, praktisi di dunia pendidikan dengan mendirikan beberapa sekolah ternama, beliau juga sering menulis dan diundang menjadi narasumber dalam diskusi komunikasi politik. Mungkin karena itulah beliau dipinang oleh salah satu partai politik. Di tahun 2014, Kang Jalal menjadi salah satu calon anggota legislatif melalui Partai Demorasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Beliau terdaftar di daerah pemilihan II Jawa Barat yang meliputi Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat. Sebagaimana yang sering disampaikannya, Kang Jalal sebenarnya tidak pernah berpikir untuk terjun ke dunia politik praktis. Tetapi belakangan, beliau memilih strategi yang baru. Beliau kemudian berminat melanjutkan perjuangannya di Senayan karena menyaksikan nasib kelompok minoritas kian mengenaskan, pada saat yang sama hukum menjadi tumpul karena selalu ada kepentingan-kepentingan politik di baliknya.
Tapi perjalanan awal beliau di dunia politik praktis menemui tantangan yang tidak ringan. Begitu pencalonan beliau diberitakan di berbagai media, perlawanan dari kelompok takfiri juga semakin solid. Tak urung partai pengusungnya juga difitnah sebagai partai Syiah. Deklarasi anti Syiah dilakukan dimana-mana dan fitnah kepada Kang Jalal muncul di berbagai media. Fitnah diciptakan dan direfabrikasi di media-media sosial dan online untuk menjegalnya. Namun bagi Kang Jalal, gerakan masif kelompok takfiri justru menjadi kampanye yang membantunya lebih dikenal di masyarakat Indonesia, di Jawa Barat khususnya.
Tanggal 9 April 2014 adalah hari yang menentukan. Hari itu pemilu legislatif di Indonesia dilaksanakan serentak di semua daerah. Kang Jalal yang ikut mencalonkan diri melalui Partai PDIP ini dipastikan lolos ke Senayan setelah rekapitulasi suara di tingkat KPU provinsi Jawa Barat selesai tanggal 9 Mei 2014. Dari PDIP se Jawa Barat, Kang Jalal menempati urutan kedua dengan perolehan 39.082 suara. Meskipun Kang Jalal adalah "pemain baru", beliau ternyata langsung mendapatkan kepercayaan dari masyarakat Jawa Barat untuk menjadi wakilnya di DPR Pusat. Itulah titik balik perjalanan Kang Jalal di dunia politik praktis. Ketika ditanya mengapa beliau bisa lolos ke Senayan, Kang Jalal menjelaskan bahwa beliau beruntung karena memiliki dua sayap. Pertama adalah sayap relawan. Mereka dari struktur partai dan bergerak dengan dukungan dana. Semua calon legislator tahu dan semua partai memiliki sayap seperti ini. Kedua, sayap emas. Menurut Kang Jalal, saya kedua ini adalah relawan dari jamaah beliau yang bergerak dengan cara swadaya sehingga biaya kampanye beliau termurah dari seluruh calon legislator.
[Disusun oleh F. Ahmad Gaus dan Ahmad Y. Samantho dengan sedikit perubahan dan tambahan dari Mustamin al-Mandary, 2014. Bagian tulisan tentang buku-buku Ustadz Jalal sengaja ditiadakan, karena dimuat di bagian khusus tentang buku-buku Ustadz Jalal].
Update terakhir: 26 Agustus 2014
Ibunya adalah seorang aktifis Islam di desanya. Ayahnya adalah seorang kiai dan sekaligus lurah desa. Karena kemelut politik Islam pada waktu itu, ayahnya terpaksa meninggalkan Jalal kecil yang masih berusia dua tahun. Ia berpisah dengan ayahnya puluhan tahun sehingga ia hampir tidak mempunyai ikatan emosional dengannya. Menurut teori ateisme, mestinya Jalal menjadi ateis ; tetapi ibunya mengirimkan Jalal ke Madrasah sore hari, membimbingnya membaca kitab kuning malam hari, setelah mengantarkannya ke sekolah dasar pagi hari. Jalal mendapatkan pendidikan agama hanya sampai akhir sekolah dasar.
Dalam suatu wawancara, ia menuturkan: “Saya dilahirkan dalam keluarga Nahdiyyin (orang-orang NU). Kakek saya punya pesantren di puncak bukit Cicalengka. Ayah saya pernah ikut serta dalam perjuangan gerakan keagamaan untuk menegakkan syariat Islam. Begitu bersemangatnya, beliau sampai meninggalkan saya pada waktu kecil untuk bergabung bersama para pecinta syariat. Saya lalu berangkat ke kota Bandung untuk belajar di SMP.”
Karena merasa rendah diri Jalal menghabiskan masa remajanya di perpustakaan negeri, peningggalan Belanda. Ia tenggelam dalam buku-buku filsafat, yang memaksanya belajar bahasa Belanda. Di situ ia berkenalan dengan para filosof, dan terutama sekali sangat terpengaruh oleh Spinoza dan Nietzsche. Ayahnya juga meninggalkan lemari buku yang dipenuhi oleh kitab-kitab berbahasa Arab. Dari buku-buku (kitab) peninggalan ayahnya itu, ia bertemu dengan Ihya Ulum al-Din-nya al Ghazali. Ia begitu terguncang karenanya sehingga seperti (dan mungkin memang) gila. Ia meninggalkan SMA-nya dan berkelana menjelajah ke beberapa pesantren di Jawa Barat. Pada masa SMA itu pula ia bergabung dengan kelompok Persatuan Islam (Persis) dan aktif masuk dalam kelompok diskusi yang menyebut dirinya Rijalul Ghad atau pemimpin masa depan.
