Dewan Syura PP IJABI
Ginan Koesmayadi menorehkan sejarah dalam persepakbolaan Indonesia. Ia menjadi pemain terbaik FIFA Homeless World Cup 2011. Kompetisi ini sendiri diakui FIFA dan menjadi agenda rutin tahunan. Levelnya internasional. Tapi Ginan, sedikit dihargai di dalam negeri. (majulah-IJABI)
Kick Andy pernah mengangkat kisahnya. Ketika para 'anak jalanan' itu hendak mewakili nama bangsa, berprestasi di ajang dunia, tak ada sponsor yang mendukungnya. Pemerintah sepertinya memandang sebelah mata. Melalui program televisi itu, disusunlah rencana. Ginan bernazar bila ada orang yang mendukungnya. Ia berjanji akan berjalan kaki dari Bandung ke Jakarta sekiranya bisa sampai di perhelatan akbar FIFA di Paris, Perancis itu. Ginan tersungkur haru manakala sebuah perusahaan jamu mendukungnya.
Ia sujud syukur, dan akhirnya menunaikan nazarnya. Berjalan kaki dari Bandung menuju Jakarta. Tim Homeless Indonesia sendiri finished di urutan keenam. Capaian tertinggi bagi ukuran timnas yang membawa nama negara. Ia termasuk tim yang difavoritkan. Ginan, yang mulai mengonsumsi obat-obatan terlarang pada usia 14, kemudian teridentifikasi HIV enam tahun kemudian justru baru menemukan 'turning point' hidupnya pada perhelatan FIFA itu. Kalimat favoritnya adalah ungkapan Albert Camus, ''Everything I've learnt from morality and duty, I've learnt from football.''
Saya bertanya kepadanya, ''Mau jalan kaki lagi Bandung - Jakarta?'' Ia terbahak, ''Moal ah, capekā¦'' Tidak, melelahkan, jawabnya. Sepulang dari Paris itu ceritanya menasional, semangatnya membakar orang-orang yang senasib dengan dirinya.
Jalan kaki sepanjang itu sulit dilakukan tanpa tekad. Beberapa orang pencari keadilan berjalan kaki ke Jakarta dari kota-kota asal masing-masing. Ada juga yang naik becak, motor, bahkan sepeda seperti para pengungsi yang terusir dari Sampang. Fiza Abdullah Senad Hadzic berjalan kaki ke tanah suci dari Bosnia-Herzegovina. Kharlzada Kasrat Rai melakukannya dari Karachi, Pakistan. Indra Azwan dari Indonesia pernah mencoba, tapi ia terhenti di Myanmar. Karena ditolak masuk, ia memilih untuk pulang. Apa yang menggerakkan Indra Azwan? Perjuangannya menuntut keadilan. Anak lelakinya meninggal ditabrak seorang anggota kepolisian.
Saya tidak bertanya berapa lama jarak Bandung-Jakarta ditempuh Ginan. Kasrat Rai sampai ke Makkah setelah menempuh perjalanan lima bulan kurang seminggu. Senad Hadzi jauh lebih panjang lagi: 314 hari! Hampir setahun lamanya. Apa yang sama dari ketiganya? Tekad yang kuat karena sesuatu yang sangat diinginkannya.
Hal sama yang mengikat mereka berikutnya adalah kesendirian. Mereka semua meniti perjalanan itu seorang diri. Tak ada yang menemani.
Maka dunia dibuat terkejut, kaget, dan pada saat yang sama dibuai dalam kekaguman. Ginan, Kasrat Rai, Hadzic dan Indra Azwan mungkin adalah kekecualian dari milyaran Muslim sedunia. Siapa pun ingin berangkat haji. Tapi untuk berjalan kaki menujunya? Pikir-pikir dulu. Tak banyak yang siap melakukannya.
Maka dunia terperangah manakala menyaksikan ribuan, ratusan ribu, bahkan jutaan orang berjalan kaki berjamaah. Sebuah jalan kaki bersama terbesar dalam sejarah umat manusia. Tua, muda, dewasa, anak-anak belia. Sehat, sakit, pincang dan dalam kursi roda. Sebagian tanpa alas kaki. Sebagian menempuh medan berat, melalui daerah-daerah konflik rawan perang. Sebagian membawa bendera-bendera perjuangan. Mereka berasal dari berbagai bangsa. Ada yang dengan keluarga. Ada juga yang satu kampung berangkat bersama. Ke mana dan apa yang menggerakkan mereka?
