Anggota Dewan Syura IJABI
Prinsip keadilan rawi adalah produk pemikiran, dan karena itu boleh dikritik bahkan dirubah. Sama dengan kitab Sahih Bukhari yang juga ijtihad penulisnya dalam menghimpun riwayat yang ia yakini sahih. Walaupun yang diyakini sahih itu belum pasti berasal dari Nabi. Sifatnya tetap dzanni al-wurud wa al-thubut. Tidak seperti wahyu al-Qur’an yang bersifat qat’i. Kitab hadis sahih sekalipun tetap tidak tahan kritik. Tidak boleh disakralkan. Karena itu, ungkapan Kitab Sahih al-Bukhari asahhu al-kutub tahta adimi al-sama ba’da kitabillah, sangat berlebihan dan tidak ilmiah. Karena terbukti banyak riwayat ahlibid’ah nashibi–juga ahlibid’ah lain–dalam Sahih Bukhari. Yang mana hal ini bertentangan dengan prinsip koherensi empiris sebagai standar metodologi penelitian ilmiah modern.
Abstarct :
Keyword : Abstrak : Kata Kunci : |
The acceptance of the history of heresy na>s}ibi> is a serious problem for the methodology of traditional hadith science. Instead of solving the solution created it adds to the problem because it is ad hoc. There is a metodogic discretionary or dissimilarity between theory and practice caused by a single paradigm (mono-disciplinary) that makes the study of hadith the way in place. This article offers a new paradigm in approaching hadith, namely the interdisciplinary paradigm as an effort to overcome the stagnation of the methodology of hadith criticism. The problems that arise in hadith science are seen from various points of view; historical, social, and philosophical. As a result, the methodology of the old hadith criticism i.e. the science of jarh wa ta’dil is subjective cannot be used as the only tool for assessing the quality of hadith. A new approach is needed, namely abductive as a judge for the subjectivity of traditional jarh} wa ta’dil clerics.
Discretion, Methodology, Monodisciplinary, Interdisciplinary Diterimanya riwayat ahli bid’ah nasibi menjadi problem serius bagi metodologi ilmu hadis tradisional. Alih-alih menyelesaikan solusi yang dibuat semakin menambah masalah karena bersifat ad hoc. Terjadi diskrepansi metodogis atau ketidaksamaan antara teori dengan praktik yang disebabkan oleh paradigma tunggal (mono-disiplin) yang membuat studi hadis jalan di tempat. Artikel ini menawarkan paradigma baru dalam mendekati hadis yaitu paradigma interdisipliner sebagai upaya mengatasi stagnasi metodologi kritik hadis. Problem yang muncul dalam ilmu hadis dilihat dari pelbagai sudut pandang; sejarah, sosial, dan filsafat. Hasilnya, metodologi kritik hadis lama yaitu ilmu jarh wa ta’dil bersifat subyektif tidak dapat dijadikan satu- satunya alat untuk menilai kualitas hadis. Diperlukan pendekatan baru yaitu abductive sebagai hakim bagi subyektifitas ulama jarh wa al-ta’dil tradisional. Diskrepansi, Metodologi, Monodisiplin, Interdisiplin |
Artikel ini mencoba untuk membumikan ide besar Prof. Amin Abdullah dalam mengatasi stagnasi metodologi ilmu-ilmu keislaman (Amin Abdullah, 2012), khususnya dalam bidang ulumul hadis. Dibandingkan dengan studi ilmu al-Qur’an, bidang studi ilmu hadis cenderung stagnan. Meski mengundang pro-kontra–justru inilah yang diperlukan dalam ranah akademik–studi ilmu Al-Qur’an mampu mendobrak stagnasi metodologi tafsir ayat-ayat suci dengan memakai pendekatan modern; hermeneutik. Sedangkan studi ilmu hadis masih berkutat dengan travelling theory ilmu hadis klasik yang sangat subyektif; yaitu ‘ilmu rijal hadis (al-Karawi, 1431 H, al-‘Alawi, 1427 H). Padahal sejatinya ilmu hadis lebih butuh pada hermeneutika daripada ilmu tafsir, karena selain hadis sebagai materi utama dalam menafsir kitab suci sejatinya lokus kajian hermeneutika Al-Qur’an ada pada riwayat sebagai tafsir ayat-ayat suci yang sudah berbentuk kodex atau mushaf buah tangan dan pikiran manusia yang tidak suci.
Secara teori ilmu hadis klasik baik dirayah maupun riwayah, sebenarnya cukup ideal untuk menjadi alat uji bagi laporan masa lalu (hadis) (Syakir, 2005, 7). Kaidah kesahihan sanad maupun matan yang dibuat oleh ahli hadis klasik secara normatif sudah memenuhi standar penelitian modern yaitu koherensi ilmiah antara al-naqd al-dakhili dengan al-naqd al-khariji (Qadur, 2021, Azami, 1982). Akan tetapi justeru ulama hadis sendiri, menurut Kamaruddin Amin, tidak konsisten dalam menerapkan kaidah tersebut. Kalau konsisten akan banyak hadis-hadis yang dianggap sahih menjadi tidak sahih. Demikian sebaliknya, akan banyak hadis yang semula dianggap tidak sahih berubah menjadi sahih. Hal ini terjadi karena alat ukur yang dipakai adalah keadilan rawi yang bersifat subyektif. Senada dengan Amin, Muhammad al-Ghazali menilai bahwa lokus perhatian ahli hadis lebih berat kepada sanad daripada matan, sehingga banyak riwayat dinilai sahih meskipun matannya syadz dan mengandung illah (al-Ghazali, 1989).
Ada inkonsistensi di kalangan ahli hadis dalam memakai kaidah yang mereka bangun sendiri. Dan ini menjadi problem utama ilmu hadis klasik yang kita warisi dari para pendahulu kita yang membuat studi ilmu hadis jalan di tempat (Nadia, 2011). Oleh karena itu diperlukan terobosan metodologis untuk menggairahkan kembali kajian ilmu hadis di lingkungan kesarjanaan Islam modern. Metode yang penulis tawarkan adalah metode abduktif. Yaitu kombinasi antara metode deduktif yang dominan dalam kesarjanaan Islam dengan metode induktif yang dominan dalam kesarjanaan barat (Rakhmat, 2013, Brown, 2019). Dengan the logic of discovery, metode abduktif berusaha untuk menemukan apa yang oleh Leopad von Ranke sebut sebagai “wie es eignlich gewesen” (Motzki, 2005) dalam pelbagai teori klasik ilmu hadis tradisional yang menurut Kamaruddin Amin perlu diuji kembali keakuratannya terutama tentang subyektifitas konsep keadilan rawi dan keadilan sahabat yang lebih pas disebut sebagai dogma daripada teori ilmiah. Berangkat dari hasil studi Kamaruddin Amin artikel ini berusaha melihat kembali metodologi kritik hadis pada teori ahlulbid’ah (nasibi) yang selama ini diterima secara taken for granted dengan memakai pendekatan interdisipliner.
METODE PENELITIAN
Interdisipliner adalah model kajian dengan menggunakan sejumlah pendekatan atau sudut pandang dalam kajian ilmu-ilmu keislaman baik ilmu serumpun maupun tidak serumpun. Hasil kajian Kamaruddin Amin (2009), Fuad Jabali (2010), dan Muhammad Zain (2007) menunjukkan urgensi pendekatan ini di ranah ilmu hadis. Sebagaimana akan dibuktikan artikel ini, ilmu hadis yang selama ini memakai pendekatan monodisiplin tidak mampu menyelesaikan diskrepansi metodologis yang ada. Dibutuhkan pendekatan lain yaitu sosiologis dan historis sekaligus bahkan bila perlu hermeneutik. Inilah maksud dan tujuan interdisipliner menurut Amin Abdullah. Yang menurut Abuddin Nata, belum banyak dilakukan studi hadis dengan pendekatan model ini, terutama di kalangan sarjana Muslim (Nata, 2004). Artikel ini memandang metodologi kritik hadis tradisional yaitu ilmu rijal yang bersifat subyektif harus dilengkapi dengan pendekatan lain yaitu historical critical method yang berfungsi bukan sekedar suplemen bagi kritik sanad tapi hakim bagi subyektifitas ilmu rijal (Ulum, 2018, 200). Dalam artikel ini penulis akan menunjukkan diskrepansi metodologi ilmu rijal tradisional dalam konsep ahlibid’ah dari kelompok nashibi serta metodologi alternative yang penulis tawarkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Diskursus Metodologi Kritik Hadis
Seperti halnya ilmu-ilmu keislaman lain yang bersifat repetitif, ilmu hadis bahkan mengalami stagnasi metodologis. Model kajian dan argumentasinya tidak beranjak dari sejak awal dikonsep secara sistematis oleh al-Ramahurmuzi hingga sarjana hadis modern. Mulai dari wilayah Timur Tengah yang berbahasa Arab (Syakir, 2005, al-Khatib, 2011), masuk ke Barat yang berbahasa Inggris (Kamali, 2005, Khan, 2010), hingga sampai Nusantara yang berbahasa Indonesia. Seperti sudah terbentuk pakem yang harus ditaati dalam mendekati hadis Nabi (Anggoro, 2019). Stagnasi metodologis ini disebabkan oleh banyak faktor. Utamanya, ketidakmauan dan ketidakmampuan dalam melihat historisitas ilmu hadis sebagai produk pemikiran berlatarbelakang sosial politik tertentu yang bersifat profan dengan normativitas hadis sebagai sumber agama yang bersifat sakral. Bahwa beberapa dari konsep utama ilmu hadis–untuk tidak menyebut semuanya– dirumuskan karena pengaruh politik identitas. Seperti tentang rumusan teori ahli bid’ah dan ahli sunah yang dipakai oleh Imam Muslim dalam menyusun adikaryanya, al-Jami’ al-Sahih.