Ini pun tidak berlangsung lama. Ia kembali ke SMA-nya. Karena keinginannya untuk mandiri, ia mencari perguruan tinggi yang sekaligus memberikan kesempatan bekerja kepadanya. Ia masuk kuliah Fakultas Publisistik, sekarang Fakultas Ilmu Komunikasi, Unpad Bandung. Pada saat yang sama, ia memasuki pendidikan guru SLP Jurusan Bahasa Inggris. Ia terpaksa meninggalkan kuliahnya, ketika ia menikah dengan santrinya di masjid, Euis Kartini. Setelah berjuang menegakkan keluarganya, ia kembali lagi ke almamaternya.
“Saat yang sama, saya juga bergabung dengan Muhammadiyah, dan dididik di Darul Arqam Muhammadiyah dan pusat pengkaderan Muhammadiyah. Dari latar belakang itu saya sempat kembali ke kampung untuk memberantas bidáh, khurafat dan takhayul. Tapi yang saya berantas adalah perbedaan fiqih antara Muhammadiyah dan fiqih NU orang kampung saya. Misi hidup saya waktu itu saya rumuskan singkat: menegakkan misi Muhammadiyah dengan memuhammadiyahkan orang lain. Saya membuang beduk dari mesjid di kampung saya, karena itu dianggap bidáh. Tapi apa yang kemudian terjadi? Saya bertengkar dengan Uwa’ (Paman) saya yang membina pesantren dan dengan penduduk kampung. Sebab ketika semua orang berdiri untuk untuk shalat qabliyah Jumát, saya duduk secara demonstratif. Saya hampir-hampir dipukuli karena membawa fiqih yang baru itu.’’
Dalam posisinya sebagai dosen, ia memperoleh beasiswa Fulbright dan masuk Iowa State University. Ia mengambil kuliah Komunikasi dan Psikologi. Tetapi ia lebih banyak memperoleh pengetahuan dari perpustakaan universitasnya. Berkat kecerdasannya Ia lulus dengan predikat magna cum laude. Karena memperoleh 4.0 grade point average , ia terpilih menjadi anggota Phi Kappa Phi dan Sigma Delta Chi.
Pada tahun 1981, ia kembali ke Indonesia dan menulis buku Psikologi Komunikasi. Ia merancang kurikulum di fakultasnya, memberikan kuliah dalam berbagai disiplin, termasuk Sistem Politik Indonesia. Kuliah-kuliahnya terkenal menarik perhatian para mahasiswa yang diajarnya. Ia pun aktif membina para mahasiswa di berbagai kampus di Bandung. Ia juga memberikan kuliah Etika dan Agama Islam di ITB dan IAIN Bandung, serta mencoba menggabungkan sains dan agama.
Kegiatan ekstrakurikulernya dihabiskan dalam berdakwah dan berkhidmat kepada kaum mustadháfin. Ia membina jamaah di masjid-masjid dan tempat-tempat kumuh gelandangan. Ia terkenal sangat vokal mengkritik kezaliman, baik yang dilakukan oleh elit politik maupun elit agama. Akibatnya ia sering harus berurusan dengan aparat militer, dan akhirnya dipecat sebagai pegawai negeri. Ia meninggalkan kampusnya dan melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke kota Qum, Iran, untuk belajar Irfan dan filsafat Islam dari para Mullah tradisional, lalu ke Australia untuk mengambil studi tentang perubahan politik dan hubungan internasional dari para akademisi moderen di ANU. Dari ANU inilah ia meraih gelar Doktornya.
Sekarang, lénfant terrible ini kembali lagi ke kampusnya, Fakultas ilmu Komunikasi, Unpad. Ia juga mengajar di beberapa perguruan tinggi lainnya dalam Ilmu Komunikasi, Filsafat Ilmu, Metode Penelitian, dan lain-lain. Secara khusus ia pun membina kuliah Mysticism (Irfan/Tasawuf) di Islamic College for Advanced Studies (ICAS) - Paramadina University, yang ia dirikan bersama almarhum Prof.Dr. Nurcholis Madjid, Dr. Haidar Bagir, dan Dr. Muwahidi sejak tahun 2002.
