KH. Dr. Jalaluddin Rakhmat
Ketua Dewan Syura IJABI
Ketua Dewan Syura IJABI
The media is not your friend. The media is a weapon of the elite in the battle for your mind. They are not plucky truth-tellers but, for the most part, are enormously powerful corporations propagandizing us for their own interests and agendas. They do not challenge power; they are power, the voice of the powerful. The mass media is not trying to provide the public with factual information, but rather to gaslight and propagandize them into subservience and support for elite positions, most of which are against our own interests. (Noam Chomsky)
Baru sekitar seminggu yang lalu, saya dikejutkan oleh berita CNN Indonesia: “Serangan Kaum Sunni kepada Syiah di Irak tewaskan 30 orang.”
Jakarta, CNN Indonesia -- Lebih dari 30 peziarah Syiah tewas dan belasan lainnya terluka di kota Karbala di Irak. Para peziarah ini tewas dalam satu penyerbuan yang dilakukan kelompok ekstrimis Sunni di sebuah tempat suci utama pada hari suci Syiah Ashura, Selasa (10/9).
Terbiasa mengecek berita tentang Syiah, saya mencari teks Inggris untuk berita itu. Saya temukan dalam CNN edisi internasional, tidak ada kata serangan Sunni dalam Asyura 2019. Bandingkan judul dalam bahasa Indonesia dengan judul dalam bahasa Inggris: “Ashura stampede leaves at least 31 dead.” By Mohammad Tawfeeq, CNN. Di bawahnya ditulis:
(CNN) At least 31 people were killed and more than 100 wounded in a stampede in the Iraqi city of Karbala, as Shia Muslim worshipers commemorated Ashura on Tuesday, according to Iraq's health ministry.
Tiga belas orang meninggal dunia, bukan karena serangan Sunni, tetapi karena “stampede”, kepanikan yang tiba-tiba terjadi ketika orang berlarian dan berdesakan. BBC memberitakan bahwa para peziarah – pada berita CNN disebut “worshipers”, dan karena itu CNN Indonesia menerjemahkannya “penyembah”- turun ke jalan, berlarian dalam kerumunan manusia yang jumlahnya ribuan. Begini menurut BBC:
One of the rituals is known as the "Tuwairij run", which sees pilgrims run down streets leading to the Imam Hussein Mosque in commemoration of the run from the ancient village of Tuwairij to Karbala that was undertaken during the 7th Century battle by the cousins of Hussein's half-brother Abbas.
Tapi kok bisa tiba-tiba muncul serangan Sunni terhadap Syiah. Penjelasan sederhananya: Kreativitas reporter karena keterbatasan kemampuan bahasa Inggris (maaf!). Mungkin ia merujuk Google Translation. Di situ “stampede” artinya serbuan. Sang wartawan tidak mengerti mengapa ada serbuan. Dalam berita itu tidak ada cerita siapa yang menyerbu. Imajinasinya membuka pada benaknya cerita konflik Sunnah Syiah dan kisah kedatangan ISIS yang membunuhi orang Syiah. Jadilah judul yang “dahsyat” - Serangan Kaum Sunni kepada Syiah.
Ada penjelasan yang lebih ilmiah. Tahun 1988, Edward Herman dan Noam Chomsky menulis MANUFACTURING CONSENT, menciptakan atau merekayasa kesepakatan. Desain cover meletakkan T di atas “CONSENT”, sehingga kita membacanya MANUFACTURING CONTENT, menciptakan atau merekayasa isi atau pesan. Dalam buku itu mereka membongkar rahasia di balik pemberitaan. Semua berita harus digoreng melalui proses filtering untuk membangun narasi sesuai dengan kepentingan elit yang berkuasa -elit politik dan elit finansial. Mereka menyebutnya “propaganda model”. Dengan model ini, kita melihat “the media serve, and propagandize on behalf of, the powerful societal interests that control and finance them.”