Dalam Mukaddimahnya, Imam Muslim menjelaskan bahwa hadis-hadis yang ia terima hanya riwayat ahlisunah saja. Adapun riwayat ahlibid’ah, ia tolak (al-Nisaburi, 2008, 10). Ahlibid’ah yang dimaksud dalam konsepsi ilmu hadis tradisional adalah selain penganut madzhab penguasa. Mereka adalah orang khawarij, nashibi, rafidhah/shiah, mu’tazilah. Akan tetapi faktanya ahli hadis seperti Bukhari dan Muslim tidak konsisten dengan teorinya sendiri karena banyak riwayat ahlibid’ah (shiah) yang masuk ke dalam kodex hadis mereka, seperti dikatakan oleh al-Baghdadi (n.d, 195), dan diperkuat oleh Alwi (2021). Pada bagian ini kita akan menguji konsistensi teori ahlibid’ah nashibi dengan prinsip konsistensi logis, koherensi ilmiah dan korespondensi empiris sebagai alat uji metodologi ilmiah modern (Amin Abdullah, 2012, 79-80).
Menurut ijma’ ulama hadis, keadilan rawi menjadi satu dari beberapa syarat kesahihan hadis. Dan bid’ah menjadi sebab gugurnya keadilan seorang rawi. AlHakim memaknai ‘adalah rawi dengan bukan penyeru bid’ah dan bukan pelaku maksiat. “wa aslu ‘adalat al-muhaddith an yakuna musliman la yad’u ila bid’ah, wa la yu’lin min anwa’i al-ma’asi ma tasqut}uhu bihi ‘adalatuhu”.
Senada dengan itu, al-Khatib al-Baghdadi menyebut kriteria keadilan rawi yang diterima hadisnya adalah istiqamah dalam beragama dan selamat dari bid’ah. Bila tidak, harus dijauhi dan hadisnya ditolak. “Hadha wa ba’da istiqamah altariqah wa thubut al-‘adalati wa al-salamati min al-bid’ah. Fa amma man lam yakun ‘ala hadhihi al-sifah, fa yajib al-‘udul ‘anhu wa ijtinabi al-sima’ minhu.” Demikian komentar al-Baghdadi dalam menanggapi pernyataan Shu’bah yang menyebut kewajiban mengambil hadis dari orang mulia yang tidak berdusta. “Haddithu ‘an ahli sharaf; fainnahum la yakdhibun.” Menurutnya, orang mulia pasti bukan ahli bid’ah.
Ibnu Hajar al-Asqalani dan al-Sakhawi juga memaknai kata al-‘adalah dengan karakter taqwa yang melekat kuat dalam diri seorang rawi yang terbebas dari bid’ah. “al-murad bi al-‘adl: man lahu malakah tahmiluhu ‘ala al-taqwa wa almuru’ah. Wa al-murad bi al-taqwa ijtinab al-a’mal al-sayyi’ah min shirkin aw fisqin aw bid’atin.”
Paparan di atas jelas bahwa bukan penganut dan bukan penyeru bid’ah (‘adam al-bid’ah) menjadi syarat utama bagi keadilan rawi. Meskipun ada banyak persyaratan lain seperti tidak fasik dan tidak syirik, namun diskusi kita di bagian ini fokus pada kata bid’ah yang menjadi sebab gugurnya keadilan seorang rawi. Seperti kata Ibnu Hajar: “Asbab al-Jarh mukhtalifah, wa madaruha ‘ala khamsati ashya’: al-bid’ah, aw al-mukhalafah, aw al-ghalat, aw jahalat al-hal, aw al-inqita’ fi sanad.” Meskipun ahli bid’ah termasuk cacat (jarh) yang menurut prinsip konsistensi logis seharusnya ditolak, namun faktanya banyak ahlibid’ah yang diterima. Penerimaan riwayat ahlibid’ah jelas bertabrakan dengan konsep keadilan rawi yang dirumuskan oleh ahlihadis itu sendiri. Hal ini yang saya sebut di awal tulisan ini sebagai problem utama metodologi kritik hadis yang berlaku selama ini. Ahli hadis terjebak dalam diskrepansi metodologis. Penerimaan riwayat ahlibid’ah seperti yang terjadi pada Sahih Muslim menyalahi prinsip konsistensi logis, korespondensi empiris, dan koherensi ilmiah. Oleh karena itu tidak salah bila Kamaruddin Amin melihat konsep keadilan rawi lebih pas disebut sebagai dogma dan bukan teori ilmiah. Karena seperti disebut oleh Fuad Jabali tidak lempang di hadapan analisis ilmiah.
Contoh paling nyata dan terang benderang dari diskrepansi metodologi kritik hadis ada pada teori tauthiq ahli bid’ah min nawashib. Nawashib bentuk jamak dari kata nashibi. Menurut ahli bahasa seperti Ibnu Mandzhur dan al-Zabidi, istilah ini dipakai untuk menyebut siapa yang membenci dan memusuhi Ali bin Abi Thalib dan Ahlulbait (Mandzur, t.th, 157). Pemahaman yang sama juga dianut oleh ahlihadis lain seperti al-Dzahabi dan Ibnu Hajar al-‘Asqalani sehingga kata nashibi dalam tradisi islamic studies menjadi trade mark bagi pembenci Ali dan keluarganya yang menurut teori ilmu hadis tradisional wajib di-tad’if dan ditolak (al-Asqlani, 420). Namun praktiknya tidak demikian. Banyak ahli bid’ah dari kelompok Nawashib yang di-tawthiq dan diterima. Menurut teori ilmiah modern, hal tersebut bertentangan dengan prinsip korespondensi empiris. Yaitu samanya teori dengan praktik, antara konsep dengan terapan. Dan diterimanya riwayat kaum nashibi berarti tidak samanya antara teori dengan praktik. Terjadi diskrepansi metodologis.
Al-Suyuti menyebut beberapa nama dari kaum Nawashib yang diterima oleh Bukhari Muslim, “Aradtu an usrid huna man rumiya bid’atihi min-man akhraja lahum al-bukhari wa muslim aw ahaduhuma, wa hum: ...ishaq bin Suwaid al-‘Adawi, Bahaz bin Asad, Qais bin Abi Hazim, haulai ramu bi al-nasb wahuwa bughdu ‘ali wa taqdimi ghairihi ‘alaihi.” (al-Suyuthi, 328). Menurut al-Suyuthi orang disebut nashibi bila ia tidak hanya membenci Ali bahkan mengutamakan selain Ali itupun termasuk nashibi. Bila benar demikian, betapa mayoritas ahlihadis adalah Nawashib yang seharusnya ditolak. Senada dengan al-Suyuthi, Ibn Hajar al-‘Asqalani juga memandang mengutamakan selain Ali sebagai ahlibid’ah nashibi, yang seharusnya ditolak. “ ...wa al-nasb bughdu ‘ali wa taqdimi ghairihi ‘alaihi. Wa hadhihi asma’uhum. Ishaq bin Suwaid al-‘Adawi rumiya bi alnasb” (al-Asqalani, 429)
Ibnu Hajar walaupun dengan tegas dan lugas menyebut al-nasb sebagai bid’ah yang menggugurkan keadilan rawi, faktanya ia banyak mengendorse kaum nashibi walaupun dengan alasan tidak propagandis (ghairu da’in libid’atihi). Tentang pembedaan antara ahlibid’ah yang propagandis dan non propagandis yang menjadi tameng diskrepansi metodologis, kita akan membahasnya nanti. Di bagian ini wajhu al-istidlal kita ada pada penerimanaan riwayat kaum nasb yang bertentang dengan prinsip keadilan rawi. Sekali lagi, hal ini menunjukkan inkonsistensi ahlihadis yang bertentangan dengan prinsip korespondensi empiris dalam metodologi penelitan ilmiah modern. Al-Shan’ani pun mengkritik inkonsistensi Ibnu Hajar juga ahlihadis lain, dalam menjelaskan syarat keadilan rawi sebagai berikut:
Huna abhath: al-Awwal annahum fi rasm al-sahih wa al-hasan ‘adalat alrawi. Kama sabaqa li al-hafidh fi al-nukhbah wa mithluhu fi kutub sahib al- ‘awasim wa fi jami’i kutub usul al-hadith. Wa fassara al-hafidz al-‘adalah biannaha malakah tahmilu ‘ala mulazamat al-taqwa wa al-muru’ah. Wa fassara al-taqwa innaha ijtinab al-a’mal al-sayyiah min shirkin wa fisqin aw bid’atin. Faafada anna al-‘adalata syartun li al-rawi, wa qad ‘arafta anna tarka al-bid’ati min mahiyatil al-‘adalah. Fa-al-‘adl la yakunu ‘adlan illa bijtinabi al-bid’ati bi anwa’iha. Wa la yakhfa anna hadha yunaqidu ma qarrarahu al-hafidh, min al-qaul biqabul almubtadi’, munaqidatan dzahiratan.”
