Dewan Syura PP IJABI
Sepasang suami istri, yang baru saja pulang berziarah ke Karbala, ke pusara Imam Husain as dan menempuhnya dengan berjalan kaki sekitar 80 kilometer jauhnya, bertanya tentang apa yang disaksikannya. Lautan manusia puluhan juta banyaknya. Mereka bertanya, mengapa seluruh perkhidmatan itu? Mereka merasa, apa yang dilakukan melebihi apa yang dilakukan selama ini kepada Rasulullah Saw. Tidaklah Imam Husain as lebih tinggi dari Nabi Saw, tapi mengapa seluruh perkhidmatan itu? (majulah-IJABI.org)
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad
Bersukacitalah, wahai Tercinta!
Lebih dari duapuluh tahun yang lalu, dalam satu perjalanan kereta saya berbincang dengan ayahku. Saya memanggilnya Bapak. Dulu, jalur Jakarta – Bandung masih sering ditempuh dengan Kereta Parahyangan. Begitu padatnya penumpang, sehingga tiket tanpa kursi diberikan. Kami duduk di selasar, tak jauh dari mulut gerbang, dekat kamar kecil tempat orang bergantian datang.
Saya masih ingat saat itu, diskusi itu. Ada dua hal—di antara ragam hal lainnya—yang menarik dibicarakan. Pertama, mengapa silsilah Rasulullah Saw yang dihubungkan oleh Sayyidah Fathimah sa tidak berlaku bagi putri-putri keturunan mereka lainnya. Para sayyid, keturunan Nabi Saw dilihat dari jalur ayah. Bila ibu mereka Syarifah dan ayah mereka bukan Sayyid, mereka tidak disebut Sayyid. Di Pakistan atau Iran, misalnya kepada mereka disematkan gelar kehormatan “Mir”. Hal yang sama pernah ditanyakan pada seorang di antara keturunan Rasulullah Saw itu, Imam Musa al-Kazhim as. Beliau menjawab dengan merujuk pada Surat al-An’aam [6]:84-85, “Dan Kami telah menganugerahkan Ishak dan Ya’qub kepadanya. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan Zakaria, Yahya, Isa, dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang shaleh.” Dalam ayat ini, Nabi Isa as disebut sebagai keturunan Nabi Ibrahim, keturunan Nabi Ishak dan Ya’qub, keturunan Nabi Nuh ‘alaihim afdhalu tahiyyati wat taslim. Melalui siapakah silsilah itu sampai pada Nabi Isa as? Melalui ibundanya, Sayyidah Maryam salaamullah ‘alaiha. Begitulah persamaan dan perumpamaannya.
Sayyidah Maryam sa dan Sayyidah Fathimah sa adalah dua perempuan suci perantara mukjizat Allah Swt. Melalui Sayyidah Maryam sa, lahir Nabi Isa as tanpa ayah. Dan melalui Sayyidah Fathimah sa ayat “sesungguhnya musuh-musuhmulah (yang keturunannya) terputus” (QS. Al-Kautsar [108]:3) menemukan perwujudannya. ‘Ala kulli haal, dalam Islam tak pernah ada permasalahan itu. Semua sepakat bahwa hanya melalui Sayyidah Fathimah sa keturunan itu bersambung pada Rasulullah Saw. Tidak melalui yang lainnya. Sayyidah Fathimah menjadi mata penghubung antara silsilah keemasan terdahulu dan silsilah keemasan kemudian. Itulah mengapa ia digelari “Penghulu Perempuan semesta alam.”
Diskusi kedua, dalam perjalanan kereta itu, adalah tentang pertanyaan banyak orang: mengapa Peringatan Asyura, syahadahnya Imam Husain as, lebih besar diperingati, lebih banyak dihadiri dibandingkan Mawlid Nabi Saw. Dulu, kami mencoba ‘menganalisis’ berbagai jawaban. Misalnya, karena Mawlid sudah banyak diperingati, sudah semarak, sudah mentradisi dan seterusnya. Termasuk di antara jawaban itu adalah jawaban imajiner, jawaban pengandaian. Yaitu, bila Nabi Saw bersama kita sekarang ini lalu kita tanyakan kepada Baginda: mana yang harus diperingati lebih besar? Mawlid Nabi Saw atau Asyura Imam Husain as? Kira-kira apa jawaban Nabi Saw? Dan bagaimana jika pertanyaan yang sama kita ajukan pada imam Husain as: mana yang akan dipilih Imam as? Kesimpulannya: dua-duanya harus kita peringati sebaik-baiknya.
