Hernowo
Saya menikmati tulisan-tulisan Kang Jalal bagaikan menikmati kisah yang tersaji dalam novel Harry Potter: mengasyikkan. Dalam tulisan sederhana ini, saya ingin memahami pemikiran Kang Jalal melalui perspektif “mengikat makna”. Sebagaimana disampaikan oleh Descartes, “…membaca buku yang baik bagaikan mengadakan percakapan dengan para cendekiawan yang paling cemerlang—yakni para penulis buku itu.
“Mengerikan sekali Dementor-dementor itu….”
“Rasanya seperti membekukan bagian dalam tubuh kita, ya?”
“Dad pernah harus ke Azkaban sekali, ingat, Fred? Dan dia bilang, itu tempat paling mengerikan yang pernah dikunjunginya. Dia pulang dalam keadaan lemah dan gemetaran…. Para Dementor itu mengisap kebahagiaan dari tempat-tempat di mana mereka berada. Sebagian besar napi di sana jadi gila.” (Dikutip dari J.K. Rowling, Harry Potter dan Tawanan Azkaban, PT Gramedia Pustaka Utama, 2001).
Boogart, Lupin, dan Kecupan Dementor, serta ditambah Firebolt, Patronus, Trelawney, Hippogriff, Crookshanks, Moony, Wormtail, Padfoot, Prongs, Peta Perampok, Animagi, dan Pembalik-Waktu milik Hermione adalah hal-hal menarik ciptaan J.K. Rowling dalam novel fantasinya yang fantastis, Harry Potter.
Semua hal yang diciptakan Rowling itu tidak ada—atau tidak nyata. Semuanya fiksi. Namun, begitu setiap jilid baru dari novel fantasi itu terbit, ia mampu menciptakan—apa yang disebut majalah Time waktu itu—“perang sipil” di rumah-rumah yang memiliki dua atau tiga anak remaja. Anak-anak remaja itu berebutan untuk membaca terlebih dahulu novel Harry Potter yang baru saja terbit—seakan-akan tokoh-tokoh yang ada di dalam novel itu nyata.
Buku Harry Potter jilid terakhir diluncurkan secara global di 93 negara. Buku ketujuh dalam serial Harry Potter ini menduduki tempat teratas dalam daftar best-seller di Amazon.com maupun Barnes & Noble hanya beberapa jam setelah tanggal penerbitannya diumumkan pada 1 Februari 2007. Pada hari pertama penjualannya, buku tersebut terjual 11 juta di Inggris dan Amerika, memecahkan rekor 9 juta yang dipegang buku jilid keenamnya.
“Anak-anaklah yang pertama kali dipikat oleh oleh Rowling—seperti pendahulunya, serial ‘Fear Street’ (karya Stine), tetapi dengan kemampuan yang lebih—dan ini menunjukkan dengan logika tak tertolakkan tentang sesuatu yang mampu ‘menyihir’ sehingga anak-anak bersedia menyingkirkan iPod dan Game Boy mereka lalu mengambil satu buku….,” tulis Stephen King dalam komentarnya setelah jilid ketujuh Harry Potter terbit (dimuat di www.ew.com). Dan “…novel ciptaan Rowling ini tumbuh…,” tegas King. (Lihat Hernowo, Aku Ingin Bunuh Harry Potter: Bagaimana Menumbuhkan Sayap Cinta dan Sayap Imajinasi, DAR! Mizan, 2007).
Saya menikmati tulisan-tulisan Kang Jalal bagaikan menikmati kisah yang tersaji dalam novel Harry Potter: mengasyikkan. Dalam tulisan sederhana ini, saya ingin memahami pemikiran Kang Jalal melalui perspektif “mengikat makna”. Sebagaimana disampaikan oleh Descartes, “…membaca buku yang baik bagaikan mengadakan percakapan dengan para cendekiawan yang paling cemerlang—yakni para penulis buku itu. Ini semua bahkan merupakan percakapan berbobot lantaran dalam buku-buku itu mereka menuangkan gagasan-gagasan mereka yang terbaik semata-mata….” (Lihat Rene Descartes, Diskursus dan Metode, Diva Press, Yogyakarta, 2015). Di samping berpijak pada Descartes, saya juga merujuk pada apa yang disampaikan oleh Prof. Dr. Fuad Hassan berikut ini:
“…kesanggupan berbahasa merupakan ciri keunggulan eksistensi manusia sebagai penghuni a world of discourse. Ini berarti bahwa perkembangan kesanggupan berbahasa sekaligus merupakan proses yang memperkaya dan mempercanggih gagasan dan wawasan (ideas and insights) seseorang. Sebagai kelanjutannya, dengan kekayaan dan kecanggihan tersebut, seseorang akan lebih peka dan tanggap dalam interaksinya sebagai penghuni dunia wacana. Oleh karena itu, tidak berlebihan kalau kita simpulkan bahwa kesanggupan berbahasa adalah latar utama bagi pencanggihan perikehidupan manusia. Perlu segera disertakan catatan bahwa untuk mencapai pencanggihan itu, kesanggupan berbahasa bukan saja berkenaan dengan penguasaannnya sebagai sarana tujuan, melainkan juga sebagai sarana pengejawantahan kesastraan.” (Lihat Fuad Hassan, “Catatan Pengantar Perihal Gagasan ‘Sastra Masuk Sekolah’”, dalam Riris K. Toha-Sarumpaet (ed.), Sastra Masuk Sekolah, Indonesiatera, Magelang, 2002).
