Ustadz Miftah F. Rakhmat
Dewan Syura PP IJABI
Dewan Syura PP IJABI
Proses pendidikan dalam Islam disebut dengan tazkiyyah. Akar kata ‘zakka’ ini mengandung arti suci dan tumbuh. Hanya dengan mensucikan diri, ia dapat tumbuh. Membimbing peserta didik adalah menjaga mereka untuk memelihara kesucian. Ini tidak mungkin dilakukan seorang guru, tanpa ia menjaga kesucian dirinya.
Model Sistem Pendidikan di Republik Islam Iran
Dua tahun yang lalu, saya berkesempatan mengunjungi Republik Islam Iran dalam sebuah kegiatan kebudayaan yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia di Teheran. Beberapa bulan sebelumnya, saya pun menghadiri serangkaian acara pendidikan di negeri para mullah itu. Saya dan beberapa kawan berkunjung ke Kampus pencetak para guru, bertemu dengan tokoh-tokoh yang pernah menjadi penentu kebijakan pendidikan di negeri itu, dan berkunjung serta belajar pada penerapan beberapa sekolah model di sana. Ini beberapa temuannya. Pertama, visi pendidikan mereka sederhana: mempersiapkan anak didik untuk menanti kedatangan Imam Mahdi. Mempersiapkan anak didik untuk menjadi tentara dan ksatria Imam terakhir itu. Mazhab Syiah sebagai mayoritas mazhab Islam di Iran memang mempercayai kehadiran juru selamat di akhir zaman. Dan mereka arahkan konsep pendidikan di negeri itu untuk mempersiapkan kehadiran Imam yang dijanjikan itu. Televisi BBC pernah menyajikan wawancara televisi yang menyebutkan konsep ini sebagai konsep takhayul dan mengada-ada.
Apa dampaknya? Mereka menjadikan sekolah dan anak didik itu sebagai ‘persembahan sederhana’. Dalam Al-Qur’an dikisahkan saudara-saudara Nabi Yusuf as yang datang pada Nabi Yusuf as dan berkata, “Wahai Raja, telah menimpa kami dan bangsa kami kesengsaraan, dan kami datang membawa barang yang tak berharga, maka sempurnakanlah sukatan untuk kami dan bersedekahlah kepada kami. Sesungguhnya Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bersedekah.” (QS. Yusuf [12]:88). Atau QS. Al-Mujadalah [58]:12, “Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.
Menemui Rasulullah Saw, raja dan baginda kekasih Ilahi itu, kita tidak boleh datang dengan tangan kosong. Kita harus datang dengan sedekah dan bidha’ah muzjaah, hadiah sederhana, barang yang tak berharga. Orang-orang Iran menjadikan visi dunia pendidikan mereka sebagai hadiah yang ingin mereka haturkan pada para teladan kekasih hati. Mereka percaya pada hadis, “’Allimuu awladakum hubba Muhammadin wa Ali Muhammad. Ajarkan anak-anakmu kecintaan pada Muhammad dan keluarga Muhammad.” Atau Hadis 3436 Shahih al-Bukhari, melalui riwayat Ibn Umar dari Sahabat Abu Bakar, “Jagalah Muhammad Saw dalam keluarganya.” Hormati dan pelihara keluarga Rasulullah Saw. Ridha Allah Ta’ala bagi para sahabat teladan itu.
Para pembuat kebijakan pendidian di Iran percaya mereka harus mencetak generasi yang akan menjadi pelanjut semangat penantian Al-Mahdi dari keluarga Nabi itu, dan untuk menyebarkan kecintaan pada keluarga Nabi Saw sebagaimana diwasiatkan oleh para sahabat teladan itu.
Kedua, materi pembelajaran semua dibuat berdasarkan contextual teaching learning. Di sekolah-sekolah Muthahhari di Kota Bandung misalnya, materi pembelajaran itu bersifat lokal. Tokoh dalam setiap cerita adalah anak-anak kami. Kasus yang dikisahkan adalah keseharian. Ia dekat dengan pengalaman para peserta didik. Ambil contoh belajar Bahasa Inggris. Tanpa sadar, kita diarahkan pada kebudayaan barat yang berselimutkan globalisasi. Kita—dalam pelajaran Bahasa Inggris itu—diperkenalkan pada Mary alih-alih Maryam, pada Roberts alih-alih Budi. Pada burger daripada nasi uduk. Pada Valentine dan Haloween daripada Lebaran atau tradisi lokal lainnya. Secara sederhana, kunjungi sekolah-sekolah kita. Lihat daftar namanya. Sudah begitu banyak nama (budaya) asing yang mungkin sudah menyisihkan budaya lokal atau agama.
