KH. Jalaluddin Rakhmat
Setiap ibadah yang kita lakukan, sebetulnya merupakan riyadhah untuk mendidik nilai moral tertentu. Baik ibadah Shaum atau ibadah lainnya, di dalamnya terkandung apa yang kita sebut sebagai Pesan Moral (majulah-IJABI)
Setiap ibadah yang kita lakukan, sebetulnya merupakan riyadhah untuk mendidik nilai moral tertentu. Baik ibadah Shaum atau ibadah lainnya, di dalamnya terkandung apa yang kita sebut sebagai Pesan Moral (majulah-IJABI)
Bahkan begitu mulianya pesan moral itu, sampai Rasulullah Saw menilai “harga” suatu ibadah itu dinilai dari sejauh mana kita menjalankan pesan moralnya. Apabila ibadah itu tidak meningkatkan akhlak kita, Rasulullah menganggap bahwa ibadah itu tidak bermakna. Dengan kata lain, kita tidak melaksanakan pesan moral ibadah itu.
Seseorang bisa saja melakukan ibadah puasa. Dia sanggup mematuhi seluruh ketentuan fikih. Tetapi dia sering tidak sanggup mewujudkan seluruh pesan moral ibadah puasa itu. Rasulullah bersabda: “Banyak sekali orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga.” Sekali lagi, semua ajaran Islam mengandung pesan moral. Dan pesan moral itulah yang saya pikir dipandang sangat penting di dalam Islam.
Mengapa Islam menekankan prinsip moral itu? Mengapa Islam menekankan prinsip akhlak itu? Karena kedatangan Rasulullah Saw bukan hanya mengajarkan zikir dan doa. Nabi tegas mengatakan bahwa misinya ialah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Lalu apa yang menjadi pesan moral ibadah puas? Salah satu pesan moral yang utama ibadah puasa adalah supaya kita menjaga diri dari memakan sembarang makanan. Bahkan makanan yang halal pun tidak boleh kita makan sebelum datang waktunya yang tepat. Jadi, jangan sembarang makan. Jangan makan asal saja. Kita harus memperhatikan apa yang kita makan itu. Sayyidina Ali as, pernah berkata, “Jangan jadikan perutmu sebagai kuburan hewan.” Maksudnya, kita tidak boleh memakan daging terlalu banyak, apalagi diperolehnya dengan cara yang tidak halal. Pesan moral Ramadhan, adalah agar kita tidak menjadikan perut kita sebagai kuburan orang lain. Jangan jadikan perut Anda sebagi kuburan orang kecil. Jangan pindahkan tanah dan ladang milik mereka ke perut Anda. Itulah pesan Ramadhan, yang menurut saya, relevan dengan kondisi saat ini. Ketika kita dikejar-kejar oleh konsumtivisme (senang berpesta dan belanja barang yang tidak bermanfaat), dan dikejar-kejar untuk meningkatkan status sosial, tidak jarang kita berani memakan hak orang lain.
Tidak cukup hanya sampai disitu. Ibadah puasa juga mengajarkan bahwa walaupun harta itu milik kita, tetapi kita tidak boleh memakannya sendiri. Imam Ali as, pernah berkata: “Tidak pernah aku melihat ada orang yang memperoleh harta yang berlimpah kecuali disampingnya ada hak orang lain yang ia sia-siakan.” Kita tidak usah menjadi MARXIS untuk menyadari bahwa keuntungan yang berlimpah ruah dimiliki orang-orang kaya yang tinggal dinegara-negara miskin. Misalnya, karena upah buruh yang murah sehingga si pemilik perusahaan memperoleh keuntungan yang besar. Seandainya kita memperoleh gaji yang tinggi, didalam Islam, kita tidak boleh memakan semua yang kita terima walaupun itu hasil jerih payah kita sendiri.