Untuk menandai 31 tahun buku Herman dan Chomsky ini, Alan Macleod, baru-baru ini menerbitkan buku Propaganda in the Information Age. Dalam periode tiga dasawarsa, teori Chomsky masih berlaku:
Ada penjelasan yang lebih ilmiah. Tahun 1988, Edward Herman dan Noam Chomsky menulis MANUFACTURING CONSENT, menciptakan atau merekayasa kesepakatan. Desain cover meletakkan T di atas “CONSENT”, sehingga kita membacanya MANUFACTURING CONTENT, menciptakan atau merekayasa isi atau pesan. Dalam buku itu mereka membongkar rahasia di balik pemberitaan. Semua berita harus digoreng melalui proses filtering untuk membangun narasi sesuai dengan kepentingan elit yang berkuasa -elit politik dan elit finansial. Mereka menyebutnya “propaganda model”. Dengan model ini, kita melihat “the media serve, and propagandize on behalf of, the powerful societal interests that control and finance them.”
Untuk menandai 31 tahun buku Herman dan Chomsky ini, Alan Macleod, baru-baru ini menerbitkan buku Propaganda in the Information Age. Dalam periode tiga dasawarsa, teori Chomsky masih berlaku:
The media is not your friend. The media is a weapon of the elite in the battle for your mind. They are not plucky truth-tellers but, for the most part, are enormously powerful corporations propagandizing us for their own interests and agendas. They do not challenge power; they are power, the voice of the powerful. The mass media is not trying to provide the public with factual information, but rather to gaslight and propagandize them into subservience and support for elite positions, most of which are against our own interests.
Dalam berbagai kisah berita, mereka mengikuti “pakem” yang dirancang oleh para elit itu. Korban pertama dari pembohongan publik ini adalah orang-orang yang tidak berkuasa (sekaligus tertindas), dalam hal ini, minoritas. Kaum elit telah membangun buat mereka kisah-kisah yang menyudutkan mereka. “Mata mereka dicungkil dan sesudah itu mereka diejek karena kebutaannya” kata John Milton yang dikutip Chomsky di awal bukunya.
Media bukan menjadi “watchdog” yang terhormat. Media menjadi budak kepentingan mayoritas. Minoritas diceritakan seperti yang dikendaki (dan dipersepsi) oleh mayoritas. Ada Syiah yang diceritakan oleh mayoritas Sunni dan ada Syiah seperti yang diketahui dan diamalkan orang Syiah sendiri. Kata “Syiah” bisa diganti oleh kelompok minoritas lainnya: agama-agama lain selain Islam, Ahmadiah, Penghayat, Gafatar, dan sebagainya.
Dalam berita CNN di atas, orang Syiah melakukan ziarah ke makam Imam Husain. CNN-Indonesia menyebutnya penyembah mengunjungi kuil. Kecelakaan karena terinjak-injak disebut sebagai serbuan Sunni atas Syiah. Semua ini adalah bagian dari upaya untuk menjadikan Syiah dan kelompok kelompok minoritas sebagai lian. Mereka membangun cerita dengan merujuk imajinasi, sumber yang tidak ada batasnya. Inilah proses “mediated othering”
Apa yang dikehendaki dari rekayasa content ini? Consent, opini publik. Kesepakatan orang yang diyakini sebagai satu-satunya kebenaran. Khusus untuk kasus Syiah, Syiah digambarkan antara lain sebagai berikut: Syiah mencaci sahabat Nabi saw, Syiah mengkafirkan orang yang tidak percaya kepada 12 Imam, Syiah menghalalkan darah Sunni, Syiah mempunyai Al-Quran palsu, Syiah agama yang diciptakan oleh Yahudi, Syiah menuhankan Ali, orang-orang Syiah menyembah kuburan, orang Syiah itu anak zinah (mut’ah).
