Anggota Dewan Syura IJABI
Setiap suami pasti beristri. Setiap istri pasti bersuami. Tetapi bisa jadi mereka belum berpasangan. Yang akan menemani kita di surga adalah pasangan kita. Dan siapakah ia atau mereka? Bagaimana caranya menjadikan suami dan istri sebagai pasangan kita?
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad
Dan inilah perbedaan antara makna imra'ah dan zawjah. Apa beda antara keduanya? Mengapa yang satu disebut imra'ah (istri) dan yang lain zawjah (pasangan)? Berikut catatan saya.
Setiap usai dibacakan akad nikah, penghulu atau Ustadz akan segera menutup dengan doa yang masyhur: Allahumma allif baynahuma…“Ya Allah, pertautkan (hati) keduanya seperti Kau tautkan hati Nabi Adam as dan Ibunda Hawa sa. Ikat dalam cinta (hati) keduanya sebagaimana Kauikat cinta antara Nabi Yusuf as dan Zulaikha. Dan persatukan mereka senantiasa sebagaimana Kaupersatukan Baginda Nabi Rasulullah Saw dan Siti Khadijah sa…”
Pernah seorang sahabat bertanya, mengapa doa itu yang dibacakan usai akad nikah? Mengapa tidak doa yang lain? Saya jawab: tentu saja untuk mendoakan kebaikan itu banyak caranya. Tetapi memang, meski ada doa pernikahan Sayyidina Ali kw dan Sayyidah Fathimah sa yang termaktub di lembar undangan, hampir jarang saya dengar doa itu dibacakan usai pernikahan. Mungkin, orang tidak tahu redaksi bahasa Arabnya. Kebanyakan kita ikut tradisi keberkahan: copas dari undangan-undangan sebelumnya. Atau misalnya doa Imam Ali Zainal Abidin as untuk putra-putranya. Ya, doa untuk pernikahan banyak. Tetapi yang terkenal dan populer, doa yang tadi. Mengapa? Karena pasangan pengantin baru menginginkan keberkahan para teladan utama, mereka yang menjadi contoh suami istri yang berpasangan. Apa ada suami istri yang tidak berpasangan. Bagaimana bisa?
Sahabat yang lain bertanya lagi: Bukankah Baginda Nabi Saw punya lebih dari satu istri, mengapa yang dimohonkan hanya nama Sayyidah Khadijah sa? Ada dua jawaban: pertama, karena huruf terakhir nama para perempuan agung itu yang membuat doanya menjadi berirama: Siti Hawa, Siti Zulaikha, dan Siti Khadijah al-Kubra. Dan kedua, karena ini pernikahan (umumnya yang) pertama. Istri Baginda Nabi Saw selain Sayyidah Khadijah sa adalah istri kedua dan seterusnya. Selama dengan Siti Khadijah sa, Rasulullah Saw tidak beristri yang lain. Barangkali dalam pernikahan, ada doa (tersembunyi) bahwa ini pernikahan yang berlangsung selamanya, satu suami, satu istri. Itulah yang dimaksud dengan pasangan. Kawan saya yang lain sambil bercanda berkata: istri saya satu. Satu di sini, dan satu di sana. Ia tidak benar-benar melakukannya.
Lalu, bagaimana bisa suami istri belum tentu berpasangan? Bukankah mereka jodoh yang dipertemukan Tuhan? Mari telusuri perbedaan kata imra’ah dan zawjah. Inilah beberapa di antara penggunaannya dalam Al-Qur’an.
Imra’ah
- Dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. (QS. Al-Nisa [4]:128)
- Sungguh kudapati ada seorang perempuan yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta memiliki singgasana yang besar. (QS. An-Naml [27]:23)
- Ingatlah ketika istri Imran berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku bernazar kepadaMu, apa yang ada dalam kandunganku…” (QS. Ali Imran [3]:35)
- Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba kami… (QS. At-Tahrim [66]: 10)
- Dan berkatalah istri Fir’aun: “Ia adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu…” (QS. Al-Qashash [28]: 9)
- Dan wanita-wanita di kota berkata, “Istri al-Aziz menggoda bujangnya…” (QS. Yusuf [12]: 30)
- Dan (begitu pula) istrinya, membawa kayu bakar. (QS. Al-Lahab [111]:4)
Dan masih banyak lagi. Pada ayat-ayat di atas digunakan dua pilihan kata ‘perempuan’ dan ‘istri’. Keduanya diterjemahkan dari kata yang sama: imro’ah.
