KH. Dr. Jalaluddin Rakhmat
Ketua Dewan Syura IJABI
Ketua Dewan Syura IJABI
Qanbar beruntung belajar langsung dari orang yang memikul missi wara’ dari apa yang diharamkan Allah. Wara’ tidak ia dengar dari khotbah-khotbah di mimbar, tidak ia baca dari buku-buku tasawuf. Ia menyaksikannya sendiri dalam diri guru yang dicintainya. Ia mencintai Ali dengan kecintaan yang sangat.
Izinkan saya bercerita tentang Qanbar. Mungkin karena ia budak, atau mungkin karena ia sahaya Ali, sejarah tidak banyak bercerita. Ia termasuk tokoh-tokoh yang tidak terkenal. Kemelut politik dan kampanye politrik pasca Rasulullah telah menenggelamkan bintang-bintang yang cemerlang.
Qanbar beruntung belajar langsung dari orang yang memikul missi wara’ dari apa yang diharamkan Allah. Wara’ tidak ia dengar dari khotbah-khotbah di mimbar, tidak ia baca dari buku-buku tasawuf. Ia menyaksikannya sendiri dalam diri guru yang dicintainya. Ia mencintai Ali dengan kecintaan yang sangat.
Pada suatu hari Ali membeli dua potong pakaian. Satu potong lebih mahal dari yang lainnya. Ia memanggil budaknya,” Ya Qanbar, ambillah pakain yang tiga dirham untukmu dan pakaian yang dua dirham buatku.” Qanbar berkata: Engkau lebih layak, ya Amiral Mukminin. Engkau suka naik mimbar dan berkhotbah.”
“Ya Qanbar”, kata khalifah pembawa suara keadilan itu. “Engkau masih muda, masih banyak keinginanmu. Aku malu di depan Tuhanku memakai baju yang lebih baik darimu, karena aku mendengar dari Nabi saw, “Beri budak-budakmu pakaian yang kamu pakai dan makanan yang kamu makan.”
Ali kemudian mencoba memakai pakaian bagiannya. Ternyata lengan bajunya melewati jari-jarinya. “Potong kelebihannya!” Budak itu pun memotongnya dengan meninggalkan lengan baju yang tak berjahit. “Biar aku jahit, ya Syaikh,” kata budak itu. “Biarkan saja apa adanya. Biar lebih cepat aku pakai!”
Qanbar menyaksikan dengan takjub junjungannya, khalifah setengah dunia itu, memakai pakaian kebesaran dengan ujung lengannya yang compang-camping!!!
Berkat berkhidmat kepada Imam Ali, Qanbar berbahagia dalam kesederhanaanya, kebahagiaan yang tidak pernah didapatkan dalam kemewahan. Ia tidak lagi menyerap ilmu dan kearifan. Akhirnya, ia dikenal sebagai murid Imam yang menjadi rujukan pengetahuan agama.
Seorang tiran yang arogan dan narsis mengadakan majlis. Tiba-tiba Qanbar masuk. Secara spontan, semua orang berdiri menghormati kehadirannya. Tiran itu membentak hadirin, “Di hadapanku kalian berdiri menhormati dia. Memang siapa orang ini?” Seorang lelaki dengan berani berkata, “Bagaimana aku tidak menghormati orang yang di jalannya para malaikat menghamparkan sayapnya.”
Dua ratus tahun kemudian, seorang sastrawan, ahli bahasa Arab, penulis banyak kitab bahasa Arab, Ibn al-Sikkit, dipanggil khalifah al-Mutawakkil. Ia diminta mengajari dua orang anaknya. Di hadapan orangtuanya, anak-anak itu menunjukkan kemampuan bahasanya yang menakjubkan. Al-Mutawakkil melihat Ibn al-Sikkit mengajar dengan penuh cinta. Dan ia berhasil.
Al-Mutawakkil tahu bahwa Ibn al-Sikkit termasuk pecinta Imam Ali. Ia bertanya, “Manakah yang lebih kamu cintai, anak-anakku atauA-Hasan dan Al-Husain?” Muhammad bin al-Sikkit dengan cepat menjawab, seakan-akan ia tersinggung dengan pertanyaan itu, “Demi Allah, tali sandalnya Qanbar lebih aku cintai daripada kamu dan anak-anakmu!”
Sang tiran marah. Ia memerintahkan algojo memotong lidahnya dan raksasa-raksasa pengawal sultan menginjak-injak perutnya. Ia syahid karena lidahnya menyebut Qanbar. Ia memilih jenis kematian yang dipilih Qanbar.
Al-Hajjaj bin Yusuf senang membunuhi pengikut Ali. Dihempaskan di hadapannya Qanbar dalam keadaan terbelenggu. “Hai Qanbar, apa pekerjaan kamu untuk Abu Turab?”
“Aku melayaninya ketika berwudu.”
“Apa yang ia katakan usai berwudu?”
“Ia bergumam perlahan dan ketika ditanya apa yang ia ucapkan ia membaca Maka apabila mereka sudah melupkan apa yang diperingatkan kepada mereka, kami bukakan pintu-pintu segala kesenangan, sehingga ketika mereka bersenang-senang, kami jatuhkan azab secara tiba-tiba dan mereka kebingungan.”
“Aku yakin Abu Turab menafsirkannya untuk kami.”
“Benar.”
“Hai Qanbar, apa yang akan kaulakukan jika kupotong lehermu?”