Kaum minoritas lain menderita nasib yang sama. Mereka dicitrakan sebagai makhluk yang mereka sendiri tidak kenal. Penghayat menurut para penghayat sangat berbeda dengan penghayat menurut gambaran dan keyakinan pemeluk agama mayoritas. Bahwa Salib adalah tempat yang dihuni jin atau setan tidak dikenal di kalangan umat Kristiani. Bahwa buku-buku sekolah tentang agama Hindu asing bagi pemeluk Hindu sendiri. Bahwa penghayat menyembah batu dan pohon sama sekali bukan kpercayaan para penghayat. Dan seterusnya.
Gambaran minoritas seperti ini disebarkan oleh media -yang di belakangnya adalah kepentingan elit politik dan elit finasial. Penyebaran ini makin mengokohkan opini publik, karena media seakan-akan mewakili pandangan mayoritas. Minoritas memilih diam daripada membantahnya. Terjadilah apa yang disebut oleh Elizabeth Noelle-Neumann sebagai “Die Schweige Spiralle”, Lingkaran kebisuan. Suara yang sedikit itu makin lama makin parau dan akhirnya hilang. Tidak ada lagi suara alternatif. Terbentuklah consent, menurut Herman dan Chomsky. Terjadilah delusi, menurutku.
Jadi delusi menular karena misrepresentasi media. “Such media representations may serve to reinforce the power of vested interests and exacerbate social exlusion by excluding critical or marginalised voices, which usually belong to the category of “others” (Cf. Van den Bulck & Van Poecke 1996:159; Branston dan Stafford 2003).
Karl Jaspers, filusuf existensialis yang memasukkan fenomenologi ke dalam psikiatri, menyebut tiga penanda delusi (seperti yang teridentifikasi pada penderita Skzofrenia): (1) keyakinan subyektif (subjektive Gewißheit); (2) Ketidak-mungkinan dikoreksi (Unkorrigierbarkeit); dan ketidakmungkinan terjadi (Unmöglichkeit des Inhalts).
Sebagai contoh, opini publik yakin benar bahwa Syiah punya al-Quran sendiri (keyakinan subyektif). Kita tunjukkan Al-Quran yang dibaca dan diyakini orang Syiah; yang tidak berbeda dengan Al-Quran Sunni. Mereka berkata: Itu Al-Quran taqiyyah (tidak bisa dikoreksi) dan tidak mungkin Al-Quran punya edisi lain selain yang satu itu (Ketidak-mungkinan).
Mengembangkan “minority-sensitive media”
Media tidak dapat mengubah delusi yang sudah terjadi. Tapi media bisa menghambat atau mencegah delusi yang akan terjadi. Harus ada upaya koletif untuk menanamkan media awareness pada masyarakat di setiap tingkat. Media dan awak media khususnya punya tanggung-jawab ethis untuk mencegah delusi, alih-alih memperparahnya. Media berperan besar dalam menghentikan perkembangan delusi, ke stigmatisasi, diskriminasi, kriminalisasi, dan akhirnya persekusi.
Berkaitan dengan masalah minoritas, hukum HAM internasional berusaha untuk mencapai empat tujuan utama: (i) menjaga kelangsungan dan keberadaan minoritas, (ii) memajukan dan melindungi identitas; (iii) menjamin kesetaraan dan nondiskriminasi terhadap kelompok minoritas; (iv) mendorong partisipasi efektif dan berarti dari kelompok-kelompok minoritas dalam public affairs (United Nations 2010:7-13).
Perlindungan terhadap kelompok minoritas ini telah dituangkan dalam berbagai perjanjian dan traktat internasional, antara lain: the 2001 Durban Declaration, the 2003 UNESCO Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage, the UNESCO Convention on the Protection of the Diversity of Cultural Expression, dan lain-lain.