Al-Shan’ani menyebut penerimaan ahli hadis terhadap riwayat kaum nanshibi sebagai pertentangan yang sangat nyata, ceto elo-elo, antara teori dengan praktik yang menjadi problem utama metodologi kritik hadis selama ini. Namun sayang bagaimana menyelesaikan problem metodologis ini hanya melahirkan perdebatan sirkular yang tidak berujung pangkal. Sebenarnya, solusinya simple. Ada pada dua pilihan. Pertama, apakah dengan menghilangkan syarat al-‘adalah yang sudah disepakati bersama. Dengan demikian berarti riwayat siapa saja boleh dipakai baik ahli bid’ah atau bukan, baik fasik atau bukan. Karena syarat ini hanya diberlakukan pada rawi selain sahabat. Yang faktanya banyak rawi dari sahabat yang tidak memenuhi persyaratan ini, seperti dibuktikan oleh Kamaruddin Amin, Muhammad Zain, dan Fuad Jabali. Atau pilihan kedua, konsisten dengan prinsip jarh ahli al-bid’ah dengan mencacat nashibi dan ahlibid’ah yang lainnya. Dan bila ini yang terjadi, maka akan banyak hadis sahih yang gugur statusnya menjadi tidak sahih dan judul al-Jami’ al-Sahih bagi karya al-Bukhari perlu ditinjau ulang. Nyatanya, tidak yang pertama, tidak pula yang kedua. Hal ini terjadi karena ahlihadis tradisional tidak mampu memilah dan memilih mana produk pemikiran islam yang qabilun li al-niqash wa al-taghyir wa al-naqd termasuk ilmu hadis dengan segala konsep dan teori tradisionalnya, dan mana ajaran islam yang bersifat sakral.
Prinsip keadilan rawi adalah produk pemikiran, dan karena itu boleh dikritik bahkan dirubah. Sama dengan kitab Sahih Bukhari yang juga ijtihad penulisnya dalam menghimpun riwayat yang ia yakini sahih. Walaupun yang diyakini sahih itu belum pasti berasal dari Nabi. Sifatnya tetap dzanni al-wurud wa al-thubut. Tidak seperti wahyu al-Qur’an yang bersifat qat’i. Kitab hadis sahih sekalipun tetap tidak tahan kritik. Tidak boleh disakralkan. Karena itu, ungkapan Kitab Sahih al-Bukhari asahhu al-kutub tahta adimi al-sama ba’da kitabillah, sangat berlebihan dan tidak ilmiah. Karena terbukti banyak riwayat ahlibid’ah nashibi–juga ahlibid’ah lain–dalam Sahih Bukhari. Yang mana hal ini bertentangan dengan prinsip koherensi empiris sebagai standar metodologi penelitian ilmiah modern.
Metode Tauthiq al-Nasb
Setelah terbukti bahwa apresiasi terhadap nashibi (tauthiq al-nasb) bertentang dengan prinsip dasar metodologi kritik hadis yaitu ‘adalat rawi. Berikut kita akan melihat metodologi ahlihadis dalam menguatkan ahlibid’ah nashibi. Ada dua cara yang dilakukan. Pertama, Tauthiq al-‘ammah, apresiasi umum. Kedua, tauthiq al-khassah, apresiasi khusus pada beberapa nama perawi.
a. Tauthiq ‘Am
Tauthiq ‘Am adalah apresiasi kepada ahlibid’ah tertentu secara umum. Kita akan mulai dengan statemen Abu Dawud yang menyebut khawarij adalah ahlibid’ah yang paling jujur daripada ahlibid’ah yang lainnnya. “Laysa fi ahl al- ahwa’ asahhu hadithan min al-khawarij.” Khawarij adalah kelompok yang memusuhi Ali bin Abi Thalib. Kelompok ini sebagai misdaq dari konsep nasb dari ahlibid’ah yang seharusnya ditolak. Namun demikian Abu Dawud menilainya sebagai perawi yang jujur dalam berhadis dan karena itu hadisnya boleh diambil. Statamen ini bentuk tauthiq Abu Dawud terhadap ahlibid’ah khawarij secara umum. Setelah itu Abu Dawud menyebut nama ‘Imran ibn Hattan dan Abu Hasan al-A’raj sebagai contoh dari ahlul ahwa’ (lebih dahsyat dari bid’ah) yang menurutnya thiqah.
Statamen Abu Dawud bertentangan dengan syarat laysa min ahl al-bid’ah wa al-ahwa>’ dalam kriteria keadilan rawi yang telah disepakati. Kaum khawarij jelas tidak memenuhi syarat ini. Apresiasi Abu Dawud terhadap khawarij juga bertentangan dengan pendapat A’masy, seperti dinukil oleh al-Baghdadi berikut. Muhammad ibn al-Husain al-Qattan meriwayatkan dari Abdullah ibn Ja’far, dari Ya’qub ibn Sufyan berkata: Ibnu Numair menyampaikan padaku, ia berkata memuji Ibn Idris yang berkata: Aku mendengar A’masy berkata: Aku duduk bersama Iyas bin Mu’awiyah lalu ia sampaikan sebuah hadis. Aku bertanya: Hadis ini dari siapa, sebutkan rawinya! Ia sebut nama seseorang bagiku ia dari kelompok khawarij. Aku berkata: darimana kamu beroleh nama itu? Kamu ingin aku menyapu jalan dengan pakaianku, atau membawa semua kotoran?! (al-Baghdadi, 40).
Dalam riwayat tersebut A’masy menjadikan hadis kaum Khawarij seperti kotoran binatang di jalanan. Hal ini jelas bertentangan dengan apresiasi Abu Dawud terhadap khawarij atau siapa saja yang me-tauthiq mereka. Anehnya pendapat Abu Dawud diadobsi sebagai travelling theory yang diimani sepanjang masa. Terbukti Ibnu Hajar al-‘Asqalani yang hidup beberapa abad setelahnya menggemakan kembali konsep tauthiq al-nasb bahkan dengan statamen yang lebih bombatis dari Abu Dawud. Ibnu Hajar berkata, “Fa-aktharu man yusafu bi al-nasb yakunu masyhuran bisidqi al-lahjati wa al-tamassuki bi-umuri al-diyanah.” Menurutnya, mayoritas mereka yang diberi label nashibi terkenal jujur dan teguh memegang ajaran agama.
Statemen dua maestro ahli hadis dari dua generasi yang berbeda tersebut di atas tidak saja bertentangan dengan prinsip koherensi empiris antara teori dengan praktik, akan tetapi juga bertentangan dengan hadis-hadis sahih yang menjadi dasar agama. Seperti berulangkali kita diskusikan di atas bahwa al-nasb adalah sikap membenci Ali bin Thalib. Bahkan bukan hanya membenci, menurut al-Suyuti dan al-Asqalani, lebih mengutamakan selain Ali termasuk nashibi. Sikap ini bertentangan dengan hadis-hadis sahih yang menyebut membenci Ali bin Abi Thalib adalah tanda nifak, hipokrit. Dan nifak menurut konsepsi ahlihadis tradisional sebagai salahsatu sifat yang menggugurkan keadilan karena bertabrakan dengan kriteria mulazamat al-taqwa wa hifdz al-muruah. Berikut akan kita lihat hadis-hadis sahih yang telah ditahqiq oleh banyak ahli hadis tradisional maupun modern yang menyebut pembenci Ali sebagai munafik. Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam kumpulan hadis-hadis Sahih-nya meriwayatkan dari Ummu Salamah yang berkata (al-Albani, 287):
“Anni sami’tu rasulallahi shallallahu alaihi wa alihi wasallama yaqulu: man ah}abba aliyan faqad ahabbani, wa man ahabbani faqad ahabballah azza wajalla, wa man abghada aliyan faqad faqad abghadani, waman abghadani faqad abghadallaha azza wajallah.” Hadis ini diriwayatkan juga oleh al-Hakim (al-Nisaburi: 141) dan dinilai sahih oleh al-Dzahabi.
