Dewan Syura PP IJABI
Apa hendak dikata, terlambat lagi kau datang padaku. Aku tak peduli kau kayuh sepedamu tanpa henti. Aku tak hiraukan kakimu melepuh, matamu sembab dan tangan bergetar. Tidak. Kau tak boleh terlambat. Titik. Tak ada lagi alasan. Kau harus datang. Begitu janjimu padaku.
Usiamu tak lagi muda. Aku tahu. Tugasmu berat. Punggungmu sudah tak kuasa lagi menanggung beban. Aku sadar itu. Anak-anakmu terbuang, berpencaran di sudut-sudut negeri yang jauh. Berteriak dalam tangis mereka. Rindu kampung halaman. Rindu kamu. Sebagian lagi bertengkar satu sama lain. Saling cabik, menunggu kapan menelisik, menikam saudara sendiri dari belakang. Atau mengecam terang-terangan dari depan. Semua itu tak bisa jadi alasan. Kau tetap harus datang padaku. Kau harus datang padaku.
Kau tahu aku takkan putus asa tanpamu. Biarlah kau datang padaku dengan selendangmu porak poranda. Aku akan menunggumu. Biarlah kau datang padaku dengan lumuran darah dan airmata. Akan kubalut lukamu. Kubebat darahmu. Kuobati cederamu. Kuluruskan tulang patahmu. Biar aku pijat tubuh lelahmu itu.
Karena kau hanya datang padaku setahun sekali. Kau hanya mengibarkan benderaku pada saat-saat seperti ini. Kau hanya mengenangku, mendoakanku, mengutamakanku ketika datang hari ini.
Mengapa menunggu sekian lama, anakku. Mengapa kau taburkan garam di atas lukaku. Mengapa dwiwarna hanya kau banggakan saat tegak kepalamu. Ia harus berkibar bahkan di saat-saat dukamu.
Menangislah anakku. Biarlah airmatamu mengalir, menjadi satu dalam arus besar sejarah, yang akan menghancurkan setiap bongkah.
Meski kau hanya datang padaku setahun sekali, aku akan selalu menunggumu. Tapi jangan kau terlambat. Jangan pernah terlambat.
…
"Maafkan kami, Ibunda, bila datang padamu hanya pada saat-saat seperti ini. Maafkan kami, bila terlambat memenuhi janji. Maafkan bila dwiwarna hanya kami kibarkan, saat datang menemuimu kini. Warna itu tak pernah lepas dari kami.
Meski tertatih, kami tetap datang kepadamu. Meski berpeluh, kami tetap menujumu. Meski berlumur luka dan darah, berkeringat debu dan lusuh…kami akan selalu datang padamu.
Luka kami Ibunda, bukan karena musuh dari jauh. Tangis kami karena saudara hilang sentuh. Betapa sering kami tercabik, hanya karena berbeda mengambil jalan. Tak terhitung kami berperang karena alasan perbedaan.
Kami tahu setiap tangis kami menyakitimu. Kami tahu setiap luka kami pelan-pelan membunuhmu. Tapi izinkan kami datang padamu hari ini. Setiap kali bertemumu Ibunda, luka mengering dan tangis berganti sukacita.
Karena ketika kami lihat kibar bendera itu, kami tahu kau menunggumu. Dan kau akan membasuh semua luka itu. Kau akan mengusap semua tangis itu.
Kami akan selalu datang padamu, karena kami tahu kau akan selalu menunggu kami, hingga waktu yang tak bertepi.
Dirgahayulah engkau, Ibundaku!"
Catatan: Untuk HUT Republik Indonesia ke-69, 17 Agustus 2014. Merdeka!