Di tengah kesibukannya mengajar dan berdakwah di berbagai kota di Indonesia, ia tetap menjalankan tugas sebagai Kepala SMU Plus Muthahhari Bandung, sekolah yang yang didirikannya 1 Juli 1992 dan kini menjadi sekolah model (Depdiknas) untuk pembinaan akhlak. Beliau juga mendirikan Sekolah Cerdas Muthahhari (SCM, untuk level sekolah dasar) pada tanggal 11 Februari 2007 dan SMP Bahtera pada tanggal 12 Februari 2010 di Bandung yang "melengkapi" jenjang sekolah SMU yang sudah didirikan sebelumnya. Sebagai ilmuwan ia menjadi anggota berbagai organisasi professional, nasional dan internasional, serta aktif sebagai nara sumber dalam berbagai seminar dan konferensi. Sebagai mubaligh, ia sibuk mengisi berbagai pengajian. Jamaah yang bergabung dengannya menyebut diri mereka sebagai “laron-laron kecil… menuju misykat pelita cahaya ilahi”. Misykat juga menjadi pusat kajian tasawuf dan sekaligus nama jamaáhnya.
Sebagai aktifis, ia membidani dan menjadi Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) sejak awal lahirnya tanggal 1 Juli 2000, yang kini sudah mempunyai hampir 100 Pengurus Daerah (tingkat kota) di seluruh Indonesia dengan jumlah anggota sekitar 2,5 juta orang. Ia juga menjadi pendiri Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta bersama Dr. Haidar Bagir dan Umar Shahab, MA.
Keaktifannya sebagai intelektual mengantarkannya untuk menghasilkan puluhan buku dalam berbagai disiplin keilmuan dan tema. Lebih dari 45 buku sudah dia tulis dan diterbitkan oleh beberapa penerbit terkemuka. Kini ia mencoba mengembangkan jangkauan pencerahan pemikiran umat dan dakwahnya melalui dunia cyber. Pernah memiliki website The Jalal Center for the Enlightenment (www.jalal-center.com) yang menjadi rumah maya bersama dan kampus virtual yang mudah dijangkau dari berbagai penjuru dunia (dihentikan tahun 2010 karena masalah teknis). Juga pernah menyebarkan pesan-pesan dakwahnya yang bergaung melalui layanan SMS yang menyajikan ayat Qurán, hadits dan hikmah lainnya, melalui REG JALAL (kirim ke 9388) (berhenti setelah layanan sms premium bermasalah di Indonesia tahun 2011). Hasil keuntungan dari layanan dakwah SMS ini didedikasikannya untuk membiayai kegiatan dakwah dan pendidikan yang dikelola para ustadz, madrasah dan pesantren di berbagai peloksok Nusantara, yang dibinanya. Dan saat ini, ceramah-ceramah rutin beliau di mesjid al-Munawwarah setiap hari Ahad, bisa didengarkan langsung di website www.almunawwarah.com.
Selain aktif sebagai dosen di berbagai perguruan tinggi, Kang Jalal aktif berdakwah dan berkhidmat kepada kaum mustadháfin. Ia membina jamaah di masjid-masjid dan di tempat-tempat kumuh dan gelandangan. Menyempurnakan perhatiannya di bidang pendidikan, pada tahun 1997, ia mendirikan sekolah gratis SMP Muthahhari dan As-Sajjadiyyah di Cicalengka Bandung yang dikhususkan bagi siswa dari keluarga yang kurang mampu. “Obsesi saya yang lain, melihat SMP Muthahhari berdiri di seluruh pelosok tanah air sehingga anak-anak miskin tidak terputus aksesnya dari pendidikan. Mereka tidak bayar apapun, namun semua fasilitas disediakan dan mutu pendidikan yang diperolehnya tetap bermutu,” ujarnya.
Sebagai kepala keluarga, ia sangat bahagia karena dikaruniai lima orang anak dan empat orang cucu. Sebagai hamba Allah, ia masih juga merasa belum sanggup mengsyukuri anugrah-Nya. Dari pengalaman hidup masa remajanya ketika mengalami pubertas beragama, Kang Jalal akhirnya menemukan bahwa fiqih hanyalah pendapat para ulama dengan merujuk pada sumber yang sama, yaitu Al-Qurán dan Sunnah.
“Artinya kalau orang menentang al-Quran dan Sunnah, jelas ia kafir. Tapi kalau hanya menentang pendapat orang tentang Al-Qurán dan Sunnah, kita tidak boleh menyebutnya kafir. Itu hanya perbedaan tafsiran saja,” jelasnya.
“Karena itulah kemudian saya berfikir bahwa sebenarnya ada hal yang mungkin mempersatukan kita semua, yaitu akhlak. Dalam bidang akhlak, semua orang bisa bersetuju, apapun mazhabnya. Lalu saya punya pendirian: kalau berhadapan dengan perbedaan pada level fiqih saya akan dahulukan akhlak,” tambahnya.
Beberapa waktu yang lalu, ia –bersama sejumlah tokoh populer, antara lain KH Abdurahman Wahid (ketika masih hidup), Prof.Dr. Quraisy Shihab, hingga Dawam Raharjo – memperoleh atribut sesat lewat sebuah buku berjudul Aliran-aliran Sesat. ‘’Saya anggap saja numpang beken. Karena ngak cuma saya yang dicap sesat, tapi juga Gus Dur dan dan Ustadz Quraisy Shihab,’’ kelakarnya. Cap sesat acap dilekatkan padanya mungkin karena karena kedekatannya dengan komunitas agama lain. Ia tidak saja begitu toleran kepada Ahmadiyah yang dianggap sesat oleh MUI, tapi juga dengan umat lain. Cendikiawan yang belakangan dipanggil kiai ini sering juga diminta berbicara di gereja dan forum-forum umat Kristiani.
