Beberapa waktu lalu, Ketua Dewan Syura IJABI yang juga Anggota DPR/MPR RI, KH Jalaluddin Rakhmat ikut serta dalam Sosialisasi Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara. Acara tersebut dilaksanakan di Kampung Pacinanan, Desa Cicalengka Wetan, Kecamatan Cicalengka Kabupaten Bandung, Minggu 28 Februari 2016 lalu. Pada kesempatan tersebut, beliau menekankan kembali 4 pilar kebangsaan yang harusnya menjadi fondasi kehidupan masyarakat Indonesia. (majulah-IJABI)
Dikutip dari situs Satu Islam, menurut KH Jalaluddin Rakhmat, setiap anggota MPR memiliki kewajiban melakukan sosialisasi empat pilar kebangsaan kepada masyarakat. Tujuannya adalah agar upaya tersebut bisa terus menghidupkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya Pancasila, Bhinekka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Undang Undang Dasar 1945.
“Kita tahu, saat ini berbagai informasi sedemikian mudah masuk ke setiap ruang publik maupun privat. Arus positif dan negatif berlomba mempengaruhi pola pikir masyarakat dengan berbagai cara,” terangnya. Menurutnya, harus diakui bahwa situasi banjir informasi saat ini tidak kondusif bagi bangsa Indonesia yang masih dalam proses mematangkan diri. Karena itu, masyarakat wajib memiliki patokan nilai yang jelas untuk bertindak, yaitu Pancasila.
Sebagai dasar negara, kata KH Jalaluddin Rakhmat selanjutnya, perjalanan Pancasila berakar pada perdebatan yang pernah terjadi antara para tokoh pendiri bangsa ini. Sebagian dari mereka menghindari Syariat Islam sebagai dasar negara, sementara Bung Karno dan rekan-rekannya memilih Pancasila. “Setelah melewati diskusi panjang dan berbagai pertimbangan, tercapailah kesepakatan bahwa Pancasila yang dipilih sebagai dasar negara,” katanya.
Menurut pria yang kerap bersama Gus Dur ini, kehadiran Pancasila merupakan angin segar bagi pemeluk agama selain Islam karena hak ibadah mereka dijamin. Bukan hanya itu, mereka juga diayomi, bebas dari rasa takut, dan tidak diancam siapa pun.
Sayangnya, saat ini ada sebagian orang yang setuju dengan syariat Islam, menolak Pancasila. Mereka bahkan setuju negara Republik Indonesia hilang, digantikan kekhalifahan di seluruh dunia. Mungkin dalam konsep mereka, Indonesia akan menjadi semacam provinsi saja. “Jelas, secara langsung atau tidak langsung mereka menolak Pancasila dan NKRI dan ingin menjadikan syariat Islam sebagai dasar negara. Lantas pertanyaannya adalah syariat Islam yang mana?” ujarnya.
Menurut Ketua Dewan Syura IJABI ini, sekarang ada juga kelompok yang mengaku menegakkan negara Islam dengan jalan kekerasan. Ironisnya, yang mereka lakukan terhadap orang-orang yang berbeda paham dengan mereka sungguh mengerikan. Tanpa kecuali, perempuan dan anak pun ikut menjadi korban. Padahal, wajah Islam tak pernah bengis, Nabi Muhammad saw tak pernah mengajarkan kekejian. Islam adalah agama yang penuh dengan kasih sayang dan kemuliaan.
“Karenanya, jika ada orang mengaku Islam tapi teriakannya merusak kerukunan antara umat beragama, saya akan meragukan keislamannya,” tegasnya. Beliau percaya, keyakinan seperti ini diimpor dari luar untuk memecah belah kaum muslimin. Hal itu bisa diketahui secara luas melalui sejarah, di zaman Nabi saw, pemeluk agama lain bisa hidup damai dengan umat Islam yang mayoritas.
“Demikian pula di Indonesia. Pada dasarnya, masyarakat Indonesia itu sangat ramah, santun, dan penuh kasih sayang,” terangnya. Cendekiawan muslim yang sampai tahun 2015 telah menulis hampir 50 buku ini mengatakan bahwa kedatangan kelompok yang mengaku Islamnya paling murni inilah yang bikin onar. Ketakutan diembuskan, rasa saling curiga disebarkan di antara umat Islam dan antara umat Islam dengan pemeluk agama lain.
“Padahal, kita tahu bahwa perilaku tidak saling hormat antara pemeluk agama ini akan menghancurkan NKRI. Sebenarnya, untuk apa kita sibuk mempertentangkan Pancasila dan syariat Islam? Pada dasarnya, Pancasila itu sangat islami. Coba perhatikan masing-masing silanya banyak sekali ayat Alquran yang membenarkannya,” katanya.
“Jadi tidak ada yang bertentangan. Jika kita membela Pancasila, artinya kita sedang membela Islam. Dengan panduan negara ini kita bisa hidup bersama dengan tetap menghargai perbedaan, hidup tenang silih asah silih asih silih asuh. Kita akan tenang jika kita memperlakukan sesama manusia secara adil dan beradab. Sikap itulah yang diajarkan Pancasila dan Alquran,” sambungnya.