Sekarang, duapuluh tahun setelah itu, sudahkah pertanyaan itu terjawab? Sepasang suami istri, yang baru saja pulang berziarah ke Karbala, Irak, ke pusara Imam Husain as dan menempuhnya dengan berjalan kaki sekitar 80 kilometer jauhnya, menelepon saya dan bertanya tentang apa yang disaksikannya selama di sana. Lautan manusia puluhan juta banyaknya. Tua, muda, bayi, sehat, pincang, berkursi roda. Semua bergerak ke titik yang sama. Mereka hanyut dalam lautan massa itu. Makanan dihidangkan sepanjang jalan. Mushalla, tempat peristirahatan, bahkan orang-orang yang siap berkhidmat memijat kaki-kaki yang kelelahan itu, semua tersedia. Mereka bertanya kepada saya, mengapa seluruh perkhidmatan itu? Mereka merasa, apa yang dilakukan melebihi apa yang dilakukan selama ini kepada Rasulullah Saw. Tidaklah Imam Husain as lebih tinggi dari Nabi Saw, tapi mengapa seluruh perkhidmatan itu?
Saya menjawabnya singkat dan panjang. Yang singkat: justru semua itu karena kecintaan mereka kepada Rasulullah Saw. Karena mengasihi dan menyayangi kecintaan Nabi Saw. Bukankah cinta tak mengenal kadar? Tak ada batas dalam cinta seberapa pun besar. Bukankah tentang Al-Husain, Nabi Saw bersabda, ''Husain dariku dan aku dari Al-Husain. Ya Allah, cintailah yang mencintainya.'' (Sunan Turmudzi 3775, Sunan Ibnu Majah 144, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal 17111) . Adapun jawaban yang panjang adalah berikut ini.
Ketika turun surat Al-Ahzab [33]:33, Rasulullah Saw sebagaimana dinukil banyak kitab tafsir melalui riwayat Ummu Salamah ra (Al-Fakhr al-Razi, Al-Suyuthi, Al-Baghawi, Al-Nisyaburi, Al-Thabari, dan Ibn Katsir) berbalutkan selimut Khaibari bersama empat orang keluarganya: Imam Hasan as, Imam Husain as, Sayyidina Ali as, dan Sayyidah Fathimah sa. “…Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” Lima orang itulah: Rasulullah, Hasan, Husain, Ali, dan Fathimah ‘alaihimus salaam yang kemudian dikenal dengan ahlul kisaa, orang-orang di bawah selimut.
A’isyah Ummul Mukminin pun meriwayatkannya dalam Shahih Muslim 7/130 hadits nomor 6414. Ensiklopedi Lidwa memuatnya dalam Shahih Muslim, Kitab Keutamaan Sahabat hadis nomor 4450. Sejak itu, Rasulullah Saw sering mengetuk pintu rumah keluarga Faathimah sa seraya membacakan ayat itu. Riwayat semisal ada pada Sunan al-Nisaa’i 5:113, Sunan al-Turmudzi 5:699 dengan pensahihan dari Al-Albani 3:306 hadis nomor 3205. Dan masih banyak lagi. Pendek kata: ada lima orang terpilih dalam selimut itu. Lima orang yang karena mereka turun ayat mulia.
Lima orang yang sama yang berangkat untuk peristiwa Mubahalah. Surat Ali Imran [3]:61 dalam berbagai kitab tafsir juga menceritakan kelima orang itu. Memang Al-Suyuthi menambahkan yang berbeda, yaitu bahwa pada peristiwa itu Rasulullah Saw membawa serta Khalifah Abu Bakar dan putra-putranya, Khalifah Umar dan putra-putranya, Khalifah Utsman dan putra-putranya, begitu pula Sayyidina Ali dan putra-putranya (Al-Durr al-Mantsur 2:40). Riwayat-riwayat lain mengisahkan bahwa yang dibawa Rasulullah Saw adalah keluarganya saja: Ali, Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain. Telusuri misalnya: Musnad Imam Ahmad bin Hanbal 1:120 hadis 1608; Shahih Muslim 2:120 bab Fadhail Ali bin Abi Thalib as; Al-Mustadrak 3:163 hadis 4719 dan Sunan Turmudzi 5:163 hadis 2999. Untuk hadis terakhir kata Al-Albani: shahih al-isnad.