“Banyak berinteraksi dengan umat agama lain justru membuat keimanan saya menjadi lebih kuat,” akunya. “Tuhan menciptakan berbagai agama itu dimaksudkan untuk menguji kita semua: seberapa banyak kita memberikan konstribusi kebaikan kepada umat manusia. Kepada Tuhanlah semua agama itu kembali, maka kita tidak boleh mengambil alih kewenangan Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan agama dengan cara apapun, termasuk dengan fatwa,” tambahnya.
Refleksi dan perjalanan hidupnya itu mengilhami Kang Jalal untuk membangun jembatan ukhuwah sesama Muslim, apapun mazhabnya. Meski sejak awal berdiri Yayasan dan SMU Muthahhari yang dicurigai sebagai pelopor gerakan Syiah di Indonesia, kurikulumnya justru justru mengajarkan pemikiran seluruh mazhab dan menjadi pelopor pembaharuan metode pendidikan-pengajaran di Indonesia. “Saya tidak mengajak orang masuk Syiah. Di sini kami mengajarkan keterbukaan untuk menghargai perbedaan di antara berbagai mazhab,” jelasnya. Dan puncak dari ikhtiar Kang Jalal dalam menjembatani ukhuwah sesama kaum muslimin adalah ketika menjadi pengusung dan pencetus Majelis Ukhuwwah Sunni Syiah Indonesia (MUHSIN). Bersama pengurus pusat Dewan Masjid Indonesia, H. Daud Poliradja, Kang Jalal mendeklarasikan MUHSIN pada tanggal 20 Mei 2011 di masjid Akbar Kemayoran Jakarta.
Bahkan Pluralisme menjadi isu yang kini kerap digaunkannya. Pluralisme versi Kang Jalal adalah menghormati dan mengapresiasi perbedaan dan tidak memaksakan pemahaman dan penafsiran kita tentang keselamatan dan kebenaran kepada pihak lain. Ia ingin menampilkan wajah Islam yang benar-benar ‘Rahmatan lil Álamin’. Yakni Islam apa adanya yang rasional-progresif (modern) namun tidak meninggalkan pedoman Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Pendekatannya terhadap Islam yang moderat, yang mengharmoniskan aktifitas dan metode pendekatan ‘fikir. dan ‘zikir’ secara proporsional, mendayung di antara dua karang ekstrimitas: Liberalisme dan Fundamentalisme Literal.
Sisi Lain Dari Kang Jalal
Kang Jalal—panggilan popular dari Jalaluddin Rakhmat—adalah nama yang identik dengan perkembangan tasawuf kota (urban sufism). Bahkan, bisa dibilang dialah yang merintis kajian-kajian tasawuf dengan kelompok sasaran masyarakat kelas menengah perkotaan, yaitu kalangan pengusaha, pejabat, politisi, selebriti, dan kalangan profesional dari berbagai bidang yang rata-rata berpendidikan baik (well educated).
Hal ini bisa dilihat ketika pria yang akrab disapa Kang Jalal itu mendirikan dan Pusat Kajian Tasawuf (PKT): Tazkia Sejati, OASE-Bayt Aqila, Islamic College for Advanced Studies (ICAS-Paramadina), Islamic Cultural Center (ICC) di Jakarta, PKT Misykat di Bandung. Di lembaga-lembaga inilah putra Kiai Haji Rakhmat dan ahli komunikasi lulusan Iowa State University, AS, ini secara intensif menyampaikan pengajian atau kuliah-kuliah tasawufnya kepada masyarakat urban yang dahaga akan siraman ruhani Islam.
Bekal pendidikannya yang diperoleh di negara-negara maju—setelah meraih masternya di Amerika Serikat, ia juga memperoleh gelar doktor dari Australian National University—menjadikan Kang Jalal cukup paham idiom-idiom masyarakat kelas menengah perkotaan dan memahami model dakwah Islam seperti apa yang mereka inginkan. Itulah sebabnya dakwahnya mudah diterima oleh audiensnya yang kebanyakan orang-orang terdidik dengan kehidupan ekonomi yang baik itu.
Sejak kecil, Kang Jalal sebenarnya bercita-cita menjadi pilot, bukan juru dakwah. Meskipun demikian, Jalal kecil sudah akrab dengan kehidupan bernuansa agamis dalam keluarga, meski sekolah formalnya sendiri bukan sekolah Islam. Jalal kecil memulai pendidikan formalnya dimulai dari Sekolah Dasar (SD) di kampungnya. Lalu ia meninggalkan kampung halamannya guna melanjutkan sekolah di SMP Muslimin III Bandung. Jalal terbilang murid yang cerdas, buktinya sejak kelas satu SMP sampai tamat, ia selalu menjadi juara kelas. Itulah sebabnya ia hanya dibebani biaya sekolah satu kuartal saja, selebihnya beasiswa. Lulus SMP, Jalal melanjutkan ke SMA II Bandung. Kemudian dengan bekal ijazah SMA ia melanjutkan studinya di Fakultas Publisistik Universitas Padjajaran (UNPAD) yang sekarang berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Komunikasi.