Disamping berbagai perjanjian internasional, UNESCO membuat program-program untuk melakukan pembaharuan media, menerapkan minority-sensitive editorial guidelines, seperti yang dikampanyekan oleh organisasi the Minority Rights Group International – suatu LSM yang bekerja untuk melindungi hak-hak minoritas etnis, agama, dan linguistik serta suku-suku bangsa indigenous di seluruh dunia dan memajukan kerjasama dan pengertian di antara berbagai komunitas
Dalam kerangka program Unesco, Fackson Benda mengusulkan Minority Media as Intercultural Dialogue: A Communicative Praxis. Kita harus mendekati media yang sensitif dengan minoritas sebagai dialog interkultural. Dalam pendekatan ini ada tiga peran utama komunikatif normatif: (i) memfasilitasi interaksi kultural, jurnalistik hendaknya mengingatkan bahwa budaya mayoritas adah hasil interaksi, saling meminjam, saling mengambil di antara berbagai unsur budaya yang berbeda; (ii) membuka topeng stereotip kultural dan intoleransi, wacana minoritas harus membuka kedok stereotip yang memisahkan antara budaya dominan dengan budaya lian, yang aneh, yang menjadi penyebab intoleransi (iii) dan membangun naratif bersama, yakni melakukan dialog interkultural untuk menyamakan dan memperdebatkan memori kolektif kita.
Bahaya Delusi
Pembicaraan saya makin abstrak. Saya kembali lagi ke “laptop”.
Asam di gunung garam di laut bertemu dalam satu belanga. Joshua, lahir sebagai Muslim di Taiping, Perak Malaysia, dan Ruth, lahir sebagai Kristen di Nambiki, Sumatera, Indonesia, bertemu dalam belanga penculikan. Pada 10 Maret 2004, Joshua masuk Nasrani. Mereka menikah sebagai umat Kristiani di Ipoh, Perak. Pernikahannya tidak dianggap sah di Kerajaan Malaysia.
Kira-kira pada akhir November 2016, menurut tamu yang tidak disebutkan namanya, keduanya meninggalkan rumah. Konon sebelumnya tamu itu mendengar Joshua bertengkar dengan seseorang di telepon. Kemudian, Joshua dan Ruth meninggalkan rumah dan sudah tiga tahun berselang, keduanya tak pernah kembali. Mereka telah dilaporkan hilang ke Klang Police Station tahun 2017 dan the Petaling Jaya Police Station tahun 2018. Tidak jelas apakah hilangnya kedua orang itu -menyangkut orang Indonesia- diselidik oleh polis kerajaan Malaysia. Ada informasi bahwa pada tahun 2015, Joshua konon membaptis suami-istri Muslim menjadi Kristen. Dengan lima orang anak, satu pasutri ini melarikan diri ke Australia. Mereka berlindung di rumah Joshua sebelum melarikan diri. Ada pun halnya Joshua dan Ruth sekarang ini, hanya Allah yang tahu dan … penculik yang bersangkutan.
Bersamaan dengan hilangnya pasutri Kristen, pada malam 24 November 2016, Amri Che Mat, seorang pegiat sosial, yang banyak membantu orang miskin, melalui Yayasan Perlis Hope, menguap (bukan karena mengantuk tetapi maknanya menghilang menjadi uap) di Kangar, Perlis. Menurut pengawas perbatasan Malaysia-Thailand, mobil Amri ditinggalkan di tempat mencurigakan tiga hari sebelum penculikan. Walaupun peristiwa ini sudah dilaporkan ke polisi, tidak ada kelanjutan kabar dari polisi tentang hilangnya Amri.
Ada yang menengarai bahwa lenyapnya Amri bukan karena kegiatan sosial tapi karena dakwahnya yang dicurigai sebagai Syiah. Pada 8 Maret 2014 polisi menemukan Amri di tengah-tengah acara Syiah di Ijok, Perak. Amri bersama 114 orang peserta acara termasuk anak-anak dan bayi dimasukkan ke ruang tahanan. Pada 21 Oktober 2015, rumah Amri digeledah oleh perwira polisi dan tokoh agama karena menyelenggarakan acara Syiah di rumahnya. Mufti Perlis, Dr Mohd Asri Zainal Abidin memimpin penggeledahan. Pada 7 Oktober 2016, ada rapat gelap (closed-door peresentation) antara the Malaysian Police Special Branch dengan the Perlis Mufti dan tokoh-tokoh agama dari negara-negara bagian lainnya.
