Anggota Dewan Syura IJABI
Sayyidah Khadijah sa adalah pendamping utama itu. Beliau adalah ‘zawjah’, pasangan Sang Nabi. Derajat yang tak diperoleh siapa pun setelah itu. Ialah pemuka para bidadari. Ialah penghulu para makhluk surgawi. Bila surga merindukan Sang Nabi, maka kerinduan Sang Nabi pada penghulu perempuan surgawi itu senantiasa bersinar tak terperi.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad
Mari lanjutkan kembali membincangkan bidadari. Ya, bidadari dan janji kenikmatan surgawi sedianya diawali di rumah sendiri. Terlalu banyak hadits yang mengisahkan tingginya peribadatan di tengah keluarga. Buka saja Kanzul ‘Ummal, kompendium hadits terbesar dari Allamah Muttaqi al-Hindi, lalu lihat hadits-hadits perkhidmatan keluarga. Favorit saya sejak pertama kali mendengarnya disampaikan ayah saya: duduknya seorang lelaki bersama keluarganya yang dinilai lebih baik dari i’tikaf di masjid Nabawi; diampuninya dosa bagi perempuan yang berkhidmat di rumah suaminya, hingga memandang orangtua dan anak dengan penuh kasih yang dihitung sebagai ibadah.
Terlalu banyak. Sekali lagi, terlalu banyak. Inilah juga keistimewaan Islam. Hadits keutamaan dalam perkhidmatan pada sesama, terutama keluarga.
Demikian pula tetangga. Hadits muttafaqun ‘alaih dari Rasulullah Saw, “Tidak henti-hentinya malaikat Jibrail as turun dan mewasiatkan aku (untuk berbuat baik pada tetangga) hingga aku mengira tetangga punya hak dalam warisan.” Warisan adalah bagian keluarga. Kekurangan dalam menunaikan kewajiban berbuat baik pada tetangga seakan-akan hanya dapat dibayar dengan menyertakan mereka dalam ahli penerima warisan. Terlalu banyak hadis semisal, dan sekali lagi terlalu banyak.
Ya, surga dan bidadari dimulai dari rumah sendiri, lalu dilanjutkan dengan memenuhi hak orang-orang terdekat kita: keluarga, tetangga, karib kerabat dan handai taulan. Setiap orang yang punya hak atas diri kita. Mereka yang Allah Ta’ala hadirkan dalam hidup kita. Terkadang, saya miris membaca riwayat-riwayat itu, mengetahui bahwa saya tidak dapat menunaikannya dengan baik. Jauh dari baik.
Apalagi, ketika ia menyangkut keluarga: orangtua, istri dan anak-anak. Sungguh, merekalah (cermin) kenikmatan surga yang sesungguhnya.
Pernah seorang zindiq bertanya pada Hisyam bin Hakam. Hisyam adalah murid Imam Ja’far Shadiq as, cucunda Rasulullah Saw yang menjadi guru dari para imam mazhab besar itu. Hisyam terkenal dengan kepiawaiannya dalam berdiskusi. Tetapi, satu saat, seorang zindiq membuat lidahnya kelu. Ia mengajukan pertanyaan yang tak dapat dijawabnya. Di antaranya: mampukah Allah Ta’ala memasukkan bumi yang kita huni ke dalam sebutir telur? Tanpa telurnya membesar atau buminya mengecil. Hisyam meminta waktu dua minggu. Ia menemui gurunya dan bertanya tentang itu. Imam Ja’far Shadiq as menjawab “Hai Hisyam, apa yang kaulihat di sekitarmu?” Hisyam menjawab: “Aku melihat engkau, guru. Aku melihat para sahabat, rumah-rumah, pepohonan dan bebukitan.” Imam Ja’far as menjawab, “Dialah Allah Swt yang telah memasukkan semua yang kaulihat dalam butir matamu, tanpa matamu membesar atau yang kaulihat itu mengecil.”