Menurut pengakuannya, kuliah di Fakultas Publisistik itu hanya kebetulan. Karena desakan ekonomi, ia kuliah di Fakultas Publisistik yang belajarnya sore, sehingga pagi hari ia masih bisa mencari tambahan biaya hidup. Maklum sejak kecil ia sudah ditinggal oleh ayahnya. Untuk tetap membekali Jalal dengan pendidikan agama sepeninggal ayahnya, ibunda Kang Jalal menitipkannya kepada kiai Sidik, seorang kiai NU. Dari kiai Sidik inilah Jalal diperkenalkan dengan Ilmu Nahwu (gramatika) dari kitab Jurumiyah dan Sharaf (ilmu yang membahas perubahan kata dalam bahasa Arab). Menurut Kang Jalal, penguasaan literatur dan kemampuan bahasa Arabnya Kiai Sidik sangat fasih. Kiai Sidiklah yang berjasa membimbing Kang Jalal mengenal dan memahami beberapa bab dari kitab Alfiah Ibnu Malik.
Ketika memasuki usia remaja, Jalal membaca kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, karya besar Imam al-Ghazali. Buku itu telah menggoncangkan jiwanya, kemudian mengubah cara pandangnya tentang dunia. “Saya merasa dunia ini terlalu banyak dilumuri dosa,” ujarnya.
Oleh karenanya kehidupan dunia harus ditinggalkan. Setelah mengalami goncangan itu Jalal nekad meninggalkan sekolah dan pergi ke pesantren. Tapi pihak pesantren ternyata merasa keberatan menerima Jalal sebagai santrinya. Bukan karena ia hanya membawa beberapa liter beras, tapi karena ia hanya datang sendiri tanpa diantar oleh orang tua. Setelah peristiwa itu ia pun melanjutkan kembali sekolahnya hingga tamat.
Materi dakwah yang dibawakan Jalal muda dengan pemahaman Islam yang lebih rasional, membumi dan lebih membela orang-orang lemah baik dari sisi ekonomi, pendidikan, politik (kaum mustadl‘afîn) mengundang kontroversi. Bagi kaum muda, da’i model Kang Jalal memang cocok dengan semangat mereka. Sementara bagi kalangan tua dan mereka yang lebih senior dalam jenjang keulamaan, kehadiran Jalal kurang disukai. Sebagai kelanjutan ketidaksukaan itu Jalal dicap sebagai agen Syiah dan dianggap meresahkan masyarakat. Maka pada 1985 ia pun “diadili” oleh Majelis Ulama Kotamadya Bandung dengan “hukuman” dilarang berceramah di kota kota Bandung.
Larangan ceramah yang dikeluarkan oleh MUI kota Bandung tidak menghentikan langkah Kang Jalal untuk tetap berdakwah. Meskipun kali ini dakwahnya lebih banyak pada dakwah dengan tulisan. Karena ketika ada larangan ceramah, Kang Jalal lebih banyak waktu untuk menulis artikel dan buku. Tak lama kemudian, undangan untuk ceramah pun datang dari Yayasan Paramadina milik Dr. Nurcholish Madjid di Jakarta. Jalal diminta untuk menjadi salah satu pengisi materi pada pengajian rutin yang diselenggarakan oleh Yayasan tersebut. Dan sejak itu Jalal malah laris ceramah di luar Bandung, dan ia pun memiliki akses dan reputasi nasional dan internasional. Masih dalam bidang dakwah, pada 3 Oktober 1988 bersama-sama Haidar Baqir, Agus Effendy, Ahmad Tafsir, dan Ahmad Muhajir, Kang Jalal mendirikan Yayasan Muthahari. Salah satu tujuan dari didirikannya yayasan ini adalah menumbuhkan kesadaran Islami melalui gerakan dakwah yang direncanakan secara professional berbekal ilmu pengetahuan moderen dan khazanah keilmuan Islam tradisional.
Sukses di Bandung, Kang Jalal merambah Jakarta. Dengan dukungan dana dan fasilitas dari keluarga H.Sudharmono, mantan wakil presiden semasa Orde Baru, Kang Jalal pernah mendirikan pusat kajian tasawuf dengan nama Yayasan Tazkiya Sejati.
Lalu pada 2004 Kang Jalal juga mendirikan dan memimpin satu forum lagi yang khusus bergerak di bidang kajian tasawuf, yaitu Kajian Kang Jalal (KKJ) yang pernah bermarkas di Gedung Bidakara, dan kini KKJ tiap bulannya dilaksanakan di Universitas Paramadina, Jln. Gatot Subroto, Kav.96-97, Mampang, Jakarta.
Berikutnya, tahun 2003 bersama Cak Nur, Dr. Muwahidi dan Dr Haidar Bagir ia mendirikan ICAS-Paramadina, bersama Haidar Bagir dan Umar Shahab ia mendirikan Islamic Cultural Center (ICC), sejak tahun 2004 ia membina LSM OASE dan Bayt Aqila dan aktif membina Badan Perjuangan Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (BPKBB), sebuah forum dialog. silaturahmi dan kerjasama atak tokoh-tokoh pemimpin agama-agama dan aliran kepercayaan di Indonesia. Terakhir sejak Agustus 2006 Ia membina The Jalal-Center for Enlightenment (JCE) di Jakarta.
