Dewan Syura PP IJABI
(Khutbah Idul Adha 1435H)
Hari ini kegembiraan menyelimuti hati kaum muslimin, datang kembali kemuliaan Idul Adha 1435H. Teladan dua kekasih Allah Ibrahim as dan Ismail as menjadi pesan yang selalu abadi. Di Bandung, Ust Miftah memberikan khutbah Idul Adha di bawah ini (majulah-IJABI)
الحمد لله الذي اضحك و ابكي
الحمد لله الذي امات و احيي
الحمد لله الذي اغني و اقني
الحمد لله الذي خلق البشر زوجين من الذكر و الانثي ليبلوكم ايكم احسن عملا
الحمد لله الذي جعل لنا عيدين, الفطر و الاضحي
و صل الله علي نبيه نبي الهدي, حبيبنا المصطفي و علي اله اهل الصدق و الوفا
اللهم اجعلنا من من اتبعهم باحسان الي يوم الجزا
الله اكبر الله اكبر الله اكبر و لله الحمد.
Pagi ini kita berkumpul kembali dalam suasana sukacita. Hari raya kembali datang menyapa kita. Segala puji bagi Dia yang telah menurunkan semua karunia. Sungguh, setiap kali ada nikmat, tersimpan juga kewajiban berbuat. Sebuah keraguan datang mendekat: adakah syukur telah terpanjat. Bersama bahagia, hadir pula tanya. Bersama suka, melekat pula duka. Kita terombang-ambing antara harap dan cemas, khauf dan rajaa’. Antara penderitaan penantian dan pemenuhan cinta.
Kapankah seorang beriman benar-benar bahagia? Apakah saat ketika ia beribadah pada Tuhannya? Yang dengan segera disusu penyesalan kurangnya persembahan kepadaNya. Ataukah saat ketika limpahan nikmat itu turun tak terhingga, sehingga kelu lidah untuk mensyukurinya.
Saudaraku yang berhari raya, kapankah seorang beriman benar-benar bahagia?
Bahkan dalam doa hendak menyantap berkah Tuhan, terselip pula titipan untuk yang papa dan berkekurangan, “Allahumma baarik lanaa fii maa razaqtana wa qinaa ‘adzabannar, wa ath’imil baa’isal faqir waj’alhaa ni’matan masykuratan tashilu biha ni’amal jannah.” Ya Allah, berkatilah kami dari apa yang telah Kaukaruniakan pada kami. Jauhkan kami dari siksa api neraka. Dan kenyangkanlah yang fakir dan yang miskin. Jadikanlah ini nikmat yang mengantarkan kami pada nikmatMu di surga. Ketika kita hendak makan pun, dikenangkan yang kelaparan di antara kita.
Alkisah, seorang raja meminta dibuatkan cincin begitu indahnya. Berpendar begitu terangnya. Entah batu permata apa. Entah perak atau emas jadi bingkainya. Tapi ia minta lebih dari itu. Ia minta dibuatkan kaligrafi di atasnya, ukiran yang akan menghias indah cincinnya. Raja yang sudah beroleh sekian nikmat, tak ingin cincin sekadarnya. Ia ingin yang istimewa. Kepada si pembuat cincin ia berkata, “Tatahkan di atasnya sesuatu, sebuah untaian kata. Bila aku sedang berbahagia dan melihat tulisan itu, kebahagiaanku akan sirna. Dan bila aku sedang berduka, ia hilang seketika.”
Si pembuat cincin bingung bukan kepalang. Hingga ia menemukan jalan terang. Kemudahan setelah kepasrahan pada Tuhan. Dengan gembira, ia datang pada raja. Tersembunyi cemas, akankah hasil karyanya diterima.
Begitu raja menerimanya, ia termenung diam tak berkata. Ia memuji pembuat cincin karena telah bijak dalam bekerja. Diukirkan pada mata cincin sebuah kalimat, yang dengan melihatnya kebahagiaan berhenti seketika, dan penderitaan akan sirna. Apakah kalimat itu? Inilah bunyinya: Semuanya akan berlalu. This too shall pass. Semua ini akan hilang juga. Kalimat yang ampuh. Semua kebahagiaan akan berlalu. Semua penderitaan akan datang saatnya berhenti pula.