Nah, pertanyaan yang lain adalah tentang surga. Kata orang zindiq itu, “Jika kenikmatan surgawi adalah kenikmatan lahiriah: makan, minum, bersenang-senang…tidakkah satu saat kita akan bosan juga? Mungkin manusia akan ‘mati’ terkulai berusaha menikmati berbagai buah-buahan yang ia inginkan?” Terjemahan bebas saya: mungkin manusia akan kelelahan menciptakan kreasi imajinasi tak terbatas dari beragam perpaduan rasa, warna, aroma berbagai buah itu. Bukankah Al-Qur’an sendiri mengingatkan: “…mereka (penghuni surga itu) telah diberi (buah-buahan) yang serupa (dengan apa yang mereka peroleh di dunia).” (QS. Al-Baqarah [2]:
Saya biarkan pertanyaan pada Hisyam itu menggantung, seperti bayangan menggantungnya seseorang yang terkulai di bawah kenikmatan pohon keabadiaan. Adakah surga yang dibayangkan hanya sebatas pada kenikmatan lahiriah saja?
Maka, kembalilah merujuk pada teladan suci kekasih hati. Pada sebuah peristiwa teramat besar, di penghujung sepuluh hari pertama di bulan suci Ramadhan.
10 bulan Ramadhan, sepuluh tahun setelah kenabian. Seorang perempuan tergolek tak berdaya di pembaringan. Sakit berat mendera tubuhnya. Belum lama ia keluar dari lembah Abu Thalib. Lembah yang menjadi tempat terakhirnya berkumpul bersama keluarga yang dicintainya. Tiga tahun lamanya ia menemani sang suami, dikucilkan dan dibuang dari masyarakat Quraisy Makkah. Bayangkan hari-hari penuh penderitaan dan kesabaran itu. Siang hari dibakar terik mentari, dan malam hari diterpa dinginnya angin padang pasir. Makanan pun tak mudah diperoleh. Setiap malam mereka berganti tempat menghindarkan diri dari ancaman para pemanah bayaran. Tinggal di pengungsian seperti itu memakan habis kesehatan tubuhnya.
Ialah Sayyidah Khadijah salaamullah ‘alaiha. Perempuan bangsawan yang menemani, mendampingi, dan menyerahkan seluruh apa yang ia miliki untuk Rasul terakhir Islam. Mungkin tiga tahun itu saat yang paling sulit secara lahiriah, tetapi justru saat yang paling membahagiakan secara batiniah. Ia dan Sang Nabi tak terpisahkan selamanya. Ah, karunia Tuhan memang selalu indah.
Dan ketika mereka melangkah keluar dari pengucilan, harta sang bangsawan tak tersisa sedikit pun. Sama sekali ia tak pernah menyesalinya, apatah lagi mengungkitnya. Kebersamaannya dengan Baginda Nabi Saw adalah kebahagiaan melebihi karunia apa pun juga. Bahkan ketika mereka menikah, Sayyidah Khadijah salaamullah ‘alaiha melepaskan hak menuntut nafkah dari suaminya. Sungguh, tiada lagi perempuan yang mendampingi seorang utusan yang semulia dan seagung ia.
Lalu, tibalah saat itu, ketika sakit makin berat dirasakan tubuhnya. Pandangan mata Baginda nanar tertuju kepadanya. Pada istri yang sangat dicintainya. Pada pendamping pertama dan utamanya. Baginda tahu, tak lama lagi saatnya tiba, malakal maut akan menjemputnya. Melihat genangan air mata duka di pelupuk Baginda, Sayyidah mengetahuinya pula. Lalu ia memberanikan diri menyampaikan wasiat kepada Rasulullah Saw. Ada tiga perkara. Dan ia simpan yang ketiga. Ia malu untuk menyampaikannya pada Paduka. Aduhai, Sri Ratu nan mulia. Demikian indah akhlakmu pada Paduka. Padahal telah dijaminkan bagimu surga.
Sayyidah Khadijah salamullah ‘alaiha memohon perkenan Rasulullah Saw, agar wasiat yang ketiga ia sampaikan pada putrinya, Sayyidah Fathimah salaamullah ‘alaiha. Maka Baginda mesti undur diri, memberikan waktu bagi Ibu dan sang putri mendekap dan membekal rindu. Sedangkan Baginda mematung di kejauhan. Bayangkan kecamuk hati insan pilihan ini. Antara duka dan bahagia. Duka karena dekat saat berpisah, dan kebahagiaan karena karunia keluarga teramat indah.