Bagi yang mempunyai gaji yang berlebih, ia mempunyai tanggung jawab untuk menyantuni orang-orang miskin. Puasa tidak akan bermakna apa-apa sebelum kita memberikan perhatian yang tulus kepada orang-orang yang menderita disekitar kita. Ini pesan moral ibadah puasa. Kalau seseorang puasanya cacat, atau puasanya batal, atau melakukan hal-hal yang dilarang di dalam ketentuan fikih, maka tebusannya adalah menjalankan pesan moral puasa itu. Misalnya, pada bulan Ramadhan, sepasang suami-istri bercampur pada siang hari, maka kifaratnya adalah memberi makan enam puluh orang miskin. Orang yang tidak sanggup puasa, di dalam Al-Quran, diharuskan untuk mengeluarkan fidyah buat orang-orang miskin. Memperhatikan orang-orang lapar dan menyantuni fakir miskin adalah pesan moral puasa.
Lebih jauh lagi, marilah kita simak sekilas beberapa penafsiran batiniah tentang hadits-hadits puasa.
Hadits Pertama:
Diriwayatkan bahwa seorang Yahudi datang kepada Rasulullah Saw dan bertanya, “Mengapa Tuhan mewajibkan puasa dalam tiga puluh hari?” Rasul yang mulia menjawab,”Itulah waktu ketika yang dimakan Adam mendekam dalam perutnya.”
Hadits Kedua:
Diriwayatkan dari Muhammad bin Sinnan bahwa Imam Ali bin Musa Al-Ridha as, berkata, “Sebab diwajibkannya puasa adalah agar manusia merasakan kelaparan dan kehausan, sehingga ia mengetahui kerendahan, kehinaan, kemiskinan dirinya; juga agar ia mengetahui beratnya kehidupan akhirat, sehingga bisa meninggalkan berbagi dosa dan maksiat.”
Hadits Ketiga:
Diriwayatkan dalam Misbah Al-Syari’ah bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Puasa adalah perisai. Puasa melindungi diri dari kejelekan dunia dan siksa akhirat. Apabila hendak berpuasa, maka niatkanlah puasamu untuk menahan diri dari dorongan syahwat, dan memutuskan pikiran yang sering dipengaruhi godaan setan. Bayangkanlah dirimu sebagai seorang yang sakit, yang tidak menginginkan makanan atau minuman apapun. Dan berharaplah selalu agar Allah Yang Maha Kasih memberikan kesembuhan dari setiap penyakit yang ditimbulkan karena dosa. Sucikanlah batinmu dari setiap apa yang bisa membuatmu lalai dari berzikir kepada Allah.”
Berkenaan dengan hadits-hadits ini, seorang sufi Al-Qadhi Said Al-Qummi berkata, “Merenungkan makna-makna batiniah tentang puasa, maka pada hadits pertama Rasululah Saw menceritakan bagaimana perjalanan hidup manusia adalah cerminan dari apa yang terjadi pada Nabi Adam as. Setelah Adam melanggar perintah Tuhan, pengaruh dari “dosa” yang ia lakukan bertahan selama tiga puluh hari dalam perutnya. Karena itulah, Tuhan syari’atkan puasa selama tiga puluh hari dalam setahun untuk mensucikan manusia dari dosa-dosanya. Sebagaimana Adam yang bertaubat pada waktu Maghrib, maka anak keturunan Adam diizinkan Allah untuk berbuka pada saat yang sama ketika Bapak seluruh manusia memanjatkan doanya kepada Allah Swt. Panjatkanlah doa pada waktu berbuka, karena ia adalah waktu yang utama.
Sedangkan makna hadits kedua dan ketiga yang menyebutkan puasa sebagai perisai adalah bahwa dengan puasa kita dihindarkan dari makanan dan minuman, karenanya terhindar juga kita dari kemungkinan didera penyakit jasmaniyah. Tetapi puasa juga adalah latihan untuk mengendalikan hawa nafsu, karenanya juga adalah sarana untuk menyembuhkan penyakit Ruhaniyah. Sedangkan makna “menjauhkan diri dari siksa akhirat” adalah bahwa dengan puasa manusia akan berlatih untuk memasyarakatkan dirinya pada ketentuan Allah, sehingga dengan merasakan lapar, dahaga, dan membayangkan siksa akhirat yang lebih berat dari lapar dan dahaga manusia akan berusaha untuk lebih mensucikan dirinya.
