KH. Dr. Jalaluddin Rakhmat
Ketua Dewan Syura IJABI
Ketua Dewan Syura IJABI
“Demi Allah, sekiranya kepadaku diberikan tujuh alam dengan segala isinya di bawah langit agar aku menentang Allah dengan mengambil sebutir gandum dari mulut seekor semut, aku tidak akan melakukannya.” (Imam Ali as)
Hari itu, tengah hari pada Jumat terakhir di bulan Sya’ban. Khatib waktu itu Rasulullah saw. Ia berbicara dengan suara yang jelas. Kalimat-kalimatnya pendek-pendek tetapi indah. Setiap katanya menembus jantung para pendengarnya.
“Wahai manusia, telah datang kepadamu, bulan Allah dengan membawa berkah, rahmat dan ampunan,” begitu Nabi memulai khutbahnya. Selanjutnya ia menguraikan pahala berlipat ganda dari amal-amal saleh yang dilakukan di bulan itu. Ia menganjurkan, disamping ibadah-ibadah ritual memperbanyak amal-amal sosial: “Berbagilah dengan fakir miskin. Hormati orang-orang tua kalian, sayangi anak-anak mudanya. Sambungkan kasih sayang. Jaga lidah kamu. Kendalikan pandangan kamu dari apa yang tidak halal kamu lihat. Jaga pendengaran kamu dari apa yang tidak halal kamu dengar, sayangi anak yatim orang lain, nanti Allah akan menyayangi anak-anak yatim yang kamu tinggalkan.”
Usai Nabi saw menjelaskan amal-amal Ramadhan, Ali bin Abi Thalib bertanya, ”Ya Rasul Allah, amal apa yang paling utama di bulan ini?” Nabi saw menukas dengan singkat, “Wara’ (menahan diri) dari apa yang diharamkan Allah.”
Nabi saw menarik nafas panjang dan menangis terisak-isak. Seakan kilatan gaib dari alam malakut menyentuh benak Nabi yang mulia. “Apa yang menyebabkan engkau menangis, ya Rasul Allah?”
“Ya Ali, aku menangis membayangkan apa yang bakal terjadi padamu di bulan ini. Seakan-akan aku lihat kamu sedang salat kepada Tuhanmu. Lalu datanglah orang yang paling jahat dari umat terdahulu dan terakhir. Saudara orang jahat yang menyembelih unta Tsamud. Ia datang menebas kepalamu sehingga darah menyembur membasahi janggutmu.”
“Ya Rasul Allah, apakah itu karena aku mempertahankan keselamatan agamaku?”
“Fi salaamati min diinik!”
Hampir 40 tahun kemudian di Kufah. Ali sekarang menjadi khalifah yang hampir menguasai setengah dunia. Ia berpegang teguh pada ajaran Kekasihnya, yakni warak. Ia tetap hidup sangat sederhana, padahal kekayaan mengalir dari berbagai belahan bumi. Ia menyapu gudang perbendaharaan negara dan berkata pada gemerlap emas dan perak: Ghiri ghayri. Tipulah orang selain aku!
Suatu hari, putranya Hasan membagikan makanan dengan jatah yang sama untuk setiap orang. Seorang lelaki miskin meminta diberi jatah tambahan. Ia ingin memberi seorang lelaki tua yang bekerja di kebun orang lain. Dengan genangan air mata, Hasan berkata, “Lelaki tua itu ayahku. Makanan yang aku bagikan adalah jerih payah lelaki tua itu.” Hatta untuk membagikan makanan, ia tidak mengambil gaji khalifahnya. Ia ambil dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Inilah warak dalam praktek.
Ali berkata, “Ijtinaab al-sayyiaat awlaa min iktisaab al-hasanaat!” Dahulukan menjauhi keburukan daripada mendatangkan kebaikan. Kezaliman adalah keburukan yang merusakkan tatanan kemasyarakatan. Sebagai the voice of human justice, seperti kata George Jordac, Ali tidak pernah bisa kompromi dengan kezaliman.
“Demi Allah, sekiranya kepadaku diberikan tujuh alam dengan segala isinya di bawah langit agar aku menentang Allah dengan mengambil sebutir gandum dari mulut seekor semut, aku tidak akan melakukannya.”
Karena gelegar suara keadilannya, ia dimusuhi orang-orang zalim. Kali ini, malam 19 Ramadhan 40 H, seorang zalim berdiri di belakang Ali untuk salat berjamaah. Ketika Ali bersujud, ia meloncat dan menebaskan pedang ke kepalanya yang mulia. Tiga hari kemudian, ia meninggal dunia. Siapakah pembunuh Ali? Ia menghapal Al-Quran, membaca Al-Quran dengan suara yang merdu, menghabiskan waktu dalam ibadat, sehingga sabda Rasulullah saw, “Kamu merasa salat kamu kamu sangat rendah dibandingkan salatnya”. Ia adalah Abdurrahman bin Muljam.
