Ketua Dewan Syura IJABI
“Pada Hari al-Quds, hari Jumat terakhir bulan suci Ramadhan, turunlah ke jalan, selenggarakan majelis-majelis, ragam acara, di masjid-masjid. Teriakkan seruan di masjid-masjid. Ketika satu miliar umat menyeru, Israel kehilangan kemampuan. Mereka ketakutan dari semua seruan itu.” (Shahifah Imam jilid 12, halaman 80). “Sekiranya semua umat membawa setangkup air dalam tangannya, dan menumpahkannya atas Israel, Israel akan tenggelam.” (Imam Khomeini)
Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa Ali Sayyidina Muhammad
Berita itu mengerikan, dan anehnya tak masuk dalam radar berita dunia yang menggoncangkan kita. Mengerikan, karena terorisme menampakkan wajah barunya. Wajah tanpa kemanusiaan. Serangan terhadap bangsal melahirkan itu belum pernah terjadi sebelumnya. Penjahat seperti apa yang membenci bayi dalam kandungan. Dosa para korban itu hanya satu: mereka berasal dari suku Hazara, Afghanistan. Muslim Hazara. Merekalah korban nomor satu dari berbagai tindak kerusuhan yang terjadi. Merekalah target utama dari huruhara bersenjata di negeri yang dirundung konflik tak berhenti. Terlahir Hazara, dan bermazhab muslim minoritas menjadikan mereka minoritas berganda di negeri mereka. Banyak di antara mereka mengungsi, sebagian terdampar juga di negeri ini. (Sumber: https://muslimnews.co.uk/news/middle-east/afghanistan-newborn-babies-mothers-nurses-killed-terrorist-attack/)
Atau mungkin Kashmir. Negeri indah yang terletak di kaki pegunungan Himalaya. Penduduk Kashmir menyebutnya surga dunia. Sejak Pakistan memisahkan diri dari India pada tahun 1947, Kashmir jadi wilayah sengketa. India mengklaim itu bagiannya. Pakistan juga merasa itu miliknya. Penduduk Kashmir sendiri ingin merdeka. Pecahlah perang berkali-kali. Jatuh korban bertubi-tubi. Pelanggaran hak asasi yang kerap terjadi: penghilangan paksa, hukuman mati tanpa diadili, dan perkosaan terhadap perempuan-perempuan Kashmir oleh aparat bersenjata. Pemukulan sudah jadi konsumsi harian. Mengutip Wikipedia, angka resmi menurut otoritas resmi (bayangkan yang sebenarnya terjadi): 3400 kasus penghilangan paksa, 47.000 korban meninggal, 7000 di antaranya adalah aparat keamanan India. Menurut data organisasi hak asasi manusia, angka sebenarnya korban di atas 100.000 jiwa.
Mari kita ingat juga Bahrain. Sejak gelombang perubahan di negeri-negeri Arab menyapu kawasan, Bahrain tak henti dirundung duka. Berbagai demonstrasi menuntut keadilan di negeri itu dibalas dengan tembakan gas dan senjata. Saudi bahkan mengirimkan tentaranya untuk membantu meredam aksi di negeri tetangganya itu. Korban berjatuhan. Anak-anak kecil tak luput jadi sasaran. Data Human Rights Watch menyebutkan siksaan berkala yang dialami mereka yang di penjara. Tawanan menceritakan tentang sengatan listrik, pengkondisian dalam posisi yang menyakitkan, dipaksa berdiri dalam waktu yang lama, dibiarkan dalam udara dingin hingga pelecehan-pelecehan seksual. (Sumber: https://www.hrw.org/news/2020/02/25/nine-years-after-bahrains-uprising-its-human-rights-crisis-has-only-worsened)
Dan tentu saja ada Suriah. Konflik dekade ini. Efek domino yang menghantam hingga negeri-negeri besar dan petingginya. Tragedi pengungsian hingga konflik politik di negeri-negeri tujuan. Lalu Muslim Rohingya, Irak yang tak henti dirundung permasalahan, hingga aksi-aksi kekerasan semisal Boko Haram di Nigeria, Abu Sayyaf Filipina, atau gerakan-gerakan semisal di berbagai belahan dunia.