Saya ambil yang dari Shahih Muslim saja sebagai contoh. Saya kutip sesuai terjemahan Lidwa yang mengisahkan dua di antara hadis ketika Ali bin Abi Thalib dikecam:
4426. Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id; telah menceritakan kepada kami ‘Abdul ‘Aziz yaitu Ibnu Abu Hazim dari Abu Hazim dari Sahl bin Sa’ad dia berkata: “Pada suatu ketika, seorang keluarga Marwan diangkat menjadi pejabat di Madinah. Lalu orang tersebut memerintahkan Sahal bin Sa’ad untuk mencaci maki Ali bin Abu Thalib, tetapi Sahal malah menolak perintah tersebut. Pejabat tersebut berkata kepada Sahal, Kalau kamu tidak mau maka ucapkanlah; ‘Semoga Allah melaknat Abu Thurab.’ Sahal menjawab, “Tidak ada nama julukan Ali bin Abu Thalib yang lebih ia sukai daripada julukan Abu Turab dan ia pun senang jika dipanggil dengan julukan tersebut…”
4420. Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id dan Muhammad bin ‘Abbad, lafazh keduanya tidak jauh berbeda. Keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami Hatim yaitu Ibnu Isma’il dari Bukair bin Mismar dari ‘Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqash dari Bapaknya dia berkata; Mu’awiyyah bin Abu Sufyan pernah menyuruh Sa’ad dan menanyakan kepadanya tentang sikapnya kepada Ali, dia berkata: ‘Kenapa kamu tidak mau menyalahkan (dalam Arabnya: tasubba, artinya mengecam) Ali? Dia menjawab, ‘Aku teringat kepada tiga hal tentang kedudukan Ali yang pernah diucapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka aku selamanya tidak akan mencelanya karena tiga hal tersebut. Sesungguhnya salah satu dari tiga hal tersebut lebih aku sukai daripada seekor sapi yang mahal. …(kemudian ia menyebutkan dua keistimewaan Ali, dan sampai pada yang ketiga)…Tatkala turun ayat: (Marilah memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain dan bersabda, “Ya Allah, mereka adalah keluargaku.”
Pendek kata, semua umat Islam sepakat dengan kemuliaan dan derajat khusus dari lima orang yang sama-sama berada dalam satu selimut itu. Masyarakat Muslim Indonesia bahkan sering mendendangkan bait-bait syair yang menunjukkan penghormatan kepada mereka. Nasyid Lii khamsatun mengisyaratkan azab yang tertahan karena kehadiran mereka.
Nah, apa hubungannya jawaban panjang ini dengan Asyura? Ketika Nabi Saw wafat, satu di antara lima pusaka itu kembali ke pangkuan Kekasih Sejati, menyisakan empat di antaranya. Kemudian wafat Sayyidah Fathimah sa dan tersisa tiga. Lalu gugur Sayyidina Ali di mihrabnya dan tinggal dua. Kemudian syahid Imam Hasan as dan menyisakan Imam Husain as saja. Sehingga, ketika syahid juga Imam Husain as di Padang Karbala pada tahun 61 H itu, tak tersisa lagi dari Ashabul Kisaa di muka bumi ini. Dari lima orang di bawah selimut Hadhrami Khaibari. Dari lima orang yang dibawa Nabi Saw pada asbabun nuzul Ali Imran 61 itu. Maka Asyura menjadi akumulasi dari berbagai duka. Bukan meninggikan satu di atas yang lainnya, karena mereka semua terhubung. Dalam duka Asyura ada duka seluruh yang lima itu. Dalam duka Asyura ada duka Al-Hasan, ada duka Ali, ada duka Sayyidah Fathimah dan ada duka Nabi Saw. Karenanya, mencintai Imam Husain as adalah satu di antara bentuk kecintaan pada Rasulullah Saw. Justru karena mencintai Nabi itulah orang-orang menempuh perjalanan panjang, sebagian tanpa alas kaki untuk menyampaikan belasungkawa, untuk mengungkapkan duka cita pada pusara cucunda Baginda kinasih yang tercinta. Bayangkan, sekiranya diizinkan juga menempuhnya, jutaan orang akan berjalan kaki, bahkan mungkin merangkak, berkursi roda, atau dibantu sesamanya... untuk tersungkur di mihrab cinta pusara Rasulullah Saw.
Begitulah jawaban ‘panjang’ saya. Lalu, apa hubungannya dengan Mawlidur Rasul Saw. Bila Asyura adalah akumulasi duka, maka Mawlidur Rasul Saw adalah pangkal dan puncak dari seluruh sukacita. Keduanya: baik duka maupun suka, sama-sama digerakkan oleh cinta.
