Dewan Syura PP IJABI
Pendidikan wajib mengembalikan empati pada prioritas pendidikan karakter. Ini dasar dari pendidikan Islami. Mendefinisikan manusia ideal, sulit. Mencarinya mudah. Belajarlah dari para teladan kekasih hati itu. Dari para nabi dan rasul. Di atas segalanya, dari manusia dan makhluk terbaik pilihan Tuhan: Baginda Nabi besar Muhammad Saw.
Ini cerita sesungguhnya. Kawan saya, seorang rekan guru. Ia berbagi kisah tentang pengalaman anak didiknya. Alkisah, guru agama masuk ke sebuah kelas. Ia bercerita tentang kewajiban shalat. Ia kemudian bertanya: “Siapa di antara anak-anak yang tidak shalat Subuh pagi tadi?” Anak-anak tidak menjawab. Mereka menahan tangannya. “Ayo, mengapa tidak ada yang menjawab?” Akhirnya seorang anak dengan malu-malu mengangkat tangannya, “Saya Pak Guru…” Mendengar jawaban itu, Pak Guru Agama dengan seketika meluap amarahnya: “Mengapa kamu tidak shalat Subuh? Bukankah itu wajib? Tahukah kamu akibat dari melalaikan perintah Tuhan!?” dan seterusnya. Anak itu kemudian dihukum guru berdiri di depan kelas.(Bagian kelima dari lima)
Sore hari, ia pulang ke rumah dengan wajah tertunduk lesu. Ia ceritakan kisah itu pada ibunya sambil berkata, “Bu, mulai saat ini, aku tidak mau jujur lagi.” Ia belajar sesuatu yang pahit. Kejujurannya mengantarkannya pada kesengsaraan.
Isu pendidikan karakter sedang menghangat di negeri ini. Apalagi Pak Jokowi mendeklarasikan revolusi mental sebagai satu di antara janji kampanyenya. Dulu ia disebut dengan banyak hal: pendidikan budi pekerti, pendidikan kepribadian, etika dan sebagainya. Pelatihan motivasi pun menjamur di negeri ini. Para trainer, motivator, banyak tak terkira. Ia pun menjadi satu di antara peluang bisnis yang dengan jeli dimainkan. Tentu semuanya baik. Yang kurang hanya satu saja: fokus.
Pemerintah pada K-14 menyebutkan 18 nilai karakter itu. Sudah berkurang dari KTSP yang merinci hingga 21. Unesco melalui LVEP (Living Values: an Educational Project) menyederhanakannya lagi menjadi hanya 11. Ini sebelas karakter menurut Unesco: kedamaian, penghargaan, cinta, tanggungjawab, kebahagiaan, kerja sama, kejujuran, kerendahan hati, toleransi, kesederhanaan, dan persatuan. Bagi anak-anak usia yang lebih tinggi, mereka tambahkan yang keduabelas: kebebasan. Saya kerap bertanya pada calon guru mana di antara nilai-nilai itu yang prioritas. Brahma Kumaris, sebuah organisasi kemasyarakatan internasional bahkan hanya menyebut tiga: hak asasi, harga diri, dan kelayakan seorang manusia.
Semuanya baik, tapi mana yang lebih utama? Di sekolah-sekolah Muthahhari yang saya bina, kami hanya mengambil satu saja. Dr. Jalaluddin Rakhmat sebagai pendiri Yayasan hanya meminta satu saja sebagai titik tekan dan sentral dari pendidikan karakter di sekolah: empati. Ia dijabarkan dalam senarai life skill yang diberikan. Ada tujuh life skill dengan porsi pemberian yang bertahap: Learning Skill dan Social Skill (Sekolah Dasar), Communication dan Coping Skill (SMP), Happiness, Spiritual, dan Financial Skill (SMA).
Apa itu empati? Kepedulian. Masalah terbesar bangsa ini dan umat manusia adalah kepedulian. Empati mewakili semangat setiap agama yang pernah diturunkan untuk membimbing manusia. Secara singkat empati adalah kaidah universal untuk: perlakukan dirimu sebagaimana kamu ingin diperlakukan. Kamaa tadiinu, tudaanu, sabda Baginda Nabi Saw. Love your neighbours as yourself. There is no commandment greater than these, menurut Markus 12:31. Dalam empati ada tenggang rasa, penghormatan akan kemuliaan manusia, keistimewaan mereka. Dalam empati ada kejujuran, ada cinta dan kasih sayang.
Semua berawal dari hal-hal kecil. Bila ada orang menyampaikan sesuatu yang sudah kita ketahui, perkenankan diri kita untuk tetap mendengarkannya. Bila ada orang memberi barang yang sudah kiti miliki, bagaimana kita akan menjawabnya? Cobalah membukakan pintu di tempat umum untuk orang lain, adakah ungkap terima kasih yang akan kita dengar? Kita merasa ‘beruntung’ bisa menyela antrian, tapi kita marah bila antrian kita yang dilanggar. Seringkah kita mengucap syukur di atas penderitaan orang lain. Bahagia karena kesalahan orang lain. Senang karena dijauhkan dari kesulitan yang menimpa orang lain. Apakah kita memotong pembicaraan orang lain, atau mendengarkannya sampai tuntas? Ataukah kita sibuk dengan telepon genggam kita saat mendengarkan orang lain bicara? Kapan terakhir kali kita memandang mata saat berkata?
