Dewan Syura PP IJABI
Kesempurnaan manusia ini kemudian meniscayakan keistimewaan. Saya menyebutnya “Sentuhan khas Tuhan bagi setiap jiwa.” Ini luar biasa. Karena keadilan dan kasih sayangNya, tiada satu pun manusia diciptakan sama. Tidak dulu, dan tidak nanti. Semua kita berbeda. Semua kita diberi Tuhan potensi yang luar biasa, dan kemampuan untuk mengembangkannya. Istimewa tidak berarti lebih baik. Istimewa artinya unik, khas, luar biasa.
Kesempurnaan manusia ini kemudian meniscayakan keistimewaan. Saya menyebutnya “Sentuhan khas Tuhan bagi setiap jiwa.” Ini luar biasa. Karena keadilan dan kasih sayangNya, tiada satu pun manusia diciptakan sama. Tidak dulu, dan tidak nanti. Semua kita berbeda. Semua kita diberi Tuhan potensi yang luar biasa, dan kemampuan untuk mengembangkannya. Istimewa tidak berarti lebih baik. Istimewa artinya unik, khas, luar biasa.
Sayyidah Fathimah ra putri Rasulullah Saw, misalnya, punya keistimewaan. Ia memiliki sesuatu yang bahkan tidak dimiliki oleh Nabi Saw sendiri. Ialah satu-satunya manusia yang ayahnya nabi, suaminya seorang khalifah, dan putra-putranya adalah teladan suci seperti Al-Hasan dan Al-Husain ra. Keistimewaan tidak berarti lebih baik. Keistimewaan adalah anugerah Tuhan yang indah. Karena keadilanNya. Karena kasih sayangNya.
Prinsip kedua dalam pendidikan, setelah meyakini kesempurnaan dan kemuliaannya, adalah memperlakukan setiap manusia istimewa. Di sini, bahkan konsep multiple intelligences-nya Howard Gardner masih dapat diperluas lebih jauh. Meski sebuah pencapaian yang besar, ia masih terlalu kecil untuk dapat membingkai manusia. Dan takkan pernah ada yang bisa. Semua konsep pendidikan itu harus kembali pada “sentuhan khas Tuhan bagi setiap jiwa.” Pendidikan yang personal adalah pendidikan yang paling sesuai nilai-nilai kemanusiaan. Konsep tarekat menyebutnya “mursyid”. Nabi Saw adalah orang yang paling mengetahui keadaan para sahabatnya. Itulah guru sejati.
Di sinilah dilemanya. Di negeri ini, pendidikan kita banyak dititipi oleh sederet amanah. Bandingkan kurikulum negeri ini dengan negara tetangga. Atau dengan Amerika dan Jepang. Di kedua negeri itu, kurikulum bergerak dari yang paling ringan ke yang paling berat. Masa SD adalah usia dengan beban pelajaran paling rendah. Anak-anak memanfaatkan masa kecilnya dengan bermain, bergerak, dan berkarya. Di perkuliahan, barulah setumpuk tugas dan sederet buku yang harus dibaca, sehingga hampir tak tersisa waktu untuk cuti atau demonstrasi. Mereka dituntut dengan kurikulum yang berat. Mahasiwa kita, bisa cuti, dan rajin demonstrasi sedangkan anak SD berangkat ke sekolah dengan tas yang dipenuhi buku pelajaran, lembar kerja, buku penunjang dan sebagainya.
Di Sekolah Cerdas Muthahhari di Bandung, kami mencoba mengembalikan ‘fitrah’ keistimewaan itu, tanpa kehilangan sentuhan kekinian. Sejak berdiri tahun 2007, anak-anak sudah diperkenalkan pada Ebook, konsep buku elektronik yang bisa mereka baca kapan saja. Ada lembar kerja interaktif dan bank soal digital. Anak-anak tidak lagi membawa buku-buku yang berat. Materi pelajaran pun kami sederhanakan. Beberapa di antaranya digabung dalam sebuah kurikulum khusus yang kami sebut funschooling. Ternyata, ia menjadi favorit para siswa. Ada pula kelas minat ketika mereka bebas memilih pelajaran dan keterampilan yang mereka sukai. Atau jam guru dan jam murid ketika pendapat mereka dihargai dan diapresiasi. Tugas terbesar guru (dan orangtua) adalah menemukan sentuhan khas Tuhan dalam setiap diri anak didik itu.