“Demi Allah, aku berbahagia dan kau celaka.”
Al-Hajjaj berteriak, “Sembelih dia seperti disembelihnya kambing.” Qanbar menemui kesyahidan seperti pernah dikatakan oleh junjungan kekasihnya, pengajar wara’ dengan akhlaknya, Ali bin Abi Thalib. Para ulama menyebutnya, “Qanbar, yang disembelih karena cinta Ali.”
Qanbar beruntung belajar langsung dari orang yang memikul missi wara’ dari apa yang diharamkan Allah. Wara’ tidak ia dengar dari khotbah-khotbah di mimbar, tidak ia baca dari buku-buku tasawuf. Ia menyaksikannya sendiri dalam diri guru yang dicintainya. Ia mencintai Ali dengan kecintaan yang sangat.
Pada suatu hari Ali membeli dua potong pakaian. Satu potong lebih mahal dari yang lainnya. Ia memanggil budaknya,” Ya Qanbar, ambillah pakain yang tiga dirham untukmu dan pakaian yang dua dirham buatku.” Qanbar berkata: Engkau lebih layak, ya Amiral Mukminin. Engkau suka naik mimbar dan berkhotbah.”
“Ya Qanbar”, kata khalifah pembawa suara keadilan itu. “Engkau masih muda, masih banyak keinginanmu. Aku malu di depan Tuhanku memakai baju yang lebih baik darimu, karena aku mendengar dari Nabi saw, “Beri budak-budakmu pakaian yang kamu pakai dan makanan yang kamu makan.”
Ali kemudian mencoba memakai pakaian bagiannya. Ternyata lengan bajunya melewati jari-jarinya. “Potong kelebihannya!” Budak itu pun memotongnya dengan meninggalkan lengan baju yang tak berjahit. “Biar aku jahit, ya Syaikh,” kata budak itu. “Biarkan saja apa adanya. Biar lebih cepat aku pakai!”
Qanbar menyaksikan dengan takjub junjungannya, khalifah setengah dunia itu, memakai pakaian kebesaran dengan ujung lengannya yang compang-camping!!!
Berkat berkhidmat kepada Imam Ali, Qanbar berbahagia dalam kesederhanaanya, kebahagiaan yang tidak pernah didapatkan dalam kemewahan. Ia tidak lagi menyerap ilmu dan kearifan. Akhirnya, ia dikenal sebagai murid Imam yang menjadi rujukan pengetahuan agama.
Seorang tiran yang arogan dan narsis mengadakan majlis. Tiba-tiba Qanbar masuk. Secara spontan, semua orang berdiri menghormati kehadirannya. Tiran itu membentak hadirin, “Di hadapanku kalian berdiri menhormati dia. Memang siapa orang ini?” Seorang lelaki dengan berani berkata, “Bagaimana aku tidak menghormati orang yang di jalannya para malaikat menghamparkan sayapnya.”
Dua ratus tahun kemudian, seorang sastrawan, ahli bahasa Arab, penulis banyak kitab bahasa Arab, Ibn al-Sikkit, dipanggil khalifah al-Mutawakkil. Ia diminta mengajari dua orang anaknya. Di hadapan orangtuanya, anak-anak itu menunjukkan kemampuan bahasanya yang menakjubkan. Al-Mutawakkil melihat Ibn al-Sikkit mengajar dengan penuh cinta. Dan ia berhasil.
Al-Mutawakkil tahu bahwa Ibn al-Sikkit termasuk pecinta Imam Ali. Ia bertanya, “Manakah yang lebih kamu cintai, anak-anakku atauA-Hasan dan Al-Husain?” Muhammad bin al-Sikkit dengan cepat menjawab, seakan-akan ia tersinggung dengan pertanyaan itu, “Demi Allah, tali sandalnya Qanbar lebih aku cintai daripada kamu dan anak-anakmu!”
Sang tiran marah. Ia memerintahkan algojo memotong lidahnya dan raksasa-raksasa pengawal sultan menginjak-injak perutnya. Ia syahid karena lidahnya menyebut Qanbar. Ia memilih jenis kematian yang dipilih Qanbar.
Al-Hajjaj bin Yusuf senang membunuhi pengikut Ali. Dihempaskan di hadapannya Qanbar dalam keadaan terbelenggu. “Hai Qanbar, apa pekerjaan kamu untuk Abu Turab?”
“Aku melayaninya ketika berwudu.”
“Apa yang ia katakan usai berwudu?”
“Ia bergumam perlahan dan ketika ditanya apa yang ia ucapkan ia membaca Maka apabila mereka sudah melupkan apa yang diperingatkan kepada mereka, kami bukakan pintu-pintu segala kesenangan, sehingga ketika mereka bersenang-senang, kami jatuhkan azab secara tiba-tiba dan mereka kebingungan.”
“Aku yakin Abu Turab menafsirkannya untuk kami.”
“Benar.”
“Hai Qanbar, apa yang akan kaulakukan jika kupotong lehermu?”
“Demi Allah, aku berbahagia dan kau celaka.”
Al-Hajjaj berteriak, “Sembelih dia seperti disembelihnya kambing.” Qanbar menemui kesyahidan seperti pernah dikatakan oleh junjungan kekasihnya, pengajar wara’ dengan akhlaknya, Ali bin Abi Thalib. Para ulama menyebutnya, “Qanbar, yang disembelih karena cinta Ali.”