Islam Alternatif dan Islam Aktual: Batu-Bata Awal Pembangun Matra-Baru
Pemikiran Islam di Indonesia
Saya bekerja di Penerbit Mizan pada 1984. Mizan didirikan oleh sahabat saya, Haidar Bagir, pada 1983. Selama hampir tiga puluh tahun saya bergulat dengan kata—tepatnya, industri kata. Semula saya bekerja di bagian produksi, kemudian redaksi, dan akhirnya diberi kesempatan untuk mengelola secara cukup menyeluruh penerbitan buku dari awal hingga akhir. Di Mizan, saya menekuni bidang pengemasan produk. Bidang ini merupakan bagian penting dari kegiatan editing (penyuntingan) yang para pekerjanya disebut sebagai editor. Editor dapat dikatakan sebagai “nyawa” sebuah penerbitan buku.
Setidaknya ada tiga jenis editor: akuisisi, bahasa dan content, serta pengemasan atau kadang disebut juga sebagai orang yang ahli dalam “mendandani” (me-make up) buku sehingga secara keseluruhan buku tersebut dapat ditampilkan secara memikat. Meskipun kadang ikut menyunting bahasa dan content sebuah buku—khususnya buku-buku bukan-terjemahan—di Mizan saya lebih berkonsentrasi pada bagaimana membuat judul buku yang “menggigit”, menyajikan sinopsis yang “menggerakkan” pikiran dan menyentuh hati, serta bagaimana menata “daging” buku agar bahasa kata (tekstual) dan bahasa rupa (visual) dapat tampil secara selaras dan saling mendukung. Buku-buku “Seri Cendekiawan Muslim”—termasuk karya-kara best seller M. Quraish Shihab, Jalaluddin Rakhmat, Emha Ainun Nadjib—hampir semuanya saya “kemas” agar tampil memikat.
Saya berkenalan dengan pemikiran Kang Jalal sebelum menjadi editor pengemasan buku. Waktu itu, buku Islam Alternatif—buku pertama Kang Jalal yang diterbitkan oleh Mizan—masih diproses di bagian redaksi. Buku ini terdiri atas lima bagian yang judul-judul setiap bagiannya menunjukkan corak pemikiran Kang Jalal waktu itu. Judul-judul bagian itu sangat indah dan menegaskan concern-awal Kang Jalal dalam menggeluti persoalan keislaman: Islam Rahmat bagi Alam, Islam Pembebas Mustadh’afin, Islam dan Pembinaan Masyarakat, Islam dan Ilmu Pengetahuan, serta Islam Mazhab Syi’ah.
Menurut Dedy Djamaluddin Malik, “Diawali di pertengahan 1980-an, sepulang dari Iowa, Kang Jalal—selain menjadi ilmuwan komunikasi—sering diundang ceramah di Salman ITB berkat dorongan Bang Imad yang pernah sama-sama ‘nyantri’ di Amerika. Bang Imad tertarik dengan pemikiran anak muda Jalal dalam diskusi-diskusi terbatas yang dipimpin Bang Imad sendiri. Materi diskusi yang pernah disampaikan Kang Jalal kemudian sempat dibukukan dengan judul Khotbah-Khotbah di Amerika.
“Selain berceramah di Salman, Kang Jalal pun diminta mengajar mata kuliah agama di ITB. Penetrasi pemikiran Kang Jalal agaknya cepat merembes dan ‘mensubversi’ anak-anak muda Islam di ITB dan Salman, termasuk Unpad dan menyebar ke berbagai pelosok kampus di seluruh Nusantara. Lahirlah kelompok Jalal yang punya corak pemikiran ‘Islam alternatif’ yang membedakannya dengan kelompok Cak Nur—yang waktu itu tengah menjadi ‘mainstream’ modernisme Islam di kalangan muda terdidik Islam.” (Lihat makalah Dedy Djamaluddin Malik, “Kontribusi Pemikiran Islam Kang Jalal terhadap Umat Islam Indonesia”, yang disampaikan pada acara “Kajian Kang Jalal”, Minggu 30 Agustus 2015, di Bandung).
Bukan kebetulan jika Islam Alternatif diberi pengantar oleh Bang Imad dan memiliki anak judul Ceramah-Ceramah di Kampus. Kemudian di samping itu, ada hal penting lain yang dibawa oleh Islam Alternatif: buku ini merupakan salah satu buku yang ikut mengawali pembentukan matra-baru pemikiran Islam di Indonesia yang sebelumnya di-“peta”-kan oleh buku Fachry Ali dan Bachtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru (Mizan, 1986). Ketika Mizan merayakan ulang tahun kesepuluhnya, tersampaikanlah kemudian hal penting ini: “Perkembangan paling penting, yang mulai tampak jelas sejak awal 1987--Islam Alternatif terbit pertama kali pada 1986 (Hernowo)—adalah penerbitan serial penulis dan pemikir Islam di Indonesia bahkan dalam waktu dan kelajuan lebih cepat dari yang kami duga.
“Hingga usia kami mencapai sepuluh tahun (1983-1993), tercatat ada sekitar dua puluhan buku berlabel Seri Cendekiawan Muslim Indonesia—demikian nama yang kami terakan pada buku-buku ini. Buku-buku tersebut ternyata menarik minat para konsumen buku Mizan baik di dalam maupun di luar negeri. William R. Roff, dalam Journal of Southeast Asian Studies XXI, 2, (1990), mencoba melakukan analisis-ringkas atas Seri Cendekiawan Muslim Indonesia yang terbit pada kurun waktu tersebut.
“Di antara para cendekiawan Muslim Indonesia yang karya-karyanya telah kami terbitkan tercatat nama-nama berikut ini: Fachry Ali, Bachtiar Effendy, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat, A.M. Saefuddin, M. Amien Rais, Emha Ainun Nadjib, Kuntowijoyo, M. Dawam Rahardjo, Fuad Amsyari, Taufik Adnan Amal, M. Riza Sihbudi, M. Quraish Shihab, dan H.A. Mukti Ali.” (Lihat publikasi Penerbit Mizan dalam merayakan ulang tahun ke-10 dalam judul, “Upaya Sederhana untuk Membentuk Matra-Baru Pemikiran Islam di Indonesia Itu Bernama Mizan”, 1993).
