Anggota Dewan Syura IJABI
Ya Imam Ali, izinkan kami berduka untukmu saat ini. Bukan hanya karena kehilanganmu. Tapi karena ketidakpastian kepulangan kami. Tapi karena keterpisahan abadi kami. Tidak Ya Allah, jangan Kaubiarkan keterpisahan itu abadi. Kami tak sanggup. Kami takkan mampu.
Tulisan Pertama
Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad
Alkisah, suatu hari, Ali bin Abi Thalib berjalan di gang-gang kecil kota Kufah. Seperti lazimnya, ia berjalan sendirian. Tanpa pengawalan. Dengan sepenuh kerendahan hati dan kesederhanaan. Di kejauhan, ia melihat seorang perempuan membawa sekantung air di pundaknya. Ia tampak kesulitan. Ali segera mendekatinya. Karena beban yang berat, air itu terjatuh dari pundaknya. Ali mengambilnya. Ia sampaikan agar perempuan itu beristirahat sejenak. Kantung air kini berpindah tangan. Bertengger ia di pundak Ali, sang pahlawan Islam.
Perempuan ini tidak mengenal siapa lelaki yang menolongnya. Ia tahu Ali pemimpin kaum Muslimin, tapi ia tidak pernah berjumpa dengannya. Ia ucapkan terimakasih atas bantuannya. Ali bertanya tentang rumah dan keadaannya. Kata perempuan itu: “Rumahku di ujung sana. Aku punya anak-anak kecil. Ali bin Abi Thalib telah membuat mereka yatim. Ayahnya gugur di satu peperangan Ali.” Mendengar ini, raut muka Ali berubah. Rona kesedihan tampak di wajahnya. Ia antarkan perempuan itu ke rumahnya.
Malam itu, Ali tidak bisa tidur. Dukacita terlalu besar menyertainya. Sejak mentari terbenam hingga ia terbit kembali di permukaan, Ali tak berhenti memohon ampunan Tuhan. Pagi-pagi sekali, ia berangkat kembali ke rumah perempuan itu. Ia membawa sekantung gandum di pundaknya. Para sahabat yang melihatnya bertanya hendak ke mana Khalifah Rasulillah itu. Sebagian menawarkan jasanya, agar mereka bantu membawakan gandum itu. Ali menjawab singkat: “Siapa yang akan membawakan bekal kita di hari kiamat nanti?”
Dan sampailah ia di depan pintu rumah yang sama. Ia ketuk pintunya. Terdengar suara, “Siapa di sana?” Ali menjawab, “Aku yang menolongmu kemarin membawakan kantung airmu. Aku membawa makanan untukmu. Tolong bukakan pintu.”
Pintu pun dibuka. Ali dipersilakan masuk. “Semoga Allah meridhoimu,” ujar perempuan itu, “Biarlah Allah jadi hakim untuk apa yang terjadi antara aku dan Ali.” Geram itu masih ada. Amarah itu masih di dada.
Ali tak berubah sedikit pun. Kelak ia berwasiat pada putranya, ciri mukmin sejati itu adalah menyimpan duka cita di batinnya, tapi wajahnya tetap cerah ceria. Ia lakukan itu di hadapan perempuan itu. Batinnya menyimpan duka tak terkira. Tapi di wajahnya, masih saja tersungging senyum itu.
Ali mengalihkan pembicaraan. “Gandum ini, aku buatkan roti untukmu atau kau bermain dengan anak-anakmu.” Perempuan itu menjawab, “Aku lebih mahir darimu membuat roti. Kau sajalah yang menjaga anak-anakku.”
Maka Ali menghampiri anak-anak kecil itu. Setiap belaian di rambut mereka mengingatkannya pada ayahanda yang tiada. Selain gandum, ia membawa juga setangkup daging masak. Mencampurkannya dengan kurma, lalu menyuapi anak-anak itu dengan makanan yang dibuatnya. Dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, setiap asupan ia antarkan ke mulut anak-anak itu seraya berkata: “Maafkan Ali bin Abi Thalib. Mohonkan pada Tuhan untuk memaafkan Ali bin Abi Thalib.”
