Banyak orang bertanya-tanya, bagaimana mungkin Allah Swt yang Rahman dan Rahim membiarkan kejahatan keji terjadi sepanjang sejarah, khususnya tragedi Imam Husain as? Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama kita harus mengingat alasan mengapa Tuhan menempatkan kita di dunia ini. Tuhan menciptakan kita di dunia ini untuk menguji kita. Bayangkan bahwa hidup ini ibarat ruang ujian yang besar dan luas. Di ujian ini, kita harus menunjukkan apakah kita adalah orang-orang baik yang pantas masuk surga atau tidak. Sekiranya Tuhan memaksa kita untuk tidak bisa melakukan tindakan kejahatan apapun, maka ujian ini menjadi non sense, tak ada gunanya. Mirip dengan ujian pilihan ganda. Setiap pertanyaan memiliki beberapa alternatif jawaban yang bisa dipilih. Jika semua jawaban itu benar, dan jawaban apapun yang Anda pilih pasti benar, maka ujian itu bukanlah ujian yang sebenarnya. Namun, jika ada jawaban yang salah di antara jawaban yang benar, dan Anda harus berusaha untuk menemukan jawaban yang tepat (yang bisa diketahui jika telah belajar untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian itu), maka itulah ujian yang sesungguhnya. Profesor yang membuat soal tersebut tentulah orang yang telah memasukkan jawaban salah ke dalam soal ujian itu. Dapatkah kita menyimpulkan bahwa profesor pembuat soal itu tidak Pengasih karena ia telah menambahkan jawaban yang salah? Profesor itu pasti telah memahami bagaimana ia seharusnya menguji murid-muridnya, dan menambahkan jawaban yang salah dalam soal pilihan ganda itu adalah bagian dari metode pengujian terhadap murid-muridnya.
Demikian pula, Allah membiarkan kejahatan terjadi di muka bumi untuk menjadi ujian dan agar kita bisa memilih jalan yang benar. Dengan membandingkan antara kebaikan dan keburukan, kita bisa memahami nilai kebaikan yang tinggi. Jika segala sesuatu di muka bumi ini adalah kebaikan, maka kita tidak akan bisa memahami nilai kebaikan itu sendiri. Apa yang telah menimpa Imam Husain as merepresentasikan puncak kejahatan, namun Allah mengijinkan hal itu terjadi untuk sejumlah alasan. Pertama, Allah menguji kaum Muslimin saat itu apakah mereka akan menolong Imam Husain as dan melawan penindasan, atau mereka akan berpihak kepada Yazid dan meninggalkan kewajiban agama dan moral mereka. Kedua, melalui penderitaan, Imam Husain as diberikan kedudukan tinggi di sisi Allah Swt. Allah telah menyediakan tempat khusus bagi Imam Husain as di surga bersama datuknya Nabi Muhammad Saw. Selain itu, Allah Swt menanamkan cinta kepada Imam Husain as di hati jutaan manusia yang mengunjungi makamnya dan memperingati tragedinya setiap tahun. Ketiga, tragedi Imam Husain as berfungsi sebagai pengingat bahwa keadilan, kemerdekaan dan martabat yang kita miliki tidak disuguhkan kepada kita dengan piring emas. Kita harus bekerja keras untuk mewujudkan keadilan sosial di muka bumi ini.
Apakah Imam Husain as tahu bahwa dia akhirnya akan dibunuh? Jika dia tahu, mengapa ia pergi ke Irak?
