"Jika Anda ingin melihat agama yang hidup, yang terus menerus bernafas, datanglah ke Karbala"
Mereka melakukan perjalanan jauh, tanpa bekal kecuali cinta. Menempuh jarak ratusan mil jauhnya. Menentang bahaya dan bermain-main dengan kematian yang siap menjemputnya kapan saja. Semua karena kekasih tercinta, Husain sayyidusy syuhada.
Tulisan ini adalah catatan tentang perjalanan Arbain tahun 2014, diambil dari World's Biggest Pilgrimage Now Underway, And Why You've Never Heard of it!. Diterjemahkan oleh Mustamin al-Mandary. (majulah-IJABI)
Ada hal lain yang mencengangkan dari prosesi Arbain itu sendiri. Walaupun Arbain adalah ritual khusus muslim Syiah, namun kaum muslim Sunni, bahkan orang Kristen, Yazidi, Zoroastrian dan Sabian, turut berpartisipasi baik dalam ziarah maupun pelayanan terhadap peziarah di sepanjang jalan. Inilah yang menjadikan Arbain sebagai ritual agama yang sangat istimewa. Dan hal ini menunjukkan satu pesan penting yang luar biasa: semua orang yang hadir, terlepas dari warna kulit ataupun keyakinannya, mereka semua melihat Imam Husain as sebagai tokoh universal, tanpa batas, dan simbol meta-agama tentang kemerdekaan dan kasih sayang.
Tetapi mengapa Anda tidak pernah mendengar tentang hal itu sebelumnya? Jawabannya mungkin ada hubungannya dengan fakta bahwa, khususnya ketika berhubungan dengan Islam, kebanyakan media lebih tertarik dengan berita negatif, yang berdarah-darah dan sensasional, dibandingkan dengan informasi positif serta narasi yang inspiratif. Jika beberapa ratus demonstran anti-imigrasi turun ke jalan di kota London, media akan menjadikannya berita utama. Demikian juga jika ada pawai pro-demokrasi di Hong Kong atau reli anti-Putin di Rusia. Tapi sebuah pertemuan dari dua puluh juta orang yang menyuarakan perlawanan terhadap teror dan ketidakadilan bahkan tak menarik untuk dijadikan news ticker di TV! Ada semacam embargo tak resmi media terhadap suatu kejadian kolosal, meskipun kejadiannya memiliki semua elemen penting dari fitur eye-catching yang menjadi referensi media; angka yang luar biasa, signifikansi politis, pesan revolusioner, latar belakang yang menegangkan, juga orisinalitas. Tapi ketika cerita seperti itu tidak lolos melewati editorial beberapa media besar, hal itu justru mengagetkan dan menginspirasi banyak orang.
Dengan tumbangnya rezim parta Ba’ath berhaluan Sunni di Irak, Barat sangat ingin melihat bagaimana rakyat Irak menyongsong era baru setelah mereka bebas dari persekusi kediktatoran. “Republik Ketakutan” telah hancur dan jin telah keluar dari botol yang memerangkapnya. "Dimanakah Karbala itu? mengapa semua orang beramai-ramai menuju kesana?" kenang pemuda itu bertanya kepada dirinya sendiri. "Siapakah Husain yang telah memotivasi orang untuk menentang segala rintangan dan keluar untuk meratapi kematiannya bahkan setelah empat belas abad berlalu?"
Apa yang dia saksikan dalam laporan 60-detik itu sungguh menarik perhatiannya karena informasi itu berbeda dengan apa yang sudah sering dilihatnya selama ini. Ada satu tarikan yang sangat kuat yang merubah para peziarah menjadi seperti serbuk besi yang kemudian menariknya mendekat. Itulah kekuatan yang hanya bisa dijelaskan sebagai medan magnet Imam Husain yang tak bisa ditolak. "Jika Anda ingin melihat agama yang hidup, yang terus menerus bernapas, datanglah ke Karbala" katanya.
Bagaimana mungkin seorang pria yang wafat 1396 tahun yang lalu, bisa menjadi begitu hidup dan seolah-olah hadir hari ini lalu membuat jutaan orang memenuhi seruannya dan melihat penderitaannya sebagai penderitaan mereka juga? Orang tidak mungkin ditarik ke dalam permasalahan (apalagi yang terjadi dimasa lalu) kecuali mereka memiliki kepentingan pribadi dalam masalah tersebut. Di sisi lain, jika Anda merasa seseorang telah berjuang untuk kemerdekaan Anda, hak prerogatif Anda untuk diperlakukan secara adil, dan hak Anda untuk kehidupan yang bermartabat, Anda akan merasa bahwa Anda memiliki kepentingan disitu. Maka Anda pun akan berempati terhadapnya, bahkan sampai pada titik di mana Anda merasa bahwa mengikuti keyakinan orang itu adalah pilihan yang paling tepat.