Selain aktif berdakwah, Kang Jalal juga mengisi seminar keagamaan di berbagai tempat, mengajar di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ICAS-Paramadina & ICC Jakarta dan UNPAD Bandung. Dan yang tetap ia lakukan di tengah kesibukannya ialah menyisihkan waktu untuk mengisi pengajian rutin (Kuliah Ahad Pagi) di Masjid al-Munawarah, masjid di dekat rumah yang jama’ahnya sudah dibina sejak tahun 1980-an. Juga, tahun 2001-2003 setiap pagi ia sering mengisi pengajian rutin yang disiarkan langsung oleh radio Ramako Group di Jakarta.
Pada Mulanya Ahli Fikih
Sebenarnya, pria kelahiran Bojong Salam Rancaekek, Bandung, pada 29 Agustus 1949 ini pada mulanya adalah seorang ahli fikih. Dakwah yang ia sampaikan pun dengan sendirinya lebih kental nuansa fikihnya. Malahan, ia pernah berbangga diri bahwa dalam setiap debat mengenai fikih ia selalu berhasil “menaklukkan” lawan-lawannya. Kebanggaan yang berlebihan sempat membuatnya lupa diri dan kelewat PeDe (percaya diri) bahkan sombong. Banyak sekali paham keislaman yang sudah mapan di tengah masyarakat Bandung ia libas. Misalnya, ia menentang tahlilan untuk orang meninggal, bolehnya kawin mut’ah, perlunya menambah rukun Islam dengan amar makruf nahi munkar, dan lain-lain.
Keponggahan dan kesombongan intelektual itu kemudian berhenti ketika salah seorang jamaah Kang Jalal yang bernama Darwan meninggal dunia akibat ditabrak kereta api di dekat stasiun Kiaracondong. Menurut penuturan Kang Jalal dalam pengantar bukunya Rindu Rasul, Darwan yang pengetahuan agamanya sangat sederhana, tidak banyak tahu tentang tafsir dan hadis, pada menit-menit terakhir hidupnya, yang ia ingat hanya Nabi Muhammad, dan bulan itu adalah bulan Maulid. Ia pun berpesan pada istrinya agar bikin selamat buat kanjeng Nabi. Ia tidak ingat anak, ubi-ubi yang ia tanam, dan semua harta yang ia miliki. Peristiwa itulah di antaranya yang meruntuhkan keponggahan dan kesombongan intelektual Kang Jalal yang memahami agama.
Tahun 1983-1985 Kang Jalal aktif memberikan kajian rutin atas buku-buku karya para tokoh Ikhwanul Muslimin Mesir seperti Hasan al-Bana, Said Hawa, Syayid Qutb kepada para mahasiswa di Mesjid Salman ITB, Bandung, sebelum ia akhirnya mulai melirik kitab-kitab dan pemikiran para tokoh Syiah.
Tertarik dengan Tasawuf
Jalal sendiri mengenal dunia tasawuf dan tertarik dengan tasawuf, ketika bersama-sama Haidar Bagir dan Endang Saefuddin Anshory diundang pada sebuah konferensi di Kolombia pada 1984. Dari konferensi itu ia bertemu dengan ulama-ulama asal Iran yang memiliki pemahaman mendalam tentang tasawuf dan ia merasa kagum pada mereka. Ia pun mendapat hadiah banyak buku dari ulama Iran tersebut, yang di dalamnya banyak membahas masalah ‘irfân (tasawuf).
Pascapulang dari konferensi tersebut, Kang Jalal banyak tertarik dengan dunia tasawuf termasuk pemikiran ulama-ulama Syiah Iran seperti Imam Khomeini, Murtadha Muthahari, dan lain-lain. Para ulama tersebut disamping memiliki kualitas keilmuan yang tinggi, mereka juga memiliki integritas moral yang luar biasa. Maka, menurut Kang Jalal, sosok seperti Murtadha Muthahari bisa dijadikan sebuah model keterbukaan. Tak heran jika sejak saat itu tulisan-tulisan Kang Jalal banyak mengutip pendapat dari tokoh-tokoh tersebut. Tentang Imam Khomeini, ia melihatnya sebagai sosok pejuang yang tangguh dan sekaligus seorang sufi besar yang aktivitas politiknya bisa mengguncang dunia, termasuk merepotkan negara penindas sebesar Amerika sekalipun.
Sejak itulah Kang Jalal memilih tasawuf, dan bukan fikih, sebagai materi dakwahnya. Alasan dan pertimbangan kenapa ia memilih pendekatan tasawuf di antaranya adalah pertama, perhatian umat terhadap fikih sudah terlalu lama dan terlalu dalam. Banyak organisasi keagamaan didirikan atas dasar fikih. Sebagai contoh beberapa organisasi keagamaan di Indonesia seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (PERSIS), Al-Irsyad, dan lain-lain banyak dilatarbelakangi oleh perbedaan pemahaman fikih para pendirinya. Maka sampai sekarang ini beberapa organisasi keagamaan ini memiliki fikih sendiri-sendiri yang dijadikan pegangan bagi para pengikutnya.