Pada saat-saat seperti itu, ketika kebahagiaan terhenti, ketika duka berganti, hadirlah pengakuan. Dalam bahasa ‘Arab, pengakuan itu ‘arafah. Sehari sebelum lebaran, jamaah haji berkumpul di tanah suci. Di tengah sebuah padang gersang, mereka beribadah pada Tuhan. Padang itu, ‘arafah namanya. Ia hanya ramai setahun sekali. Ia hanya saat itu menjadi saksi. Selain 9 Dzulhijjah, ia padang pasir tandus yang sunyi.
Apa yang dilakukan jamaah haji di padang ‘arafah itu? Tak ada yang khusus. Tak ada ritual tertentu. Apa saja boleh dilakukan: shalat, wirid, tadarusan, berzikir dan berdoa. Para jamaah hanya harus hadir di lapangan itu. Hadir itulah wuquf. Sejak terbit matahari hingga tenggelamnya. Wuquf juga artinya berhenti. Di padang gersang itu, mereka harus berhenti. Berhenti dari segala hal yang menjauhkan manusia dari Tuhan, memutuskan segala keterikatan. Tanpa wuquf itu, haji mereka dipertanyakan.
Apa makna dari wukuf di ‘Arafah? Berhenti di tempat pengakuan. Inilah saat ketika seorang hamba menyampaikan segalanya di hadapan Tuhan. Ada tiga bentuk pengakuan. Pertama, mengakui kebesaran dan keagungan Tuhan, menyatakan segalanya di hadapan Dia. Dialah yang Mahabesar, Dialah Sang pemberi karunia, Dialah yang mengasihi sepenuhnya, Dialah yang menutupi aib kita dari sesama. Sekiranya tanpa perlindunganNya, dan ditampakkan pada manusia dosa-dosa mereka, niscaya orangtua lari dari anaknya, suami menghindar dari istrinya, sahabat menjauhi sahabatnya. Seandainya tak ada kasih dan tiraiNya, ayah mengecam kita, ibu menyesal melahirkan kita, saudara dan kerabat mengutuk kita, dan sahabat memusuhi kita. Inilah pengakuan yang pertama.
Pengakuan yang kedua adalah menyatakan kerendahan diri kita, ketidakberartian dan kehinaan kita. Inilah hamba yang banyak dosa. Inilah hamba yang celaka. Inilah hamba yang lalai dan alpa. Inilah hambaMu ya Allah yang kecil syukurnya, sedikit malunya, tak lama sabarnya. Inilah hambaMu ya Allah yang bertambah usianya bertambah pula beban dan maksiatnya. Inilah hamba yang menentang penguasa Surga. Inilah dia yang takut pada makhlukMu, tapi terang-terangan berani menentangMu. Tapi ini jugalah hamba yang tidak putus asa pada kasihMu, yang mengetuk pintu maafMu, yang berharap ampunan dan rahmatMu. Inilah hamba putra dua hambamu. Bukanlah ia yang pertama Kauampuni. Bukanlah ia yang pertama Kausayangi.
Nabiyullah Ibrahim ‘alaihisalam yang kisahnya kita teladani pada idul Qurban seperti ini, digelari khalilullah, kekasih Allah karena kebiasaannya berbagi. Tak pernah ia memperoleh nikmat, kecuali kemudian sujud mensyukuri kebesaran Pemberinya. Dan tak pernah ia menikmatinya sendirian. Ia disebut kekasih Allah, karena ia tak pernah makan sendirian. Ia selalu mencari orang yang diajaknya makan bersama. Bahkan bila ia harus berjalan kaki...puluhan kilometer jauhnya.
Dari Nabiyullah Ibrahim, kita belajar pengakuan yang ketiga, yaitu pada ungkap syukur sesama. Pengakuan yang ketiga mengajarkan pada kita agar berterima kasih pada siapa pun yang melalui mereka Allah Ta’ala alirkan nikmat itu sampai pada kita. Belum bersyukur kita pada Tuhan, sebelum berterima kasih pada mereka yang melalui mereka Allah Ta’ala antarkan nikmat itu sampai pada kita.