Walhasil, puasa sebagaimana sabda Nabi Saw bukan sekedar menjalankan syariat menjaga diri dari tiga hal (seperti pada ketentuan fikih) tetapi juga untuk menumbuhkan kesadaran, dan yang paling penting dari semua untuk membawa ruh kita kembali pada kesucian. []
Wallahu a’lam.
Seseorang bisa saja melakukan ibadah puasa. Dia sanggup mematuhi seluruh ketentuan fikih. Tetapi dia sering tidak sanggup mewujudkan seluruh pesan moral ibadah puasa itu. Rasulullah bersabda: “Banyak sekali orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga.” Sekali lagi, semua ajaran Islam mengandung pesan moral. Dan pesan moral itulah yang saya pikir dipandang sangat penting di dalam Islam.
Mengapa Islam menekankan prinsip moral itu? Mengapa Islam menekankan prinsip akhlak itu? Karena kedatangan Rasulullah Saw bukan hanya mengajarkan zikir dan doa. Nabi tegas mengatakan bahwa misinya ialah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Lalu apa yang menjadi pesan moral ibadah puas? Salah satu pesan moral yang utama ibadah puasa adalah supaya kita menjaga diri dari memakan sembarang makanan. Bahkan makanan yang halal pun tidak boleh kita makan sebelum datang waktunya yang tepat. Jadi, jangan sembarang makan. Jangan makan asal saja. Kita harus memperhatikan apa yang kita makan itu. Sayyidina Ali as, pernah berkata, “Jangan jadikan perutmu sebagai kuburan hewan.” Maksudnya, kita tidak boleh memakan daging terlalu banyak, apalagi diperolehnya dengan cara yang tidak halal. Pesan moral Ramadhan, adalah agar kita tidak menjadikan perut kita sebagai kuburan orang lain. Jangan jadikan perut Anda sebagi kuburan orang kecil. Jangan pindahkan tanah dan ladang milik mereka ke perut Anda. Itulah pesan Ramadhan, yang menurut saya, relevan dengan kondisi saat ini. Ketika kita dikejar-kejar oleh konsumtivisme (senang berpesta dan belanja barang yang tidak bermanfaat), dan dikejar-kejar untuk meningkatkan status sosial, tidak jarang kita berani memakan hak orang lain.
Tidak cukup hanya sampai disitu. Ibadah puasa juga mengajarkan bahwa walaupun harta itu milik kita, tetapi kita tidak boleh memakannya sendiri. Imam Ali as, pernah berkata: “Tidak pernah aku melihat ada orang yang memperoleh harta yang berlimpah kecuali disampingnya ada hak orang lain yang ia sia-siakan.” Kita tidak usah menjadi MARXIS untuk menyadari bahwa keuntungan yang berlimpah ruah dimiliki orang-orang kaya yang tinggal dinegara-negara miskin. Misalnya, karena upah buruh yang murah sehingga si pemilik perusahaan memperoleh keuntungan yang besar. Seandainya kita memperoleh gaji yang tinggi, didalam Islam, kita tidak boleh memakan semua yang kita terima walaupun itu hasil jerih payah kita sendiri.
Bagi yang mempunyai gaji yang berlebih, ia mempunyai tanggung jawab untuk menyantuni orang-orang miskin. Puasa tidak akan bermakna apa-apa sebelum kita memberikan perhatian yang tulus kepada orang-orang yang menderita disekitar kita. Ini pesan moral ibadah puasa. Kalau seseorang puasanya cacat, atau puasanya batal, atau melakukan hal-hal yang dilarang di dalam ketentuan fikih, maka tebusannya adalah menjalankan pesan moral puasa itu. Misalnya, pada bulan Ramadhan, sepasang suami-istri bercampur pada siang hari, maka kifaratnya adalah memberi makan enam puluh orang miskin. Orang yang tidak sanggup puasa, di dalam Al-Quran, diharuskan untuk mengeluarkan fidyah buat orang-orang miskin. Memperhatikan orang-orang lapar dan menyantuni fakir miskin adalah pesan moral puasa.
