Situs al-Jazeera mengutip seseorang, katanya seorang ulama Sunni yang hidup di Iran. Sumber ini menyampaikan diskriminasi yang dialami masyarakat Sunni di Republik Islam tersebut. Benarkah? Berikut catatan seorang traveller yang pernah hidup di Iran dan bergaul dengan masyarakat Sunni di sana. Tulisan ini diambil dari blog beliau dengan izin (majulah-IJABI)
Sepertinya penulis kurang piknik dan kurang ngopi. Padahal kalau dia mau goggling saja, dia kan menemukan banyak sekali data tentang imam jumat Sunni, dan khususnya di Sanandaj. Coba ketikan امام جمعه اهل سنت سنندج maka akan muncul link tentang imam-imam jumat ahli Sunnah di Sanandaj. Silahkan anda berselancar dan cari informasi sampai ngos ngosan.
Di Iran, memang tak mudah menjadi khotib jumat. Perlu kualifikasi ketat untuk mencapainya. baik dari sisi keilmuan juga dari sisi akhlak. Jangankan yang Sunni, Syiahnya saja yang mayoritas imam Jumatnya saja dibatasi. Di Qom, tempat gudangnya para ulama, hanya ada 5 orang yang jadi khotib Jum’at.
Khutbah jum’at juga disebut sebagai hari raya mingguan ummat Islam. Oleh karenanya, tidak semua mesjid boleh menyelenggarakan shalat jumat. Hanya mesjid besar saja yang diijinkan. Di Teheran, hanya ada dua tempat shalat Jum’at. Sesekali, Coba tengok di youtube tentang shalat jumat Teheran. Satu kota tumplek di satu tempat melaksanakan shalat jum’at. Apa tidak keder musuh Islam lihat shalat Jum’at seperti itu.
Saya pernah mencoba bertanya kepada teman saya Agha Razi, mengapa sunni tidak boleh membangun mesjid? Dia menjawabnya dengan dua jawaban menarik, Pertama, mesjid itu rumah Allah yang diperuntukan bagi siapa saja yang mau beribadah. Tidak layak rasanya kalau kita mengaitkannya dengan satu kelompok tertentu dan mengatakan ini mesjid syiah dan ini mesjid sunni. Mendengar itu saya teringat di Indonesia ada mesjid Muhammadiyah, mesjid Persis, Mesjid NU dan mesjid-mesjid lainnya.
Jawaban kedua (jika pun mesti ada mesjid kelompok), dia menunjukan mesjid mesjid sunni di kampungnya. Saat saya mengunjungi rumahnya di Urumieh, saya diajak ke beberapa mesjid Sunni. Sempat saya ngobrol dengan beberapa jamaah di situ yang menyambut saya sebagai saudara sunni dari Indonesia padahal di Indonesia saya disebut syiah. Indahnya dunia.
Shalat di mesjid Ahli Sunnah di Iran, mengingatkan saya pada mesjid kampung di Bandung. Sebelum azan, diisi dengan shalawat dan beberapa pujian kepada Rasulullah. Azannya sama dengan azan di Indonesia. Tata cara shalatnya pun sama dengan sunni di Indonesia. Setelah selesai shalat mereka wirid bersama dan kemudian bersalaman satu dengan lainnya sambil shalawatan. NU Cabang Iran, gumam saya.
Kembali, jika memang harus ada mesjid Sunni, Datanglah ke Teheran. Di sana ada lebih dari 9 mesjid Sunni (link), termasuk mesjid Punak yang disebut oleh detik.com dihancurkan. Berita lama sekali yang sudah diklarifikasi oleh berbagai media Iran. Berita itu muncul dari media corong barat seperti Al Jazeerah, BBC, Al Arabiya dan sejenisnya. Menurut situs Abna24, perkembangan sunni di Iran cukup pesat. Awalnya mereka hanya menggunakan apartemen kecil di daerah Punak Teheran. Apartemen itu ternyata menyalahi aturan tata kota dan memang kemudian dihancurkan. Pemerintah kota Teheran memberikan sebuah apartemen lengkap sebagai ganti bangunan yang dirobohkan. Silahkan cek deh linknya.
Data menyebutkan bahwa ada 70 ribu mesjid sudah didirikan di Iran. 60 ribunya adalah mesjid Syiah dan sisanya adalah mesjid sunni. dari 72 juta jiwa populasi Iran, 99 %nya adalah muslim. Dari jumlah itu, 7 %nya adalah muslim sunni. Berdasarkan ini, ada 5 juta jiwa penduduk sunni yang memiliki 10 ribu mesjid. Artinya untuk setiap 500 sunni ada satu mesjid. wah… di Indonesia, berapa sih mesjid Syiah?
Diskriminasi?
Entah apa yang disebut dengan diskrimasi itu. Saya melihat nasib sunni di Iran jauh lebih baik daripada nasib Syiah di negara-negara mayorita Sunni. Satu hal biasa di Iran seorang Sunni mencalonkan diri menjadi anggota legislative, walikota atau gubernur. Coba di Indonesia. Seorang syiah saja yang mencalonkan diri jadi anggota DPR sudah ribut seperti mau kiamat. Beberapa calon legislatif yang dituduh syiah kemudian harus mengundurkan diri. Di Iran, hal itu tidak terjadi.
Saat ikut mendukung Ust. Jalaluddin Rakhmat menjadi anggota DPR, saya merasakan pengalaman langsung bagaimana susahnya seorang Syiah menjadi anggota dewan. berbagai macam fitnah bertebaran seperti sampah. Ancaman pembunuhan kepada Ustad Jalal sudah menjadi santapan harian gerakannya dicurigai dan cek saja betapa massifnya fitnah-fitnah itu.
Kurikulum Pendidikan sunni di Iran dikelola oleh orang-orang Sunni sendiri. Ketua dewannya malah pernah datang ke Indonesia. Adalah Maulana Muhammad Ishaq Madani yang mengetuai urusan pendidikan Ahli Sunnah di Iran. Dia mengatakan bahwa berita yang menyebutkan bahwa sunni di Iran terzalimi adalah propaganda dan kedustaan belaka dan sengaja digembar gemborkan agar persatuan kaum muslimin porak poranda. Dia juga menyebutkan bahwa pihak Ahlus Sunnah mendapat perwakilan di Parlemen. Di kawasan yang mayoritas Sunni, mereka mendirikan masjid dan mendapat melakukan ritual-ritual mazhab mereka secara terbuka dan bebas.
Sekali lagi suara Ghana Bu Hamdan mendayu dayu, sesekali tangisannya mengalahkanya nyanyiannya. Dan saya tertawa membaca artikel detik itu.