Dalam riwayat al-Nasai disebutkan bahwa di masa Nabi untuk mengetahui siapa orang munafik cukup dengan melihat sikapnya kepada Ali bin Abi Thalib. Bila ia membenci Ali, berarti munafik. “Kunna lina’rifa al-munafiqin fi zamani al- nabi bi-bughdihim li’ali.” Menurut riwayat lain yang dibawakan oleh al-Hakim, membenci Ali sama dengan menyakiti Nabi. Seorang penduduk negeri Syam mencacimaki Ali di hadapan Ibnu Abbas. Ibnu Abbas melemparinya dengan kerikil sambil berkata, “Wahai musuh Allah, kamu telah menyakiti Rasulullah Saw. Sesungguhnya orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya baginya laknat Allah di dunia dan akhirat. Dan baginya azab yang pedih. Sekiranya Rasulullah hidup, kamu pasti menyakitinya.” (al-Mustadrak. 131)
Dalam kesempatan lain, Ibnu Abbas bercerita, “Rasulullah melihat Ali, lalu bersabda: Tidak mencintaimu kecuali mukmin, dan tidak membencimu kecuali munafik. Mencintaimu berarti mencintaiku. Membencimu berarti membenciku. Yang aku kasihi adalah kekasih Allah. Yang aku benci adalah yang dibenci Allah. Celakalah siapa yang membencimu sepeninggalku.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Thabrani dalam mu’jam al-awsat dan seluruh rijalnya thiqat, tulis al-Haitami. (al-Haitsami, 1982, 132-133)
Imam Muslim dengan sanad bersambung kepada Ali meriwayatkan: Demi yang memecah biji-bijian dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Sungguh janji Nabi al-Ummi kepadaku: tidak mencintaiku kecuali mukmin, dan tidak membenciku kecuali munafik.” (al-Nisaburi, 85)
Beberapa riwayat tersebut di atas hanya sekedar contoh dari banyaknya riwayat tentang keutamaan Ali yang menurut Ibnu Hanbal tidak dimiliki oleh sahabat Nabi yang lain. Ma ja’a li ashab al-nabi min al-fadail kama ja’a li’ali. Dengan demikian jelas bahwa apresiasi kepada para pembenci Ali yang diberikan oleh ahlihadis bukan hanya melanggar prinsip dasar ilmu jarh wa ta’dil bahkan melanggar Sunah Nabi.
b.Tauthiq Khas
Adalah apresiasi khusus kepada seorang rawi ahlibid’ah. Pada bagian ini kita akan melihat contoh nama perawi nashibi yang dikenal sangat membenci Ali tapi dinilai thiqah oleh mayoritas ahlihadis bahkan ditahbiskan sebagai imam ahli jarh wa ta’dil. Contoh nama berikut menunjukkan inkonsistensi ahli hadis dalam menerapkan prinsip keadilan rawi dalam metodologi kritik hadis.
1. Ibrahim bin Ya’kub al-Juzjani.
Nama lengkapnya Abu Ishaq Ibrahim bin Ya’kub al-Juzjani al-Jariri. Berasal dari Iraq kemudian hijrah dan menetap di Damaskus. Dan menjadi pedukung setia madzhab penduduk Damaskus yaitu bughdu ‘ali (membenci Ali) yang diwarisi dari pendiri dinasti Umayyah, Muawiyah bin Sufyan yang mewajibkan setiap khathib mencacimaki Ali di setiap mimbar. Al-Juzjani tidak ragu untuk menampakkan kebenciannya kepada Ali bin Abi Thalib. Meski demikian ia dinilai thiqah bahkan menjadi imam jarh wa ta’dil. Adz-Dzahabi menyebutnya sebagai al-thiqah al-hafidz ahad aimmat al-jarh wa al-ta’dil (al- Dzahabi, 1963, 75). Menurut Ibn Hajar, meski al-Juzjani ghali fi al-nasb, ia menjadi guru dari para ahlihadis terkemuka seperti Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai, Abu Zur’ah al-Dimasyqi, dan Abu Zur’ah al-Razi. Ibnu Hanbal bahkan sangat memuliakannya (yukrimuhu ikraman shadidan). Ibnu Hibban memasukkan ke dalam kelompok al-thiqat. Menurut Ibnu Adi ia sangat cenderung kepada madzhab penduduk Damaskus dalam membenci Ali. Imam al-Dar Quthni setelah menyebutnya thiqah berkata: fihi inhiraf ‘an ‘ali (al-Asqalani, 158).
Menurut al-Sakhawi, al-Juzjani tidak hanya menampakkan kebencian kepada Ali sebagai tanda nifak seorang rawi, ia bahkan mendepresiasi (jarh) ahlihadis dari Kufah dengan alasan tashayyu’ dan kecenderungan kepada Ali (al- Sakhawi, 362). Sampai sekarang, pendapatnya ini menjadi ijmak di kalangan ahli hadis. Membenci Ali, boleh dan hadisnya diterima. Sementara mencintai Ali, tidak boleh dan hadisnya ditolak. Pendapat al-Sakhawi ini akan tampak jelas dalam biografi Abd Salam bin Shalih (Abu al-Silat al-Harawi) yang oleh Al-Dzahabi disebut sebagai al-rajul al-salih dan diapresiasi (ta’dil) oleh Yahya bin Main (al- Dzahabi, 1995, 616), tetapi didepresiasi (dijarh) oleh al-Juzjani dengan kata-kata yang sangat bombatis, “kana abu silat za’ighan ‘an al-haq, ma’ilan ‘an al-qasd, sami’tu man haddathani ‘an ba’dhi al-a’immah annahu qala fihi: huwa akdhabu man waratha himar al-dajjal, wa kana qadi>man mutalawwithan fi al-aqdhar.”
Ibnu Hajar al-‘Asqalani juga menyebut nama rawi thiqah lain, yang dilemahkan oleh al-Juzjani karena motif ideologis (nasb) yang bertentangan dengan kaidah ‘adalat al-rawi. Yaitu Said bin Umar bin Asywa’ al-Kufi termasuk fuqaha yang dikuatkan oleh Ibnu Ma’in, al-Nasa’i, al-Ijli dan Ishaq bin Rohawaih. Tapi dilemahkan oleh Abu Ishaq al-Juzjani, tentangnya ia berkata: kana zaighan ghaliyan, ya’ni fi al-tashayyu’. Wa qultu (ibn hajar): al-Juzjani ghalin fi al-nasb fata’aradha. Wa qad ihtajja bihi al-shaikhani wa al-tirmidzi.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa al-Juzjani tidak hanya dinilai thiqah bahkan dianggap sebagai imam jarh wa ta’dil meski berpaham nashibi. Hal ini bertentangan dengan kriteria ‘adam al-bid’ah dalam syarat ‘adalat al-rawi. Idiologinya ini mempengaruhi sikap dan penilanya terhadap ahlihadis lain yang tidak sepaham dengannya. Hal ini membuktikan karakteristik ilmu rijal yang bersifat subyektif. Sesuai dengan kaidah yang berlaku dalam metodologi jarh wa ta’dil, “La yajtami’ ithnani min ‘ulama hadha al-sya’ni ‘ala tauthiq al-da’if aw ‘ala tad’if al-thiqah” (al-Maya>din, 1986).
Selain mempengaruhi penilaian terhadap perawi lain, bid’ah nashibi mendorong penganutnya membuat riwayat palsu tentang orang yang ia benci yaitu Ali bin Thalib dan bahkan melemahkan hadis sahih yang diriwayatkan secara mutawatir, seperti yang akan kita lihat dalam biografi Hariz bin Usman berikut.