Zawjah
- Dan Kami berfirman: “Hai Adam diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini…” (QS. Al-Baqarah [2]: 35)
- …mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara (seorang) suami dan istrinya… (QS. Al-Baqarah [2]: 102)
- …maka perempuan itu tidak halal lagi baginya, hingga ia kawin dengan suami yang lain… (QS. Al-Baqarah [2]: 130)
- …Allah menciptakan istrinya… (QS. An-Nisaa [4]: 1)
- Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya… (QS. Al-A’raf [7]:189)
- (yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya, dan anak cucunya… (QS. Ar-Ra’d [13]:23)
- Masuklah kamu ke dalam surga, kamu dan istri-istrimu kamu digembirakan. (QS. Az-Zukhruf [43]: 70)
Dan masih banyak lagi. Sangat banyak lagi. Yang menarik, kata zawj mengambil bentuk netral. Bisa maskulin dan feminin. Bisa untuk laki-laki dan perempuan. Misalnya nomor tiga pada contoh di atas, kata zawj diterjemahkan menjadi suami. Zawj juga digunakan dalam bentuk jamaknya: azwaj. Dan ia menambah kekayaan makna terhadap kata ini. Adapun bentuk jamak dari imra’ah adalah “nisaa.”
Baik, untuk sementara, berikut perbedaan di antara kedua kata itu. Ada yang berpendapat imro’ah digunakan untuk istri yang tidak sepadan dengan suaminya. Sepadan dalam pengertian ini artinya tidak seiman, tidak sekeyakinan, tidak satu dalam kebersamaan. Misalnya istri Nabi Luth as, istri Nabi Nuh as, dan istri Fir’aun. Mereka berbeda keyakinan. Dua istri pertama tidak mengikuti suaminya yang Nabi. Dan istri Fir’aun justru beriman tetapi suaminya tidak. Atau seperti istri bangsawan Mesir yang menggoda Nabi Yusuf as. Ia tidak setia pada suaminya meski mungkin satu iman, satu keyakinan tapi tidak satu dalam kebersamaan. Tetapi, pendapat ini pun tidak sepenuhnya tepat, karena istri Abu Lahab juga menggunakan kata ‘imra’ah’. Dan mereka seiman, sekeyakinan, seperjuangan dalam bersama-sama mengganggu dan menyakiti Rasulullah Saw. Pada suami istri Abu Lahab itu justru ada kebersamaan.
Bagaimana dengan istri Imran? Mengapa Al-Qur’an menggunakan kata imra’ah? Karena ketika ia bernazar, suaminya yaitu Imran telah meninggal dunia. Dari mana kita tahu? Karena perempuan tidak boleh bernazar tanpa seizin suaminya, apalagi perkara terkait dengan anak yang ada dalam kandungannya. Di sini tidak ada kebersamaan.
Secara singkat, saya memaknai penggunaan kata ‘imra’ah’ dalam Al-Qur’an menunjukkan pada masalah. Masalah itu bisa beragam: tidak seiman, tidak bersama, adanya konflik yang mendalam, dan lain sebagainya. Tulisan singkat ini mesti diperdalam untuk lebih memahami penggunaan imro’ah dan zawjah. Seperti misalnya contoh pertama, Al-Qur’an bahkan menyebut kata imra’ah yang diterjemahkan oleh Kementerian Agama dengan ‘perempuan’ atau ‘wanita’ dan bukan istri, karena perempuan itu khawatir suaminya akan berbuat nusyuz dan bersikap tidak acuh kepadanya. Masalah. Lagi-lagi masalah.
Adapun zawj atau zawjah digunakan Allah Ta’ala untuk derajat yang lebih tinggi. Lihat bagaimana ayat-ayat yang mengisahkan tentang surga mengajak seseorang untuk masuk bersama ‘pasangannya’. Baik pada kisah Nabi Adam as maupun pada janji reuni agung di kampung keabadian. Kalau ada pasangan yang berpisah, sebelum berpisah ia disebut zawj. Setelah berpisah ia disebut imra’ah atau nisa. Al-Qur’an juga mengisahkan pernikahan, pengesahan hubungan suami istri dengan “Kami ciptakan baginya pasangannya.” Pernikahan adalah jalan pembuka menuju berpasangan.
Ya, setiap suami pasti beristri. Setiap istri pasti bersuami. Tetapi bisa jadi mereka belum berpasangan. Yang akan menemani kita di surga adalah pasangan kita. Dan siapakah ia atau mereka? Bagaimana caranya menjadikan suami dan istri sebagai pasangan kita?
Tetapi, tunggu dulu. Ternyata ada makna yang lebih dalam lagi pada kata zawj. Ternyata ia bukan tanpa masalah. Berpasangan juga ada masalah. Masalah yang seperti apa? Masalah yang lebih tinggi. Berpasangan juga bisa lebih dari satu. Bahkan bisa bagi mereka yang tidak bersuami atau beristri. Lebih dari satu tapi sepasang? Tidak menikah tapi berpasangan. Bagaimana? Makin membingungkan saja.
Nah, tunggu lanjutan tulisan ini. Menurut saya ada derajat yang lebih tinggi dari ‘sekadar’ berpasangan. Meski untuk itu pun teramat sulit meraihnya. Yaitu ketika kita menjadi ‘diri’ yang satu.
Caranya?
Bersabar.
Ya, bersabar. Hingga tulisan berikutnya. Semoga.
@miftahrakhmat
www.muthahhari.com