Anggota Dewan Syura IJABI
Sejarah adalah pohon. Memahami sejarah akan menumbuhkan pohon yang membentuk bangunan keberagamaan kita. Konon, menurut para guru sejarah, sejarah adalah disiplin ilmu yang pertama; ia berkaitan dengan perubahan yang terjadi di sekitar kita. Menurut almarhum Kuntowijoyo, sejarah berbeda dengan disiplin ilmu sosial yang lainnya. Sejarah itu menyuguhkan fakta secara diakronis, ideografis, unik dan empiris. Walhasil, sejarah adalah pemahaman yang membentuk cara kita memandang dunia, menghadapi masalah zaman, dan belajar kearifan dari perjalanan panjang umat manusia itu.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad
Dalam sebuah diskusi, ayah saya ditanya tentang topik pilihannya yang membahas misteri wasiat Nabi Saw. Penanya, seorang dosen berpengalaman, menyayangkan ketertarikan ayah saya yang tidak bergerak: dari dulu sejak beliau dikenal hingga sekarang, tetap saja membahas perihal wasiat Nabi Saw. Itu dan itu lagi. Tak berubah. Kata penanya, seakan tak ada kemajuan. Semestinya Pak Jalal, begitu menurutnya, sudah bisa melebihi aspek rasional, dan masuk pada ranah tasawuf yang di luar rasional.
Selalu menarik memang mendengarkan diskusi para guru besar. Cair, konstruktif dan penuh dengan semangat pencarian ilmu. Kepada merekalah selayaknya kita berguru.
Ketika ayah saya menjawab, kebetulan sekali adzan berkumandang. Ayah saya mohon izin melanjutkan jawaban dengan berkata: Itu adzan Pak, dari dulu itu dan itu. Tak berubah. Tak mengikuti perkembangan zaman. Seakan tak ada kemajuan. Dan hadirin tertawa bersama. Ayah saya melanjutkan dengan mengutip pendapat Imam Malik, bahwa untuk memperbaiki masalah, mari kita lihat akarnya. Satu di antara akarnya adalah pemahaman terhadap perbedaan. Dan selama umat masih berkutat saling sesat dan saling hujat, tanpa berusaha memahami sesama, justru umat yang tak akan bergerak maju.
Ya, pernah seorang kawan juga mempertanyakan hal yang sama pada saya. Katanya, mengapa mazhab Ahlul Bait ‘alaihimus salam selalu membahas sejarah. Sedikit sedikit sejarah. Saya menjawab, “Mungkin karena mereka diminta menjelaskan mengapa mengikuti mazhab Ahlul Bait. Dan di antara alasannya adalah karena sejarah.” Mazhab yang satu ini memang tak lepas dari perjalanan sejarah Islam yang panjang.
Dan di sinilah menariknya, khazanah keIslaman di Indonesia dan perpaduannya dengan bahasa yang kemudian dipilihnya. Umat Islam Indonesia (menurut saya, para ulamanya) memilih kata sejarah untuk menjelaskan perjalanan perkembangan umat dan bangsa itu. Kata sejarah diambil dari Bahasa Arab ‘syajarah’ yang artinya pohon. Bahasa Arab punya kata lain untuk sejarah itu, yaitu tarikh yang artinya penanggalan. Tetapi bahasa kita tidak memilihnya. Kita justru mengambil sejarah. Menurut saya, bukan tanpa alasan.
Sejarah adalah pohon. Memahami sejarah akan menumbuhkan pohon yang membentuk bangunan keberagamaan kita. Konon, menurut para guru sejarah, sejarah adalah disiplin ilmu yang pertama; ia berkaitan dengan perubahan yang terjadi di sekitar kita. Menurut almarhum Kuntowijoyo, sejarah berbeda dengan disiplin ilmu sosial yang lainnya. Sejarah itu menyuguhkan fakta secara diakronis, ideografis, unik dan empiris. Walhasil, sejarah adalah pemahaman yang membentuk cara kita memandang dunia, menghadapi masalah zaman, dan belajar kearifan dari perjalanan panjang umat manusia itu.
Ibn ‘Arabi, sufi besar Andalusia, menulis risalah kecil berjudul “Syajaratul Kawn.” Pohon keberadaan. Menurutnya, manusia terhubung satu sama lain dalam sebuah pohon besar yang akarnya satu. Ada ranting yang berbunga dan berbuah. Ada pula ranting yang membusuk dan jatuh. Ada yang masih berhubungan kuat dengan akarnya. Ada pula yang lupa kepadanya.
Ya, sejarah adalah akar itu. Memahami sejarah dapat mengubah sudut pandang dan perilaku.
Seperti contoh, kita berdiri biasa saja di satu tempat, karena kita tidak mengetahui keistimewaan tempat itu. Atau sebuah perpustakaan kecil di antara bangunan lain yang sudah diruntuhkan di dekat bukit Marwah. Kita mungkin menganggap bangunan itu biasa saja. Bagaimana sekiranya disampaikan bahwa bangunan itu adalah tempat lahirnya Rasulullah Saw. Rumah itu adalah tempat hadirnya cahaya Allah, rahmat untuk alam semesta seluruhnya. Seketika, pandangan kita tentang rumah itu akan berubah. Bagaimana bila tempat kita berdiri adalah tempat dahulu Baginda Nabi Saw juga berdiri. Detik itu juga, seluruh keberadaan kita akan berubah. Itulah mengapa, orang tertarik berangkat ke tanah suci. Karena tanah itu bukan sembarang tanah. Itu tanah ibadah. Itulah tanah tempat tawafnya para nabi kekasih Allah.