Usai berinjit beranjak dari peraduan ibunda, Fathimah kecil menyampaikan amanat itu: “Duhai Ayahanda, Ibu berpesan padaku agar kusampaikan padamu: Sungguh, Ibumu merasakan ketakutan akan alam akhirat itu. Maka mohonkan izin pada ayahmu untuk menutupkan jubah yang ia kenakan ketika menerima wahyu, menjadi penutup kain kafanku.”
Ya Allah, Ya Rabbana. Bila seorang perempuan mulia seperti Khadijah tak berani menyampaikan permohonan terakhirnya pada Baginda, apatah lagi nasib pendosa seperti aku. Ia berwasilah pada putrinya. Ia tak berani mengutarakannya.
Ya Allah, Ya Rabbana. Bila perempuan yang dijaminkan surga masih merasakan ketakutan perjalanan panjang itu, celakalah kami yang sama sekali tak mempersiapkannya. Ampuni kami, ampuni kami.
Maka pada hari kesepuluh di bulan suci, Fathimah kecil pun menjadi piatu. Ia menjemput hari-hari tanpa kehadiran sang Ibu.
Peristiwa ini besar, tapi luput dari perhatian kita. Adakah di antara kita yang berduka dengan derita ini? Bukankah karena hari ini, Baginda Saw menyebut tahun itu sebagai tahun duka cita, tahun kesedihan. Baginda tak pernah berhenti berduka. Menurut riwayat yang umum, Baginda sampai ‘dihadiahi’ Isra dan Mi’raj untuk menghibur dukacita ini. Meski hal ini rentan kritik, karena dalam perjalanan Isra tak sedikit pun dikisahkan tentang Sayyidah salaamullah ‘alaiha.
Semoga satu saat saya bisa menuliskan hari-hari terakhir Perempuan nan teramat mulia ini. Untuk menebus kifarat tak mengingat peristiwa besar ini selama ini. Begitu sedihnya Baginda Nabi Saw, kenangan akan Sayyidah tak pernah sesaat pun tak bersamanya. Pernah satu ketika, seorang perempuan datang ke rumah Baginda. Rasulullah Saw menyambutnya, memperlakukannya istimewa. Menghamparkan baginya tikar dan menyediakan baginya buah-buahan. Ketika seseorang bertanya, siapakah dia? Baginda menjawab: Ia kawan Khadijah. Ia selalu datang pada Khadijah. Aku hanya melakukan apa yang biasa dilakukan Khadijah.
Ya Allah, Ya Rabbana…semua makhluk meneladani Baginda. Dan perilaku siapa yang ditiru Baginda. Sungguh, merugilah ia yang tak mengenal ibundanya.
Mari berduka pada hari kesedihan ini. Manakah yang lebih dirindukan Baginda Saw: Surga dengan kenikmatan lahiriahnya atau berjumpa kembali dengan pendamping yang paling dirindukannya?
Sayyidah Khadijah sa adalah pendamping utama itu. Ialah ‘zawjah’, pasangan Sang Nabi. Derajat yang tak diperoleh siapa pun setelah itu. Ialah pemuka para bidadari. Ialah penghulu para makhluk surgawi. Bila surga merindukan Sang Nabi, maka kerinduan Sang Nabi pada penghulu perempuan surgawi itu senantiasa bersinar tak terperi.
Maafkan kami Baginda, yang tak berduka dengan deritamu. Meski Sayyidah terbang ke surga, Paduka bersedih tiada tara. Adakah nikmat surga tak sebanding dengan keindahan jiwa sang perempuan mulia?
Ya Allah, bantu kami menjadikan istri kami, anak-anak kami sebagai pasangan kami di surga nanti. Al-Qur’an membedakan kata “imro’ah” yang berarti istri, dan “zawjah” yang bermakna pasangan.
Memang sepertinya, tak semua “imro’ah” akan menjadi “zawjah”.
@miftahrakhmat