Imam Husain as tidak diragukan lagi tahu bahwa nasib tragis telah menunggunya. Pada banyak kesempatan Nabi Muhammad Saw telah menyampaikan kepada kaum muslimin bahwa cucunya Husain as akan dibunuh secara tidak adil di Karbala. Berbagai riwayat yang sahih dan catatan sejarah yang terpercaya telah memberitahu kita bahwa ketika Imam Husain as dilahirkan di Madinah, Nabi Muhammad terlihat menangis saat itu. Ketika ditanya mengapa, beliau menjelaskan bahwa ia menangisi nasib tragis yang akan menimpa cucunya. Sampai sisa hidup Nabi Saw yang berlangsung sekitar 6 tahun setelah kelahiran Imam Husain as, Nabi sering berbicara tentang syahadah cucunya. Bahkan Rasulullah Saw sering berdoa agar memutus syafaatnya bagi pembunuh Imam Husain as dan menghukum mereka pada hari kiamat. Imam Ali as juga berbicara tentang tragedi Karbala. Dalam salah satu perjalanannya yang melintasi Irak, ia menyampaikan nubuat kepada para sahabatnya tentang tragedi Karbala. Hal itu disampaikannya tepat ketika mereka melewati tanah di mana Imam Husain as kelak terbunuh, tempat yang kemudian dikenal dengan nama Karbala.
Oleh karena itu, tidak masuk akal jika Imam Husain as tidak mengetahui tragedi Karbala. Ia sepenuhnya menyadari nasib tragis yang menantinya. Beberapa sarjana dan sejarawan dangkal menuduh Imam Husain as tidak begitu bijaksana ketika ia meninggalkan Madinah menuju Irak. Mereka berpendapat bahwa Imam Husain as seharusnya tidak tertipu oleh janji-janji rakyat Irak untuk mendukung revolusi itu, karena mereka dikenal dengan pengkhianatan mereka, terutama pengkhianatan mereka terhadap ayah dan kakaknya (Imam Ali as dan Imam Hasan as). Namun perlu ditegaskan, Imam Husain as tidak berangkat ke Irak dengan niat merebut wilayah tersebut dari Dinasti Umayyah yang korup lalu membentuk pemerintahan di sana. Imam Husain berangkat ke Irak untuk memenuhi kewajibannya - membangkitkan umat Islam dari sihir rezim despotik Yazid. Dia memimpin sebuah revolusi untuk melawan ketidakadilan dan menyelamatkan ajaran Islam. Walaupun revolusi itu harus dibayar dengan jiwa Imam Husain as, tapi mengorbankan hidupnya demi Tuhan dan menyelamatkan Islam adalah jihad tertinggi.
Sebagai contoh, bayangkan seseorang yang didiagnosa menderita kanker di salah satu anggota tubuhnya. Dia diberitahu oleh dokter bahwa pilihan tindakan yang bisa diambil adalah anggota badannya diamputasi untuk menghentikan penyebaran kanker demi menyelamatkan nyawanya; atau kanker itu dibiarkan saja dengan resiko menghadapi kematian yang lebih cepat. Tidak ada orang waras yang ragu untuk mengamputasi anggota tubuhnya, jika terbukti bahwa dengan mengamputasi anggota badannya tersebut, ia akan menyelamatkan hidupnya. Demikian pula Imam Husain as. Beliau telah menyaksikan dekadensi moral di dunia Islam saat itu, terlebih ketika Dinasti Umayyah terus-menerus menghancurkan agama Islam dengan kedok Islam pula. Satu-satunya cara bagi Imam Husain as untuk menyelamatkan Islam dan membangunkan kaum muslimin saat itu adalah dengan mengorbankan hidupnya.
Maka ketika Imam Husain as meninggalkan Madinah, saudara sebapak Imam Husain as, Muhammad ibn al-Hanafiyyah, telah memperingatkan beliau bahwa rakyat Irak akan mengkhianatinya dan dia akan terbunuh. Namun, Imam Husain as menjawab, "Allah telah menghendaki syahadah untukku." Dengan kata lain, Imam Husain as memberitahu saudaranya bahwa Allah telah merencanakan beliau harus menyelamatkan Islam melalui syahadah yang agung.
Mengapa Imam Husain as membawa perempuan dan anak-anak bersamanya pada tragedy Asyura?
Ketika Imam Husain as berangkat dari kampung halamannya di Madinah menuju Irak pada tahun 680 Masehi, ia membawa anak-anaknya dan perempuan dari keluarganya, termasuk saudara dan keponakannya. Imam Husain as memenuhi panggilan Allah dengan membawa keluarganya. Ada dua alasan utama mengapa ia membawa keluarganya pada waktu itu, padahal beliau tahu bahwa perjalanan mereka akan sangat sulit dan bahaya terbentang di hadapan mereka.