2. Hariz bin Usman bin Jabr bin As’ad al-Rahbi al-Hamshi
Al-Dzahabi menilainya terpercaya dengan idiom: kana mutqinan thabatan, lakinahu mubtadi’un. Menurut Abu Dawud, Imam Ahmad juga mengapresiasinya dengan idiom: thiqatun, thiqatun. Demikian juga Ibnu Main dan beberapa ulama lain. Menurut Ibnu Falas ia pembenci Ali (yanalu min ‘ali) yang hafal hadis (hafidan li al-hadith). Ketika ditanya mengapa membenci Ali? Ia menjawab, “Karena Ali membunuh datuk-datuknya (qatala aba’i).” Menurut Ibnu Hibban sebagaimana dilaporkan oleh Ibnu Hajar, Hariz adalah propagandis ahli bid’ah. “kana yal’anu ‘aliyan bi al-ghadati sab’ina marrah, wa bi al-‘ashiyyi sab’ina marrah. Faqila lahu fi dhalika, faqala: huwa al-qati’u ru’usa aba’i wa ajdadi. Wa kana da’iyatan ‘ila madhhabihi, yatanakkabu hadithuhu.”
Hariz bukan sekedar ahlibid’ah saja tapi juga propagandis. Menurut kaidah keadilan rawi hanya sekedar ahlibid’ah saja sebenarnya sudah masuk kriteria jarh apalagi ahlibid’ah propagandis yang berarti double jarh (al-Jauzi, 197). Ideologi bid’ah inilah yang membuatnya membuat hadis palsu tentang orang yang ia benci. Seperti disebutkan oleh Ibn al-Jauzi, “Abu al-Fath al-Azdi menyebutkan bahwa Hariz bin Usman meriwayatkan bahwa Nabi ketika hendak menaiki baghalnya, Ali datang dan melepas sabuk baghalnya sehingga Nabi jatuh tersungkur. Dalam riwayat lain seperti dinukil oleh Ibn Abi al-Hadid, Hariz pernah berkisah bahwa Nabi saat sebelum wafat berwasiat untuk memotong tangan Ali (al-Hadid, 70). Riwayat Hariz ini jelas bertentangan dengan banyaknya riwayat tentang keutamaan Ali yang tidak dimiliki oleh Sahabat Nabi yang lain, seperti diriwayatkan oleh Ibn Hanbal. Ma ja’a liashabi al-nabi min al-fazha’il kama ja’a li-‘ali.
Menurut Ibn al-Hajar, pemalsu hadis seperti Hariz ini seharusnya riwayatnya tidak diambil. Namun faktanya, ia dianggap hafidzan mutqinan, termasuk salahsatu Syaikh al-Bukhari. Tentang kebenciannya kepada Ali, Yahya bin Saleh ketika ditanya alasan mengapa menolak Hariz, ia menjawab: bagaimana aku mencatat dari seseorang aku salat subuh bersamaanya selama tujuh tahun dan ia tidak keluar masjid sampai melaknat Ali sebanyak tujuhpuluh kali (al-Asqalani, 209).
3.Limazah bin Zubar al-Jahdhami
Kuniyahnya Abu al-Walid al-Basri. Ikut perang jamal bersama Aisyah melawan Ali bin Abi Thalib. Termasuk satu dari yang gemar mencacimaki Ali dan memuji Yazid bin Muawiyah (al-Dzahabi, 419). Meski demikian sosoknya digolongkan ke dalam al-thiqat. Ia meriwayatkan dari Umar dan Abu Musa al- ‘Asy’ari. Hadisnya diriwayatkan oleh al-Zubair ibn Kharit dan Ya’la bin Hakim. Ibnu Sa’ad menilainya thiqah. Tentangnya Ahmad bin Hanbal berkomentar: salih al-hadith, walaupun yashtumu ‘aliyan dan hobi minum khamar.
Berdasarkan laporan dari biografi rijal hadis, sangat jelas muru’ah dan moral sosok ini bermasalah yang berarti tidak memenuhi standar dasar ‘adalat al- ruwat. Meskipun demikian Ibnu Hibban memasukkannya ke dalam al-thiqat dan hadisnya diriwayatkan para tokoh hadis seperti Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah.
Tiga nama tersebut di atas hanya sekedar contoh. Masih banyak sekali nama-nama ahlibid’ah dalam biografi rijal yang dinilai thiqah oleh mainstream ahli hadis. Hal ini jelas bertabrakan dengan syarat ‘adalat al-rawi yang mereka sepakati. Yaitu bahwa diantara tanda keadilan rawi adalah tidak melakukan perbuatan yang dilarang Allah dan Rasul-Nya dan bukan ahli bid’ah. Sementara al-nasb (membenci Ali) seperti dibuktikan oleh banyak hadis sahih di atas selain bertentangan dengan sunah Nabi untuk mencintai Ali, juga menjadi misdaq yang jelas bagi perbuatan bid’ah yang dilarang. Ada kontradiksi antara teori dengan prkatik. Keduanya tidak koheren. Tauthiq al-nasb tidak lempang di hadapan analisis ilmiah.
Menyadari adanya kontradiksi seperti ini, ahli hadis bingung, pusing tujuh keliling. Sebagian mencoba untuk mencari jalan keluar. Tidak mengapa perawi ahlibid’ah asal tidak propagandis (ghairu da’in libid’atihi). Teori ahlibid’ah non- propagandis ini pun tidak menyelesaikan diskrepansi metodologi ilmu rijal. Karena faktanya banyak ahlibid’ah propagandis yang diterima tanpa reserve. Seperti Hariz bin Usman di atas, atau ‘Imran bin Khaththan al-Sadusi, salahsatu ahlibid’ah propagandis dalam rijal Bukhari, yang sosoknya dinarasikan oleh Ibn Hajar al- ‘Asqalani sebagai berikut: da’iyatan ‘ila madhhabihi, wahuwa al-ladhi ratha ‘abd al-rahman bin muljam qatilu ‘ali bitilka al-abyat al-sairah. Wa qad waththaqahu al-‘ijli. Wa qala qatadah: kana la yuttahamu fi al-hadith. Wa qala Abu Dawud: laysa fi ahl al-ahwa asahhu hadithan min al-khawarij, thumma dhakara ‘imran hadha wa ghairuhu...” (al-‘Asqalani, 432)
Dalam ilmu psikologi munculnya teori qabul riwayati ahli al-bid’ah al- ghairu da’iyah libid’atihi karena ulama rijal terjebak ke dalam problem cognitive dissonance. Yaitu teori psikologi yang oleh Festinger di bawah ke ranah psikologi sosial. Menurut teori ini manusia by nature adalah makhluk yang suka mencari justifikasi atau membela diri untuk menjaga keajegan dalam sistem kepercayaannya, dan antara sistem kepercayaan dengan perilaku (Rakhmat, 2021, 29).
Disonansi kognitif artinya ketidakcocokan antara dua kognisi (pengetahuan). Disonansi membuat orang resah dan gelisah. Menyebabkan perang batin. Dalam keadaan seperti ini, orang berusaha mengurangi disonansi dengan pelbagai cara. Contohnya berikut ini: kognisi “bid’ah menggugurkan keadilan rawi hadisnya wajib ditolak,” disonan dengan “banyaknya ahlibid’ah yang hadisnya diterima.” Dihadapkan pada situasi disonan seperti itu ahlihadis memperkuat salahsatu kognisi yang disonan: “Tidak mengapa riwayat ahlibid’ah asal tidak propagandis.” Apakah justifikasi ini menyelesaikan problem ini? Ternyata tidak. Faktanya, banyak ahlibid’ah propagandis yang riwayatnya diterima tanpa reserve. Masih terjadi diskrepansi metodologis dalam ilmu rijal hadis. Dari sini dapat dipahami mengapa sarjana revisionis barat meragukan otentitas kitab Rijal karena beberapa alasan. Pertama, penilaiannya subyektif seperti dalam beberapa contoh nama di atas dan berdasarkan asumsi asal sezaman dianggap terjadi liqa’. Kedua, atas dasar apa ulama abad III dan IV mendasarkan penilaiannya pada ulama abad I. Dan karena itu, ketiga, sumber yang otentisitasnya diperdebatkan hanya melahirkan perdebatan sirkular yang tidak berujungpangkal (Amin, 29, 56).