Setelah Islam Alternatif, saya terlibat secara intens dalam proses penerbitan buku berikutnya Kang Jalal, Islam Aktual: Refleksi-Sosial Seorang Cendekiawan Muslim (Mizan, 1991). Bagi saya, Islam Aktual lebih menggigit ketimbang Islam Alternatif. Dalam Islam Aktual, Kang Jalal menunjukkan kepiawaiannya dalam menguasai (dan bagaimana dia secara fasih berkomunikasi lewat) “bahasa kaum”-nya. Kebanyakan tulisan Kang Jalal yang dikumpulkan dalam Islam Aktual berasal dari surat kabar Gala di Bandung. Dan penerbitan Islam Aktual lagi-lagi memberikan ciri penting kegiatan penerbitan Mizan dalam kurun waktu itu. Seri Cendekiawan Muslim Indonesia melibatkan pemikiran dan kiprah banyak anak muda.
Islam Aktual dalam proses pengumpulan materinya melibatkan anak muda Yudi Latief. Sebelumnya, Mizan menerbitkan gagasan-gagasan Cak Nur dalam Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan yang diarsiteki oleh anak muda Agus Edy Santosa. Kemudian Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta karya M. Amien Rais yang melibatkan Hamid Basyaib, “Membumikan” Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat karya M. Quraish Shihab yang melibatkan Ihsan-Ali Fauzi, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran karya Harun Nasution yang melibatkan Saiful Mujani, dan Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi karya Kuntowijoyo yang melibatkan A.E. Priyono.
Anak-anak muda itu tak hanya mengumpulkan materi dan membaca karya-karya seniornya secara mendalam tetapi juga mengembangkan dan menambahkan beberapa materi penting untuk melengkapi keutuhan pemikiran sang tokoh. “Di samping mengumpulkan tulisan-tulisan para cendekiawan Muslim Indonesia, kami mencoba pula mengundang para sarjana dan ulama Islam yang kompeten di bidangnya untuk terlibat dalam semacam seminar tertulis yang membahas tema-tema penting dan aktual. Dua judul rintisan telah terbit: Satu Islam Sebuah Dilema (kumpulan tulisan tentang ukhuwah Islamiyah) yang di dalamnya terdapat nama-nama Lukman Harun, Ali Audah, dan Ijtihad dalam Sorotan yang di dalamnya terdapat nama-nama Munawir Sjadzali, Harun Nasuiton, Ali Yafie, I. Zainal Abidin, Ibrahim Hosen,” tambah Mizan dalam merayakan ulang tahun kesepuluhnya.
Meraih Kebahagiaan lewat Tafsir Kebahagiaan: Tentang Gagasan “Islam Rahmat
bagi Alam” yang Terus Berkembang dan Sangat “Membumi”
“Pada suatu hari seorang Arab dari dusun mengotori Masjid Nabawi,” demikian sebuah kisah dapat kita temukan di sampul belakang sebuah buku. “Puluhan sahabat Nabi serentak berdiri, sebagian menghunus pedang siap menetak kepala orang Arab dari dusun tersebut. ‘A fadhribu ‘unuqahu ya Rasulullah?,’ teriak seorang di antara mereka. ‘Apa harus aku pukul tengkuknya ya Rasulullah?’ Rasulullah Saw. menggeleng. Ia memerintahkan agar orang Arab dusun itu dibiarkan. Setelah itu, ia meminta kepada sahabatnya untuk mengambilkan ember berisi air. Lalu Rasulullah pun mencuci bekas kotoran itu dengan tangannya sendiri.”
Setelah kisah tersebut, tepat di bawahnya, kita kemudian dapat membaca sebuah kesimpulan ringkas nan penting: “Inilah perwujudan rahmat Allah bagi alam semesta. Ia tebarkan kasih, ia sunggingkan sebaris senyum, ia berdakwah dengan cara yang indah, dengan perilaku yang terpuji. Sungguh betapa umat manusia merindukan orang seperti beliau.” Kisah menarik ini dapat kitab baca di sampul belakang buku Jalan Rahmat karya Kang Jalal. Jalan Rahmat sendiri merupakan buku yang dibangun dari berbagai tulisan Kang Jalal yang tersebar di mana-mana.
Saya mengagumi Jalan Rahmat, pertama, karena judulnya. Buku ini sungguh berkarakter. Tidak mudah untuk membuat judul buku yang mampu menunjukkan karakter sebuah pemikiran. Apalagi jika buku pemikiran itu dibangun dari sekumpulan tulisan yang ditulis untuk tidak dijadikan sebuah buku. Kedua, “kekayaan” yang dikandung buku Jalan Rahmat. Apabila dibandingkan dengan karya-karya awal Kang Jalal, Islam Alternatif dan Islam Aktual—dua buku yang juga sangat berkarakter--Jalan Rahmat jelas menunjukkan kematangan dan keluasan pergulatan pemikiran Kang Jalal. Jalan Rahmat menunjukkan “kekayaan” luar biasa sebagaimana kekayaan itu dilukiskan oleh Walt Disney secara impresif: “There is more treasure in books than in all the pirate's loot on Treasure Island.”
“Kekayaan” luar biasa tersebut juga sering saya jumpai dalam beberapa kata pengantar yang ditulis oleh Kang Jalal untuk buku-buku yang jenis temanya sangat beragam. Salah satunya adalah kata pengantar untuk buku pelopor psikologi positif, Martin Seligman, Authentic Happiness: Menciptakan Kebahagiaan dengan Psikologi Positif (Mizan, 2005). Juga kata pengantar untuk buku Ali Syari’ati, Ideologi Kamu Intelektual: Suatu Wawasan Islam (Mizan, 1984),dan buku Murtadha Muthahhari, Perspektif Al-Quran tentang Manusia dan Agama (Mizan, 1984). Dalam dua kata pengantar tersebut—“Ali Syari’ati: Panggilan untuk Ulil Albab” dan “Muthahhari: Sebuah Model Buat Para Ulama”—saya dapat merasakan betapa intens persentuhan sekaligus pergulatan pemikiran Kang Jalal dengan pemikiran Syari’ati dan Muthahhari.