Ketiga, mengambil Luqman as sebagai contoh seorang guru dan prioritas pembelajaran di sekolah. Di Sekolah Cerdas Muthahhari di Bandung, ayat-ayat nasihat Luqman pada anaknya ini menjadi dasar pembelajaran PAI sesuai dengan urutan penyebutannya dalam Al-Qur’an: bersyukur pada Allah, berterima kasih pada orangtua, setiap amalan berbuah ganjaran, mendirikan shalat, mengajak kebaikan dan menjauhi keburukan, bersabar, rendah hati, dan menjaga pembicaraan. (QS. Luqman [31]:13)
Keempat, mereka menerapkan konsep guru wali. Secara nasional, guru wali menjadi struktur yang tak terpisahkan dalam pendidikan. Ia bukan wali kelas. Ia bertugas mengawasi, mengamati, membimbing, dan membantu bila ada kesulitan tertentu dalam pelajaran. Ia pula menjadi jembatan antara orangtua dan sekolah. Setiap guru wali memegang sepuluh orang. Dalam beberapa sekolah bahkan lebih sedikit lagi. Ia akan menuliskan rekam jejaknya, memetakan potensinya, dan mengarahkannya manakala ia dihadapkan pada berbagai problema. Ada yang sifatnya tahunan. Berganti setiap tahun ajaran. Tapi ada juga yang terus memanjang hingga menyelesaikan lamanya proses pendidikan dalam satu satuan pendidikan. Misalkan, enam tahun di SD, dan enam tahun di jenjang berikutnya. Konsep guru wali ini, mereka sebut moallem rahnemo, hanya diberlakukan dari SD hingga SMA.
Kelebihan jumlah guru di beberapa sekolah atau provinsi di negeri ini dapat diarahkan pada fungsi guru sebagai pembimbing ini. Ia menjadi mitra, sahabat, guru pelajaran, dan juga guru bimbingan konseling. Ini mungkin satu di antara keistimewaan sistem pendidikan di Iran yang—menurut mereka—diambil dari nilai-nilai ke-Islaman.
Tentu saja untuk menerapkannya di negeri ini diperlukan perubahan paradigma yang mendasar. Seorang guru wali adalah ia yang juga berusaha untuk senantiasa meningkatkan diri mereka secara intelektual dan ruhaniah. Guru adalah mereka yang diberikan Tuhan anugerah untuk dapat mengubah hidup seorang anak manusia. Ini amanah yang sangat besarnya. Tanpa memohonkan perlindungan dan bimbingan Yang Mahakuasa, mustahil dapat menunaikannya. Karena itu, seorang guru wali harus senantiasa menjaga dan memelihara dirinya. Saya mengenal seorang guru SMA Plus Muthahhari di Bandung yang rajin berpuasa Senin-Kamis ketika ia ditugaskan jadi wali kelas. Katanya, saya harus dapat mengendalikan lisan saya ketika berbicara dengan anak-anak. Saya kuatir menyakiti mereka, atau suara saya yang meninggi. Saya berpuasa untuk menjaganya. Maa Syaa Allah!
Bukankah proses pendidikan dalam Islam disebut dengan tazkiyyah. Akar kata ‘zakka’ ini mengandung arti suci dan tumbuh. Hanya dengan mensucikan diri, ia dapat tumbuh. Membimbing peserta didik adalah menjaga mereka untuk memelihara kesucian. Ini tidak mungkin dilakukan seorang guru, tanpa ia menjaga kesucian dirinya. Saya selalu menganjurkan guru sebelum mengajar agar ia membawa dimensi ruhaniah itu dan berdoa untuk anak didik mereka. Nabi Saw pernah mendoakan putra sahabatnya dengan doa: Allahumma jammilhu wa adim jamaalah. Ya Allah, indahkan ia (lahir dan batinnya), dan kekalkan keindahan itu.
Mengikuti Baginda Nabi Saw, setiap guru dan kita semua bisa berdoa yang sama. Atau, menggunakan kata ‘zakaa’ yang juga berarti cerdas, kita berdoa: Allahumma zakkihim wa adim zakaahum. Ya Allah, sucikan, tumbuh kembangkan ke arah yang baik, cerdaskan murid-murid kami itu, dan kekalkan kesucian, tumbuh kembang, dan kecerdasan mereka.
Inilah konsep guru wali.