Husain as, cucu Nabi Muhammad Saw, sangat dihormati oleh umat Islam. Beliau diberi gelar "Penghulu Para Syuhada ". Ia syahid di Karbala pada hari yang dikenal sebagai Asyura, hari kesepuluh bulan Muharram. Beliau dibunuh karena menolak untuk berbaiat kepada Yazid yang korup dan tiran pada saat itu.
Husain as, bersama keluarga dan sahabatnya dikepung di sebuah padang pasir oleh 30.000 tentara. Mereka lalu kekurangan makanan dan air. Husain as sendiri bersama beberapa sahabatnya kemudian dipenggal dengan cara yang paling mengerikan, kisah pilu yang diceritakan dari mimbar-mimbar setiap tahun sejak hari syahadah itu. Tubuh mereka dicincang. Dalam kata-kata sejarawan Inggris Edward Gibbon: "Dalam rentang masa dan waktu, adegan tragis syahadah Husain akan membangkitkan simpati dari pembaca yang paling dingin sekalipun."
Muslim Syiah kemudian meratapi syahadah Imam Husain setelah itu, khususnya pada hari Asyura, lalu empat puluh hari setelahnya yang dikenal sebagai Arbain. Empat puluh hari adalah masa berkabung yang umum di banyak tradisi Muslim. Tahun ini (2014), Arbain jatuh pada hari Jumat tanggal 4 Desember.
Saya melakukan perjalanan ke Karbala, tanah leluhur saya, untuk mencari tahu mengapa kota ini begitu “memabukkan”. Apa yang saya saksikan membuktikan kepada saya bahwa bahkan lensa kamera terlebar sekalipun masih terlalu kecil untuk bisa menangkap semangat pertemuan yang “penuh gejolak” namun tetap damai ini.
Hamparan lautan manusia, yang terdiri dari pria, anak-anak dan wanita yang kebanyakan berkerudung hitam, terlihat dari satu ujung ke ujung lainnya. Hamparan itu sedemikian luasnya sehingga menyebabkan blokade sampai ratusan mil jauhnya.
Jarak 425 mil antara kota Basrah dan Karbala adalah rute perjalanan panjang dengan mobil, tapi jarak itu tak terbayangkan sulitnya ketika ditempuh dengan berjalan kaki. Para peziarah membutuhkan waktu dua minggu penuh untuk menempuh jarak tersebut. Orang dari semua umur berjalan di bawah terik matahari di waktu siang, dan tetap melanjutkan perjalanan di waktu malam yang dinginnya menusuk tulang. Mereka melakukan perjalanan melintasi medan yang tidak mudah, tanjakan dan turunan, melewati daerah kekuasaan teroris dan rawa yang berbahaya. Bahkan tanpa fasilitas perjalanan yang memadai, para peziarah hanya membawa sedikit bekal. Namun, mereka membawa sesuatu yang luar biasa: cinta yang membara untuk sayyidusy syuhada Husain as. Bendera dan spanduk mengingatkan tujuan mereka, dan tentang dunia yang menjadi tujuan perjalanannya:
Wahai diriku, di hadapan Husain kau tak berharga.
Hidup dan matiku sama saja,
Biarlah mereka menyebutku gila!
Syair itu adalah syair epik yang dibacakan oleh Abbas, saudara sebapak Imam Hussein as yang juga seorang tentaranya yang terpercaya. Abbas juga syahid dalam Pertempuran Karbala tahun 680 ketika mencoba mengambil air untuk keponakannya yang kehausan. Dengan kondisi keamanan Irak yang mengkhawatirkan yang telah membuat Irak menjadi berita headline di dunia, hal ini mencerminkan keamanan para peziarah yang juga terancam kapan saja, seperti kondisi Abbas pada saat itu.
Salah satu bagian dari prosesi Arbain yang mengesankan bagi para peziarah adalah ribuan tenda dan dapur darurat yang didirikan oleh masyarakat setempat di sepanjang jalan yang dilewati oleh peziarah. Tenda (disebut 'mawkeb') adalah tempat di mana para peziarah bisa mendapatkan hampir segala sesuatu yang mereka butuhkan. Dari makanan segar untuk makan, tempat untuk beristirahat, tempat untuk melakukan panggilan telepon internasional untuk menghubungi kerabat, untuk mendapatkan dan mengganti popok bayi, serta untuk mendapatkan kebutuhan lainnya. Semuanya gratis. Bahkan, jamaah tidak perlu membawa apa-apa dalam perjalanan 400 mil itu kecuali pakaian yang mereka gunakan. (Informasi tahun 2015 ini, sepanjang jalan sudah disediakan wifi gratis untuk koneksi internet, maupun untuk telepon berbasis VOIP, pent.)