Dan inilah makna pengorbanan Nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam, yaitu ungkapan cinta dan kasih sayang. Konon, ia mendambakan putra begitu rupa. Menantikannya bertahun lamanya. Dan ketika anak yang ditunggunya tiba, Tuhan perintahkan agar bayi itu diusir ke tanah gersang, nun jauh dari Babilonia, di lembah tanpa tanaman...Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan keturunanku di lembah yag tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau yang dihormati...bi waadi ghairi dzi zar’in ‘inda baitikal muharram...(QS. Ibraahim [14]:37). Sekian tahun mereka dipisahkan, dan Ibrahim mengunjungi mereka sewaktu-waktu. Kadang bertemu, kadang pun tidak. Lalu ketika keduanya dipertemukan, setelah bertahun memendam kerinduan...kemudian Tuhan perintakan agar Ibrahim menyembelih putra tersayang. Falamma balagha ma’ahus sa’ya qaala ya bunayya inni araa fil manaami anni adzbahuka...maka tatkala anak itu sampai usia dewasa, berusaha bersama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anak-anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu...maka bagaimanakah pendapatmu? (QS. Al-Shaafaat [37]:102) Maka kedua hamba Allah yang saleh itu tersungkur dalam kepasrahan. Yang satu pada ketaatan, yang lain pada kesabaran. Manakah pengorbanan yang lebih berat? Seorang ayah yang melihat anaknya dikorbankan, atau seorang anak yang harus melihat ayahnya kehilangan...
Sesungguhnya tatkala Allah Ta’ala memerintahkan Ibrahim untuk menggantikan anaknya dengan seekor domba, Ibrahim berharap bahwa Ismaillah yang ia korbankan. Sungguh sudah ia lepaskan seluruh ikatan, seluruh kecintaan, seluruh hubungan. Tujuannya hanya rido Tuhan. Ibrahim berharap bergetar dalam hatinya perasaan orang yang telah mengorbankan yang paling dicintainya. Ibrahim ingin menunjukkan kesempurnaan pelaksanaan ujiannya. Bayangkan ketaatan seorang ayah menyembelih putra yang sangat dikasihinya. Bayangkan besarnya sabar dari musibah yang datang dari kehilangannya. Ibrahim berharap daripadanya, derajat yang tinggi di sisi TuhanNya.
Sehingga Tuhan utus malaikat menyampaikan pada Ibrahim pesanNya, “Wahai Ibrahim, siapakah makhluk yang paling kau cintai?” Ibrahim menjawab, “Wahai Tuhanku, tiada makhluk yang paling aku cintai selain kekasihmu Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.” Ibrahim menyebut nama nabi akhir zaman itu.
Kemudian Tuhan bertanya, “Siapakah yang lebih kaucintai. Dirinya atau dirimu?” Ibrahim menjawab, “Dia lebih aku cintai dari diriku sendiri.”
“Maka siapakah yang lebih kaucintai: putranya atau putramu?”
“Sungguh, putranya lebih aku cintai.”
“Ketahuilah, sungguh kelak putra Muhammad akan tersembelih dalam keadaan terzalimi, dianiaya musuh-musuhnya. Apakah tersayatnya leher putra Muhammad dalam keadaan teraniaya, oleh musuh-musuhnya lebih membuatmu berduka? Ataukah tajam belati yang mengiris leher putramu dalam ketaatan kepadaKu?”
“Sungguh ya Allah, gugurnya putra Muhammad oleh tangan musuh-musuhnya lebih aku tangisi, lebih mengiris dan mengoyak-koyak kalbuku.”
“Wahai Ibrahim, sesungguhnya sekelompok kaum yang mengaku menjadi umat Muhammad akan menyembelih Al-Husain putra Muhammad dalam keadaan terzalimi, sebagaimana mereka menyembelih seekor domba. Bagi mereka murkaKu.”