Dalam paradigma Kuhn, aktifitas keilmuan di atas (tauthiq ahli al-bid’ah wa qabul ahli al-bid’ah al-ghairu da’iyah) sebagai ilmu pengetahuan yang normal (normal science) (Khun, 1970). Problem yang muncul dalam normal science seringkali diselesaikan dengan cara ad hoc. Seperti tampak dalam tauthiq ahlibid’ah non propagandis yang lahir dari teori ‘adalat al-ruwat, seperti yang penulis paparkan di atas. Menurut Popper (1987), penerimaan riwayat ahlibid’ah nashibi dengan idiom Abu Dawud (laysa fi ahl al-ahwa’ asahhu hadithan min al- khawarij) maupun Ibnu Hajar (fa-aktharu man yusafu bi al-nasb yakunu masyhuran bisidqi al-lahjati wa al-tamassuki bi-umuri al-diyanah) dalam rangka mengamankan teori mereka dari pembuktian yang menunjukkan kesalahan teori ‘adam al-bid’ah yang menjadi syarat keadilan rawi. Penyelesaian yang bersifat ad hoc ini tidak menyelesaikan masalah, hanya menutup-nutupi persoalan pelik yang muncul dari ilmu rijal yang dogmatik dan tidak ilmiah, sebagai karakteristik normal science.
Dalam prespektif filsafat islam, qubul riwayati ahli al-bid’ah dapat dibaca melalui konsep al-ahkam al-aql al-nazhari (hukum akal teoritis) dan al-ahkam al- ‘aqli al-‘amali (hukum akal praktis). Konsep ini dibuat oleh para filosof Mulsim untuk membagi cara kerja otak manusia dalam memahami sesuatu termasuk teori ilmiah. Maksud konsep ini adalah bahwa akal manusia memiliki dua jenis pemahaman, yaitu pemahaman terhadap sesuatu yang telah ada (das sein) dan pemahaman terhadap sesuatu yang harusnya ada (das solen). Yang pertama disebut akal teoritis. Dan yang kedua disebut akal praktis. Sebuah teori bahkan doktrin apapun (agama, sosial, politik, dll) akan kokoh berdiri di tengah hantaman badai kritik bila mengandung kesesuaian antara dua hukum tersebut. Bila tidak, maka konsep tersebut rapuh yang, walau dalam batas-batas tertentu, menjadi benar karena sebab lain. Dalam istilah ilmu hadis, kesahihannya li ghairihi dan bukan li dhatihi, seperti kaidah qabul riwayat ahli bid’at al-nawasib ini.
Seperti diuraikan di atas, tauthiq al-nawasib bukan karena materinya, karena nashibi jenis bid’ah yang seharusnya ditolak. Akan tetapi karena selalu dikampanyekan secara terstruktur, masif, dan sistematis dengan idiom yang disebut oleh Abu Dawud dan Ibnu Hajal al-Asqalani di atas sehingga menjadi sebuah kebenaran yang diterima. Kata-kata Hitler kiranya tepat untuk menggambarkan konsep tauthiq al-nawasib, “If you tell a big enough lie and tell it frequently enough, it will be believed.” Bukan hanya teori ini saja yang sesuai dengan sabda hitler ini bahkan menurut hemat penulis paradigma ilmu hadis tradisional bersesuaian dengan sabda sang tokoh yang kontroversional ini.
Oleh karena itu sarjana hadis modern harus meninggalkan paradigma tradisional ini dan menggantinya dengan paradigma baru. Yaitu paradigma interdisipliner yang diharapkan mampu melahirkan teori baru untuk menggairahkan studi hadis dan ilmu hadis sehingga tidak lagi mengecer travelling theory yang tidak lempang di hadapan analisis ilmiah.
Tawaran Metodologi
Berbeda dengan sarjana barat yang menolak kitab rijal hadis, dan berbeda pula dengan sarjana muslim tradisional yang menerima tanpa kritik, makalah ini mencoba untuk menjembatani keduanya dengan metode abduktif sebagai metode arlternatif dalam menyelesaikan diskrepansi teori ahlibid’ah Nawashib. Bagaimana operasionalisasi metode ini dalam ilmu rijal, kita akan melihatnya setelah ini. Di sini perlu penulis jelaskan terlebih dahulu latarbelakang mengapa ilmu rijal klasik perlu direkonstruksi dengan logic of discovery-nya metode abduktif.
Menurut al-Suyuthi dan al-‘Asqalani bid’ah nasb adalah membenci Ali atau lebih mengutamakan selain Ali. Mengapa muncul kebencian kepada Ali? Jawaban Hariz bin Usman di atas menyingkap alasan ma wara’a al-bughdu li-‘ali yaitu dendam politik yang ia warisi dari para leluhurnya karena Ali telah membunuh leluhur Hariz. Dalam perang apa Ali membunuh leluhur Hariz? Apakah dalam perang tersebut Ali dalam posisi benar atau salah? Mengapa Nabi menyebut pembenci Ali adalah munafik? Jawaban dari pertanyaan tersebut yang adalah motif kebencian Hariz ini menjadi domain logic of discovery dari metode abduktif untuk menyingkapnya.
Ada tiga perang besar antar dalam sejarah kelam umat Islam yang pengaruhnya terus berlanjut hingga hari ini dan memengaruhi bangunan ilmu-ilmu keislaman termasuk ilmu hadis. Yaitu perang Jamal, Siffin dan Nahrawan. Ketiga perang tersebut bukan semata-mata karena politik sesaat an sich. Ada dendam masa lalu dari para penentang Ali. Menurut Fuad Jabali, mereka yang bersama Ali adalah yang dulu membela dakwah Nabi. Sementara, mereka yang melawan Ali adalah yang dulu melawan Nabi. Dalam banyak perang Nabi melawan Quraisy Mekkah, Ali selalu tampil sebagai pahlawan. Para jawara Quraisy yang tak terkalahkan seperti Amr bin Abd al-Wud takluk di tangan Ali, di saat sahabat Nabi yang lain desersi atau lari, seperti dalam perang Uhud dan Hunain. Nabi pun sering menyanjung Ali sedemikian rupa hingga membuat orang lain hasad. Ada dua model kedengkian kepada Ali sebagai mishdaq dari bid’at al-nasb. Yang kafir karena dendam kepada Ali, yang beriman karena mengharap kemuliaan yang, seperti diungkapkan oleh Ibnu Hanbal, tidak dimiliki oleh sahabat Nabi yang lain.
Dalam perang Siffin melawan Muawiyah bin Abu Sufyan, meski Ali benar tapi ia kalah. Singkat cerita, Muawiyah menjadi penguasa tunggal dunia Islam yang menurut Harus Nasution dicapai dengan cara licik (Nasution, 1986, 7). Ia hanya seorang taliq bukan dari Muhajirin dan Anshar yang jangankan menjadi khalifah bahkan menjadi anggota formatur yang memilih khalifah pun ia tidak berhak. Legitimasi Muawiyah sangat lemah. Untuk memperkuatnya ia memakai politik machiavillian, menghalalkan segala cara. Ali dicacimaki di setiap mimbar. Tradisi memaki Ali menjadi sunah Muawiyah yang menjadi ritual wajib di setiap Jum’at (al-Alawi, 136). Walaupun Muawiyah secara politik kuat tetapi lemah secara teologis betapapun telah terjadi banyak perubahan ajaran agama (al- Bukhari, 1981, 64). Maka untuk memberikan legitimasi teologis, Muawiyah membayar sekelompok orang untuk membuat hadis-hadis palsu tentang keutamaan sahabat yang mendukung kekuasannya (Rakhmat, 2008). Sebagai penguasa tunggal, tidak sulit bagi Muawiyah menjadikannya bagian dari ideologi negara. Hadis-hadis yang mendukung kekuasaannya dianggap sahih. Sebaliknya, hadis-hadis yang mendukung lawan politiknya dianggap lemah.
Satu hal yang lazim dalam sebuah persaingan politik adalah jargon bersama kami atau lawan kami. With us or again us. Logika yang dipakai adalah logika persaingan (al-uqul al-mutanafisah) yang menumbuhkan karahiyatul ghair wa rafdul ghair, teori minna walaysa minna. Yang minna diterima sebagai kawan, yang laysa minna diberlakukan sebagai lawan. Konsep ahlussunah dan ahlubid’ah yang dipakai Imam Muslim dalam menyusun kodexnya adalah imbas dari paradigma ini. Riwayat ahlussunah diterima, karena bagian dari minna dan riwayat ahlulbid’ah ditolak karena laysa minna.
Dalam paradigma ilmu hadis klasik ahli bid’ah adalah lawan dari ahlussunah. Dan ahlibid’ah dianggap sebagai biangkerok pemalsuan hadis untuk mendukung kebid’ahannya, sehingga riwayat mereka ditolak. Meskipun, sekali lagi, seperti diuraikan di atas, prinsip ini tidak sejalan antara teori dan praktik karena faktannya ahlibid’ah nashibi yang propagandis pun diterima. Padahal dari kelompok ahlussunah pun banyak yang memalsukan hadis untuk mendukung madzhabnya. Akan tetapi hampir dalam semua pembahasan pemalsuan hadis, jarang dan bahkan hampir-hampir tidak ditemukan kalimat ahlussunah sebagai salahsatu pihak yang juga berkontribusi dalam pemalsuan hadis. Mengapa terjadi? Ada dua kemungkinan. Apakah ahlussunah yang ditunggangi penguasa. Atau elit ahlussunah yang mencari dukungan penguasa.