Kedua, fikih tidak memberi kehangatan dalam beragama. Karena kesalehan seseorang hanya diukur oleh sejauhmana dia mengikuti dan mentaati fikih yang sesungguhnya masih ijtihadi. Karena fikih itu sendiri artinya pemahaman terhadap nash-nash al-Qu’an maupun al-sunnah yang dilakukan oleh para ulama.
Menurut Kang Jalal, orang beragama yang terlalu berpegang pada pendapat fikih akan terasa kaku, sempit dan terkesan formalistik. Maka keberagamaan yang ia miliki kurang memberikan kesejukan, keteduhan, dan kehangatan. Hal ini akan sangat berbeda dengan mereka yang beragama dengan bertasawuf, ia akan merasakan kehangatan, kelonggaran dalam beragama. Karena dalam tasawuf, para sufi dalam melihat berbagai persoalan tidak hitam putih, benar salah, halal haram, surga neraka. Bahkan terhadap orang yang banyak berbuat maksiat pun para sufi masih mau menerima, asalkan mereka mau bertaubat dan kembali ke jalan Allah. Hal ini mungkin berbeda dari para ulama fikih yang melihat berbagai persoalan hanya dari sisi luarnya saja tanpa bisa melihat apa makna atau hakekat di balik dari semua peristiwa yang terjadi.
Ketiga, fikih sering menjadi sebab pertentangan di antara umat Islam yang berakibat pada rapuhnya sendi ukhûwah Islamîyah. Beberapa perbedaan pendapat tentang jumlah rakaat salat tarawih apakah 8 rakaat, 20 ataukah 33 rakaat, salat rawatib (sebelum atau sesudah salat wajib), membaca basmalah sirri (pelan) atau jahr (keras), dan perbedaan-perbedaan yang lain pada waktu dulu dan mungkin sampai kini, masih sering menimbulkan ketegangan di antara sesama Muslim.
Sebagai contoh banyak kaum Muslim yang tidak mau bergabung salat berjamaah dengan dengan Muslim yang lain oleh karena beda fikih, sehingga ia membuat jamaah dan masjid sendiri. Bahkan penulis menemukan ada seorang adik menganggap kakaknya yang Muslim dianggap belum beriman lantaran berbeda fikih. Akibat lanjutan dari perbedaan fikih ini berimbas pada perbedaan pilihan politik. Sebagai contoh orang NU akan cenderung memilih PKB atau PPP, dan orang Muhammadiyah akan cenderung memilih PAN, demikian juga yang lain. Sehingga dalam dunia politik kita mengenal istilah politik aliran; aliran ideologi, aliran keagamaan, atau tepatnya adalah aliran fikih.
Keempat, kecenderungan masyarakat era 80-an, banyak orang berbondong-bondong mendalami Islam. Pada umumnya mereka tidak mau mendalami persoalan fikih, tetapi mereka mencari dari Islam sesuatu yang bisa mendatangkan ketenangan batin, yakni tasawuf. Atau dengan kata lain kecenderungan “pasar” menghendaki tasawuf. Gejala ini terjadi khususnya bagi masyarakat perkotaan dengan segmen kelas sosial menengah ke atas. Gejalanya bisa dilihat dari semakin ramainya majelis taklim yang menyelenggarakan kajian tasawuf. Di media massa baik cetak maupun elektronik seperti TV disuguhkan mimbar tasawuf dengan mendatangkan para pakar tasawuf dan dipandu oleh presenter berkelas. Dan acara ini disambut hangat oleh masyarakat. Di media-media cetak yang sekuler pun hampir setiap hari Jumat disediakan ruang bagi para penulis tasawuf yang berkualitas untuk membeberkan seluk beluk tasawuf, baik dari sisi teoritis maupun praksisnya. Ciri yang lain adalah semakin larisnya buku-buku yang bertema agama, termasuk buku-buku tasawuf. Semua itu menunjukkan adanya gejala meningkatnya spiritualitas masyarakat perkotaan yang semakin haus dengan siraman keruhanian.
Kelima, Kang Jalal telah banyak membaca buku-buku fikih, baik yang klasik maupun kitab-kitab fikih kontemporer. Isinya hampir sama, dan kebanyakan hanya pengulangan dari kitab-kitab sebelumnya. Berbeda dengan buku-buku tasawuf yang kaya akan nuansa, yang tidak akan habis untuk dibaca dan dipelajari.
Alasan keenam , berhubungan dengan aspek psikologis, yakni merasa capek dan merasa jenuh, jika terus menerus berdebat dan “bertengkar” untuk soal-soal fikih yang tidak ada habisnya. Seperti pada penjelasan di atas, ketika Kang Jalal dakwah dengan materi fikih ia selalu berbenturan dengan kelompok Islam yang berbeda faham. Di kampung sendiri ia berselisih faham dengan saudaranya-saudaranya yang berfaham NU, yang akhirnya keduanya bersepakat untuk membangun masjid masing-masing.