Adonan gandum pun siap. Ali mempersiapkan tungku pembakaran. Wajahnya ia dekatkan pada api yang menyala. Kembali ia berkata: “Kaulihat api dunia ini. Begitu panasnya! Ketahuilah, api akhirat lebih panas lagi.”
Dan pada saat bersamaan, tetangga perempuan itu datang. Ia melihat dan mengenali Ali. Ia terkesiap. Segera ia mengabarkan pada ibu anak-anak yatim itu tentang siapa sesungguhnya lelaki di rumahnya. Ali bin Abi Thalib, Amirul Mu’minin, pemimpin kaum Muslimin! Ia berkata: “Celaka engkau! Kau tahu siapa tuan itu? Dialah Ali, Khalifah Islam, pemimpin negeri ini!”
Perempuan itu terkejut. Rasa malu menyelimutinya. Ia datang pada Ali. “Maafkan aku, sungguh aku malu. Maafkan aku.” Hampir-hampir ia menunduk menutup muka.
Ali, masih dalam kerendahan hati dan kesederhanaan, berkata kepadanya: “Akulah yang harus kaumaafkan. Selama ini, banyak kesulitanmu yang tidak kuringankan. Aku mohonkan padamu, agar kiranya kau berkenan. Doakan aku. Mohonkan pada Allah Ta’ala agar ampunan dan ridhonya tercurah pada seorang Ali bin Abi Thalib.” (Bihar al-Anwar 41:52)
Bila seorang Ali bin Abi Thalib memohonkan kerelaan seorang perempuan, memohonkannya agar mendoakan ampunan…Ya Allah, apa jadinya orang sepertiku? Tak terhitung hak orang di pundakku. Tak terhitung musibah saudara yang luput dari sadarku. Ampuni aku Ya Allah, ampuni aku.
Malam ini, 21 bulan Ramadhan, kekasih Allah kekasih Rasulullah Saw itu berpulang. Dua hari lamanya ia menahan sakit. Racun belati yang memukulnya di waktu ruku’ telah menjalar ke seluruh tubuhya. Sebagian kulitnya berubah hijau. Racun itu begitu cepat. Belum lagi luka karena hantaman belati tajam itu yang mengiris kepalanya. Zikir tak pernah lekang dari lisannya. Wasiat shalat dan Al-Qur’an tak henti disampaikannya. Ia pandang orang-orang terkasih di sekitarnya. Begitu saat itu tiba, kenangan akan Baginda Rasulullah Saw, kerinduan akan kekasih hatinya Sayyidah Fathimah Azzahra terbentang di hadapan. Lalu terdengar ucapan penuh keridhoan: Fuztu wa Rabbil Ka’bah.
Tetapi, masih ada embun menggenang di pelupuk matanya yang terbiasa mengalirkan tangisan. Dan lihatlah lebih dalam, lihatlah lebih saksama. Pada embun itu membayang orang-orang kecil yang selama ini dekat dengannya. Orang-orang seperti perempuan itu.
Dan malam ini, mereka kehilangan pelindung mereka. Mereka kehilangan ketukan pintu di dini hari. Mereka kehilangan gandum roti yang dibagikan di malam hari. Mereka kehilangan sosok penyayang yang menjahitkan pakaian berlubang mereka, yang menyatukan sandal terputus mereka.
Malam ini, anak-anak yatim itu kehilangan ayah mereka yang sangat penyayang.
Bersama kerelaan menjemput takdir Tuhan, ingatan akan orang-orang kecil tak pernah hilang dari ingatan.
Andai kami juga ada dalam butiran airmatamu Ya Imam. Andai kami juga ada dalam kelompok yang kaurindukan. Tapi, mungkinkah kami? Sedang orang-orang kecil yang kaucintai tak hadir dalam keseharian kami. Sedang kami melupakan mereka. Sedang kami tak pedulikan mereka.
Ah, izinkan kami berduka Ya Imam. Bukan hanya karena kehilanganmu. Tapi karena ketidakpastian kepulangan kami. Tapi karena keterpisahan abadi kami. Tidak Ya Allah, jangan Kaubiarkan keterpisahan itu abadi. Kami tak sanggup. Kami takkan mampu.
Sayangi kami. Ampuni kami.
@miftahrakhmat
Baca juga:
Abul Yatama