Maka bergetarlah Nabiyullah Ibrahim. Tersungkur dan terhempas di hadapan Tuhannya. Air mata mengalir, tangisan tak berhenti. Hingga Allah Ta’ala mengilhamkan padanya, “Wahai Ibrahim, bagimu kedudukan yang mulia, derajat yang utama bagaikan seorang ayah yang telah mengorbankan putranya dengan tangannya sendiri...karena kau telah menangis untuk musibah terbunuhnya Al-Husain putra Muhammad...” (Uyun Akhbar al-Ridha as, Al-Khishal Syaikh Shaduq 58)
Dan untuk inilah Al-Qur’an berfirman “wa fadaynaahu bidzibhin ‘azhiim...Dan telah kami tebus ia dengan sembelihan yang agung...” (QS. Al-Shaafaat [37]:107)
Sungguh, telah Tuhan tebus Ismail dengan sembelihan yang agung.
Inilah pengakuan yang ketiga, ketika kita pasrah di hadapan Tuhan, tersungkur pada ungkap syukur atas setiap pembimbing yang diturunkanNya bagi kita; untuk setiap penerang jalan; untuk setiap pelita kegelapan; untuk setiap petunjuk kebimbangan.
Di ‘Arafah itu pula kelak, Sang Sembelihan Agung mengawali perjalanannya menyerahkan seluruh dirinya, seluruh kepasrahannya, seluruh kepatuhan dan ketaatannya. Kelak, 10 Muharram, sebulan setelah 10 Dzulhijjah, Al-Husain putra Rasulullah dikorbankan di Padang Karbala. Pada 61 H, ia berjuang menyelamatkan agama kakeknya dari penyelewengan. Ia disembelih, bagai seekor domba yang kehausan. Tubuhnya disayat ratusan pedang. Punggungnya ditikam panah dan lisan sucinya ditekak tombak. Dan untuk semuanya, Zainab adiknya mengangkat tangan ke langit dan berdoa, dalam linangan airmatanya...”Ya Allah...terimalah (pengorbanan ini) dari Muhammad dan keluarga Muhammad...”
Di Padang Arafah itu, Al-Husain berdoa...
“Ya Alah, aku bersaksi kepadaMu...
Dengan kedua mataku (yang penuh dengan darah)
Dengan pelipis dahiku (yang dihantam anak panah)
Dengan kedua bibirku (yang dipukul batang tombak)
Dengan urat di leherku (yang terputus disayat pedang)
Dengan dadaku (yang diinjak-injak binatang)
Dengan hatiku (yang dikoyak-koyak belati)
Dengan jemariku (yang diiris-iris duri)
Dan dengan seluruh apa yang ada pada diriku...
Sungguh...
Tak mampu sesaat pun aku mensyukuri setiap nikmatMu...wahai Tuhanku.
Inilah pengakuan yang sesungguhnya.
...
Hadirin dan Hadirat, ‘Aadiin dan ‘Aaidat
Lebaran Qurban tahun ini menjemput kita, ketika bangsa dan umat manusia tengah diuji dalam berbagai coba. Tampak terlihat keinginan berkuasa, didasarkan atas hawa nafsu semata. Ego kelompok, kepentingan pribadi, saling sikut berebut kursi. Apa yang akan kita korbankan? Jabatankah, kedudukan, harta, atau kepentingan?
Sungguh, sebagaimana Ibrahim ‘alaihissalam yang diuji dengan ketaatan menyembelih putra yang dicintainya, hanya untuk menemukan bahwa ada ujian dan derita yang jauh lebih besar lagi. Marilah kita antarkan seluruh kebaikan kita, yang tak ada sebutir debu pun dibandingkan dengan sang nabi Tuhan itu, lalu kita gabungkan dengan seluruh perkhidmatan di jalan kecintaan pada para teladan...berharap kiranya, di ujung perjalanan, di ujung penantian...setelah kita serahkan seluruh yang kita miliki, semua yang terbaik yang kita beri...terdengar sabda kudus nan suci, “...dan sungguh, telah kami tebus ia dengan sembelihan yang agung.” Wa fadaynaahu bidzibhin ‘azhiim...
Tak ada pengakuan yang lebih sempurna lagi...
Bila kelak saat itu tiba, haruskah kita menyambutnya dalam suka atau duka? Semua duka akan terhenti, kecuali duka terpisa dari Baginda Nabi dan keluarganya yang suci. Semua bahagia akan sirna, kecuali bahagia beroleh pengakuan dari mereka. (*)