Kita sudah tidak peduli karena kita membiarkannya terjadi. Menganggapnya sebagai peristiwa setiap hari. Karena kita diam seribu bahasa atas awal dari pelanggaran teramat jelas yang tampak di dunia: nasib bangsa Palestina.
Sejak 1948, negeri jajahan Inggris itu diserahkan pada sekelompok Zionis yang kemudian memproklamirkan berdirinya negeri Israel. Terjadilah gelombang kekerasan dan pengusiran. Jutaan orang terusir. Ratusan ribu jadi korban. Situs Wikipedia bahkan hanya memberikan link untuk data telusuran. Terlalu banyak untuk dituliskan dalam satu halaman. Dan dunia selama ini bungkam. Dunia selama ini tak bergumam.
Maka, bila Palestina tak disuarakan, semua ragam ketertindasan seakan menemukan pembenaran. Ibarat bila satu pelanggaran terjadi, pelanggaran yang lainnya menyusul tanpa henti. Analoginya sederhana. Ada seorang raja meninggal dunia, ia hanya punya seorang anak perempuan. Menurut undang-undang, Sang Putri tak bisa menggantikan. Naiklah seorang sahabat raja mengisi tahta. Ia menganggap putri bisa mengancamnya kapan saja. Maka ia menyita aset besar Sang Putri. Tanah luas dan istana diambilnya dengan paksa. Dan rakyat diam saja. Tak kuasa bersuara. Mereka keliru. Bila tanah Sang Putri bisa diambil paksa, apa yang akan menahan milik siapa pun aman dari rampasan?
Bila Palestina tak disuarakan, apa yang menahan kejadian serupa akan terjadi dan berulang? Palestina mesti diselesaikan. Itu akan memberi kekuatan pada setiap suara ketertindasan.
Di sinilah momentum hari ini, Jumat terakhir di setiap bulan suci. Sejak Agustus 1979, pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Khumaini menyerukannya sebagai Hari al-Quds sedunia. Hari solidaritas Palestina. Iran yang melakukan perubahan total pasca tumbangnya rezim Pahlevi, tidak lantas hanya memikirkan nasib negeri sendiri. Tujuh bulan pasca kemenangan gerakan rakyat itu, suara solidaritas lantang diteriakkan. Bahkan di tengah kecamuk Perang Iran-Irak yang dipaksakan, dukungan terhadap kemerdekaan Palestina tak surut dikumandangkan. Tahun 1985, demonstrasi damai untuk Palestina dihujani serangan udara pasukan Irak. Alih-alih berhenti, teriakan itu terdengar hingga kini. Slogan-slogan perang relawan Iran dalam Perang Iran-Irak itu berhiaskan semangat Palestina. Misalnya: Jalan menuju al-Quds melalui Karbala! Atau kalimat Ayatullah Khumaini: Perang ini membuka jalan menuju kemenangan Palestina.
Banyak yang memaknai pemilihan hari Jumat terakhir ini sebagai sesuatu yang sakral. Untuk menyempurnakan ibadah bulan suci kita. Mengapa hari Jumat? Karena ia hari terbaik dalam satu pekan. Mengapa Jumat terakhir? Karena ia sepuluh hari terbaik di bulan suci Ramadhan. Mengapa bulan suci Ramadhan? Karena ia waktu terbaik dalam satu tahun putaran. Seakan-akan, semua ibadah kita sia-sia, bila kita tak peduli sesama. “Barangsiapa yang bangun di pagi hari dan tidak peduli dengan perkara kaum Muslimin, tidak termasuk kaum Muslimin.” Sabda Rasulillah Saw ini dikuatkan dalam al-Kafi 2:164, tapi dipandang lemah menurut ulama Saudi Bin Baz (Sumber: binbaz.org) meski ia mengatakan maknanya sahih. Ibadah di bulan puasa mesti menyertakan solidaritas sesama. Tanpa itu, semua ibadah kita tanpa makna. Dan solidaritas apalagi yang menemukan puncaknya seperti Palestina.
