Anggota Dewan Syura IJABI
Ah, dunia kehilangan sosok pemimpin sepertimu, Ya Amiral Mu’minin. Wahai teladan ayah pengasih. Jutaan anak-anak yatim merindukanmu. Anak-anak yatim seperti kami, yang dipisahkan dari seorang ayah teramat penyayang sepertimu. Bukankah kewajiban bagimu untuk menyayangi anak-anak yatim itu? Bagaimana dengan kami, yang dipisahkan dari Mawla kami, yang tak beroleh memandang wajahnya, yang menangis setiap kali merindukannya.
Tulisan Kedua
Senja hari kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Beberapa tamu dari Hamedan, Iran datang menemui Amirul Mu’minin as. Sebagai hadiah, mereka antarkan madu dan buah tin, disimpan dengan baiknya. Ali berkata, “Datangkan anak-anak…” para sahabat sudah tahu, anak-anak yatim yang diminta Ali. Mereka gembira menyambut panggilan ayah mereka itu. Berbondong-bondong mereka datang, duduk di hadapan.
Ali membuka madu itu. Bagian atas adalah bagian yang paling baik, paling istimewa, paling nikmat. Ali membelahnya menjadi beberapa keping, lalu membagikannya pada mereka. Barulah sisanya, bagian madu yang lebih bawah, ia berikan pada para sahabat yang berkumpul bersamanya. Juga untuk para tamu. Ketika para sahabat bertanya, mengapa anak-anak yatim itu didahulukan, Imam menjawab: “Innal Imam abul yatama…sesungguhnya seorang Imam adalah ayah anak-anak yatim. Adalah kewajiban (seorang Imam) untuk mengasihi mereka agar mereka tidak merasakan kehilangan ayah-ayah mereka.” (Bihar al-Anwar 41:123)
Pada kesempatan lain, Qanbar, yang berkhidmat di rumah Ali bin Abi Thalib menceritakan kisah unik pemimpin Kaum Muslimin itu. Telah sampai kabar kepadanya keadaan sekelompok anak-anak yatim. Imam lalu mengambil sekantung beras, kurma, dan minyak secukupnya. Ia memikul semuanya di atas pundaknya sendiri. Kata Qanbar, Imam tak mengizinkanku untuk ikut membantunya. Sesampainya di rumah anak-anak yatim, Imam sendiri yang membuatkan masakan untuk mereka. Imam sendiri yang menyuapi, hingga mereka dikenyangkan.
Usai makan, Imam menggendong satu demi satu di antara mereka. Lalu ia membungkuk. Kedua tangannya ditempelkan ke bumi. Seolah tunggangan, punggung Imam bersiap menerima para penunggang itu. Benarlah, satu demi satu mereka menaiki punggung Amirul Mukminin. Dan Imam mengantarkan mereka keliling di atas punggungnya. Anak-anak itu punya kendali penuh atas Imam. Bila mereka mengarahkan tanda ke kiri, Imam bergerak ke kiri. Bila ke kanan, Imam bergerak ke kanan pula. Dan, masih ada satu hal lagi. Imam pun sesekali mengeluarkan suara embikan. Ya, ia memeragakan diri menjadi tunggangan anak-anak itu. Mereka tertawa riang.
Ketika usai perkhidmatan itu, kata Qanbar: aku bertanya pada Amirul Mu’minin as: Junjunganku, aku tidak pernah melihatmu melakukan apa yang kaulakukan tadi? Pertama, kaupikul sendiri makanan mereka di pundakmu. Dan kedua, kaubuat mereka tertawa dengan embikanmu.
Imam menjawab: “Adapun yang pertama, adalah jalan beroleh pahala. Sedangkan yang kedua, ketika aku masuk rumah itu, mereka sedang menangis. Aku ingin meninggalkan rumah mereka, dan mereka dalam keadaan tertawa. Agar mereka dikenyangkan. Agar mereka dibahagiakan.” (Syajarah Thuba 407)
Ah, dunia kehilangan sosok pemimpin sepertimu, Ya Amiral Mu’minin. Wahai teladan ayah pengasih. Jutaan anak-anak yatim merindukanmu. Anak-anak yatim seperti kami, yang dipisahkan dari seorang ayah teramat penyayang sepertimu. Bukankah kewajiban bagimu untuk menyayangi anak-anak yatim itu? Bagaimana dengan kami, yang dipisahkan dari Mawla kami, yang tak beroleh memandang wajahnya, yang menangis setiap kali merindukannya.
Adakah engkau akan datang mengetuk pintu kami? Akankah kauusap airmata kami? Akankah kautenangkan gelisah kami?
Selamanya kami merindu. Selamanya kami menanti.
Takkan berhenti kami menunggu.
Tapi, akankah kau datang mengetuk pintu, sedang anak yatim yang kaucintai tak hadir bersama kami; derita orang kecil yang kaurindukan tak jadi kesedihan kami.
Mungkinkah kau datang mengetuk pintu, sedang kami tidur kekenyangan? Dan anak-anak yang kausayangi kelaparan. Bagaimana mungkin harapkan kehadiranmu, sedang anak-anak itu tak hadir dalam doa yang kami panjatkan.
Maafkan kami Imam. Maafkan kami. Aku bayangkan kau berlalu di depan pintuku... sudah sekian kali. Bukan karena kau tak membalas rindu. Melainkan aku yang tak layak untuk itu.
Ampuni aku. Sayangi aku. Selamanya penyesalan akan selalu memburuku. Akan selalu mencengkeramku.
@miftahrakhmat
Baca Juga:
Perginya Ayah Anak-Anak Yatim