Yang lebih menarik lagi adalah bagaimana masyarakat itu menyuguhkan makanan dan minuman untuk para peziarah. Penyelenggara Mawkeb akan mencegat para peziarah di jalan, memohon untuk menerima pelayanan mereka. Sering kali pelayanan itu bukan hanya memberi makanan dan minuman saja, tapi juga rangkaian pelayanan yang lebih cocok untuk raja: pertama-tama mereka akan memijat kaki Anda, lalu Anda akan disuguhi makanan hangat yang lezat, dipersilahkan untuk beristirahat sementara pakaian Anda akan dicuci, disetrika, yang semuanya akan selesai setelah Anda tidur siang. Dan sekali lagi, semuanya gratis.
Untuk membayangkannya, bandingkan dengan hal ini: Sesaat setelah gempa Haiti, dan dengan simpati dan dukungan dari seluruh dunia, Program Pangan Dunia PBB mengumumkan pengiriman setengah juta paket makanan dengan upaya maksimal yang bisa dilakukan. Pada saat yang sama, Militer Amerika Serikat langsung menginisiasi Operasi Unified Respon, mengumpulkan bantuan yang bernilai sangat besar dari berbagai lembaga federal dan mengumumkan bahwa dalam waktu lima bulan dari terjadinya bencana kemanusiaan ini, 4,9 juta paket makanan telah dikirim ke Haiti. Sekarang bandingkan dengan lebih dari 50 juta paket makanan per hari selama Arbain, setara dengan sekitar 700 juta paket makanan selama musim ziarah tersebut. Ingat, semua paket makanan ini tidak dibiayai oleh PBB atau badan amal internasional, tetapi oleh buruh dan petani miskin yang menyediakan makanan bagi para peziarah. Mereka menabung sepanjang tahun agar bisa melayani para peziarah ketika musim Arbain tiba. Semuanya, termasuk keamanan disediakan sebagian besar oleh pejuang relawan yang memiliki pandangan yang sama terhadap ISIS, mereka melakukan hal itu untuk melindungi jalur peziarah. "Untuk mengetahui apa yang diajarkan oleh Islam," kata salah satu penyelenggara Mawkeb, "jangan lihat apa yang dilakukan beberapa ratus teroris biadab, tetapi lihatlah pengorbanan tanpa pamrih yang ditunjukkan oleh jutaan peziarah Arbain."
Mestinya, Arbain harus terdaftar dalam Guinness Book of World Records untuk beberapa kategori: pertemuan terbesar tahunan, meja makan terpanjang, jumlah terbesar orang yang makan secara gratis, kelompok terbesar dari relawan yang melayani satu aktivitas, dan semua kejadian luar biasa itu berada di bawah ancaman bom bunuh diri.
Hanya dengan melihat kondisi ziarah Arbain itu saja, Anda akan kehilangan kata-kata. Belum lagi ketika Anda mengetahui bahwa, dengan kondisi keamanan yang sangat buruk, justru semakin banyak orang yang termotivasi untuk menantang ancaman teroris dan melakukan reli untuk menunjukkan perlawanan. Dengan demikian, prosesi Arbain bukan ritual agama semata, ia adalah perlawanan. Banyak video yang telah diposting secara online yang menunjukkan bagaimana seorang pembom bunuh diri meledakkan dirinya di tengah-tengah para peziarah. Namun serangan itu justru mengundang semakin banyak peziarah untuk datang. Mereka datang, dan dengan lantang meneriakkan lengking syair yang mengharukan:
Jika mereka memotong kaki dan tangan kami,
Kami akan tetap ke Karbala walaupun harus merangkak!
Ledakan bom yang mengerikan yang terjadi sepanjang tahun, yang sebagian besar memang menargetkan peziarah Syiah, telah merenggut nyawa yang tak terhitung jumlahnya. Itulah gambaran bahaya yang dihadapi oleh muslim Syiah yang tinggal di Irak, juga ketidakamanan yang masih terus terjadi di negara tersebut. Namun, ancaman kematian itu tidak menghalangi peziarah untuk tetap datang, tua dan muda, orang Irak maupun orang dari negara luar. Mereka rela menempuh perjalanan yang berbahaya untuk sampai ke kota suci Karbala.