Baca juga:
Empati: Mata Air Pendidikan Nabawi (1/5)
Empati: Mata Air Pendidikan Nabawi (2/5)
Empati: Mata Air Pendidikan Nabawi (3/5)
Empati: Mata Air Pendidikan Nabawi (4/5)
Empati: Mata Air Pendidikan Nabawi (5/5)
Dua tahun yang lalu, saya berkesempatan mengunjungi Republik Islam Iran dalam sebuah kegiatan kebudayaan yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia di Teheran. Beberapa bulan sebelumnya, saya pun menghadiri serangkaian acara pendidikan di negeri para mullah itu. Saya dan beberapa kawan berkunjung ke Kampus pencetak para guru, bertemu dengan tokoh-tokoh yang pernah menjadi penentu kebijakan pendidikan di negeri itu, dan berkunjung serta belajar pada penerapan beberapa sekolah model di sana. Ini beberapa temuannya. Pertama, visi pendidikan mereka sederhana: mempersiapkan anak didik untuk menanti kedatangan Imam Mahdi. Mempersiapkan anak didik untuk menjadi tentara dan ksatria Imam terakhir itu. Mazhab Syiah sebagai mayoritas mazhab Islam di Iran memang mempercayai kehadiran juru selamat di akhir zaman. Dan mereka arahkan konsep pendidikan di negeri itu untuk mempersiapkan kehadiran Imam yang dijanjikan itu. Televisi BBC pernah menyajikan wawancara televisi yang menyebutkan konsep ini sebagai konsep takhayul dan mengada-ada.
Apa dampaknya? Mereka menjadikan sekolah dan anak didik itu sebagai ‘persembahan sederhana’. Dalam Al-Qur’an dikisahkan saudara-saudara Nabi Yusuf as yang datang pada Nabi Yusuf as dan berkata, “Wahai Raja, telah menimpa kami dan bangsa kami kesengsaraan, dan kami datang membawa barang yang tak berharga, maka sempurnakanlah sukatan untuk kami dan bersedekahlah kepada kami. Sesungguhnya Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bersedekah.” (QS. Yusuf [12]:88). Atau QS. Al-Mujadalah [58]:12, “Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.
Menemui Rasulullah Saw, raja dan baginda kekasih Ilahi itu, kita tidak boleh datang dengan tangan kosong. Kita harus datang dengan sedekah dan bidha’ah muzjaah, hadiah sederhana, barang yang tak berharga. Orang-orang Iran menjadikan visi dunia pendidikan mereka sebagai hadiah yang ingin mereka haturkan pada para teladan kekasih hati. Mereka percaya pada hadis, “’Allimuu awladakum hubba Muhammadin wa Ali Muhammad. Ajarkan anak-anakmu kecintaan pada Muhammad dan keluarga Muhammad.” Atau Hadis 3436 Shahih al-Bukhari, melalui riwayat Ibn Umar dari Sahabat Abu Bakar, “Jagalah Muhammad Saw dalam keluarganya.” Hormati dan pelihara keluarga Rasulullah Saw. Ridha Allah Ta’ala bagi para sahabat teladan itu.
Para pembuat kebijakan pendidian di Iran percaya mereka harus mencetak generasi yang akan menjadi pelanjut semangat penantian Al-Mahdi dari keluarga Nabi itu, dan untuk menyebarkan kecintaan pada keluarga Nabi Saw sebagaimana diwasiatkan oleh para sahabat teladan itu.
Kedua, materi pembelajaran semua dibuat berdasarkan contextual teaching learning. Di sekolah-sekolah Muthahhari di Kota Bandung misalnya, materi pembelajaran itu bersifat lokal. Tokoh dalam setiap cerita adalah anak-anak kami. Kasus yang dikisahkan adalah keseharian. Ia dekat dengan pengalaman para peserta didik. Ambil contoh belajar Bahasa Inggris. Tanpa sadar, kita diarahkan pada kebudayaan barat yang berselimutkan globalisasi. Kita—dalam pelajaran Bahasa Inggris itu—diperkenalkan pada Mary alih-alih Maryam, pada Roberts alih-alih Budi. Pada burger daripada nasi uduk. Pada Valentine dan Haloween daripada Lebaran atau tradisi lokal lainnya. Secara sederhana, kunjungi sekolah-sekolah kita. Lihat daftar namanya. Sudah begitu banyak nama (budaya) asing yang mungkin sudah menyisihkan budaya lokal atau agama.