Sebagaimana dikatakan almarhum Nurcholish Madjid, Kang Jalal adalah intelektual yang komplet (lihat Kompas edisi 31 Oktober 1997). Banyak bidang pemikiran yang dirambah Kang Jalal. Di antara kekayaan dan keragaman pemikiran yang dirambah Kang Jalal, saya tertarik dengan pemahaman dan pemaknaannya atas kebahagiaan. Kang Jalal memaknai kebahagiaan selain lewat pemahamannya atas ayat-ayat Al-Quran, juga lewat dunia psikologi—khususnya psikologi positif—serta lewat sisi-sisi menarik potensi kecerdasan spiritual (SQ) sebagaimana dipelajari Kang Jalal dari para penggagasnya (antara lain, Khalil A. Kawari dan Danah Zohar-Ian Marshall).
Dalam buku Meraih Kebahagiaan (Simbiosa Rekatama Media, 2004 ), Kang Jalal membahas makna kebahagiaan lewat sudut pandang yang sangat unik dan kaya. Setelah menjelaskan apakah kebahagiaan itu secara filosofis dan menyampaikan pandangan berbagai agama—Budha, Yahudi, Kristen, dan Islam—tentang kebahagiaan, Kang Jalal menunjukkan bahwa hanya rasa bahagia yang ada di dalam diri seseoranglah yang akan mengantarkan orang tersebut menjadi orang yang baik.
“Ketika Anda bahagia, Anda membangun sumber daya intelektual dengan berpikir lebih kreatif, toleran dengan perbedaan, terbuka pada ide-ide baru, dan belajar lebih efektif,” tulis Kang Jalal. Menurut Kang Jalal lebih jauh, kebahagiaan juga membuka dan membangun sumber daya sosial. Ketika kita bahagia, kita akan tertarik untuk berbagi kebahagiaan dengan orang-orang di sekitar kita.
Dalam buku Tafsir Kebahagiaan: Pesan Al-Quran Menyikapi Kesulitan Hidup (PT Serambi Ilmu Semesta, 2010), Kang Jalal dengan ringan dan enak menyampaikan petunjuk Al-Quran dalam memilih kebahagiaan. “Lewat tuntunan ayat-ayat Al-Quran—ditambah ulasan hadis Nabi tentang ayat itu, hubungan ayat itu dengan ayat-ayat yang lain, dan penemuan-penemuan mutakhir sains serta hasil-hasil penelitian manusia tentang kebahagiaan—saya akan mengajak Anda menempatkan diri dalam sudut yang tepat agar realitas yang dihadapi dapat memberi kebahagiaan atau harapan tentang kebahagiaan,” tulis Kang Jalal dalam mengantarkan Tafsir Kebahagiaan.
Yang dimaksud dengan “realitas yang dihadapi” adalah masa lalu dan masa depan. Lewat anugerah akal-pikiran, seseorang dapat mengingat masa lalu dan meraba masa depan. Masa lalu dapat menjadi romantika atau trauma, sementara masa depan dapat menjadi harapan atau kecemasan. Kedua macam realitas itu akan mempengaruhi masa kini: apakah orang itu bahagia atau menderita. Masa lalu dan masa depan adalah realitas yang objektif, sementara penilaian atas keduanya dapat menjadi subjektif.
Tafsir Kebahagiaan dibuat Kang Jalal untuk membantu kita—terutama para pembaca buku tersebut—dalam menentukan sudut pandang (angel) yang tepat ketika kita ingin memberikan penilaian atas realitas yang terjadi. “Seperti seorang fotografer yang selalu mencari sudut bidikan yang tepat untuk mendapatkan gambar terbaiknya. Jika gambar hasil bidikan tidak seperti yang Anda harapkan, yang dapat Anda lakukan adalah mengambil sudut lain untuk memperoleh gambar yang lebih bagus. Sebab Anda sama sekali tidak dapat mengubah posisi gunung,” demikian jelas Kang Jalal terkait dengan perannya sebagai penulis Tafsir Kebahagiaan.
Sebagai seorang penulis, Kang Jalal senantiasa berusaha untuk memberikan alternatif dan mengajak para pembacanya untuk memilih sendiri—sesuai kemampuan yang dimiliki—setelah memamahami dan menimbang sudut pandang yang diberikannya. Buku-buku yang ditulisnya penuh dengan kekayaan sumber bacaan. Kang Jalal memang menekuni ilmu komunikasi dan psikologi tetapi dia juga menguasai ilmu-ilmu Islam secara komprehensif. Buku karyanya lebih banyak yang membahas ilmu-ilmu Islam ketimbang ilmu komunikasi dan psikologi.
Saya berharap, ihwal gagasan Kang Jalal tentang bagaimana meraih kebahagiaan—yang secara implisit kemudian disebutnya sebagai sebuah “jalan” yang bernama “Jalan Rahmat”—ini masih dapat dikaji lebih jauh dan mendalam oleh para pakar yang menekuni bidang tersebut. Juga pemikiran Kang Jalal tentang pendidikan (lihat misalnya, sekadar sebagai contoh: Belajar Cerdas: Belajar Berbasis Otak [MLC, 2004] atau SQ for Kids: Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Anak Sejak Dini [Mizan, 2007] dan eksperimennya dalam menjadikan SMA Plus Muthahhari sebagai “Sekolah Para Juara”).