Menurut laporan SUHAKAM,
Media bukan menjadi “watchdog” yang terhormat. Media menjadi budak kepentingan mayoritas. Minoritas diceritakan seperti yang dikendaki (dan dipersepsi) oleh mayoritas. Ada Syiah yang diceritakan oleh mayoritas Sunni dan ada Syiah seperti yang diketahui dan diamalkan orang Syiah sendiri. Kata “Syiah” bisa diganti oleh kelompok minoritas lainnya: agama-agama lain selain Islam, Ahmadiah, Penghayat, Gafatar, dan sebagainya.
Dalam berita CNN di atas, orang Syiah melakukan ziarah ke makam Imam Husain. CNN-Indonesia menyebutnya penyembah mengunjungi kuil. Kecelakaan karena terinjak-injak disebut sebagai serbuan Sunni atas Syiah. Semua ini adalah bagian dari upaya untuk menjadikan Syiah dan kelompok kelompok minoritas sebagai lian. Mereka membangun cerita dengan merujuk imajinasi, sumber yang tidak ada batasnya. Inilah proses “mediated othering”
Apa yang dikehendaki dari rekayasa content ini? Consent, opini publik. Kesepakatan orang yang diyakini sebagai satu-satunya kebenaran. Khusus untuk kasus Syiah, Syiah digambarkan antara lain sebagai berikut: Syiah mencaci sahabat Nabi saw, Syiah mengkafirkan orang yang tidak percaya kepada 12 Imam, Syiah menghalalkan darah Sunni, Syiah mempunyai Al-Quran palsu, Syiah agama yang diciptakan oleh Yahudi, Syiah menuhankan Ali, orang-orang Syiah menyembah kuburan, orang Syiah itu anak zinah (mut’ah).
Kaum minoritas lain menderita nasib yang sama. Mereka dicitrakan sebagai makhluk yang mereka sendiri tidak kenal. Penghayat menurut para penghayat sangat berbeda dengan penghayat menurut gambaran dan keyakinan pemeluk agama mayoritas. Bahwa Salib adalah tempat yang dihuni jin atau setan tidak dikenal di kalangan umat Kristiani. Bahwa buku-buku sekolah tentang agama Hindu asing bagi pemeluk Hindu sendiri. Bahwa penghayat menyembah batu dan pohon sama sekali bukan kpercayaan para penghayat. Dan seterusnya.
Gambaran minoritas seperti ini disebarkan oleh media -yang di belakangnya adalah kepentingan elit politik dan elit finasial. Penyebaran ini makin mengokohkan opini publik, karena media seakan-akan mewakili pandangan mayoritas. Minoritas memilih diam daripada membantahnya. Terjadilah apa yang disebut oleh Elizabeth Noelle-Neumann sebagai “Die Schweige Spiralle”, Lingkaran kebisuan. Suara yang sedikit itu makin lama makin parau dan akhirnya hilang. Tidak ada lagi suara alternatif. Terbentuklah consent, menurut Herman dan Chomsky. Terjadilah delusi, menurutku.
Jadi delusi menular karena misrepresentasi media. “Such media representations may serve to reinforce the power of vested interests and exacerbate social exlusion by excluding critical or marginalised voices, which usually belong to the category of “others” (Cf. Van den Bulck & Van Poecke 1996:159; Branston dan Stafford 2003).
Karl Jaspers, filusuf existensialis yang memasukkan fenomenologi ke dalam psikiatri, menyebut tiga penanda delusi (seperti yang teridentifikasi pada penderita Skzofrenia): (1) keyakinan subyektif (subjektive Gewißheit); (2) Ketidak-mungkinan dikoreksi (Unkorrigierbarkeit); dan ketidakmungkinan terjadi (Unmöglichkeit des Inhalts).