Benar ada yang mengharamkan Mawlidur Rasul Saw. Bahkan ada mufti agung yang menyebutnya berdosa. Tabloid Arab News edisi 3 Januari 2015, 12 Rabi’ul Awwal 1436 H mengutip pernyataan Syaikh Abdul Aziz, “Those who urge others to celebrate the birthday of the Prophet are evil and corrupt.” Situs media online tanah air menerjemahkannya dengan “Siapa pun yang mendukung perayaan maulid nabi adalah setan dan kafir.” (m.merdeka.com/dunia/mufti-agung-saudi-sebut-merayakan-maulid-nabi-berdosa.html)
Satu saat saya ditanya orang tentang itu. Saya sampaikan jawaban Mufti Saudi itu. Ia balik bertanya, “Kalau Anda sendiri bagaimana?” Saya kemudian bacakan Surat Yunus [10]:58, “Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka BERGEMBIRA. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa pun yang mereka kumpulkan.” Kata yang saya tulis besar semua adalah terjemahan dari “falyafrahu”. Saya memilih kata: Berbahagia, bersukacita. Dalam seluruh Al-Qur’an, hanya ada satu kata itu, dalam Surat Yunus itu ketika kita diperintahkan untuk bergembira, untuk bersukacita, untuk berbahagia. Apakah ada kurnia Allah dan rahmat-Nya yang lebih besar dari hadirnya “Rahmatan lil ‘Aalamin”? Bagaimanakah bentuk sukacita dan bahagia kita, sedang Nabi Saw mesti didahulukan di atas diri kita sendiri (QS. Al-Ahzab [33]:6)? Bila ungkap sukacita atas kurnia Allah untuk diri sendiri kita lakukan, bagaimana ungkap sukacita atas kurnia Allah terbesar?
Syaikh Muhammad Nashr Abdullah dari Mesir ‘memilih’ bersyukur dengan berupaya mengkritisi hadis-hadis dan riwayat yang menurutnya tak berkesesuaian dengan wujud rahmat untuk alam semesta itu. Ulama muda lulusan Al-Azhar, 37 tahun lalu itu meraih popularitas saat ia tampil sebagai Imam dan Khutbah Jum’ah di Meydan Tahrir, Kairo pada waktu penggulingan Presiden Muhammad Mursi. Mursi yang didukung oleh barisan Ikhwan al-Muslimin memperoleh penentangan dari mayoritas masyarakat. Revolusi 25 Januari itu membuatnya digelari dengan “Azhari Revolusioner” atau “Khathib al-Tahrir” yang bisa bermakna dua: Sang Pengkhotbah di Meydan Tahrir dan Sang Pengkhotbah Kebebasan dan Kemerdekaan.
Sejak Agustus 2014, namanya mencuat dengan kontroversi lainnya. Ia menganggap beberapa hadis dalam Shahih al-Bukhari mempermalukan Islam dan Rasulullah Saw. Ia menyebut beberapa di antaranya: hadis Nabi Saw kena sihir, mencoba bunuh diri beberapa kali, atau hadis rajam kera, hingga hadis menyusui saat dewasa. Ia mendapat reaksi keras dari ulama Mesir dan tokoh-tokoh Al-Azhar. Beberapa diskusinya dengan mereka dapat disaksikan di Youtube. Ia menentang pendapat yang mengatakan Shahih Bukhari adalah kitab kedua paling shahih setelah Al-Quran. Baginya Imam Bukhari tidak maksum, mungkin salah. Ia berpegang pada ayat Surat Al-Nisa [4]: 82): ''Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.'' Semua kitab selain Al-Quran, pastilah banyak pertentangan di dalamnya. Syaikh Nashr juga tidak mempercayai azab kubur, karena balasan dan siksa Tuhan baru terjadi setelah semuanya dibangkitkan. Ia tidak berhenti di situ. Ia beranggapan bahwa hadis-hadis tertentu dalam Shahih Al-Bukhari dapat dikategorikan ‘bertanggungjawab’ atas munculnya gerakan-gerakan terorisme di dunia. Bahwa Nabi Saw hidup dari bayang-bayang tombaknya; dari hasil rampasan perang; atau bahwa Nabi Saw diutus untuk memerangi, untuk membunuh manusia seluruhnya hingga mereka semua berikrar atas tauhid Allah. Bagi Syaikh Nashr, ini bertentangan dengan Nabi Saw sebagai Rahmat untuk Alam Semesta. Dan bahwa riwayat-riwayat seperti itu dapat menjadi dalil kemunculan perangai dan perilaku teroris di antara kaum Muslimin.