Ia ahli ibadah, tetapi ia tidak wara’. Kezalimannya menyelamatkan agama Ali dan membinasakan agamanya.
“Wahai manusia, telah datang kepadamu, bulan Allah dengan membawa berkah, rahmat dan ampunan,” begitu Nabi memulai khutbahnya. Selanjutnya ia menguraikan pahala berlipat ganda dari amal-amal saleh yang dilakukan di bulan itu. Ia menganjurkan, disamping ibadah-ibadah ritual memperbanyak amal-amal sosial: “Berbagilah dengan fakir miskin. Hormati orang-orang tua kalian, sayangi anak-anak mudanya. Sambungkan kasih sayang. Jaga lidah kamu. Kendalikan pandangan kamu dari apa yang tidak halal kamu lihat. Jaga pendengaran kamu dari apa yang tidak halal kamu dengar, sayangi anak yatim orang lain, nanti Allah akan menyayangi anak-anak yatim yang kamu tinggalkan.”
Usai Nabi saw menjelaskan amal-amal Ramadhan, Ali bin Abi Thalib bertanya, ”Ya Rasul Allah, amal apa yang paling utama di bulan ini?” Nabi saw menukas dengan singkat, “Wara’ (menahan diri) dari apa yang diharamkan Allah.”
Nabi saw menarik nafas panjang dan menangis terisak-isak. Seakan kilatan gaib dari alam malakut menyentuh benak Nabi yang mulia. “Apa yang menyebabkan engkau menangis, ya Rasul Allah?”
“Ya Ali, aku menangis membayangkan apa yang bakal terjadi padamu di bulan ini. Seakan-akan aku lihat kamu sedang salat kepada Tuhanmu. Lalu datanglah orang yang paling jahat dari umat terdahulu dan terakhir. Saudara orang jahat yang menyembelih unta Tsamud. Ia datang menebas kepalamu sehingga darah menyembur membasahi janggutmu.”
“Ya Rasul Allah, apakah itu karena aku mempertahankan keselamatan agamaku?”
“Fi salaamati min diinik!”
Hampir 40 tahun kemudian di Kufah. Ali sekarang menjadi khalifah yang hampir menguasai setengah dunia. Ia berpegang teguh pada ajaran Kekasihnya, yakni warak. Ia tetap hidup sangat sederhana, padahal kekayaan mengalir dari berbagai belahan bumi. Ia menyapu gudang perbendaharaan negara dan berkata pada gemerlap emas dan perak: Ghiri ghayri. Tipulah orang selain aku!
Suatu hari, putranya Hasan membagikan makanan dengan jatah yang sama untuk setiap orang. Seorang lelaki miskin meminta diberi jatah tambahan. Ia ingin memberi seorang lelaki tua yang bekerja di kebun orang lain. Dengan genangan air mata, Hasan berkata, “Lelaki tua itu ayahku. Makanan yang aku bagikan adalah jerih payah lelaki tua itu.” Hatta untuk membagikan makanan, ia tidak mengambil gaji khalifahnya. Ia ambil dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Inilah warak dalam praktek.
Ali berkata, “Ijtinaab al-sayyiaat awlaa min iktisaab al-hasanaat!” Dahulukan menjauhi keburukan daripada mendatangkan kebaikan. Kezaliman adalah keburukan yang merusakkan tatanan kemasyarakatan. Sebagai the voice of human justice, seperti kata George Jordac, Ali tidak pernah bisa kompromi dengan kezaliman.
“Demi Allah, sekiranya kepadaku diberikan tujuh alam dengan segala isinya di bawah langit agar aku menentang Allah dengan mengambil sebutir gandum dari mulut seekor semut, aku tidak akan melakukannya.”
Karena gelegar suara keadilannya, ia dimusuhi orang-orang zalim. Kali ini, malam 19 Ramadhan 40 H, seorang zalim berdiri di belakang Ali untuk salat berjamaah. Ketika Ali bersujud, ia meloncat dan menebaskan pedang ke kepalanya yang mulia. Tiga hari kemudian, ia meninggal dunia. Siapakah pembunuh Ali? Ia menghapal Al-Quran, membaca Al-Quran dengan suara yang merdu, menghabiskan waktu dalam ibadat, sehingga sabda Rasulullah saw, “Kamu merasa salat kamu kamu sangat rendah dibandingkan salatnya”. Ia adalah Abdurrahman bin Muljam.
Ia ahli ibadah, tetapi ia tidak wara’. Kezalimannya menyelamatkan agama Ali dan membinasakan agamanya.