KH Jalaluddin Rakhmat
Ketua Dewan Syura IJABI
Ketua Dewan Syura IJABI
"Memaafkan adalah solusi, sedangkan memupuk dendam adalah delusi. Memaafkan membawa Anda kepada kebahagiaan. Tidak memaafkan menarik Anda kepada kegilaan. Dalam bahasa tasawuf, memaafkan menyucikan dan mencerahkan; melepaskan dendam yang mencemari dan menggelapkan." (majulah-IJABI)
“Ya Allah, bila ada seorang hamba menyerangku, padahal Engkau larang; atau merampas hakku, padahal Engkau cegah; dan ia sudah mati dengan kezalimannya kepadaku, atau aku dapat mengadukannya ketika ia hidup; ampunilah dia atas apa yang dilakukannya padaku; maafkanlah dia atas pengkhianatannya padaku. Jangan Kau periksa dia karena apa yang dikerjakannya padaku; jangan bukakan keburukan dia karena perlakuannya padaku. Jadikan semua maaf yang aku berikan kepadanya dan semua sedekah yang aku sumbangkan kepadanya, sedekah yang paling suci dari orang-orang yang bersedekah dan hadiah yang paling agung dari orang-orang yang mendekatkan diri pada-Mu. Gantilah maafku kepada mereka dengan ampunan-Mu. Gantilah doaku untuk mereka dengan rahmat-Mu sehingga kami semua bahagia dengan karunia-Mu dan semuanya selamat dengan pemberian-Mu.”
Doa ini–yang diberi nama “Doa Memohonkan Ampunan dan Kasih Allah”- disampaikan oleh Ali bin Husain, aka As-Sajjad, seorang manusia suci dari keluarga Nabi saw. Siapakah orang-orang yang ia doakan? Doa ini dilantunkan bagi para katib yang mencaci-maki, memfitnah, dan menghujat kakeknya, Ali bin Abi Thalib, di mimbar-mimbar Jumat.
Doa ini juga bagi orang-orang yang mengeroyok ayahnya di Karbala dan menumpahkan darah keluarga Nabi saw dan para pengikutnya, serta bagi para prajurit yang dengan kejam menyeretnya dan para perempuan dalam rangkaian rantai besi dari Karbala, Kufah, sampai ke Damaskus.
Pasca-Karbala, tahun 61 Hijriah, As-Sajjad diseret beserta keluarganya menempuh sahara panjang dalam keadaan terbelenggu. Perjalanan panjang itu ditempuh penuh penderitaan, kelaparan, dan kehausan. Tak jarang para penjaga mempermainkan mereka, memberikan cawan air lalu membuangnya.
Kira-kira lima tahun kemudian, Mukhtar Al-Tsaqafi memimpin gerakan rakyat untuk menggulingkan para tiran. Ia memburu pasukan yang dahulu terlibat dalam pembantaian Karbala.
Dalam kepanikan mencari perlindungan terdekat, salah seorang di antara mereka mengetuk pintu rumah As-Sajjad. Ia membuka pintu dan segera mengenalinya. Inilah orang yang dahulu menahan air darinya, menendang cawan air dari hadapannya.
Ia mempersilakannya masuk. Tidak seperti sikap mereka ketika ia meminta air minum karena kehausan yang mencekiknya, As-Sajjad melayaninya dengan baik. Orang itu tidak mengenali tuan rumah karena sorban menutup mukanya. Ia bertanya, “Siapakah engkau? Begitu baik melayaniku!”
Ali menjawab, “Lupakah engkau kepadaku.” Ia singkapkan lengan bajunya dan menampakkan bekas belenggu di pergelangan tangannya, “Akulah Ali bin Husain.”
Kekuatan Memaafkan
Saya ceritakan lagi kisah Ali As-Sajjad pada Lebaran tahun ini. Dalam tradisi kita, Lebaran adalah hari bermaaf-maafan, anak dengan orang tuanya, tetangga dengan tetangganya, pegawai dengan atasannya, rakyat dengan pemimpinnya, tak peduli agama, ras, atau golongan. Namun kali ini, Lebaran menjenguk kita setelah peristiwa politik yang mencerai-beraikan.
Belum pernah bangsa ini dicabik-cabik secara masif seperti pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Media sosial diramaikan dengan saling menghujat, saling mencemooh, dan saling memaki. Hati Ibu Pertiwi terkoyak-koyak dengan luka dalam yang ditorehkan para putranya.
Satu-satunya cara menjahit lagi luka itu adalah memaafkan. Memaafkan itu menyembuhkan. Apa yang akan terjadi kalau kita memaafkan?
Dr Fred Luskin, direktur Stanford Forgiveness Project, dengan menggunakan metode eksperimental meneliti dampak dari latihan memaafkan. Secara singkat, hasilnya adalahforgiveness improves physical and emotional well-being; memaafkan itu meningkatkan kesejahteraan fisik dan emosional.