Baik yang pertama atau kedua, terjadi simbiosis mutualisme dalam menghadapi pihak yang dianggap lawan yang distigma sebagai ahlibid’ah. Kasus ahlissunah versus ahli bid’ah menjadi contoh dominasi kekuatan penguasa saat itu terhadap teori ilmu hadis klasik. Dalam prespektif seperti ini Edward Said menyebut bahwa knowledge is power, and studying an object is an act of establishing control over it (Brown, 198). Bukan sesuatu yang kebetulan bila stigma ahlibid’ah yang hadisnya ditolak adalah mereka yang berada di luar lingkaran kekuasaan. Menurut Farouq al-Nabhani sebagaimana disebut Jalaluddin Rakhmat, campur tangan penguasa menyebabkan stagnasi pemikiran di dunia Islam (Rakhmat, 2007, 202). Idha dakhalat al-siyasatu fi al-shayi’ afsadathu, kata Badruddin al-Hasun, Mufti Suria. Ilmu pengetahuan dikooptasi oleh penguasa untuk tujuan politik, dan ini menjadi karakteristik ilmu hadis paradigma lama dan juga ilmu keislaman lain yang menjadikan aliansi politik sebagai ukuran penilaian kualitas rawi. Ke-thiqahan dan ke-dhaifan rawi ditentukan oleh kesetiaan kepada penguasa. Perawi yang mendukung penguasa dianggap thiqah, hadisnya diterima. Sebaliknya, perawi yang berseberangan dengan penguasa dianggap dhaif, hadisnya ditolak.
Dalam hipotesis penulis, ilmu hadis klasik atau ilmu hadis paradigma lama adalah ilmu hadis yang dikonstruksikan dan disosialisasikan oleh penguasa secara sistematis dan terstruktur sehingga menjadi taken for granted yang memengaruhi cara berpikir kita. Nyaris tidak ada yang berani menyoal beberapa teori ilmu hadis klasik yang oleh Kamaruddin Amin lebih pas disebut sebagai dogma dan bukan teori ilmiah. Yang menurut Amin Abdullah karena takut for being accused not to be muslim anymore (infidel) (Amin Abdullah, 77), atau dianggap sebagai corong orientalis sebagaimana tuduhan yang diarahkan kepada Harun Nasution (Rasyid, 2021, 191-220).
Berbeda dengan paradigma lama, dalam kacamata sosio-historis, hadis sebagai sumber utama karya historis Islam awal dapat didekati dengan memakai pendekatan ilmu-ilmu sosial. Syuhudi Ismail menyebutnya dengan metode kritik sejarah (historical critical method) (Ismail, 1995). Menurut Azyumardi Azra, sejarah yang dikonstruksikan dan disosialisasikan pada masyarakat pada umumnya adalah sejarah politik. Dan sejarah politik adalah sejarah penguasa, sejarah para elit, sejarah mainstream atau yang dipandang sebagai mainstream (Azra, 1999). Dalam sejarah ini, tidak ada tempat bagi gerakan di luar mainstream, mereka adalah orang-orang pinggiran yang tersisih dari kehidupan. Ilmu hadis klasik menyebut mereka sebagai ahlibid’ah yang menyimpang. Mereka dianggap sebagai manusia tanpa sejarah. Oleh karena itu, sejarah sosial lahir sebagai protes atas sejarah elitis tersebut.
Dalam bahasa Karl Popper, Thomas S. Kuh, dan Imre Lakatos yang dinarasikan kembali oleh Amin Abdullah, teori ahli bid’ah dai’yah dan ghairu da’iyah berada dalam wilayah orbit context of justification dari normal science islamic studies yang bersifat repetitif (Amin Abdullah, 30). Dengan teori mainstream-non-mainstream dalam metode kritik sejarah, dan dengan logic of discovery-nya metode abduktif penulis yakin ilmu hadis dengan paradigma baru (interdisipliner) mampu mengungkap apa di balik pelbagai teori ilmu hadis klasik yang saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya, seperti tentang qubul riwayat ahli bid’ah yang sedang kita diskusikan ini. Maupun teori ilmu hadis yang lain, seperti teori tadwin hadis, pemalsuan hadis, bahkan teori keadilan sahabat yang berbeda dengan mainstream ahlihadis klasik (Ulum, 2018).
Aplikasi Metode Kritik Sejarah
Seperti disebut di awal tulisan ini bahwa metodologi kritik hadis klasik (ilmu jarh} wa ta’dil) sangat subyektif. Oleh karena itu, tidak dapat dipakai untuk menentukan kualitas hadis tetapi sekedar suplemen bagi historical critical method yang dengan metode ini, menurut Jonathan Brown, Erasmus berhasil menyingkap kepalsuan doktrin trinitas dalam Bible (Brown, 201). Metode ini melihat hadis sebagai sumber sejarah secara kritis. Lalu diverifikasi dengan prinsip konsistensi, analogi dan disimiliariti. Prinsip konsistensi sudah kita pakai untuk menguji teori ahlibid’ah di atas. Prinsip analogi kita pakai untuk membaca peristiwa masa lalu dengan masa kini. Dimana ada hukum sosial yang berlaku abadi. Yaitu bahwa interaksi sosial di didorong oleh motif-motif duniawi. Bahwa dalil agama seringkali dipakai untuk tujuan duniawi. Bila ia berkuasa, untuk melanggengkan kekuasaanya. Bila ia berharta, untuk menumpuk hartanya. Adapun prinsip dissimiliarity menetapkan bahwa laporan yang tampak bertentangan dengan ortodoksi besar kemungkinan benar. Karena bisa jadi laporan yang bersesuaian dengan ortodoksi dibuat oleh pihak yang berkekuatan, dan tidak menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi tetapi untuk mendukung ortodoksi (Rakhmat, 2014).
Oleh karena itu, untuk menemukan what really happen diperlukan laporan non-ortodoksi. Atau cara baca non-mainstream seperti yang akan kita lihat dalam contoh kasus di bawah nanti, penulis yakin bahwa metode ini mampu menyingkap apa yang sebenarnya terjadi di balik periwayatan hadis. Tidak seperti sarjana barat yang menolak kitab rijal dengan alasan yang sudah disebut di atas, di sini kita masih memakai kitab rijal, tahdhib al-Tahdhib karya Ibn Hajar al-‘Aqalani,sebagai informasi awal yang masih mentah. Al-Jarh wa ta’dil dipakai sebagai sumber data sejarah untuk mengumpulkan hadis tetapi bukan untuk menentukan otentisitasnya.
Sebagai contoh dari penerapan metode kritik sejarah terhadap riwayat yang diasumsikan sebagai hadis Nabi. Mari kita lihat dalam riwayat keutamaan Sahabat Usman bin Affan yang diriwayatkan oleh Muslim berikut ini.
Menilai hadis tersebut dilakukan melalui dua cara. Pertama, cara tradisional dengan membaca biografi para perawinya dalam kutub rijal. Informasi yang kita peroleh dari ulama al-jarh wa ta’dil tidak diterima secara taken for granted tetapi masih harus diolah dengan prinsip dissimiliarity sebagai bagian dari metode kritik sejarah. Dalam konteks ‘ilmu jarh wa ta’dil ortodoksi yang berkembang adalah kedekatan dengan penguasa. Perawi yang mendukung kebijakan penguasa akan dinilai thiqah, dan hadisnya diterima. Demikian vise versa. Oleh karena itu hadis yang mendukung ortodoksi tidak menunjukkan what really happened, karena bisa jadi hasil dari rekayasa politik. Untuk mencari apa yang sebenarnya terjadi disini letak urgensi the logic of discovery dari metode abduktif sebagai hakim bagi subyektifitas ilmu jarh wa ta’dil.
Pertama, mari kita lihat kualitas para perawi hadis ini.
- Abdul Malik bin Syu’aib bin al-Laits bin Sa’ad al-Fahmi. Ia meriwayatkan dari ayahnya, Syu’aib bin al-Laits. Disamping namanya tertulis huruf mim, dal, dan sin. Yang berarti hadisnya diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud dan Nasai. Abu Hatim al-Razi dan al-Nasai menilainya thiqah.