Pertama, niat Imam Husain as semata-mata karena Allah. Beliau sama sekali tidak pernah bercita-cita untuk mencari status politik atau keuntungan duniawi. Dalam salah satu riwayat, Imam Husain as mengatakan, "Saya tidak bangkit untuk melakukan hal-hal yang tidak pantas, saya pun tak berkeinginan menyebarkan kebatilan. Saya tak bangkit menjadi penindas, pun tak berkehendak melakukan kerusakan. Saya bangkit untuk menegakkan kembali ajaran datukku Muhammad Saw. Saya bangkit untuk menyerukan kebaikan, mencegah kemungkaran, dan menegakkan kembali warisan kakek saya dan ayah saya Ali as." Untuk menunjukkan bahwa dia mencari keridhaan Allah Swt dalam misinya, Imam Husain as membawa keluarga bersamanya. Charles Dickens menyatakan hal ini dengan tepat, "Sekiranya Imam Husain as berjuang hanya untuk memuaskan keinginan duniawi, saya tidak melihat alasan mengapa dia harus membawa adik, istri, dan anak-anaknya. Oleh karena itu, Imam Husain as sejatinya berkorban hanya untuk Islam." Jika Imam Husain as hanya mengejar kedudukan duniawi, mengapa ia membahayakan keluarganya dan membawa mereka dalam perjalanan yang berbahaya? Keikutsertaan keluarganya adalah bukti yang kuat bahwa misi Imam Husain as murni didedikasikan untuk Allah Swt dan kemanusiaan, bukan untuk kepentingan pribadi.
Kedua, Imam Husain as benar-benar tahu bahwa Dinasti Umayyah, yang berada di bawah kepemimpinan Yazid pada saat itu, adalah seorang ahli dan penipu ulung yang sangat lihai mencuci otak masyarakat Islam dengan informasi-informasi bohong. Mereka memiliki mesin propaganda yang kuat yang langsung didanai oleh pemerintahannya. Mereka menghabiskan jutaan koin emas (dinar) untuk mengutak-atik ajaran Nabi Muhammad, mendistorsi pesannya, dan memalsukan ajaran Al Qur'an yang suci. Selama beberapa dekade, mereka telah menyebar kebohongan terhadap keluarga Nabi Muhammad Saw, terutama ayah Imam Husain as, Imam Ali as. Mereka mengutuk Imam Ali as dalam khotbah-khotbah mereka, dan menyebarkan kepada seluruh lapisan masyarakat bahwa Imam Ali as adalah musuh Allah yang kafir. Imam Husain as tahu sekali bahwa sekiranya beliau terbunuh di Irak dalam keadaan sendirian, tidak akan ada orang lain yang akan menyampaikan kepada dunia apa yang sebenarnya terjadi di Karbala. Tidak akan ada orang yang akan mengekspos rencana jahat Yazid dan menyadarkan kaum muslimin perihal kezalimannya. Satu-satunya kelompok yang bisa melakukan tugas ini adalah perempuan dan anak-anak Imam Husain as sendiri. Dan memang terbukti, dunia mengetahui tragedi Karbala melalui mata dan telinga dari para perempuan dan anak-anak Imam Husain as. Merekalah yang menceritakan kepada dunia apa yang terjadi di Karbala dan bagaimana kezaliman yang telah dilakukan oleh Yazid. Anak-anak dan perempuan itu memang menderita, tetapi itulah satu-satunya cara untuk menyelamatkan orang-orang dari pemerintahan Yazid yang jahat. Adik Imam Husain as, Sayyidah Zainab, memainkan peran penting dalam mengungkap kezaliman Yazid dan memberikan informasi yang benar kepada kaum muslimin. Dia menyampaikan pesan dari kakaknya, Imam Husain as, ke seluruh penjuru dunia. Hingga hari ini, Zainab dikenang dan diakui oleh jutaan orang sebagai pahlawan sejati dan jawara yang membawa pesan Imam Husain as, beliau telah menjadi penyelamat agama Islam.