Sebagai contoh, opini publik yakin benar bahwa Syiah punya al-Quran sendiri (keyakinan subyektif). Kita tunjukkan Al-Quran yang dibaca dan diyakini orang Syiah; yang tidak berbeda dengan Al-Quran Sunni. Mereka berkata: Itu Al-Quran taqiyyah (tidak bisa dikoreksi) dan tidak mungkin Al-Quran punya edisi lain selain yang satu itu (Ketidak-mungkinan).
Mengembangkan “minority-sensitive media”
Media tidak dapat mengubah delusi yang sudah terjadi. Tapi media bisa menghambat atau mencegah delusi yang akan terjadi. Harus ada upaya koletif untuk menanamkan media awareness pada masyarakat di setiap tingkat. Media dan awak media khususnya punya tanggung-jawab ethis untuk mencegah delusi, alih-alih memperparahnya. Media berperan besar dalam menghentikan perkembangan delusi, ke stigmatisasi, diskriminasi, kriminalisasi, dan akhirnya persekusi.
Berkaitan dengan masalah minoritas, hukum HAM internasional berusaha untuk mencapai empat tujuan utama: (i) menjaga kelangsungan dan keberadaan minoritas, (ii) memajukan dan melindungi identitas; (iii) menjamin kesetaraan dan nondiskriminasi terhadap kelompok minoritas; (iv) mendorong partisipasi efektif dan berarti dari kelompok-kelompok minoritas dalam public affairs (United Nations 2010:7-13).
Perlindungan terhadap kelompok minoritas ini telah dituangkan dalam berbagai perjanjian dan traktat internasional, antara lain: the 2001 Durban Declaration, the 2003 UNESCO Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage, the UNESCO Convention on the Protection of the Diversity of Cultural Expression, dan lain-lain.
Disamping berbagai perjanjian internasional, UNESCO membuat program-program untuk melakukan pembaharuan media, menerapkan minority-sensitive editorial guidelines, seperti yang dikampanyekan oleh organisasi the Minority Rights Group International – suatu LSM yang bekerja untuk melindungi hak-hak minoritas etnis, agama, dan linguistik serta suku-suku bangsa indigenous di seluruh dunia dan memajukan kerjasama dan pengertian di antara berbagai komunitas
Dalam kerangka program Unesco, Fackson Benda mengusulkan Minority Media as Intercultural Dialogue: A Communicative Praxis. Kita harus mendekati media yang sensitif dengan minoritas sebagai dialog interkultural. Dalam pendekatan ini ada tiga peran utama komunikatif normatif: (i) memfasilitasi interaksi kultural, jurnalistik hendaknya mengingatkan bahwa budaya mayoritas adah hasil interaksi, saling meminjam, saling mengambil di antara berbagai unsur budaya yang berbeda; (ii) membuka topeng stereotip kultural dan intoleransi, wacana minoritas harus membuka kedok stereotip yang memisahkan antara budaya dominan dengan budaya lian, yang aneh, yang menjadi penyebab intoleransi (iii) dan membangun naratif bersama, yakni melakukan dialog interkultural untuk menyamakan dan memperdebatkan memori kolektif kita.
Bahaya Delusi
Pembicaraan saya makin abstrak. Saya kembali lagi ke “laptop”.
Asam di gunung garam di laut bertemu dalam satu belanga. Joshua, lahir sebagai Muslim di Taiping, Perak Malaysia, dan Ruth, lahir sebagai Kristen di Nambiki, Sumatera, Indonesia, bertemu dalam belanga penculikan. Pada 10 Maret 2004, Joshua masuk Nasrani. Mereka menikah sebagai umat Kristiani di Ipoh, Perak. Pernikahannya tidak dianggap sah di Kerajaan Malaysia.
