Dewan Syura PP IJABI
Sore hari itu, dua orang mahasiswa Universitas Islam Bandung (Unisba) menjumpai saya. Mereka mewakili Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) di Kampus mereka. Begitu berjumpa, kalimat pertama dari mereka usai salam adalah, “Kami sedang meneliti bagaimana konsep manusia ideal menurut lembaga-lembaga pendidikan Islam. Apa itu manusia sempurna? Ke mana pendidikan itu diarahkan? Manusia seperti apakah yang dicita-citakan?”
Sungguh, semua yang hadir itu indah karena Sang Mahaindah yang telah menghadirkannya. Semua yang kaulihat sempurna, karena Sang Mahasempurna yang telah menciptakannya. Tak ada satu pun yang kurang, tak ada satu pun yang cacat, kecuali kita yang mengubah nikmat dengan kesalahan yang kita perbuat. Tapi bahkan salah itu pun kebaikan. Dengannya kau mengenal ampunan. Karenanya kau merindu kasih dan sayang.
Karena itu bersyukurlah, hingga kelu lisanmu menggumamkannya. Bersyukurlah, hingga kau tak lagi tahu bagaimana menyampaikannya. Hindarilah menghakimi sesama, karena ia punya penciptanya. Jangan sampai menghujat, hanya karena kau tak sanggup berbuat.
Mengapa kau terlahir dari kami, karena kamilah ujianmu menempuh jalan. Mengapa kau hadir bagi kami, karena kaulah ujian kami menuju kesempurnaan. Mengapa kau punya sesuatu dan yang lain tidak? Mengapa yang lain tidak punya apa yang ada dalam dirimu... Semua karena Sang Pencipta punya sentuhan khas bagi tiap jiwa.
Karena semua kita dicintainya. Karena semua kita istimewa. Semua kita sempurna... Kecuali mereka yang menghancurkan keindahan itu, berbuat melampaui batas, merendahkan kehormatan, menghancurkan ikatan. Mereka yang menyia-nyiakan nikmat, melupakan para guru agung, bahkan mengkhianati dan menyakiti mereka. Kekal bagi mereka siksaan, sempurna atas mereka murka Tuhan. Hindari mereka, anakku, karena mereka hadir di setiap zaman.
Sampaikan salamku untuk ibumu. Peluk sayang, cinta dan sejuta kesempurnaan rindu."
Sore hari itu, dua orang mahasiswa Universitas Islam Bandung (Unisba) menjumpai saya. Mereka mewakili Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) di Kampus mereka. Begitu berjumpa, kalimat pertama dari mereka usai salam adalah, “Kami sedang meneliti bagaimana konsep manusia ideal menurut lembaga-lembaga pendidikan Islam. Apa itu manusia sempurna? Ke mana pendidikan itu diarahkan? Manusia seperti apakah yang dicita-citakan?”
Pertanyaan yang sistematis dan runut. Ia tinggal membacakannya. Sepertinya, itu pula yang ia tanyakan pada setiap lembaga yang didatanginya. Saya mencoba memberikan jawaban yang berbeda. Saya mulai dengan definisi saya tentang sempurna.
Menurut Murtadha Muthahhari (w. 1970 M), ada beda antara “tamam” dan “kamal” antara itmam dan ikmal. Ayat kesempurnaan agama pun menyebutkan dua hal ini. “Al-yawma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu ‘alaikum ni’mati, pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu…” baru setelah itu, “Wa radhiitu lakum al-Islaam al-diinan…dan Aku ridha Islam menjadi agamamu.” (QS. Al-Maa’idah [5]:3).
Departemen Agama menerjemahkan “akmaltu” dengan sempurna, dan “atmamtu” dengan cukup. Menurut Muthahhari, tamam artinya lengkap, selesai. Berbeda dengan kamal—yang tanpa batas—tamam ada tolak ukurnya, ada hitungannya. Ibarat mengerjakan rumah, ia selesai sampai atapnya. Atau seorang yang menempuh pendidikan dan beroleh gelar atau ijazahnya. Sedangkan sempurna adalah sebuah proses tak mengenal akhir.
Karena itu, bagi saya tidak ada ukuran definitif tentang manusia ideal yang konkrit. Tujuan pendidikan adalah melejitkan potensi manusia menuju tingkat kesempurnaan setinggi-tingginya. Alih-alih bicara ideal, manusia (dan sistem pendidikan) harus kembali pada obyek utama: diri mereka sendiri.
Filosofi ini berpegang pada ayat al-Qur’an, “wa laqad karramnaa banii Adam…dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam…” (QS. Al-Israa [17]:70). Manusia (dan seluruh makhluk) pada hakikatnya sempurna, karena Sang Mahasempurna yang menciptakannya. Tidak ada satu pun ciptaanNya yang tidak sempurna. Bagaimana dengan mereka yang terlahir dengan kekurangan? Sempurna. Lengkap dan tidak adalah kacamata manusia menilainya. Manusia lengkap berjari lima setiap tangan, bermata dan berkaki dua. Bagaimana bila kurang? Ia tetap sempurna.
Baca juga:
Empati: Mata Air Pendidikan Nabawi (1/5)
Empati: Mata Air Pendidikan Nabawi (2/5)
Empati: Mata Air Pendidikan Nabawi (3/5)
Empati: Mata Air Pendidikan Nabawi (4/5)
Empati: Mata Air Pendidikan Nabawi (5/5)