Tindakan mengkafirkan orang lain karena berbeda agama atau paham justru bertentangan dengan agama itu sendiri. “Tugas anggota MPR adalah memastikan bahwa sikap saling menghargai ini menjadi modal negara untuk terus membangun dirinya menuju kemajuan,” pungkasnya.
Acara sosialisasi ini dihadiri oleh aparat pemerintah setempat, tokoh masyarakat dan sekitar 160 orang dari masyarakat umum.
Sumber: Satu Islam
“Kita tahu, saat ini berbagai informasi sedemikian mudah masuk ke setiap ruang publik maupun privat. Arus positif dan negatif berlomba mempengaruhi pola pikir masyarakat dengan berbagai cara,” terangnya. Menurutnya, harus diakui bahwa situasi banjir informasi saat ini tidak kondusif bagi bangsa Indonesia yang masih dalam proses mematangkan diri. Karena itu, masyarakat wajib memiliki patokan nilai yang jelas untuk bertindak, yaitu Pancasila.
Sebagai dasar negara, kata KH Jalaluddin Rakhmat selanjutnya, perjalanan Pancasila berakar pada perdebatan yang pernah terjadi antara para tokoh pendiri bangsa ini. Sebagian dari mereka menghindari Syariat Islam sebagai dasar negara, sementara Bung Karno dan rekan-rekannya memilih Pancasila. “Setelah melewati diskusi panjang dan berbagai pertimbangan, tercapailah kesepakatan bahwa Pancasila yang dipilih sebagai dasar negara,” katanya.
Menurut pria yang kerap bersama Gus Dur ini, kehadiran Pancasila merupakan angin segar bagi pemeluk agama selain Islam karena hak ibadah mereka dijamin. Bukan hanya itu, mereka juga diayomi, bebas dari rasa takut, dan tidak diancam siapa pun.
Sayangnya, saat ini ada sebagian orang yang setuju dengan syariat Islam, menolak Pancasila. Mereka bahkan setuju negara Republik Indonesia hilang, digantikan kekhalifahan di seluruh dunia. Mungkin dalam konsep mereka, Indonesia akan menjadi semacam provinsi saja. “Jelas, secara langsung atau tidak langsung mereka menolak Pancasila dan NKRI dan ingin menjadikan syariat Islam sebagai dasar negara. Lantas pertanyaannya adalah syariat Islam yang mana?” ujarnya.
Menurut Ketua Dewan Syura IJABI ini, sekarang ada juga kelompok yang mengaku menegakkan negara Islam dengan jalan kekerasan. Ironisnya, yang mereka lakukan terhadap orang-orang yang berbeda paham dengan mereka sungguh mengerikan. Tanpa kecuali, perempuan dan anak pun ikut menjadi korban. Padahal, wajah Islam tak pernah bengis, Nabi Muhammad saw tak pernah mengajarkan kekejian. Islam adalah agama yang penuh dengan kasih sayang dan kemuliaan.
“Karenanya, jika ada orang mengaku Islam tapi teriakannya merusak kerukunan antara umat beragama, saya akan meragukan keislamannya,” tegasnya. Beliau percaya, keyakinan seperti ini diimpor dari luar untuk memecah belah kaum muslimin. Hal itu bisa diketahui secara luas melalui sejarah, di zaman Nabi saw, pemeluk agama lain bisa hidup damai dengan umat Islam yang mayoritas.
“Demikian pula di Indonesia. Pada dasarnya, masyarakat Indonesia itu sangat ramah, santun, dan penuh kasih sayang,” terangnya. Cendekiawan muslim yang sampai tahun 2015 telah menulis hampir 50 buku ini mengatakan bahwa kedatangan kelompok yang mengaku Islamnya paling murni inilah yang bikin onar. Ketakutan diembuskan, rasa saling curiga disebarkan di antara umat Islam dan antara umat Islam dengan pemeluk agama lain.
“Padahal, kita tahu bahwa perilaku tidak saling hormat antara pemeluk agama ini akan menghancurkan NKRI. Sebenarnya, untuk apa kita sibuk mempertentangkan Pancasila dan syariat Islam? Pada dasarnya, Pancasila itu sangat islami. Coba perhatikan masing-masing silanya banyak sekali ayat Alquran yang membenarkannya,” katanya.
“Jadi tidak ada yang bertentangan. Jika kita membela Pancasila, artinya kita sedang membela Islam. Dengan panduan negara ini kita bisa hidup bersama dengan tetap menghargai perbedaan, hidup tenang silih asah silih asih silih asuh. Kita akan tenang jika kita memperlakukan sesama manusia secara adil dan beradab. Sikap itulah yang diajarkan Pancasila dan Alquran,” sambungnya.
Tindakan mengkafirkan orang lain karena berbeda agama atau paham justru bertentangan dengan agama itu sendiri. “Tugas anggota MPR adalah memastikan bahwa sikap saling menghargai ini menjadi modal negara untuk terus membangun dirinya menuju kemajuan,” pungkasnya.
Acara sosialisasi ini dihadiri oleh aparat pemerintah setempat, tokoh masyarakat dan sekitar 160 orang dari masyarakat umum.
Sumber: Satu Islam