Tentu saja akan sangat menarik apabila gagasan Kang Jalal tentang pendidikan tersebut kemudian dikaitkan dengan studi intensifnya tentang perkembangan neurokomunikasi dan juga neuroteologi.[]
*Disampaikan pada Kajian Kang Jalal (KKJ) seri-2, Ahad 27 September 2015, di Aula Muthahhari Bandung
“Rasanya seperti membekukan bagian dalam tubuh kita, ya?”
“Dad pernah harus ke Azkaban sekali, ingat, Fred? Dan dia bilang, itu tempat paling mengerikan yang pernah dikunjunginya. Dia pulang dalam keadaan lemah dan gemetaran…. Para Dementor itu mengisap kebahagiaan dari tempat-tempat di mana mereka berada. Sebagian besar napi di sana jadi gila.” (Dikutip dari J.K. Rowling, Harry Potter dan Tawanan Azkaban, PT Gramedia Pustaka Utama, 2001).
Boogart, Lupin, dan Kecupan Dementor, serta ditambah Firebolt, Patronus, Trelawney, Hippogriff, Crookshanks, Moony, Wormtail, Padfoot, Prongs, Peta Perampok, Animagi, dan Pembalik-Waktu milik Hermione adalah hal-hal menarik ciptaan J.K. Rowling dalam novel fantasinya yang fantastis, Harry Potter.
Semua hal yang diciptakan Rowling itu tidak ada—atau tidak nyata. Semuanya fiksi. Namun, begitu setiap jilid baru dari novel fantasi itu terbit, ia mampu menciptakan—apa yang disebut majalah Time waktu itu—“perang sipil” di rumah-rumah yang memiliki dua atau tiga anak remaja. Anak-anak remaja itu berebutan untuk membaca terlebih dahulu novel Harry Potter yang baru saja terbit—seakan-akan tokoh-tokoh yang ada di dalam novel itu nyata.
Buku Harry Potter jilid terakhir diluncurkan secara global di 93 negara. Buku ketujuh dalam serial Harry Potter ini menduduki tempat teratas dalam daftar best-seller di Amazon.com maupun Barnes & Noble hanya beberapa jam setelah tanggal penerbitannya diumumkan pada 1 Februari 2007. Pada hari pertama penjualannya, buku tersebut terjual 11 juta di Inggris dan Amerika, memecahkan rekor 9 juta yang dipegang buku jilid keenamnya.
“Anak-anaklah yang pertama kali dipikat oleh oleh Rowling—seperti pendahulunya, serial ‘Fear Street’ (karya Stine), tetapi dengan kemampuan yang lebih—dan ini menunjukkan dengan logika tak tertolakkan tentang sesuatu yang mampu ‘menyihir’ sehingga anak-anak bersedia menyingkirkan iPod dan Game Boy mereka lalu mengambil satu buku….,” tulis Stephen King dalam komentarnya setelah jilid ketujuh Harry Potter terbit (dimuat di www.ew.com). Dan “…novel ciptaan Rowling ini tumbuh…,” tegas King. (Lihat Hernowo, Aku Ingin Bunuh Harry Potter: Bagaimana Menumbuhkan Sayap Cinta dan Sayap Imajinasi, DAR! Mizan, 2007).
Saya menikmati tulisan-tulisan Kang Jalal bagaikan menikmati kisah yang tersaji dalam novel Harry Potter: mengasyikkan. Dalam tulisan sederhana ini, saya ingin memahami pemikiran Kang Jalal melalui perspektif “mengikat makna”. Sebagaimana disampaikan oleh Descartes, “…membaca buku yang baik bagaikan mengadakan percakapan dengan para cendekiawan yang paling cemerlang—yakni para penulis buku itu. Ini semua bahkan merupakan percakapan berbobot lantaran dalam buku-buku itu mereka menuangkan gagasan-gagasan mereka yang terbaik semata-mata….” (Lihat Rene Descartes, Diskursus dan Metode, Diva Press, Yogyakarta, 2015). Di samping berpijak pada Descartes, saya juga merujuk pada apa yang disampaikan oleh Prof. Dr. Fuad Hassan berikut ini:
“…kesanggupan berbahasa merupakan ciri keunggulan eksistensi manusia sebagai penghuni a world of discourse. Ini berarti bahwa perkembangan kesanggupan berbahasa sekaligus merupakan proses yang memperkaya dan mempercanggih gagasan dan wawasan (ideas and insights) seseorang. Sebagai kelanjutannya, dengan kekayaan dan kecanggihan tersebut, seseorang akan lebih peka dan tanggap dalam interaksinya sebagai penghuni dunia wacana. Oleh karena itu, tidak berlebihan kalau kita simpulkan bahwa kesanggupan berbahasa adalah latar utama bagi pencanggihan perikehidupan manusia. Perlu segera disertakan catatan bahwa untuk mencapai pencanggihan itu, kesanggupan berbahasa bukan saja berkenaan dengan penguasaannnya sebagai sarana tujuan, melainkan juga sebagai sarana pengejawantahan kesastraan.” (Lihat Fuad Hassan, “Catatan Pengantar Perihal Gagasan ‘Sastra Masuk Sekolah’”, dalam Riris K. Toha-Sarumpaet (ed.), Sastra Masuk Sekolah, Indonesiatera, Magelang, 2002).
Islam Alternatif dan Islam Aktual: Batu-Bata Awal Pembangun Matra-Baru
Pemikiran Islam di Indonesia
Saya bekerja di Penerbit Mizan pada 1984. Mizan didirikan oleh sahabat saya, Haidar Bagir, pada 1983. Selama hampir tiga puluh tahun saya bergulat dengan kata—tepatnya, industri kata. Semula saya bekerja di bagian produksi, kemudian redaksi, dan akhirnya diberi kesempatan untuk mengelola secara cukup menyeluruh penerbitan buku dari awal hingga akhir. Di Mizan, saya menekuni bidang pengemasan produk. Bidang ini merupakan bagian penting dari kegiatan editing (penyuntingan) yang para pekerjanya disebut sebagai editor. Editor dapat dikatakan sebagai “nyawa” sebuah penerbitan buku.