Sayangnya, meski tercatat dalam rekor dunia peristiwa ini tak menarik liputan media. Dominasi kantor berita Barat cenderung menyembunyikannya. Inilah 'Arba'in Walk': prosesi jalan kaki ratusan kilometer jauhnya menuju Karbala, sebuah kota di padang pasir Nainawa di Irak yang memeluk jasad suci cucu Rasulullah Saw, Imam Husain bin Ali as. Arba'in artinya empatpuluh. Para peziarah itu berjalan kaki, karena mereka mengenang perjalanan panjang keluarga Al-Husain as dari istana Yazid bin Mu'awiyyah di Damaskus menuju Karbala. Usai diseret terbelenggu, usai dihadapkan pada sang khalifah, rombongan keluarga Rasulullah kembali ke Karbala. Al-Husain yang syahid pada 10 Muharram 61 H, dipenggal kepalanya. Jasadnya dihujani anak panah, dihantam tombak, didera tikaman pedang. Ia dibiarkan tergeletak tiga hari lamanya. Dibakar mentari, dipeluk angin malam. Pada hari ketiga, jasadnya dikebumikan. Tetapi, tanpa kepala. Wajah yang sering diciumi Rasul Islam itu diarak, dipentaskan, diusung di atas tombak, dipawaikan dari istana Ibnu Ziyad di Kufah hingga sampai di Damaskus. Di Masjid Bani Umayyah di Suriah hingga sekarang ada sebuah kotak kecil di bagian barat masjid. Di atasnya tertulis, 'marqadu ra'sil Husain'. Inilah tempat disemayamkannya kepala Al-Husain. Tempat itu hingga kini diziarahi.
Setelah berjalan kaki dari Kufah menuju Damaskus, kemudian hampir dua minggu di istana Yazid, kafilah anak-anak yatim keluarga Rasulullah Saw ini dikembalikan ke Madinah. Mereka membawa serta kepala suci itu. Pada hari keempat puluh, Imam Ali Zainal Abidin as putra Imam Husain as sampai di Karbala. Di sana sudah menunggu Jabir al-Anshari, sahabat Nabi yang panjang usia. Ali Zainal Abidin kemudian mempersatukan kepala yang terpisah sekian lama itu dan mengebumikannya pada hari keempatpuluh syahidnya.
Barangkali, ini juga 'asal-usul' peringatan empatpuluhan. Kini, mengenang perjalanan kafilah keluarga Rasulullah itu, jutaan peziarah ikut serta berjalan kaki. Mereka ingin merasakan derita keluarga Nabi. Iring-iringan terbesar berangkat dari kota Najaf dan menempuh jarak sekitar 80-90 kilometer. Banyak juga dari kota masing-masing. Dari Iran, dengan seruan kepala negaranya, ada juga rombongan yang menempuh hingga 400 kilometer jauhnya. Tahun ini diperkirakan ada duapuluhlima juta peziarah berjalan kaki dari berbagai arah.
Apa yang menggerakkan orang-orang itu? Hanya satu kata: cinta. Arba'in Walk masih punya catatan rekor lainnya: shalat berjamaah terpanjang di dunia, berkilo-kilometer jauhnya. Tenda-tenda peristirahatan terbanyak, dan jamuan hidangan terbesar. Semua disediakan oleh para peziarah. Semua diberikan gratis tanpa biaya. Sepanjang jalan, orang meminta agar 'rest area' mereka disinggahi. Makanan mereka dinikmati. Atau, agar mereka diizinkan sekadar memijat kaki-kaki yang kelelahan itu. Di beberapa tempat, mereka hamparkan karpet-karpet terbaik dan membiarkannya diinjak para peziarah. Mereka percaya keberkahan dari debu-debu yang diantarkan para pecinta itu. Konon, mereka bahkan mengumpulkannya.
Sekali lagi, semua digerakkan karena cinta. Bila Ginan, Kasrat Rai, dan Senad Hadzic berangkat dengan keinginan, para peziarah itu berangkat dengan pengorbanan. Mereka menyerahkan segala yang mereka bisa serahkan. Kubah-kubah ziarah di Karbala itu bersepuhkan emas. Orang akan berkata, ''Tidakkah kubah emas itu lebih baik diserahkan pada fakir miskin?'' Kita mungkin terkejut mendengar jawabannya, ''Justru emas itu hasil pemberian yang dikumpulkan oleh jutaan orang miskin sepanjang sejarah.'' Karena mereka ingin mempersembahkan sesuatu. Bergabunglah bersama para peziarah itu. Lihatlah bagaimana keinginan berkorban begitu jelas terlihat. Bukankah cinta mewajibkan mendahulukan kekasih bahkan dari diri sendiri, semiskin dan sefakir apa pun kita.
Saya belum tahu apa bisa seperti Ginan, berjalan kaki dari Bandung menuju Jakarta. Saya ingin meniru semangatnya. Berjuang untuk sebuah tekad besar yang mendefinisikan kebahagiaannya. Maka saya menaruh pandang iri pada Kasrat Rai, pada Senad Hadzic dan pada jutaan peziarah Arba'in Walk itu.
Aku akan datang satu saat. Berjalan dan bertelanjang kaki. Aku akan datang satu saat, meski usia menua dan tubuh melemah diri. Aku akan datang satu saat, bergabung dengan langkah-langkah itu. Tuhan, panjangkan usiaku. Mohon tunda kedatangan malaikat penjemputku. Hingga tiba saat itu. Hingga hadir waktu itu.
Someday, I will walk to you. One day, I will come to you.
Dan setiap hariku adalah rindu menuju saat itu.
Wahai kaki, bertahanlah. Tegaklah untuk waktu lebih lama. Bantu aku untuk sampai ke sana.
(Arba'in Husainy 1436H, Miftah F. Rakhmat)