Bukan hal yang mudah bagi orang luar untuk bisa memahami apa yang menginspirasi para peziarah tersebut. Anda bisa melihat para wanita yang menggendong anak-anaknya, orang-orang tua yang didorong di atas kursi roda, orang-orang yang hanya bisa berjalan dengan bantuan tongkat penopang, atau orang buta yang berjalan dengan tongkatnya. Saya bertemu dengan seorang ayah yang telah melakukan perjalanan kaki dari Basrah dengan membawa anaknya yang berkebutuhan khusus. Anaknya yang berusia 12 tahun itu menderita cerebral palsy dan tidak bisa berjalan tanpa bantuan. Jadi sepanjang perjalanan, sang ayah menggendong anaknya dan menahannya dengan tangannya. Fragmen ini mirip dengan cerita film-film pemenang Oscar, tetapi tampaknya Hollywood lebih tertarik dengan pahlawan komik dan pahlawan dari kehidupan nyata yang kekuatannya adalah keberanian dan komitmen saja.
Para peziarah yang mengunjungi makam Imam Husain as dan saudaranya Abbas bin Ali, bukanlah didorong oleh emosi semata. Mereka menangis karena kengerian syahadah keduanya. Dengan melakukan ziarah, mereka menegaskan kembali janji mereka untuk ajaran dan perjuangan Imam Husain as.
Hal pertama yang dilakukan oleh para peziarah ketika sampai di makam Imam Husain as adalah membaca doa Ziyarah, teks suci yang merangkum kesucian Imam Husain as. Mereka memulai doa tersebut dengan menyebut Imam Husain as sebagai "pewaris" Adam, Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa. Ada makna khusus di dalam pernyataan ini. Hal itu untuk menunjukkan bahwa ajaran Imam Husain as tentang kebenaran, keadilan, dan kasih sayang terhadap kelompok tertindas dipandang sebagai kelanjutan yang tak terpisahkan dari misi para Nabi.
Orang-orang yang pergi ke Karbala bukan untuk menikmati panorama kota – yang subur dengan pohon-pohon kurma. Bukan pula untuk mengagumi keindahan arsitektur makam yang memang sangat indah itu. Atau untuk berbelanja, mencari hiburan, atau mengunjungi situs-situs sejarah kuno. Mereka pergi untuk menangis. Mereka pergi untuk berduka dan merasakan aura malakuti Imam Husain as. Mereka memasuki kompleks makam suci sambil menangis dan mengenang syahadah terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah umat manusia.
Seolah-olah, setiap orang yang datang memiliki keterikatan pribadi dengan orang yang belum pernah mereka lihat. Mereka menyerunya dan memanggil namanya. Mereka menyentuh dinding-dinding makamnya. Mereka menciumi pelataran kuburnya. Mereka menyentuh dinding dan pintu makam seolah-olah menyentuh wajah teman yang telah lama menghilang. Apa yang mereka lakukan adalah pemandangan yang sungguh menakjubkan. Apa yang memotivasi orang-orang ini adalah sesuatu yang membutuhkan pemahaman tentang karakter dan status Imam Husain as, termasuk hubungan spiritual yang telah dibangun oleh para peziarah itu dengan menempatkan Imam Husain as sebagai legenda yang tak pernah mati.
Jika masyarakat dunia bisa memahami sosok Imam Husain as, pesan dan pengorbanannya, mereka akan bisa memahami akar utama tumbuhnya ISIS serta keyakinan mereka tentang pembunuhan dan penghancuran. Di Karbala berabad-abad lalu, umat manusia menyaksikan lahirnya bentuk kezaliman yang tak berprikemanusiaan, yang dicontohkan dalam kisah pembunuhan Imam Husain as yang sulit diterima oleh akal sehat. Kisah ini adalah pertarungan antara kegelapan yang paling gelap dan cahaya yang terang benderang, peperangan antara keburukan yang paling jahat dengan kebenaran ilahi yang melekat di dalam diri Imam Husain sampai hari ini. Kehadiran Imam Husain as akan menjadi tenun kehidupan mereka. Legendanya akan memberi semangat, menginspirasi, dan mendorong untuk berubah menjadi lebih baik. Dan, tak akan ada sabotase media yang dapat memadamkan cahayanya.
"Siapakah Husain ini"? Bagi ratusan juta pengikutnya, pertanyaan ini sangat dalam maknanya. Inilah pertanyaan yang telah menyebabkan orang-orang meninggalkan agamanya yang terdahulu. Inilah pertanyaan yang hanya bisa dijawab ketika Anda telah ikut dalam perjalanan Arbain dengan jalan kaki, ketika Anda telah ikut dalam karavan cinta menuju Imam Husain.