Dengan seluruh kontroversi itu, ia dapat disebut sekarang ini menjadi “public enemy number one” musuh publik nomor wahid, terutama dari Al-Azhar. Kementerian Wakaf Mesir, Kementerian Dalam Negeri dan Keamanan di bawah pimpinan Dr. Muhammad Mukhtar Jum’ah bahkan mengeluarkan perintah untuk menangkapnya karena Syaikh Nashr tidak tercatat sebagai pengkhotbah resmi yang tersertifikasi oleh Kementerian Wakaf. Syakh Nashr sepertinya menyulut amarah al-Azhar dan Mesir. Ia bahkan menggugat Al-Azhar karena mengajarkan Kitab Matn al-Iqna’ dari Abi Syuja’ untuk para mahasiswanya. Di dalamnya, pada bab thaharah, ada kebolehan istinja’ (cebok) dengan kitab Taurat dan Injil karena keduanya adalah kitab yang sudah diselewengkan. Diskusi tentang itu kini menghias langit akademik Mesir dan menghebohkannya.
Saya hanya mengikutinya lewat tayangan-tayangan di Youtube dan beragam berita di internet. Bapak jugalah yang pertama mengabarinya. Saya melihat kemiripan antara keduanya. Saya terkejut, kaget, kagum dengan keberanian dan keterbukaan diskusi…saya juga melihat kecintaan Syaikh Nashr pada Rasulullah Saw. Ia ingin membersihkan sosok suci Nabi Saw dari riwayat-riwayat yang mungkin menodainya. Untuk itu, ia berhadapan dengan beragam ancaman. Saya tidak tahu, apakah kini ia diamankan, ditangkap, dipenjara, atau masih boleh membuka suara. Usianya masih sangat muda. Lulusan Fakultas Ushuluddin, Jurusan Dakwah dan Tsaqafah Islam, Universitas Al-Azhar 2003 dengan predikat ''Jayyid'' cum laude itu kini menghadapi tantangan baru dalam ungkap kecintaannya. Ia pun digelari “Syaikh Mizzu” Syaikh intermezzo, Syaikh lelucon. Kapasitasnya dipertanyakan. Entah apakah mereka lupa bahwa ia jugalah orang yang sama, yang berdiri di Meydan Tahrir, menyerukan reformasi, menyulut revolusi, mengantarkan Mesir hingga berdemokrasi seperti sekarang ini. Pada saat itu, tak ada suara dari para ulama, bahkan dari Al-Azhar al-Syarif sekalipun. Dan adalah Syaikh Muhammad Abdullah Nashr yang berdiri dan menjadi Imam di simpang jalan yang besar itu. Berkhotbah Jum’ah dan bersiap menghadapi berbagai kemungkinan. Bahkan nyawa ia pertaruhkan.
Bila untuk rakyat Mesir saja ia lakukan itu, apalagi untuk kecintaannya pada Sayyidil Anam, Rasulillah Saw. Ia pasti siap berkorban. Entah ia di mana kini, baginya doaku, dan salamku. Umurmu tak jauh beda denganku kawan. Tapi engkau telah mencatatkan dirimu dalam sejarah. Engkau telah menorehkan namamu dalam catatan kerinduan dan kecintaaan pada Rasulullah Saw. Bagiku, Meydan Tahrir bagimu barulah sebatas awal perjuangan. Bukan saja rakyat Mesir yang perlu dibebaskan di Meydan itu, kawan. Bukan saja mereka. Semoga kecintaan Sang Baginda senantiasa bergelora di dalam dada. Izinkan kusampaikan kisah dan suaramu pada saudara-saudara sebangsa. “Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az-Zumar [39]:18)
Semoga Allah Yang Mahakasih senantiasa menguatkan siapa saja yang berjuang untuk kecintaan Rasulullah Saw, dengan tentaraNya yang tak terlihat mata. Selamat berjuang, saudaraku. Raih al-Kautsar itu dengan kejernihan akalmu. Berbahagialah, bergembiralah, bersukacitalah wahai tercinta! Falyafrahuu ayyuhal ahibba’.
Yaa wajiihan 'indallah, isyfa' lanaa 'indallah.
Miftah F. Rakhmat, untuk Mawlidur Rasul Saw 1436 H.