Orang yang ikut latihan memaafkan lebih sehat secara fisik dan mental karena ia lebih bahagia. Penelitian mutakhir menunjukkan, orang pemaaf memiliki kesehatan yang lebih baik, mendapat dukungan sosial yang lebih kuat (artinya lebih banyak punya teman yang setia); lebih kecil kemungkinannya kecanduan miras atau merokok; lebih sedikit menderita depresi, stres, dan kecemasan; serta lebih kurang mengalami masalah dalam hubungan interpersonal.
Menurut Fincham, Hall, dan Beach, pasangan yang pemaaf menikmati kehidupan keluarga bahagia, berkomunikasi lebih baik, dan bergaul lebih mesra dan lebih empatis. Memaafkan juga mengurangi kekecewaan, kemarahan, dendam, dan pertengkaran dalam pernikahan.
Dr Dan Colbert, dalam buku bestseller-nya, Deadly Emotion, menceritakan seorang pasien cantik berusia tiga puluh tahunan yang semula didiagnosis rematik. Setelah dirawat oleh rematolog, penyakitnya makin parah. Ia menderita sakit di sekujur tubuhnya. Tidak lama kemudian, ia meninggal dalam keadaan yang mengenaskan.
Dr Colbert menyesal karena ia tidak memperhatikan keluhan pasiennya dalam anamnesis yang pertama. Perempuan itu meledakkan kemarahannya karena suaminya punya perempuan idaman lain. Keinginannya membalas dendam telah merusak seluruh sistem imunnya. Seharusnya, dokter tersebut memberikan resep yang mujarab, memaafkan!
“Keuntungan lain dari memaafkan, Anda bukan saja mengalami kedamaian dan kebahagiaan, tetapi juga peningkatan kemesraan dalam keluarga,” tutur Philip H Friedman dalam bukunyaThe Forgiveness Solution. Memaafkan adalah solusi, sedangkan memupuk dendam adalah delusi. Memaafkan membawa Anda kepada kebahagiaan. Tidak memaafkan menarik Anda kepada kegilaan. Dalam bahasa tasawuf, memaafkan menyucikan dan mencerahkan; melepaskan dendam yang mencemari dan menggelapkan.
Puasa sudah berlalu. Dalam puasa, diperintahkan Tuhan agar kalian menjadi orang-orang yang takwa. Tanda-tanda orang takwa adalah mengendalikan amarah, memaafkan orang, dan berbuat baik (Alquran 3:134).
Seorang budak bermaksud mencurahkan air untuk membantu Ali bin Husain berwudu. Tiba-tiba, cereknya jatuh dan melukai muka Ali. Darah mengalir. Budak itu secara spontan mengucapkan ayat, “Dan orang-orang yang mengendalikan amarahnya.”
As-Sajjad berkata, “Aku kendalikan marahku.”
Budak itu melanjutkan, “Dan memaafkan orang lain.”
Ia berkata, “Semoga Allah memaafkan kamu.”
Budak itu melanjutkan ayat takwa, “Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.”
Imam As-Sajjad berkata, “Aku merdekakan kamu karena Allah!”
*) Sumber: dimuat pertama di Sinar Harapan pada tanggal 25 Juli 2014
Doa ini–yang diberi nama “Doa Memohonkan Ampunan dan Kasih Allah”- disampaikan oleh Ali bin Husain, aka As-Sajjad, seorang manusia suci dari keluarga Nabi saw. Siapakah orang-orang yang ia doakan? Doa ini dilantunkan bagi para katib yang mencaci-maki, memfitnah, dan menghujat kakeknya, Ali bin Abi Thalib, di mimbar-mimbar Jumat.
Doa ini juga bagi orang-orang yang mengeroyok ayahnya di Karbala dan menumpahkan darah keluarga Nabi saw dan para pengikutnya, serta bagi para prajurit yang dengan kejam menyeretnya dan para perempuan dalam rangkaian rantai besi dari Karbala, Kufah, sampai ke Damaskus.
Pasca-Karbala, tahun 61 Hijriah, As-Sajjad diseret beserta keluarganya menempuh sahara panjang dalam keadaan terbelenggu. Perjalanan panjang itu ditempuh penuh penderitaan, kelaparan, dan kehausan. Tak jarang para penjaga mempermainkan mereka, memberikan cawan air lalu membuangnya.
Kira-kira lima tahun kemudian, Mukhtar Al-Tsaqafi memimpin gerakan rakyat untuk menggulingkan para tiran. Ia memburu pasukan yang dahulu terlibat dalam pembantaian Karbala.
Dalam kepanikan mencari perlindungan terdekat, salah seorang di antara mereka mengetuk pintu rumah As-Sajjad. Ia membuka pintu dan segera mengenalinya. Inilah orang yang dahulu menahan air darinya, menendang cawan air dari hadapannya.
