( Ketua Dewan Syuro IJABI )
Di dalam al-Qur’an, Allah Swt memanggil kita dengan seruan, “Wahai orang yang beriman, wahai sekalian manusia…” Tetapi ketika menyampaikan rahmatNya yang meliputi segala sesuatu, Allah Swt menyeru kita dengan panggilan “Qul yaa ‘ibaadiyalladzina asrafuu ‘alaa anfusihim laa taqnathu min rahmatillah… (QS. Az-Zumar [39]: 43) Wahai hamba-hambaKu yang telah melampaui batas atas diri mereka sendiri…janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa seluruhnya. Jami’an. Kata seluruhnya menjadi penegasan tak ada batas pada rahmat Allah Swt itu. Lalu kita akan membatasi kasih kita, sayang kita, pemaafan kita pada sesama?
Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa Ali Sayyidina Muhammad
Segala puji bagi Allah Swt yang telah memperedarkan mentari dan rembulan. Segala puji bagi Dia yang telah menghadirkan kesempurnaan bilangan. Segala puji bagi Dia yang bertasbih kepada-Nya segala makhluk, di langit, daratan dan lautan. Sabbaha lillahi maa fis samaawaati wal ardh wa huwal ‘azizul hakim.
Salam shalawat teramat sempurna kita haturkan pada Sang Junjungan, perantara dari seluruh nikmat keberadaan, wasilah dan karunia tak berkesudahan, Baginda Nabi Besar Rasulullah Muhammad Saw, keluarganya yang disucikan, dan para sahabat, para teladan sepanjang zaman.
Pagi ini hari raya menyapa. Wajah kita tengadah berdoa. Tangan diangkat, suara batin merayap lambat. Allahu akbar, allahu akbar, allahu akbar. Allahu akbar wa lillahil hamd.
Kami ini ya Allah orang-orang yang kehilangan. Kami ini ya Allah orang-orang yang kekurangan. Kami ini ya Allah yang teramat kurang bersyukur. Kami ini ya Allah yang teramat jarang tersungkur. Kami yang tanpa malu, kami yang tak kunjung tahu. Kami yang tak berbudi. Kami yang tak mengerti. Kami yang jahil, kami yang miskin. Kami yang fakir, kami yang tersingkir. Kami yang duduk tenang, sementara saudara kami terbaring dalam gelisah. Kami yang tertawa riang, sedangkan sesama kami berpeluh dalam kesah. Ana alladzi ‘ashaitu jabbaras samaa’, akulah yang telah menentang Sang Penguasa Semesta. Kini bersimpuh di hadapan-Mu, menyerah tubuh seluruh penuh pada kekuasaan-Mu, membentang hati sepenuh lapang pada ketentuan-Mu. Mencoba untuk pasrah, belajar untuk ikhlas, berharap selalu pada kasih dan sayang-Mu. Takkan berputus asa pada Rahmat-Mu.
Alkisah di zaman Khalifah Harun al-Rasyid, seseorang melihat Hamid bin Qahthabah, seorang pekerja istana Raja sedang dengan sengaja menyantap makanan di siang hari bulan Ramadan. Kepadanya disampaikan, “Tidakkah engkau berpuasa? Apakah engkau sakit atau dalam kelemahan?” Ia menjawab, “Tidak, badanku sehat tak berkekurangan. Tapi bagiku, puasa tak lagi punya faidahnya. Bagaimana mungkin aku berpuasa sedang dosaku teramat besarnya.”
Ia pun bercerita.
Dahulu, katanya, aku bekerja untuk Raja. Satu hari Khalifah memanggilku. Di hadapanku, Raja melepaskan pedang dari sarungnya dan bertanya: “Bagaimanakah kesetiaanmu kepadaku?” Aku menjawab, “Demi jiwa dan hartaku…aku akan selalu taat dan patuh kepadamu.” Raja tertunduk dan berkata, “Pulanglah engkau ke rumahmu.”
Kali berikutnya aku kembali dipanggil. Raja melepaskan pedang dari sarungnya dan kembali bertanya: “Bagaimanakah kesetiaanmu kepadaku?” Aku menjawab, “Demi jiwa, harta—dan kini kutambah—demi keluarga dan anak-anakku…aku akan selalu taat dan patuh kepadamu.” Raja tersenyum dan berkata, “Pulanglah engkau ke rumahmu.”
Kali ketiga, aku kembali diseru ke istana. Raja melepaskan pedang dan kembali bertanya, “Bagaimanakah kesetiaanmu kepadaku?” Aku menjawab, “Demi jiwa, harta, keluarga, anak-anakku dan agamaku…aku akan selalu taat dan patuh kepadamu.” Mendengar ini, Raja tertawa. Terdengar ia rela. Pedang disarungkannya lalu diserahkan kepadaku. Katanya, “Berangkatlah bersama seorang di antara budakku. Pergilah bersamanya. Setiap yang diperintahkannya, lakukanlah.”