Ketiga, mengambil Luqman as sebagai contoh seorang guru dan prioritas pembelajaran di sekolah. Di Sekolah Cerdas Muthahhari di Bandung, ayat-ayat nasihat Luqman pada anaknya ini menjadi dasar pembelajaran PAI sesuai dengan urutan penyebutannya dalam Al-Qur’an: bersyukur pada Allah, berterima kasih pada orangtua, setiap amalan berbuah ganjaran, mendirikan shalat, mengajak kebaikan dan menjauhi keburukan, bersabar, rendah hati, dan menjaga pembicaraan. (QS. Luqman [31]:13)
Keempat, mereka menerapkan konsep guru wali. Secara nasional, guru wali menjadi struktur yang tak terpisahkan dalam pendidikan. Ia bukan wali kelas. Ia bertugas mengawasi, mengamati, membimbing, dan membantu bila ada kesulitan tertentu dalam pelajaran. Ia pula menjadi jembatan antara orangtua dan sekolah. Setiap guru wali memegang sepuluh orang. Dalam beberapa sekolah bahkan lebih sedikit lagi. Ia akan menuliskan rekam jejaknya, memetakan potensinya, dan mengarahkannya manakala ia dihadapkan pada berbagai problema. Ada yang sifatnya tahunan. Berganti setiap tahun ajaran. Tapi ada juga yang terus memanjang hingga menyelesaikan lamanya proses pendidikan dalam satu satuan pendidikan. Misalkan, enam tahun di SD, dan enam tahun di jenjang berikutnya. Konsep guru wali ini, mereka sebut moallem rahnemo, hanya diberlakukan dari SD hingga SMA.
Kelebihan jumlah guru di beberapa sekolah atau provinsi di negeri ini dapat diarahkan pada fungsi guru sebagai pembimbing ini. Ia menjadi mitra, sahabat, guru pelajaran, dan juga guru bimbingan konseling. Ini mungkin satu di antara keistimewaan sistem pendidikan di Iran yang—menurut mereka—diambil dari nilai-nilai ke-Islaman.
Tentu saja untuk menerapkannya di negeri ini diperlukan perubahan paradigma yang mendasar. Seorang guru wali adalah ia yang juga berusaha untuk senantiasa meningkatkan diri mereka secara intelektual dan ruhaniah. Guru adalah mereka yang diberikan Tuhan anugerah untuk dapat mengubah hidup seorang anak manusia. Ini amanah yang sangat besarnya. Tanpa memohonkan perlindungan dan bimbingan Yang Mahakuasa, mustahil dapat menunaikannya. Karena itu, seorang guru wali harus senantiasa menjaga dan memelihara dirinya. Saya mengenal seorang guru SMA Plus Muthahhari di Bandung yang rajin berpuasa Senin-Kamis ketika ia ditugaskan jadi wali kelas. Katanya, saya harus dapat mengendalikan lisan saya ketika berbicara dengan anak-anak. Saya kuatir menyakiti mereka, atau suara saya yang meninggi. Saya berpuasa untuk menjaganya. Maa Syaa Allah!
Bukankah proses pendidikan dalam Islam disebut dengan tazkiyyah. Akar kata ‘zakka’ ini mengandung arti suci dan tumbuh. Hanya dengan mensucikan diri, ia dapat tumbuh. Membimbing peserta didik adalah menjaga mereka untuk memelihara kesucian. Ini tidak mungkin dilakukan seorang guru, tanpa ia menjaga kesucian dirinya. Saya selalu menganjurkan guru sebelum mengajar agar ia membawa dimensi ruhaniah itu dan berdoa untuk anak didik mereka. Nabi Saw pernah mendoakan putra sahabatnya dengan doa: Allahumma jammilhu wa adim jamaalah. Ya Allah, indahkan ia (lahir dan batinnya), dan kekalkan keindahan itu.
Mengikuti Baginda Nabi Saw, setiap guru dan kita semua bisa berdoa yang sama. Atau, menggunakan kata ‘zakaa’ yang juga berarti cerdas, kita berdoa: Allahumma zakkihim wa adim zakaahum. Ya Allah, sucikan, tumbuh kembangkan ke arah yang baik, cerdaskan murid-murid kami itu, dan kekalkan kesucian, tumbuh kembang, dan kecerdasan mereka.
Inilah konsep guru wali.
Baca juga:
Empati: Mata Air Pendidikan Nabawi (1/5)
Empati: Mata Air Pendidikan Nabawi (2/5)
Empati: Mata Air Pendidikan Nabawi (3/5)
Empati: Mata Air Pendidikan Nabawi (4/5)
Empati: Mata Air Pendidikan Nabawi (5/5)