Setidaknya ada tiga jenis editor: akuisisi, bahasa dan content, serta pengemasan atau kadang disebut juga sebagai orang yang ahli dalam “mendandani” (me-make up) buku sehingga secara keseluruhan buku tersebut dapat ditampilkan secara memikat. Meskipun kadang ikut menyunting bahasa dan content sebuah buku—khususnya buku-buku bukan-terjemahan—di Mizan saya lebih berkonsentrasi pada bagaimana membuat judul buku yang “menggigit”, menyajikan sinopsis yang “menggerakkan” pikiran dan menyentuh hati, serta bagaimana menata “daging” buku agar bahasa kata (tekstual) dan bahasa rupa (visual) dapat tampil secara selaras dan saling mendukung. Buku-buku “Seri Cendekiawan Muslim”—termasuk karya-kara best seller M. Quraish Shihab, Jalaluddin Rakhmat, Emha Ainun Nadjib—hampir semuanya saya “kemas” agar tampil memikat.
Saya berkenalan dengan pemikiran Kang Jalal sebelum menjadi editor pengemasan buku. Waktu itu, buku Islam Alternatif—buku pertama Kang Jalal yang diterbitkan oleh Mizan—masih diproses di bagian redaksi. Buku ini terdiri atas lima bagian yang judul-judul setiap bagiannya menunjukkan corak pemikiran Kang Jalal waktu itu. Judul-judul bagian itu sangat indah dan menegaskan concern-awal Kang Jalal dalam menggeluti persoalan keislaman: Islam Rahmat bagi Alam, Islam Pembebas Mustadh’afin, Islam dan Pembinaan Masyarakat, Islam dan Ilmu Pengetahuan, serta Islam Mazhab Syi’ah.
Menurut Dedy Djamaluddin Malik, “Diawali di pertengahan 1980-an, sepulang dari Iowa, Kang Jalal—selain menjadi ilmuwan komunikasi—sering diundang ceramah di Salman ITB berkat dorongan Bang Imad yang pernah sama-sama ‘nyantri’ di Amerika. Bang Imad tertarik dengan pemikiran anak muda Jalal dalam diskusi-diskusi terbatas yang dipimpin Bang Imad sendiri. Materi diskusi yang pernah disampaikan Kang Jalal kemudian sempat dibukukan dengan judul Khotbah-Khotbah di Amerika.
“Selain berceramah di Salman, Kang Jalal pun diminta mengajar mata kuliah agama di ITB. Penetrasi pemikiran Kang Jalal agaknya cepat merembes dan ‘mensubversi’ anak-anak muda Islam di ITB dan Salman, termasuk Unpad dan menyebar ke berbagai pelosok kampus di seluruh Nusantara. Lahirlah kelompok Jalal yang punya corak pemikiran ‘Islam alternatif’ yang membedakannya dengan kelompok Cak Nur—yang waktu itu tengah menjadi ‘mainstream’ modernisme Islam di kalangan muda terdidik Islam.” (Lihat makalah Dedy Djamaluddin Malik, “Kontribusi Pemikiran Islam Kang Jalal terhadap Umat Islam Indonesia”, yang disampaikan pada acara “Kajian Kang Jalal”, Minggu 30 Agustus 2015, di Bandung).
Bukan kebetulan jika Islam Alternatif diberi pengantar oleh Bang Imad dan memiliki anak judul Ceramah-Ceramah di Kampus. Kemudian di samping itu, ada hal penting lain yang dibawa oleh Islam Alternatif: buku ini merupakan salah satu buku yang ikut mengawali pembentukan matra-baru pemikiran Islam di Indonesia yang sebelumnya di-“peta”-kan oleh buku Fachry Ali dan Bachtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru (Mizan, 1986). Ketika Mizan merayakan ulang tahun kesepuluhnya, tersampaikanlah kemudian hal penting ini: “Perkembangan paling penting, yang mulai tampak jelas sejak awal 1987--Islam Alternatif terbit pertama kali pada 1986 (Hernowo)—adalah penerbitan serial penulis dan pemikir Islam di Indonesia bahkan dalam waktu dan kelajuan lebih cepat dari yang kami duga.
“Hingga usia kami mencapai sepuluh tahun (1983-1993), tercatat ada sekitar dua puluhan buku berlabel Seri Cendekiawan Muslim Indonesia—demikian nama yang kami terakan pada buku-buku ini. Buku-buku tersebut ternyata menarik minat para konsumen buku Mizan baik di dalam maupun di luar negeri. William R. Roff, dalam Journal of Southeast Asian Studies XXI, 2, (1990), mencoba melakukan analisis-ringkas atas Seri Cendekiawan Muslim Indonesia yang terbit pada kurun waktu tersebut.
“Di antara para cendekiawan Muslim Indonesia yang karya-karyanya telah kami terbitkan tercatat nama-nama berikut ini: Fachry Ali, Bachtiar Effendy, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat, A.M. Saefuddin, M. Amien Rais, Emha Ainun Nadjib, Kuntowijoyo, M. Dawam Rahardjo, Fuad Amsyari, Taufik Adnan Amal, M. Riza Sihbudi, M. Quraish Shihab, dan H.A. Mukti Ali.” (Lihat publikasi Penerbit Mizan dalam merayakan ulang tahun ke-10 dalam judul, “Upaya Sederhana untuk Membentuk Matra-Baru Pemikiran Islam di Indonesia Itu Bernama Mizan”, 1993).