Dan tantangan terbesar adalah keseragaman. Ketika anak-anak ‘dipaksa’ untuk menguasai sesuatu yang diamanahkan orang dewasa di sekitar mereka. Ambil contoh pelajaran PKn dan Sosial untuk anak kelas III dan IV SD. Mereka sudah diperkenalkan lembaga-lembaga tinggi negara dan fungsinya. Mereka juga harus menghapal tugas komisi-komisi yang ada di DPR. Apa relevansinya bagi mereka? Bukan tidak mungkin ketika mereka dewasa, sudah ada perubahan pada lembaga, komisi, dan sistem yang ada? Lalu, untuk apa mereka menghafal itu semua.
Kembalilah pada fitrah keistimewaan itu. Ajarkan kewarganegaraan dengan penekanan pada penghormatan hak setiap manusia. Pada penghormatan atas perbedaan, atas pendapat, atas agama. Pada penekanan nilai-nilai kebangsaan, persatuaan, persaudaraan. Bukankah itu semua selaras dengan pesan Ilahiah yang universal?
Maka pada anak-anak yang polos itu kita sudah hamparkan mimpi kita, bukan mimpi mereka. Yang terbaik menurut kita, bukan yang terbaik yang ada pada diri mereka. Saya masih saja teringat ucapan penyair Chili Gabriela Mistral, peraih Nobel Sastra itu yang dengan indah diterjemahkan oleh Taufik Ismail.
We are guilty of many errors, but our worst crime is abandoning the children. Neglecting the fountain of life. Many of the things we need can wait. The child cannot. Right now is the time his bones are being formed, his blood is being made, and his senses are being developed. To him we cannot answer ‘tomorrow’. His name is ‘today’.
Banyak kekhilafan dan kesalahan yang kita perbuat. Namun kejahatan kita yang paling nista adalah kejahatan mengabaikan anak-anak kita. Melalaikan mata air hayat kita. Kita bisa menunda berbagai kebutuhan kita. Kebutuhan anak kita tidak bisa ditunda. Pada saat ini, tulang belulangnya sedang dibentuk, darahnya dibuat, dan susunan syarafnya tengah disusun. Kepadanya kita tidak bisa berkata “besok”. Namaya adalah “Kini!”
Apa kesalahan terbesar kita? Melupakan keistimewaan setiap jiwa itu. Memaksa mereka sama. Mendesak mereka untuk mengejar sebaris nilai yang kita sebut dengan persiapan masa depan. Esok. Dan kita melupakan senyum mereka, semangat mereka, dan ketertarikan mereka sebagai pemenuhan terhadap panggilan jiwa yang sudah Tuhan titipkan dalam diri mereka.
Saya tidak tahu kriteria manusia ideal seperti apa. Pendidikan tidak harus ditujukan untuk itu. Bila harus memilih antara sukses dan bahagia, mana yang akan dipilih? Tidak keduanya. Karena ukuran keduanya pun ambigu. Tapi pilihlah anak yang sukacita, yang riang dan penuh kasih, yang memahami diri, menerima alam dan lingkungan di sekitarnya, dan pasrah pada keyakinan akan yang terbaik yang Tuhan anugerahkan pada dirinya.
Demikianlah jawaban ‘panjang’ saya untuk pertanyaan tentang manusia ideal yang hendak dicapai oleh sebuah proses pendidikan. Saya tidak mendefinisikannya. Saya mengembalikan paradigma pada kesempurnaan, kemuliaan, dan keistimewaan setiap jiwa.
Baca juga:
Empati: Mata Air Pendidikan Nabawi (1/5)
Empati: Mata Air Pendidikan Nabawi (2/5)
Empati: Mata Air Pendidikan Nabawi (3/5)
Empati: Mata Air Pendidikan Nabawi (4/5)
Empati: Mata Air Pendidikan Nabawi (5/5)