Budak itu membawaku ke sebuah rumah. Di dalam rumah itu ada sebuah sumur besar. Di dalam sumur itu ada tiga ruangan berongga. Ia mengantarkanku memasukinya. Pintu jeruji dibuka, kulihat dua puluhan saadat, keturunan Baginda para pecinta keluarga Nabi Saw di dalamnya. Budak itu menyeret seorang di antaranya dan berkata kepadaku, “Atas perintah raja, tebas tengkuknya!” Aku pun menghantamnya. Ia meninggal seketika dan budak itu melemparkan jasad tak bernyawa itu ke dalam sumur. Lalu, satu demi satu setiap jiwa yang ada diantarkan ke pinggir sumur, dan aku diperintahkan untuk memenggal leher mereka. Satu demi satu, tubuh bergelimpangan masuk ke dalam sumur yang sudah disiapkan.
Baca Juga : Bersama Kami Dalam Duka Palestina
Sampailah pada seorang terakhir. Lelaki tua dengan rambut putih memenuhi kepalanya. Ia memegang tanganku seraya berkata, “Tahan tanganmu dari melakukan ini. Bagaimana kelak kau akan menjawab Baginda Nabi Saw pada hari kiamat dengan tangan yang bersimbah darah menghabisi keturunannya?” Mendadak tanganku bergetar. Tapi budak Raja di sampingku terus menerus berteriak agar aku menghabisi lelaki tua itu. Aku ayunkan pedang raja. Tubuh terpisah dari kepala. Dan jasad yang terjatuh menuju dasar sumur itu.
Kata Hamid bin Qahthabah, “Sekarang kau tahu mengapa puasa tak bermanfaat bagiku. Tanganku kotor bersimbah dosa tumpahnya darah keluarga Rasulullah Saw.”
Perawi hadits kemudian menyampaikan tentang ini pada Imam Ridha as. Imam menjawab, “Demi Allah, putus asanya dari rahmat Allah Swt jauh lebih buruk dari dosa yang telah dilakukannya.”
Hadirin dan hadirat, ‘aidin dan ‘aidat.
Di dalam al-Qur’an, Allah Swt memanggil kita dengan seruan, “Wahai orang yang beriman, wahai sekalian manusia…” Tetapi ketika menyampaikan rahmatNya yang meliputi segala sesuatu, Allah Swt menyeru kita dengan panggilan “Qul yaa ‘ibaadiyalladzina asrafuu ‘alaa anfusihim laa taqnathu min rahmatillah… (QS. Az-Zumar [39]: 43) Wahai hamba-hambaKu yang telah melampaui batas atas diri mereka sendiri…janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa seluruhnya. Jami’an. Kata seluruhnya menjadi penegasan tak ada batas pada rahmat Allah Swt itu. Lalu kita akan membatasi kasih kita, sayang kita, pemaafan kita pada sesama?
Simaklah kisah Nabiyyullah Ya’qub as yang diuji dengan penderitaan, hilangnya Nabi Yusuf as dan kedengkian serta kebencian dari saudara-saudaranya. Sesungguhnya tiada ujian lebih berat bagi orang tua melainkan keluarganya berpecah dalam dendam dan permusuhan.
Ketika Nabi Ya’qub as tidak henti mengingat Nabi Yusuf, kebencian saudaranya makin menjadi. Berikut ini Al-Qur’an mengisahkan…(QS. Yusuf [12])
قَالَ اِنَّمَآ اَشْكُوْا بَثِّيْ وَحُزْنِيْٓ اِلَى اللّٰهِ وَاَعْلَمُ مِنَ اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
يٰبَنِيَّ اذْهَبُوْا فَتَحَسَّسُوْا مِنْ يُّوْسُفَ وَاَخِيْهِ وَلَا تَا۟يْـَٔسُوْا مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ ۗاِنَّه لَا يَا۟يْـَٔسُ مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ اِلَّا الْقَوْمُ الْكٰفِرُوْنَ