Setelah Islam Alternatif, saya terlibat secara intens dalam proses penerbitan buku berikutnya Kang Jalal, Islam Aktual: Refleksi-Sosial Seorang Cendekiawan Muslim (Mizan, 1991). Bagi saya, Islam Aktual lebih menggigit ketimbang Islam Alternatif. Dalam Islam Aktual, Kang Jalal menunjukkan kepiawaiannya dalam menguasai (dan bagaimana dia secara fasih berkomunikasi lewat) “bahasa kaum”-nya. Kebanyakan tulisan Kang Jalal yang dikumpulkan dalam Islam Aktual berasal dari surat kabar Gala di Bandung. Dan penerbitan Islam Aktual lagi-lagi memberikan ciri penting kegiatan penerbitan Mizan dalam kurun waktu itu. Seri Cendekiawan Muslim Indonesia melibatkan pemikiran dan kiprah banyak anak muda.
Islam Aktual dalam proses pengumpulan materinya melibatkan anak muda Yudi Latief. Sebelumnya, Mizan menerbitkan gagasan-gagasan Cak Nur dalam Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan yang diarsiteki oleh anak muda Agus Edy Santosa. Kemudian Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta karya M. Amien Rais yang melibatkan Hamid Basyaib, “Membumikan” Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat karya M. Quraish Shihab yang melibatkan Ihsan-Ali Fauzi, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran karya Harun Nasution yang melibatkan Saiful Mujani, dan Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi karya Kuntowijoyo yang melibatkan A.E. Priyono.
Anak-anak muda itu tak hanya mengumpulkan materi dan membaca karya-karya seniornya secara mendalam tetapi juga mengembangkan dan menambahkan beberapa materi penting untuk melengkapi keutuhan pemikiran sang tokoh. “Di samping mengumpulkan tulisan-tulisan para cendekiawan Muslim Indonesia, kami mencoba pula mengundang para sarjana dan ulama Islam yang kompeten di bidangnya untuk terlibat dalam semacam seminar tertulis yang membahas tema-tema penting dan aktual. Dua judul rintisan telah terbit: Satu Islam Sebuah Dilema (kumpulan tulisan tentang ukhuwah Islamiyah) yang di dalamnya terdapat nama-nama Lukman Harun, Ali Audah, dan Ijtihad dalam Sorotan yang di dalamnya terdapat nama-nama Munawir Sjadzali, Harun Nasuiton, Ali Yafie, I. Zainal Abidin, Ibrahim Hosen,” tambah Mizan dalam merayakan ulang tahun kesepuluhnya.
Meraih Kebahagiaan lewat Tafsir Kebahagiaan: Tentang Gagasan “Islam Rahmat
bagi Alam” yang Terus Berkembang dan Sangat “Membumi”
“Pada suatu hari seorang Arab dari dusun mengotori Masjid Nabawi,” demikian sebuah kisah dapat kita temukan di sampul belakang sebuah buku. “Puluhan sahabat Nabi serentak berdiri, sebagian menghunus pedang siap menetak kepala orang Arab dari dusun tersebut. ‘A fadhribu ‘unuqahu ya Rasulullah?,’ teriak seorang di antara mereka. ‘Apa harus aku pukul tengkuknya ya Rasulullah?’ Rasulullah Saw. menggeleng. Ia memerintahkan agar orang Arab dusun itu dibiarkan. Setelah itu, ia meminta kepada sahabatnya untuk mengambilkan ember berisi air. Lalu Rasulullah pun mencuci bekas kotoran itu dengan tangannya sendiri.”
Setelah kisah tersebut, tepat di bawahnya, kita kemudian dapat membaca sebuah kesimpulan ringkas nan penting: “Inilah perwujudan rahmat Allah bagi alam semesta. Ia tebarkan kasih, ia sunggingkan sebaris senyum, ia berdakwah dengan cara yang indah, dengan perilaku yang terpuji. Sungguh betapa umat manusia merindukan orang seperti beliau.” Kisah menarik ini dapat kitab baca di sampul belakang buku Jalan Rahmat karya Kang Jalal. Jalan Rahmat sendiri merupakan buku yang dibangun dari berbagai tulisan Kang Jalal yang tersebar di mana-mana.
Saya mengagumi Jalan Rahmat, pertama, karena judulnya. Buku ini sungguh berkarakter. Tidak mudah untuk membuat judul buku yang mampu menunjukkan karakter sebuah pemikiran. Apalagi jika buku pemikiran itu dibangun dari sekumpulan tulisan yang ditulis untuk tidak dijadikan sebuah buku. Kedua, “kekayaan” yang dikandung buku Jalan Rahmat. Apabila dibandingkan dengan karya-karya awal Kang Jalal, Islam Alternatif dan Islam Aktual—dua buku yang juga sangat berkarakter--Jalan Rahmat jelas menunjukkan kematangan dan keluasan pergulatan pemikiran Kang Jalal. Jalan Rahmat menunjukkan “kekayaan” luar biasa sebagaimana kekayaan itu dilukiskan oleh Walt Disney secara impresif: “There is more treasure in books than in all the pirate's loot on Treasure Island.”
“Kekayaan” luar biasa tersebut juga sering saya jumpai dalam beberapa kata pengantar yang ditulis oleh Kang Jalal untuk buku-buku yang jenis temanya sangat beragam. Salah satunya adalah kata pengantar untuk buku pelopor psikologi positif, Martin Seligman, Authentic Happiness: Menciptakan Kebahagiaan dengan Psikologi Positif (Mizan, 2005). Juga kata pengantar untuk buku Ali Syari’ati, Ideologi Kamu Intelektual: Suatu Wawasan Islam (Mizan, 1984),dan buku Murtadha Muthahhari, Perspektif Al-Quran tentang Manusia dan Agama (Mizan, 1984). Dalam dua kata pengantar tersebut—“Ali Syari’ati: Panggilan untuk Ulil Albab” dan “Muthahhari: Sebuah Model Buat Para Ulama”—saya dapat merasakan betapa intens persentuhan sekaligus pergulatan pemikiran Kang Jalal dengan pemikiran Syari’ati dan Muthahhari.