Di sebuah sekolah Budha di Jakarta, jelang hari Ibu, anak-anak membawa sebongkah batu di perut mereka, membawanya ke mana-mana. Mereka merasakan penderitaan berat seorang Ibu mengandungkan mereka. Ketika tiba hari Ibu, Sekolah mengundang para ibu, mendudukan mereka di tempat terhormat, dan anak-anak itu melepaskan batu di perut mereka, lalu membasuh kaki ibunya dengan penuh penghormatan.
Di SMA Plus Muthahhari di Bandung digelar rutin kegiatan Spiritual Workcamp. Selama empat hari para siswa tinggal bersama orangtua asuh mereka di sebuah desa binaan. Bekerja sebagaimana mereka bekerja. Hidup sebagaimana mereka hidup. Banyak kisah penggugah yang muncul dari interaksi seperti ini. Atau ketika anak-anak SMP Bahtera Muthahhari mengunjungi anak-anak penderita penyakit kanker, anak-anak jalanan, dan sebagainya.
Empati. Ketiadaan nilai yang satu ini akan mengantarkan manusia pada kemudahan melegitimasi kesalahannya. Pada pembenaran atas tindak buruk yang dilakukannya. Sebuah tesis di kota Bandung meneliti pengaruh pemikiran radikalisme di antara anak-anak sekolah menengah. 75% di antaranya sudah cenderung ke arah radikalisme. Kepada mereka diajarkan ‘pembenaran’ saat menghakimi orang lain yang beda pendapat dengan alasan amar makruf nahi munkar, jihad, dakwah dan sebagainya. Bagaimana bila yang berbeda pendapat itu orangtua kita, kakek kita, keluarga kita? Kehilangan empati akan mengabaikannya.
Ketiadaan empati juga akan mengakibatkan orang mengambil jalan pintas. Jalur-jalur khusus yang dibuat untuk pelayanan ekstra dan lebih cepat. Masalah di keseharian anak-anak seperti bullying, mencontek, kekerasan dan tawuran juga berakar dari hal yang sama.
Pendidikan wajib mengembalikan empati pada prioritas pendidikan karakter. Ini dasar dari pendidikan Islami. Mendefinisikan manusia ideal, sulit. Mencarinya mudah. Belajarlah dari para teladan kekasih hati itu. Dari para nabi dan rasul. Di atas segalanya, dari manusia dan makhluk terbaik pilihan Tuhan: Baginda Nabi besar Muhammad Saw.
Bukankah Al-Quran dengan indah menyifatkan Sang Nabi itu dalam sebuah surat yang istimewa: Al-Taubah. Surat yang tidak diawali dengan basmalah itu ditafsirkan para ahli dengan beragam. Konon, karena isinya keras. Ada juga yang menyebutkan karena di dalamnya ada teguran, dan sebagainya. Al-Taubah menjadi satu-satunya surat yang tidak diawali dengan nama Allah yang Mahakasih Mahasayang.
Tapi simak bagaimana Al-Quran menutup surat itu. Dua ayat terakhir, ia berkisah tentang Sang Nabi pilihan. “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (kebahagiaan, keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. Al-Taubah [9]:128). Nabi Saw adalah ia yang berat hatinya melihat kita menderita. Yang sangat ingin kita berbahagia. Yang amat pengasih dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman. Empati.
Ajaibnya, ayat ini jarang menjadi teladan untuk memperkenalkan Baginda Nabi Saw. Empat sifat Baginda Nabi dalam kurikulum: fathonah, amanah, shiddiq, dan tabligh kita peroleh dari hadits. Semuanya berlandaskan pada ayat Al-Quran ini. Maka apalagi kriteria manusia ideal, yang untuk itu kita arahkan sistem pendidikan kita, selain sifat Baginda Nabi Saw ini. Ia manusia yang ideal. Tidak ada ayat Al-Quran yang menjelaskan Nabi Saw begitu rinci untuk kita teladani seperti ayat ini.
Pendidikan Islami adalah pendidikan yang menekankan empati. Itulah mata air pendidikan Nabawi. Pendidikan Islami adalah pendidikan yang berteladankan Sang Nabi suci. Cukup definisi manusia ideal itu dengan kasih sayangnya yang luas untuk sesama. Ke sanalah biduk pendidikan selayaknya diarahkan.
Miftah F. Rakhmat, Direktur Pendidikan dan Ketua Yayasan Muthahhari, Bandung.
Rujukan:
- Perfect Man, Murtadha Muthahhari, Bonyad Be’that Teheran, 1996.
- Takamul-e Ijtima'iye Insan, Intisharat-e Shadra, Qum, 1367 HS (1989 M)
- Allimu awlaadakum hubba Muhammadin wa Ali Muhammad, Fadhli Furati, Al-Balagh, Beirut 2001.
- internet as quoted
Baca juga:
Empati: Mata Air Pendidikan Nabawi (1/5)
Empati: Mata Air Pendidikan Nabawi (2/5)
Empati: Mata Air Pendidikan Nabawi (3/5)
Empati: Mata Air Pendidikan Nabawi (4/5)
Empati: Mata Air Pendidikan Nabawi (5/5)