Maka, sejak dekade ‘90-an sampai sekarang Kang Jalal lebih tertarik pada materi-materi dakwah yang bernuansa sufistik (aspek batiniah) daripada materi lainnya seperti fikih. Kalaupun ia menjelaskan hal-hal yang bersifat fikih sesungguhnya itu bukan keinginan dia, tetapi karena jamaah yang menanyakan hal itu. Hal ini bisa disimak pada acara tanya jawab pada pengajian rutin yang pernah diasuh Kang Jalal yang disiarkan oleh radio Ramako FM Jakarta setiap pagi.
“Sebenarnya saya malas berbicara masalah fikih, oleh karena jamaah yang selalu menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan masalah fikih, maka terpaksalah saya berbicara masalah fikih,” ungkapnya.
Meskipun Kang Jalal harus berbicara dengan materi fikih, yang mengharuskan dia merujuk pada pendapat para imam mazhab, tetapi ia selalu berusaha melengkapinya dengan pendapat dan pandangan para ulama yang menekankan pentingnya mendahulukan akhlak daripada fikih semata. Ia pun memberikan beberapa alternatif jawaban agar jamaah tidak sempit pandangan. Di sini terlihat bahwa ia lebih menekankan aspek akhlak (tasawuf) dengan tidak meninggalkan aspek fikihnya.
Terjun ke Dunia Politik
Kang Jalal dikenal sebagai pakar komunikasi. Buku Psikologi Komunikasi yang ditulis tahun 1985 sepulang dari Iowa University, menjadi karya masterpiece-nya yang menjadi textbook pendidikan komunikasi dan psikologi di Indonesia. Itulah sebabnya beliau rujukan utama di bidang komunikasi, termasuk salah satunya bidang komunikasi politik.
Selain menjadi salah satu narasumber utama di bidang ilmu-ilmu keIslaman, praktisi di dunia pendidikan dengan mendirikan beberapa sekolah ternama, beliau juga sering menulis dan diundang menjadi narasumber dalam diskusi komunikasi politik. Mungkin karena itulah beliau dipinang oleh salah satu partai politik. Di tahun 2014, Kang Jalal menjadi salah satu calon anggota legislatif melalui Partai Demorasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Beliau terdaftar di daerah pemilihan II Jawa Barat yang meliputi Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat. Sebagaimana yang sering disampaikannya, Kang Jalal sebenarnya tidak pernah berpikir untuk terjun ke dunia politik praktis. Tetapi belakangan, beliau memilih strategi yang baru. Beliau kemudian berminat melanjutkan perjuangannya di Senayan karena menyaksikan nasib kelompok minoritas kian mengenaskan, pada saat yang sama hukum menjadi tumpul karena selalu ada kepentingan-kepentingan politik di baliknya.
Tapi perjalanan awal beliau di dunia politik praktis menemui tantangan yang tidak ringan. Begitu pencalonan beliau diberitakan di berbagai media, perlawanan dari kelompok takfiri juga semakin solid. Tak urung partai pengusungnya juga difitnah sebagai partai Syiah. Deklarasi anti Syiah dilakukan dimana-mana dan fitnah kepada Kang Jalal muncul di berbagai media. Fitnah diciptakan dan direfabrikasi di media-media sosial dan online untuk menjegalnya. Namun bagi Kang Jalal, gerakan masif kelompok takfiri justru menjadi kampanye yang membantunya lebih dikenal di masyarakat Indonesia, di Jawa Barat khususnya.
Tanggal 9 April 2014 adalah hari yang menentukan. Hari itu pemilu legislatif di Indonesia dilaksanakan serentak di semua daerah. Kang Jalal yang ikut mencalonkan diri melalui Partai PDIP ini dipastikan lolos ke Senayan setelah rekapitulasi suara di tingkat KPU provinsi Jawa Barat selesai tanggal 9 Mei 2014. Dari PDIP se Jawa Barat, Kang Jalal menempati urutan kedua dengan perolehan 39.082 suara. Meskipun Kang Jalal adalah "pemain baru", beliau ternyata langsung mendapatkan kepercayaan dari masyarakat Jawa Barat untuk menjadi wakilnya di DPR Pusat. Itulah titik balik perjalanan Kang Jalal di dunia politik praktis. Ketika ditanya mengapa beliau bisa lolos ke Senayan, Kang Jalal menjelaskan bahwa beliau beruntung karena memiliki dua sayap. Pertama adalah sayap relawan. Mereka dari struktur partai dan bergerak dengan dukungan dana. Semua calon legislator tahu dan semua partai memiliki sayap seperti ini. Kedua, sayap emas. Menurut Kang Jalal, saya kedua ini adalah relawan dari jamaah beliau yang bergerak dengan cara swadaya sehingga biaya kampanye beliau termurah dari seluruh calon legislator.
[Disusun oleh F. Ahmad Gaus dan Ahmad Y. Samantho dengan sedikit perubahan dan tambahan dari Mustamin al-Mandary, 2014. Bagian tulisan tentang buku-buku Ustadz Jalal sengaja ditiadakan, karena dimuat di bagian khusus tentang buku-buku Ustadz Jalal].
Update terakhir: 26 Agustus 2014