Bukankah ketika umat bersuara, di situ kita temukan kekuatannya. Ayatullah Khumaini menyampaikan tujuannya. “Pada Hari al-Quds, hari Jumat terakhir bulan suci Ramadhan, turunlah ke jalan, selenggarakan majelis-majelis, ragam acara, di masjid-masjid. Teriakkan seruan di masjid-masjid. Ketika satu miliar umat menyeru, Israel kehilangan kemampuan. Mereka ketakutan dari semua seruan itu.” (Shahifah Imam jilid 12, halaman 80). Dalam kesempatan yang lain, masih menurut beliau, “Sekiranya semua umat membawa setangkup air dalam tangannya, dan menumpahkannya atas Israel, Israel akan tenggelam.” Berbagai pesan Ayatullah Khumaini itu seakan-akan ingin menyampaikan satu hal: Palestina merdeka hanya dapat diwujudkan, bila umat Islam satu dalam barisan. Bila mereka menjaga persatuan dan persaudaraan.
Ada banyak cara menyuarakan dukungan. Memang tak harus turun ke jalan, seperti juga yang disampaikan Ayatullah Khumaini itu. “…atau dengan menyelenggarakan majelis-majelis.” Tapi yang terpenting adalah persatuan. Bahkan untuk sebuah hal sederhana: bersama-sama menuangkan air dalam genggaman tangan. Ternyata, menujunya adalah sebuah perjuangan tersendiri. Marilah kita mulai dengan bergenggaman tangan, dengan merapatkan barisan, dengan tak menjadikan perbedaan dukungan sesuatu yang dipermasalahkan. Bersatulah kaum Muslimin. Seakan-akan, Ayatullah Khumani ingin mengingatkan Kaum Muslimin seluruhnya. Kalian boleh beda dalam jumlah shalat tarawih. Kalian boleh beda kapan mulai puasa dan lebarannya. Kalian boleh beda dalam takbir dan bacaannya. But please, bagaimana mungkin kalian beda dalam pelanggaran kemanusiaan teramat nyata. Bersatulah. Itulah yang tersisa yang menjadikan kita manusia.
Teriring doa dan teriakan kita untuk solidaritas ini. Mari mulai dengan persatuan di antara sesama. Pukulan paling telak bagi musuh adalah satu suara kita. Setiap kali kita berpecah, setiap itu juga kita menaburkan garam di atas luka Palestina. Marilah bersama kita sampaikan belasungkawa kita. Duka cita kita. Doa, cinta, dan kesehatian kita.
Muslim Hazara bersama kami dan Palestina. Muslim Yaman bersama kami dan Palestina. Muslim Rohingya bersama kami dan Palestina. Muslim Suriah bersama kami dan Palestina. Muslim Kasymir bersama kami dan Palestina. Muslim Bahrain bersama kami dan Palestina. Muslim Irak bersama kami dan Palestina. Umat manusia bersama kami dan Palestina. Saudara-saudara yang menderita di mana-mana adalah Palestina. Mereka bisa di mana saja: sejak Gaza hingga tanah Papua.
Muslim Hazara adalah Palestina. Muslim Yaman adalah Palestina. Muslim Rohingya adalah Palestina. Muslim Suriah adalah Palestina. Muslim Kasymir adalah Palestina. Muslim Bahrain adalah Palestina. Setiap yang menderita adalah Palestina.
Sejak lama dukungan untuk kemerdekaan Palestina ini disuarakan pula oleh banyak kalangan lintas iman seperti Uskup Atallah Yerusalem, Dokumen Kairos dari Gereja-gereja di Yerusalem dan negara-negara seperti Irlandia, Amerika Selatan dan Afrika Selatan. Solidaritas kemanusiaan lintas batas juga mengemuka bagi saudara-saudari kita di Palestina.
Kita adalah Palestina.