Sebagaimana dikatakan almarhum Nurcholish Madjid, Kang Jalal adalah intelektual yang komplet (lihat Kompas edisi 31 Oktober 1997). Banyak bidang pemikiran yang dirambah Kang Jalal. Di antara kekayaan dan keragaman pemikiran yang dirambah Kang Jalal, saya tertarik dengan pemahaman dan pemaknaannya atas kebahagiaan. Kang Jalal memaknai kebahagiaan selain lewat pemahamannya atas ayat-ayat Al-Quran, juga lewat dunia psikologi—khususnya psikologi positif—serta lewat sisi-sisi menarik potensi kecerdasan spiritual (SQ) sebagaimana dipelajari Kang Jalal dari para penggagasnya (antara lain, Khalil A. Kawari dan Danah Zohar-Ian Marshall).
Dalam buku Meraih Kebahagiaan (Simbiosa Rekatama Media, 2004 ), Kang Jalal membahas makna kebahagiaan lewat sudut pandang yang sangat unik dan kaya. Setelah menjelaskan apakah kebahagiaan itu secara filosofis dan menyampaikan pandangan berbagai agama—Budha, Yahudi, Kristen, dan Islam—tentang kebahagiaan, Kang Jalal menunjukkan bahwa hanya rasa bahagia yang ada di dalam diri seseoranglah yang akan mengantarkan orang tersebut menjadi orang yang baik.
“Ketika Anda bahagia, Anda membangun sumber daya intelektual dengan berpikir lebih kreatif, toleran dengan perbedaan, terbuka pada ide-ide baru, dan belajar lebih efektif,” tulis Kang Jalal. Menurut Kang Jalal lebih jauh, kebahagiaan juga membuka dan membangun sumber daya sosial. Ketika kita bahagia, kita akan tertarik untuk berbagi kebahagiaan dengan orang-orang di sekitar kita.
Dalam buku Tafsir Kebahagiaan: Pesan Al-Quran Menyikapi Kesulitan Hidup (PT Serambi Ilmu Semesta, 2010), Kang Jalal dengan ringan dan enak menyampaikan petunjuk Al-Quran dalam memilih kebahagiaan. “Lewat tuntunan ayat-ayat Al-Quran—ditambah ulasan hadis Nabi tentang ayat itu, hubungan ayat itu dengan ayat-ayat yang lain, dan penemuan-penemuan mutakhir sains serta hasil-hasil penelitian manusia tentang kebahagiaan—saya akan mengajak Anda menempatkan diri dalam sudut yang tepat agar realitas yang dihadapi dapat memberi kebahagiaan atau harapan tentang kebahagiaan,” tulis Kang Jalal dalam mengantarkan Tafsir Kebahagiaan.
Yang dimaksud dengan “realitas yang dihadapi” adalah masa lalu dan masa depan. Lewat anugerah akal-pikiran, seseorang dapat mengingat masa lalu dan meraba masa depan. Masa lalu dapat menjadi romantika atau trauma, sementara masa depan dapat menjadi harapan atau kecemasan. Kedua macam realitas itu akan mempengaruhi masa kini: apakah orang itu bahagia atau menderita. Masa lalu dan masa depan adalah realitas yang objektif, sementara penilaian atas keduanya dapat menjadi subjektif.
Tafsir Kebahagiaan dibuat Kang Jalal untuk membantu kita—terutama para pembaca buku tersebut—dalam menentukan sudut pandang (angel) yang tepat ketika kita ingin memberikan penilaian atas realitas yang terjadi. “Seperti seorang fotografer yang selalu mencari sudut bidikan yang tepat untuk mendapatkan gambar terbaiknya. Jika gambar hasil bidikan tidak seperti yang Anda harapkan, yang dapat Anda lakukan adalah mengambil sudut lain untuk memperoleh gambar yang lebih bagus. Sebab Anda sama sekali tidak dapat mengubah posisi gunung,” demikian jelas Kang Jalal terkait dengan perannya sebagai penulis Tafsir Kebahagiaan.
Sebagai seorang penulis, Kang Jalal senantiasa berusaha untuk memberikan alternatif dan mengajak para pembacanya untuk memilih sendiri—sesuai kemampuan yang dimiliki—setelah memamahami dan menimbang sudut pandang yang diberikannya. Buku-buku yang ditulisnya penuh dengan kekayaan sumber bacaan. Kang Jalal memang menekuni ilmu komunikasi dan psikologi tetapi dia juga menguasai ilmu-ilmu Islam secara komprehensif. Buku karyanya lebih banyak yang membahas ilmu-ilmu Islam ketimbang ilmu komunikasi dan psikologi.
Saya berharap, ihwal gagasan Kang Jalal tentang bagaimana meraih kebahagiaan—yang secara implisit kemudian disebutnya sebagai sebuah “jalan” yang bernama “Jalan Rahmat”—ini masih dapat dikaji lebih jauh dan mendalam oleh para pakar yang menekuni bidang tersebut. Juga pemikiran Kang Jalal tentang pendidikan (lihat misalnya, sekadar sebagai contoh: Belajar Cerdas: Belajar Berbasis Otak [MLC, 2004] atau SQ for Kids: Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Anak Sejak Dini [Mizan, 2007] dan eksperimennya dalam menjadikan SMA Plus Muthahhari sebagai “Sekolah Para Juara”).
Tentu saja akan sangat menarik apabila gagasan Kang Jalal tentang pendidikan tersebut kemudian dikaitkan dengan studi intensifnya tentang perkembangan neurokomunikasi dan juga neuroteologi.[]
*Disampaikan pada Kajian Kang Jalal (KKJ) seri-2, Ahad 27 September 2015, di Aula Muthahhari Bandung