Ia mempersilakannya masuk. Tidak seperti sikap mereka ketika ia meminta air minum karena kehausan yang mencekiknya, As-Sajjad melayaninya dengan baik. Orang itu tidak mengenali tuan rumah karena sorban menutup mukanya. Ia bertanya, “Siapakah engkau? Begitu baik melayaniku!”
Ali menjawab, “Lupakah engkau kepadaku.” Ia singkapkan lengan bajunya dan menampakkan bekas belenggu di pergelangan tangannya, “Akulah Ali bin Husain.”
Kekuatan Memaafkan
Saya ceritakan lagi kisah Ali As-Sajjad pada Lebaran tahun ini. Dalam tradisi kita, Lebaran adalah hari bermaaf-maafan, anak dengan orang tuanya, tetangga dengan tetangganya, pegawai dengan atasannya, rakyat dengan pemimpinnya, tak peduli agama, ras, atau golongan. Namun kali ini, Lebaran menjenguk kita setelah peristiwa politik yang mencerai-beraikan.
Belum pernah bangsa ini dicabik-cabik secara masif seperti pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Media sosial diramaikan dengan saling menghujat, saling mencemooh, dan saling memaki. Hati Ibu Pertiwi terkoyak-koyak dengan luka dalam yang ditorehkan para putranya.
Satu-satunya cara menjahit lagi luka itu adalah memaafkan. Memaafkan itu menyembuhkan. Apa yang akan terjadi kalau kita memaafkan?
Dr Fred Luskin, direktur Stanford Forgiveness Project, dengan menggunakan metode eksperimental meneliti dampak dari latihan memaafkan. Secara singkat, hasilnya adalahforgiveness improves physical and emotional well-being; memaafkan itu meningkatkan kesejahteraan fisik dan emosional.
Orang yang ikut latihan memaafkan lebih sehat secara fisik dan mental karena ia lebih bahagia. Penelitian mutakhir menunjukkan, orang pemaaf memiliki kesehatan yang lebih baik, mendapat dukungan sosial yang lebih kuat (artinya lebih banyak punya teman yang setia); lebih kecil kemungkinannya kecanduan miras atau merokok; lebih sedikit menderita depresi, stres, dan kecemasan; serta lebih kurang mengalami masalah dalam hubungan interpersonal.
Menurut Fincham, Hall, dan Beach, pasangan yang pemaaf menikmati kehidupan keluarga bahagia, berkomunikasi lebih baik, dan bergaul lebih mesra dan lebih empatis. Memaafkan juga mengurangi kekecewaan, kemarahan, dendam, dan pertengkaran dalam pernikahan.
Dr Dan Colbert, dalam buku bestseller-nya, Deadly Emotion, menceritakan seorang pasien cantik berusia tiga puluh tahunan yang semula didiagnosis rematik. Setelah dirawat oleh rematolog, penyakitnya makin parah. Ia menderita sakit di sekujur tubuhnya. Tidak lama kemudian, ia meninggal dalam keadaan yang mengenaskan.
Dr Colbert menyesal karena ia tidak memperhatikan keluhan pasiennya dalam anamnesis yang pertama. Perempuan itu meledakkan kemarahannya karena suaminya punya perempuan idaman lain. Keinginannya membalas dendam telah merusak seluruh sistem imunnya. Seharusnya, dokter tersebut memberikan resep yang mujarab, memaafkan!
“Keuntungan lain dari memaafkan, Anda bukan saja mengalami kedamaian dan kebahagiaan, tetapi juga peningkatan kemesraan dalam keluarga,” tutur Philip H Friedman dalam bukunyaThe Forgiveness Solution. Memaafkan adalah solusi, sedangkan memupuk dendam adalah delusi. Memaafkan membawa Anda kepada kebahagiaan. Tidak memaafkan menarik Anda kepada kegilaan. Dalam bahasa tasawuf, memaafkan menyucikan dan mencerahkan; melepaskan dendam yang mencemari dan menggelapkan.
Puasa sudah berlalu. Dalam puasa, diperintahkan Tuhan agar kalian menjadi orang-orang yang takwa. Tanda-tanda orang takwa adalah mengendalikan amarah, memaafkan orang, dan berbuat baik (Alquran 3:134).
Seorang budak bermaksud mencurahkan air untuk membantu Ali bin Husain berwudu. Tiba-tiba, cereknya jatuh dan melukai muka Ali. Darah mengalir. Budak itu secara spontan mengucapkan ayat, “Dan orang-orang yang mengendalikan amarahnya.”
As-Sajjad berkata, “Aku kendalikan marahku.”
Budak itu melanjutkan, “Dan memaafkan orang lain.”
Ia berkata, “Semoga Allah memaafkan kamu.”
Budak itu melanjutkan ayat takwa, “Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.”
Imam As-Sajjad berkata, “Aku merdekakan kamu karena Allah!”
*) Sumber: dimuat pertama di Sinar Harapan pada tanggal 25 Juli 2014