86. Ya’qub menjawab, “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa-apa yang kalian tiada mengetahuinya.”
87. Wahai anak-anakku, pergilah kamu. Maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya, tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir.”-
Mari kita lihat tempat kita sekarang. Dosa demi dosa yang kita kenang. Perbuatan teramat keji yang pernah kita lakukan, yang sekiranya ditampakkan pada manusia takkan ada yang rela bersahabat dengan kita. Jikalau tiada tirai perlindungan Allah Swt dan diketahui apa yang dilakukan, maka istri akan lari dari suaminya, anak-anak menjauh dari orangtuanya karena jijik melihat perbuatan buruk yang lainnya. Adalah kasih Allah Swt yang menutupi itu semua…
Adakah dosa kita lebih buruk dari ia yang memenggal para saadat keturunan Baginda Nabi Saw? Mungkin kita merasa, tangan kita tak bersimbah darah mereka…tapi kita kini memenggalnya dengan cara yang berbeda. Kita tak berdiri membela kehormatan keluarga Nabi. Kita tak membela orang-orang tertindas yang mereka cintai. Kita tak berada di majelis orang saleh, majelis orang berilmu yang mereka wasiatkan. Kita tak hadir di tengah fuqara dan masakin yang selalu mereka perhatikan. Masihkah berguna puasa kita? Masihkah bermanfaat amal ibadah kita?
Lalu kita tengok kembali diri kita. Permusuhan yang kita layangkan. Senyum yang kita tahan dari orang yang membenci kita. Persahabatan yang kita batasi. Salam pemaafan yang kita beri. Kita tak sanggup, takkan mampu seperti Nabi Ya’qub as yang hidup di tengah anak-anak yang menutupi kebenaran bertahun lamanya, memendam kebencian dan tak pernah memadamkannya.
Lalu bagaimana kesudahan nasib orang seperti kita? Janganlah berputus asa dari rahmat Allah Swt. Sebagaimana kita bergantung pada rahmat Tuhan itu, jangan tahan tangan yang terulur meminta maaf saudara. Jangan tolak peluk tulus berharap keikhlasan kita. Jangan tepiskan niat yang terpatri. Jangan hindarkan suara dalam sanubari.
Rahmat Tuhan itu luas. Kita yang membatasinya. Kasih itu tak terbatas, kita yang mempersempitnya. Kita mungkin berkata, kita tidak putus asa dari rahmat Allah Swt, tapi kita membuat orang lain putus asa dari memohon maaf dan keikhlasan kita. Kita yang menahan rahmat Tuhan. Kita yang memelihara kebencian. Kita yang memendam permusuhan. Kita yang menyuburkan permusuhan.
Hadirin dan hadirat, Aidin dan ‘Aidat…
Marilah kita memohon perlindungan pada Rahmat Allah Ta’ala yang Maha Luas. Marilah kita memohon perlindungan dari perbuatan kita yang menutup Rahmat Tuhan itu. Mari kita buka gerbang langit, kita luaskan pintu ijabah. Mari kita sebarkan Rahmat Tuhan yang luas dengan luasnya senyum yang kita sebarkan pada orang-orang di sekitar kita. Mari kita sebarkan kasih sayang di tengah-tengah manusia. Mari kita mintakan maaf pada semua yang pernah kita lukai hatinya. Kedua orang tua. Pasangan hidup. Karib kerabat. Keluarga, anak-anak kita. Tetangga dan sahabat-sahabat kita. Mintakan maaf dengan tulus karena maaf mereka adalah kunci untuk mendapatkan ampunan Allah swt. Karena maaf mereka adalah wasilah untuk mengembalikan kepada kita pahala amal-amal kita, keberkahan, keselamatan, kemuliaan dan kebahagiaan kita.
Bertekadlah mulai hari ini, demi kebahagiaan kita di dunia dan akhirat, kita akan sebarkan Rahmat Tuhan yang luas itu. Kita akan sebarkan senyuman Sang Nabi Saw, kita akan maafkan orang-orang yang berbuat salah. Kita akan kenyangkan orang-orang yang lapar. Kita akan sembuhkan orang-orang yang sakit. Kita akan hibur orang-orang yang menderita. Kita akan bantu orang-orang yang kekurangan. Kita akan kunjungi mereka yang tertawan. Marilah kita buka pintu ijabah. Jadilah perwujudan Rahmat Allah yang luas di tengah-tengah manusia.
Jadikan duka dan keluh kita hanya pada Dia. Pada saat tersungkur di haribaannya. Saat-saat seperti bulan suci yang baru saja meninggalkan kita. Hari raya para kekasih Tuhan adalah waktu-waktu sahur dalam isak tangisan. Hari raya para kekasih Tuhan adalah saat-saat berbuka bersama handai taulan. Hari raya para kekasih Tuhan adalah bersama mereka yang teraniaya dan terpinggirkan. Bersama mereka yang sendirian, kesakitan dan kesepian. Bersama mereka yang terlupakan.
Jadilah perpanjangan kasih yang luas itu. Jangan jadi yang memutuskan dan menghentikannya.
*) Khutbah Idulfitri KH Miftah F Rakhmat (Ketua Dewan Syura IJABI) yang disampaikan pada pelaksanaan Shalat Idulfitri 1 Syawal 1444 H di Aula KH Jalaluddin Rakhmat, Bandung