Demikian pula dengan waktu. Sejarah itu punya dua sisi: ruang dan waktu. Kita adalah makhluk yang terikat dengan itu. Itulah mengapa kita memperingati hari besar seperti hijrah Baginda Nabi Saw, hari pahlawan dan syukuran kemerdekaan. Setiap tahun pada jam yang sama dengan para pendiri bangsa, kita mengucap ulang teks proklamasi itu. Bacaan bisa sama. Ia bisa dibaca kapan saja. Tapi membacanya pada jam tertentu di tanggal tertentu, memberikan nuansa yang baru. Karena kita menghubungkan rantai kita dengan akar itu. Saya kira, ruang dan waktu yang bersejarah itu adalah di antara tanda kebesaran Yang Mahakuasa. Yang harus kita peringati, yang harus kita teladani. Dan bila kita tidak mengetahuinya, setiap hari kita akan berlalu seperti biasanya. Tak ada yang berbeda. Justru dengan abai akan sejarah, kita takkan bergerak maju. Justru dengan lupa melihat masa lalu, maka kerja kita hanya seputar itu dan itu.
Seperti misalnya hari ini. Akankah ia berlalu seperti biasa? Hanya hari yang sama seperti hari-hari lainnya di bulan suci? Mari melihat pada sejarah, yang masa lalu itu. Yang—katanya—tak bergerak maju itu.
Pada hari seperti hari ini, pertengahan bulan suci Ramadhan, tahun ketiga setelah Baginda Nabi Saw hijrah. Semalam, bulan baru saja menampakkan purnamanya. Malam yang penuh sukacita karena kabar dari rumah putri tercinta Rasulullah Saw. Suara tangisan bayi nan rupawan baru saja memecahkan kesunyian malam. Ya, hari ini adalah hari bahagia. Baginda Nabi Saw beroleh cucunda yang pertama. Akankah hari ini, berlalu seperti biasanya, dan kita tak mengucapkan selamat dan ikut berbahagia pada Baginda? Sejarah membuatnya berbeda.
“Beri dia nama wahai Ali,” demikian kata Ibunda yang tengah berbahagia. Ali menjawab, “Aku tak ingin mendahului Rasulullah Saw untuk itu.” Baginda Nabi Saw pun datang. Wajah Baginda ceria, bersinar melebihi purnama yang baru saja berlalu.
“Siapa namanya, wahai Ali?”
“Aku tak ingin mendahuluimu Ya Rasulallah.” Jawab Ali. Dan Baginda Saw pun berkata, “Aku pun tak ingin mendahului Allah Swt.”
Maka turunlah Jibrail ‘alaihis salam pada Rasulullah Saw. Ia sampaikan salam dari Tuhan dan sebuah pesan, “Allah Mahatinggi dan Mahasuci Dia menyampaikan salam dan selamat kepadamu. Sungguh, kedudukan Ali terhadapmu sama seperti Harun terhadap Musa. Karena itu, beri nama bayi ini dengan nama putranya Harun.”
“Siapakah putra Harun?”
“Syabar”
“Bahasaku, bahasa Arab.”
“Beri ia nama, Hasan.”
Demikianlah, maka sukacinta mewarnai keluarga kecil Rasulullah Saw. Tidakkah kita selayaknya juga ikut berbahagia?
Menurut Imran bin Sulaiman dalam Manaqib Ibn Syahr Asub, “Nama Hasan dan Husain adalah nama dari surga. Belum pernah ada nama yang sama sebelumnya.”
Meski punya makna yang sama dengan putra Nabi Harun as, nama Hasan baru kali itu terdengar di dunia. Tidakkah ia istimewa? Tidakkah hari ini jadi berbeda?
Baginda Nabi Saw pun mengumandangkan adzan dan iqamah di kedua telinga. Tujuh hari kemudian, kambing dikurbankan. “Bismillah, ‘aqiqah ‘anil Hasan.” Dalam nama Allah, akikah atas nama Al-Hasan.
Dengan memahami sejarah inilah, kita berusaha meneladani Baginda Saw sebagai uswatun hasanah. Baginda Saw pun memberi gelaran pada Al-Hasan. Kata Imam Baqir as: “Kami Ahlul Bait menggelari nama putra-putri kami sejak kanak-kanak. Agar tidak ada yang memanggilnya selain itu di kemudian hari.” Selain doa, memberi gelaran yang baik adalah pembangun jati diri bagi anak-anak kita. Lalu apa gelaran yang diberikan Baginda Saw pada cucunda yang pertama? Ada banyak: Taqi, Mujtaba, al-Sibth, Abu Muhammad. Tapi yang paling terkenal adalah gelaran Baginda Saw untuknya: Sayyid. (Bihar al-Anwar 43:225).
Selamat berbahagia, bersukacita dalam cinta Ya Rasulallah. Kami bahagia dengan bahagiamu. Kami bersuka dalam sukacintamu.
Inilah makna sejarah. Tanpa itu, kita bergantung pada pohon keberadaan, tak punya ikatan yang kuat dengan akar yang membentuk kita. Dan tak lama, ranting kita gugur, jatuh ke bumi. Hanya ia yang punya hubungan yang kuat dengan akarnya, yang akan terus tumbuh, menjulang tinggi menuju langit kesempurnaan tak terhingga.
Tanpa memahami sejarah, bagaimana mungkin meraihnya?
Seperti pesan Bapak pendiri bangsa: Jangan sekali-sekali melupakan sejarah, jasmerah!
Pertanyaannya: sudah benarkah pemahaman sejarah kita? Adakah meluruskan sejarah, adalah pembahasan yang tak bergerak maju?
Mari bersama merenungkannya.
15 bulan suci Ramadhan
@miftahrakhmat
www.muthahhari.com