- ‘Uqail bin Khalid bin ‘Aqil al-‘Aili, Abu al-Khalid al-Umawi, Maula Usman bin Affan. Guru-guru hadisnya antara lain adalah Hasan al-Basri dan Ibn Shihab al-Zuhri. Disamping namanya tertulis hurun ‘ain, dengan demikian riwayatnya terdapat dalam enam kanonik hadis. Di antara murid yang meriwayatkan hadisnya adalah al-Laiths bin Sa’ad. Menurut al-Majishun, Uqail adalah polisi (syurtah) di Madinah dan meninggal di Mesir pada tahun yang diperdebatkan antara 140-144. Semua ahli hadis seperti al-Nasai, Ibn Hanbal, Abu Zur’ah menilainya thiqah.
- Yahya bin Said. Nama lengkapnya Yahya bin Sa’id bin al-‘Ash bin Sa’id bin al-‘Ash bin Umayyah al-Qurashi al-Umawi. Kuniyah-nya Abu Haris al-Madani. Disebelah namanya tertulis huruf ba’-kha’, mim. Yang berarti hadisnya diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim. Selain dari ayahnya, ia juga meriwayatkan dari Usman, Muawiyah, dan Aisyah. Al-Nasai, Ibn Hibban, dan Ibn Hajar menilainya; thiqah (al-‘Asqalani, 1994, 189).
Seperti diceritakan oleh Ali al-Madini bahwa setelah ‘A<m al-Jama>’ah, Muawiyah mengeluarkan dekrit larangan penyebaran riwayat keutamaan Ali, dan membuat riwayat tandingan tentang keutamaan Usman. Diceritakan bahwa setiap orang berlomba untuk membuat riwayat tentang keutamaan Usman. Setiap satu riwayat dibayar dengan harga yang sangat mahal. Setelah riwayat tentang Usman menyebar, ia keluarkan perintah lain untuk membuat riwayat lain tentang keutamaan para khalifah sebelum Ali. Dan riwayat di atas dibuat untuk memenuhi keinginan Muawiyah tersebut (al-Alawi, 126).
Terhadap riwayat jenis ini, kita dapat memanfaatkan ‘ilm rijal yang telah ada tapi dibaca secara berbeda. Inilah yang dimaksud dengan prinsip disimiliarity dalam historical critical method. Dalam dunia hukum ada istilah pembuktian terbalik, maka dalam dunia ilmu rijal dengan paradigma interdisipliner, penulis mengusulkan istilah pembacaan terbalik terhadap rijal istana. Dan Ilmu rijal yang dibaca secara terbalik kita sebut sebagai ilmu rijal revisionis, antitesa dari ‘ilmu rijal istana. Ilmu rijal yang selama ini dipakai untuk menyeleksi hadis adalah ilmu rijal mainstream atau penguasa. Atau, dalam bahasa Muslim, rijal ahl al-sunnah, lawannya rijal ahl al-bid’ah. Di sini terbukti tesis artikel ini bahwa hadis yang mendukung kebijakan penguasa diterima, dan perawinya diapresiasi, sedangkan hadis yang mendukung oposisi ditolak, dan perawinya dipersekusi. Temuan ini mendukung tesis Edward Said yang disebut oleh Jonathan Brown bahwa ilmu pengetahuan adalah kekuatan. Mempelajarinya adalah upaya untuk membangun kontrol terhadapnya. Knowledge is power, and studying an object is an act of establishing control over it.
Berangkat dari pelbagai fakta di atas, sarjana hadis modern harus berpikir untuk membangun ilmu hadis yang egaliter. Ilmu hadis yang sesuai dengan prinsip HAM yang sejalan dengan pesan Tuhan yang tidak membeda-bedakan antara ahl al-sunnah dengan ahl al-bid’ah. Kedua istilah ini menurut hemat penulis adalah istilah karet yang dibuat oleh pihak yang menang untuk menjustifikasi kekuasaan dengan label ahlu al-sunnah dan mendiskreditkan lawan dengan stigma ahlu al- bid’ah.
Artikel ini berhasil membuktikan inkonsistensi ilmu jarh wa ta’dil dalam men-tauthiq ahli bid’ah kelompok Nashibi. Ada dua cara dalam men-tauthiq ahli bid’ah Nashibi. Tauthiq umum dengan menyebut mereka sebagai kelompok yang paling jujur dibanding ahli bid’ah yang lainnya. Dan tauthiq khusus dengan mengapresiasi para tokoh yang dikenal kebenciannya kepada Ali bin Abi Thalib. Baik apresiasi umum ataupun apresiasi khusus kedua-duanya bertentangan dengan prinsip ‘adam al-bid’ah dalam kaidah keadilan rawi. Tidak ada kesesuaian antara teori dengan praktik. Terjadi diskrepansi metodologi yang menyalahi prinsip konsistensi logis dan korespondensi empiris sebagai standar metodologi ilmiah modern. Ilmu jarh wa ta’dil sudah out of date untuk menjadi satu-satunya metodologi kritik hadis di zaman modern. Diperlukan pendekatan lain yaitu abductive untuk mendobrak stagnasi metodologi ilmu hadis tradisional yang selama ini hanya merepitisi travelling theory lama. Ilmu hadis dengan paradigma interdisipliner ini bisa disebut dengan Ilmu Hadis Revisionis yang dikonsep untuk merevisi pelbagai teori tradisional ilmu hadis klasik yang dipengaruhi oleh kondisi sosial politik zaman dulu yang berbeda dengan kondisi sosial politik di zaman modern.
*Dimuat di Jurnal KORDINAT, Jurnal Komunikasi Antar Perguruan Tinggi Agama Islam, Vol. XXI No. 1 Tahun 2022
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif- Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012).
Al-Alawi, Muhammad ibn Aqil, al-‘Atbu al-Jamil ‘ala Ahl al-Jarh wa al-Ta’dil
(Qum: al-Majma’ al-‘Alami li Ahl al-Bayt, 1427).
Amin, Kamaruddin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis
(Bandung: Hikmah, 2009).
Anggoro, Taufan, “Perkembangan Pemahaman Hadis di Indonesia: Analisis Pergeseran dan Tawaran di Masa Kini,” Diya al-Afkar, Vol. 7, No. 1, Juni 2019.
Al-‘Asqalani, Ahmad ibn Ali ibn Hajar, Tahdhib al-Tahdhib, tahqiq Musthafa
Abdul Qadir ‘Atha (Beirut: Dar al-Fikr, 1425 H/1994 M.
----- , Fath} al-Bari Sharh S}ahih} al-Bukhari tahqiq Muhibuddin al-Khathib (Beirut: Dar al-Ma’rifah)
Azami, Muhammad Mushtafa, Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muh{addithin Nash’atuhu
wa Tarikhuhu (Riyadh: Maktabah al-Kawthar, 1982).
Azra, Azyumardi Azra, Badri Yatim, Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci; Hijaz 1800-1925 (Jakarta: Logos, 1999)
Brown, Jonathan A.C. Hadith Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009).
Al-Dzahabi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Usman, Mizan al-I’tidal fi
Naqd al-Rijal (Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah ‘Isa al-Babi al-
Halabi wa Shuraka’uhu, 1963)
Al-Dzahabi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Usman, Muhammad bin Ahmad bin Usman bin Qaimaz, Man Tukullima Fihi Wahuwa Muwaththaq, tahqiq Muhammad Syakir Amri al-Mayadin (Beirut: Maktabah al-Manar, 1986)
Ghazali, Muhammad, al-Sunnah al-Nabawiyah baina Ahli al-Hadith wa Ahl al-
Ra’yi (Beirut: Dar al-Shuruq, 1989)
Haitami, Nuruddin Ali bin Abi Bakar, Majma’ al-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid
(Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1982)
Husein, Alwi, “Periwayat Shiah dalam Sahih Bukhari,” Mutawatir, Vol 11, No.
01, Juni 2021. https://doi.org/10.15642/mutawatir.2021.11.01.99-126
Ismail, Syuhudi, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1995)
Ibnu Mandzur, Muhammad bin Mukrim, Lisan al-‘Arab (Beirut; Dar al-Sadir)
Jabali, Fuad, Sahabat Nabi, Siapa, Ke Mana, dan Bagaimana (Bandung: Mizan, 2010).
Kamali, Mohammad Hashim, A Textbook of Hadith Studies: Authenticity, Compilation, Classification and Criticism of Hadith (United Kingdom: The Islamic Foundation, 2005).
Khan, Israr Ahmad, Authentification of Hadith: Redefining the Criteria (New York: The International Institute of Islamic Thought, 2010).
Khathib, Muhammad ‘Ajaj, Ushu>l al-Hadith ‘Ulumuhu wa Mushtalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 2011).
Kuhn, Thomas S., The Structure of Scientific Revolution (Chichago: University Press, 1970).