Dewan Syura PP IJABI
Muhammad Lamine Mediène dikenal sebagai orang kuat di Aljazair, bahkan lebih kuat dari presiden negeri itu sendiri. Ia dikenal dengan panggilan "Taufik". Konon, sedikit sekali catatan resmi mengenainya. Bahkan orang yang bertamu kepadanya hanya dapat melihat punggungnya. Ia berbicara membelakangi tamunya. Jangan harap melihat wajahnya, bila masih ingin selamat keluar dari rumahnya. [majulah-IJABI]
Ada yang mengartikan kekuatan dalam tampilan lahiriah yang gagah, wibawa yang tegas, dan kata-kata yang bernas. Ada juga yang berpendapat makin keras seseorang makin melembut ia. Sesungguhnya bila tampak keras dan tegas di luar, rapuh dan rentan di dalam. Tapi bila tampak lembut di permukaan, kuat mengakar ia di dalam badan.
Di manakah ketakutan? Lagi-lagi di antaranya. Orang yang menyebarkan ketakutan adalah orang yang paling takut bahkan kepada dirinya sendiri. Orang yang ditakuti adalah orang yang tak percaya diri. Yang menemukan aktualisasinya pada subordinasi orang-orang di sekitarnya.
Sepanjang sejarah, kuasa tak terlihat ini memainkan peranannya. Ia sanggup mengubah roda pemerintahan. Ia sanggup menggerakkan masyarakat. Tapi bukan karena cinta, melainkan ketakutan akan akibat yang mungkin ditimbulkannya. Lebih baik ketenangan dalam keterpasungan, ketimbang lepas, bebas, tapi dalam keterpurukan.
Begitu datang bulan kemuliaan, orang-orang berlomba meraih kebaikan. Mereka berebut tak terhingganya jamuan Tuhan. Ada yang mengejar khataman. Ada yang berusaha berkhidmat pada setiap insan. Ada yang memelihara shalat malam. Ada pula yang meringankan pekerjaan. Semua indah. Semua berkah.
Tapi tahukah kita, jamuan yang paling utama? Hidangan yang paling istimewa? Sajian yang amat dinanti, yang diberikan Tuan Rumah yang baik hati.
Hadiah terbesar itu adalah doa. Satu-satunya peribadatan yang disertakan usai ayat kewajiban puasa. Perbanyaklah berdoa. Penuhi hari dengan meminta. Isi malam-malam dengan harapan.
Mengapa doa? Karena ia mengajarkan kerendahan. Ada empat adab berdoa. Pertama, mengagungkan Dia. Memuji dengan segala puja. Engkaulah Tuhan Sang Pencipta. Engkau sajalah yang punya kuasa. Engkau sumber segala cinta. Engkau pemilik semua yang ada…memuji dan membesarkan Dia.
Kedua, merendahkan si peminta. Dan inilah aku si pendosa, si hina, si tak berguna, yang dosanya bertambah bersama hari-hari hidupnya. Inilah aku yang lemah, yang miskin, yang papa, yang menderita. Inilah hamba yang durhaka, yang dengan lantang menantang penguasa semesta…inilah aku yang bodoh, kikir, dan nestapa, inilah si malang yang celaka.
Ketiga, pasrah sepenuhnya pada Dia. KehendakMu berlakulah O Penguasa surga. TitahMu terjadilah wahai Tuhan semesta. Lakukan padaku apa yang layak menurutMu. Aku siap. Kecam aku hingga Kau ridha.
Dan keempat, berdoalah dalam kebersamaan. Baik berdoa dalam kesendirian, tapi jangan berdoa sendirian. Bukankah sebelum diperintahkan berdoa, kita diajarkan untuk datang meminta tolong 'dia'. "Dan bila datang kepadamu hambaKu dan bertanya tentang Aku. Katakan Aku dekat…" Kalau kita ingin mengetahui Dia, ingin mencerna kasih sayangNya, memahami keadilanNya, meraih ilmuNya, menggali rahasiaNya…datanglah kepadanya dan melaluinya tanyakan segalanya. Ialah yang wajib senantiasa disertakan sebelum Tuhan kemudian mengizinkan kita berdoa dan menjanjikan jawaban dari doa-doa itu. Dialah sang kekasih hati, teladan suci, suri tauladan abadi, pemimpin yang tak ditakuti, raja nan teramat dicintai. Ialah puncak kerinduan. Ialah harapan setiap orang yang ketakutan. Ialah yang memperkuat jiwa yang tersesat. Ialah sang arus balik, yang menarik siapapun, sejauh apa pun orang itu telah terusir, telah terlempar, telah terkapar.
Bukankah kitab suci mengajarkan untuk datang kepadanya? "Wa idzaa jaa'uuka…" Bukankah kitab suci memerintahkan untuk bertanya kepadanya? "Wa idza sa'alaka…" Ialah kunci pembuka. Ialah syarat diterimanya doa.
Mengapa demikian? Mengapa doa jadi hidangan? Karena ia mengajarkan kerendahan. Sekuat apa pun kita, ada Sang Mahakuat lagi perkasa. Seberapa pun kita ditakuti, ada Yang Mahaagung teramat pantas dihormati. Sebesar apa pun kuasa, lepaskan keterikatan dengan kepasrahan kepadaNya. Beribu halaman orang memuji kita, hilangkan semuanya. Berharaplah pada pujian dari Dia, dan kekasih yang sangat dicintaiNya.
Para penguasa hendaknya belajar banyak berdoa. Itu akan mendekatkan mereka pada keteladanan kepemimpinan sejati. Kata Eleanor Roosevelt, "untuk mengendalikan diri, gunakan akal budi. Untuk memimpin yang lain, gunakanlah hati." Pemimpin sejati adalah yang menguasai hati." Bukan karena rasa takut yang dibuai, tapi cinta yang disemai.
Para pemimpin selayaknya banyak berdoa karena itu mengajarkan pada mereka kerendahan. Para pemimpin sepantasnya banyak berdoa, karena itu mengajarkan pada mereka kepasrahan.
Terlalu sombong kita bila datang pada Tuhan sendirian. Takabbur kita bila datang pada Tuhan tanpa kawan. Hadirkan kekasih hati, sebelum doa dipanjatkan.
Apa jadinya bila doa tak mengajarkan empat hal di atas? Ia tumbuh menjadi penguasa yang ditakuti disegani. Seperti "Taufik" dari Aljazair yang menebarkan aroma ketakutan bagi mereka di sekitarnya. Siapa berani mengingatkan pada penguasa seperti itu? Tak mengingatkan adalah bentuk lain dari ketakutan.
Semoga para pemimpin kita terhindar dari banyak bicara, dijauhkan dari berbagai wacana…dan tersungkurlah di sajadah cinta, di mihrab doa.
Sahabat, telah datang sebaik-baiknya saat. Isi dengan berkhidmat dan munajat. Alihkan mata kita dari berbagi berita, dari beragam kata (di dunia maya dan sejenisnya) dan raihlah buku doa itu. Ia telah teronggok sekian lama.
Baca isinya, renungi maknanya, resapi lautan hikmahnya. Karena ketika kita sedikit berdoa, ketakabburan itu mengemuka.
Taufik bisa jadi siapa saja. Anda, saya, atau saudara sebangsa. Jauhkan umat dari rasa takut pada sesama, dengan memperbanyak berdoa.
Dan tak ada waktu yang lebih baik, selain tamu yang tengah datang pada kita saat ini.
Selamat belajar kerendahan dalam cinta dan kepasrahan.