Kira-kira pada akhir November 2016, menurut tamu yang tidak disebutkan namanya, keduanya meninggalkan rumah. Konon sebelumnya tamu itu mendengar Joshua bertengkar dengan seseorang di telepon. Kemudian, Joshua dan Ruth meninggalkan rumah dan sudah tiga tahun berselang, keduanya tak pernah kembali. Mereka telah dilaporkan hilang ke Klang Police Station tahun 2017 dan the Petaling Jaya Police Station tahun 2018. Tidak jelas apakah hilangnya kedua orang itu -menyangkut orang Indonesia- diselidik oleh polis kerajaan Malaysia. Ada informasi bahwa pada tahun 2015, Joshua konon membaptis suami-istri Muslim menjadi Kristen. Dengan lima orang anak, satu pasutri ini melarikan diri ke Australia. Mereka berlindung di rumah Joshua sebelum melarikan diri. Ada pun halnya Joshua dan Ruth sekarang ini, hanya Allah yang tahu dan … penculik yang bersangkutan.
Bersamaan dengan hilangnya pasutri Kristen, pada malam 24 November 2016, Amri Che Mat, seorang pegiat sosial, yang banyak membantu orang miskin, melalui Yayasan Perlis Hope, menguap (bukan karena mengantuk tetapi maknanya menghilang menjadi uap) di Kangar, Perlis. Menurut pengawas perbatasan Malaysia-Thailand, mobil Amri ditinggalkan di tempat mencurigakan tiga hari sebelum penculikan. Walaupun peristiwa ini sudah dilaporkan ke polisi, tidak ada kelanjutan kabar dari polisi tentang hilangnya Amri.
Ada yang menengarai bahwa lenyapnya Amri bukan karena kegiatan sosial tapi karena dakwahnya yang dicurigai sebagai Syiah. Pada 8 Maret 2014 polisi menemukan Amri di tengah-tengah acara Syiah di Ijok, Perak. Amri bersama 114 orang peserta acara termasuk anak-anak dan bayi dimasukkan ke ruang tahanan. Pada 21 Oktober 2015, rumah Amri digeledah oleh perwira polisi dan tokoh agama karena menyelenggarakan acara Syiah di rumahnya. Mufti Perlis, Dr Mohd Asri Zainal Abidin memimpin penggeledahan. Pada 7 Oktober 2016, ada rapat gelap (closed-door peresentation) antara the Malaysian Police Special Branch dengan the Perlis Mufti dan tokoh-tokoh agama dari negara-negara bagian lainnya.
Menurut laporan SUHAKAM,
On 6 November 2016: Awaludin Jadid delivers a speech to university students, Muslim religious officials, Muslim NGOs and politicians about the different “threats” to Malaysia, including the “Shia enemy” and the Christian threat, which he claims are more dangerous than IS terrorism.
Menurut pengakuan polisi Special Branch kepada Norhayati, suaminya, yakni Amri dan Pastor Raymond (tidak saya ceritakan di sini) ditangkap oleh Special Branch berkaitan dengan alasan agama, “alleged religion related reasons”. Sudah tiga tahun mereka meninggalkan keluarganya dan orang-orang yang mencintainya tanpa ada kabar beritanya. Hanya Allah dan the Special Branch yang mengetahui keberadaannya.
Persekusi adalah mata rantai terakhir dari delusi. Mata rantai awal adalah penyebaran delusi yang didukung oleh media.
Jakarta, 19 September 2019
*) Disampaikan pada Diskusi Publik “Kuasa, Agama dan Lain-lain: Pemberitaan Agama Marjinal di Media”, Kamis 19 September 2019 di Aula Rujab DPR RI, Kalibata, yang dilaksanakan oleh Remotivi bekerjasama dengan PP IJABI
Persekusi adalah mata rantai terakhir dari delusi. Mata rantai awal adalah penyebaran delusi yang didukung oleh media.
Jakarta, 19 September 2019
*) Disampaikan pada Diskusi Publik “Kuasa, Agama dan Lain-lain: Pemberitaan Agama Marjinal di Media”, Kamis 19 September 2019 di Aula Rujab DPR RI, Kalibata, yang dilaksanakan oleh Remotivi bekerjasama dengan PP IJABI