Lebih jauh lagi, marilah kita simak sekilas beberapa penafsiran batiniah tentang hadits-hadits puasa.
Hadits Pertama:
Diriwayatkan bahwa seorang Yahudi datang kepada Rasulullah Saw dan bertanya, “Mengapa Tuhan mewajibkan puasa dalam tiga puluh hari?” Rasul yang mulia menjawab,”Itulah waktu ketika yang dimakan Adam mendekam dalam perutnya.”
Hadits Kedua:
Diriwayatkan dari Muhammad bin Sinnan bahwa Imam Ali bin Musa Al-Ridha as, berkata, “Sebab diwajibkannya puasa adalah agar manusia merasakan kelaparan dan kehausan, sehingga ia mengetahui kerendahan, kehinaan, kemiskinan dirinya; juga agar ia mengetahui beratnya kehidupan akhirat, sehingga bisa meninggalkan berbagi dosa dan maksiat.”
Hadits Ketiga:
Diriwayatkan dalam Misbah Al-Syari’ah bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Puasa adalah perisai. Puasa melindungi diri dari kejelekan dunia dan siksa akhirat. Apabila hendak berpuasa, maka niatkanlah puasamu untuk menahan diri dari dorongan syahwat, dan memutuskan pikiran yang sering dipengaruhi godaan setan. Bayangkanlah dirimu sebagai seorang yang sakit, yang tidak menginginkan makanan atau minuman apapun. Dan berharaplah selalu agar Allah Yang Maha Kasih memberikan kesembuhan dari setiap penyakit yang ditimbulkan karena dosa. Sucikanlah batinmu dari setiap apa yang bisa membuatmu lalai dari berzikir kepada Allah.”
Berkenaan dengan hadits-hadits ini, seorang sufi Al-Qadhi Said Al-Qummi berkata, “Merenungkan makna-makna batiniah tentang puasa, maka pada hadits pertama Rasululah Saw menceritakan bagaimana perjalanan hidup manusia adalah cerminan dari apa yang terjadi pada Nabi Adam as. Setelah Adam melanggar perintah Tuhan, pengaruh dari “dosa” yang ia lakukan bertahan selama tiga puluh hari dalam perutnya. Karena itulah, Tuhan syari’atkan puasa selama tiga puluh hari dalam setahun untuk mensucikan manusia dari dosa-dosanya. Sebagaimana Adam yang bertaubat pada waktu Maghrib, maka anak keturunan Adam diizinkan Allah untuk berbuka pada saat yang sama ketika Bapak seluruh manusia memanjatkan doanya kepada Allah Swt. Panjatkanlah doa pada waktu berbuka, karena ia adalah waktu yang utama.
Sedangkan makna hadits kedua dan ketiga yang menyebutkan puasa sebagai perisai adalah bahwa dengan puasa kita dihindarkan dari makanan dan minuman, karenanya terhindar juga kita dari kemungkinan didera penyakit jasmaniyah. Tetapi puasa juga adalah latihan untuk mengendalikan hawa nafsu, karenanya juga adalah sarana untuk menyembuhkan penyakit Ruhaniyah. Sedangkan makna “menjauhkan diri dari siksa akhirat” adalah bahwa dengan puasa manusia akan berlatih untuk memasyarakatkan dirinya pada ketentuan Allah, sehingga dengan merasakan lapar, dahaga, dan membayangkan siksa akhirat yang lebih berat dari lapar dan dahaga manusia akan berusaha untuk lebih mensucikan dirinya.
Walhasil, puasa sebagaimana sabda Nabi Saw bukan sekedar menjalankan syariat menjaga diri dari tiga hal (seperti pada ketentuan fikih) tetapi juga untuk menumbuhkan kesadaran, dan yang paling penting dari semua untuk membawa ruh kita kembali pada kesucian. []
Wallahu a’lam.