Dedy Djamaluddin Malik
Pengaruh pemikiran Kang Jalal dalam dataran corak dan elit pemikiran Islam, berada pada corak “jalan tengah” (middle path) di antara “Islam liberal” (Islib) dengan “Islam literal” (Islit). Kelompok Islam liberal adalah mereka yang mengenyam pendidikan tinggi ilmu agama secara formal dan mengadaptasikan isu-isu Islam dengan kemoderenan melalui pemanfaatan metodologi ilmu-ilmu sosial Barat. Sementara kelompok Islam literal adalah mereka yang tidak memiliki latar belakang dan pendidikan agama keluarga dan “menemukan” Islam dalam “khalaqah-khalaqah” di kampus universitas.
Di tepi sebuah desa kampung Cibeduk, Cikole Lembang, Kabupaten Bandung. Tersebutlah Iroh (nama samaran), menikah dengan Ukar (juga bukan nama sebenarnya). Setelah berkeluarga, Iroh heran melihat suaminya tak pernah shalat dan puasa. Iroh penasaran bertanya, mengapa suaminya tak melaksanakan syariat Islam?. Suaminya menjawab jujur: “Saya bukan Islam. Saya penganut “agama Sunda”. “Mengapa tak memilih Islam sebagai agama”?, tanya dia kepada suami. “Islam itu rumit dan selalu bicara neraka”, jawab suami, singkat. Iroh kebetulan anak kyai asal Garut yang hijrah ke Lembang pada 1950-an karena dikejar-kejar DI-TII, tentu saja shock mendengar jawaban sang suami seperti itu.
Karena panggilan imannya, ia tinggalkan suami dan pulang ke rumah orangtua yang merupakan tokoh Islam yang disegani di desa itu. Berbulan Iroh tafakkur dalam kesendiriannya. Sesekali ia mendengarkan radio atau acara televisi. Dari hasil terpaannya dengan media itu, Iroh mendapat informasi ada tokoh partai Islam yang korupsi; banyak orang Islam yang berpoligami. Meski tak begitu jelas duduk perkaranya, Iroh juga mendengar orang sekampung membicarakan seorang “tokoh Islam”, telah mengambil tanah wilayat yang sudah turun-temurun dihuni komunityas setempat.
Satu hari. Iroh pamit kepada orangtua untuk kembali kepada suaminya. Bapak dan ibunya tak kuasa melepas Iroh. Hanya linangan air mata dan do’a yang mengantarkan Iroh kembali kepada suaminya. Setelah itu, hingga sekarang Iroh tak pernah pulang kembali kepada kedua orangtuanya. Motif apa yang mendorong Iroh kembali kepada suaminya?. Menurut penuturan salah seorang informan, Iroh berontak terhadap praktik orang-orang Islam dalam beragama. Suaminya memang, tak pernah shalat dan puasa, tapi memperlakukannya dengan penuh kasih sayang. Tak ada perilaku suami yang menyakitkan hatinya. Pergaulan suaminya dengan tetangga, penuh damai dan toleransi. Iroh pun hidup bahagia bersama suaminya. Karena “akhlak”suaminya itu, Iroh akhirnya menanggalkan keyakinan Islamnya. Ia ikut suaminya menganut agama Sunda aliran “perjalanan”, besutan Mei Kartawinata.
Belakangan ini, begitu banyak Iroh lain yang melakukan konversi dari Islam ke ajaran nenek moyang. Doktrin agama para leluhur itu sederhana. Aliran “perjalanan” misalnya, memiliki ajaran “Mapipitu” yaitu tujuh pantangan agar orang bisa dianggap baik: maen, maling, madon, madat, minum, mateni (membunuh), margoni (menindas). Proses Islamisasi yang dimulai sejak 1950-an oleh para kyai dan ustadz asal Tasik dan Garut yang hijrah ke Lembang, ternyata tidak seluruhnya berhasil. Salah satu ketidakberhasilan itu, menurut informan, karena dakwah mereka dianggap kaku dengn titik berat fiqh dan “syariat” dalam artian yang sempit.
Setelah era Soeharto berakhir, di banyak tempat, termasuk Lembang, terjadi kebangkitan agama-agama pribumi di Indonesia. Di Bandung, pernah terselenggara konperensi agama-agama “kebatinan” se-Indonesia. Ratusan tokoh hadir yang mewakili propinsi, kota dan kabupaten di seluruh Indonesia. Salah satu alasan mereka berkumpul ialah, sudah terlalu lama mereka didominasi agama ekspor Budha, Hindu, Krisiten dan Islam. Mereka ingin menunjukkan bahwa masyarakat lokal punya kearifannya sendiri-sendiri dalam mengarungi kehidupan dunia ini.
Lalu, apa relevansi cerita di atas dengan kontribusi pemikiran Islam Kang Jalal?. Ditilik dari sudut strategi dakwah, pilihan Kang Jalal untuk menyebarluaskan Islam dengan titik berat mendahulukan akhlak di atas fiqh, mengajarkan pluralisme dalam Islam, intelektualisme islam lewat filsafat (irfan) atau urban sufi dan pembentukan masyarakat Islam madani, adalah isu-isu yang tepat untuk ditonjolkan di era sekarang karena pasarnya terbuka lebar. Kemampuannya menggabungkan khasanah Islam klasik dengan ilmu-ilmu sosial kontemporer dalam berdakwah merupakan sosok ideal yang dibutuhkan umat dewasa ini.
Dampak terhadap Umat Islam Indonesia
Diawali di pertengahan 1980-an, sepulang dari Iowa Kang Jalal, selain menjadi ilmuwan komunikasi, ia pun sering diundang ceramah di Salman ITB berkat dorongan Bang Imad yang pernah sama-sama “nyantri” di Amerika. Bang Imad tertarik dengan pemikiran anak muda Jalal dalam diskusi-diskusi terbatas yang dipimpin Bang Imad sendiri. Materi diskusi yang pernah disampaikan Jalal kemudian sempat dibukukan yang bertajuk “Khotbah-Khotbah di Amerika”. Selain ceramah di Salman, ia pun diminta mengajar mata kuliah agama di ITB. Penetrasi pemikiran Kang Jalal agaknya cepat merembes dan “mensubversi” anak-anak muda Islam di ITB dan Salman, termasuk Unpad dan menyebar ke berbagai pelosok kampua di seluruh nusantara. Lahirlah kelompok Jalal yang punya corak pemikiran “Islam alternatif” yang membedakannya dengan kelompok Cak Nur, yang waktu itu tengah menjadi “mainstreram” modernisme Islam di kalangan muda terdidik Islam.
Sehabis pulang dari konperensi Islam di Kolombo, Kang Jalal semakin rajin memperkenalkan para pemikir Syiah yang, dari sudut politik para pemikir Iran itu, mampu mengembalikan kepercayaan umat akan kemampuan umat Islam yang selama ini “terpinggirkan” dalam percarturan politik nasional dan global. Bukan hanya Jalal, Amien Rais getol juga memperkenalkan pemikiran seperti Ali Shariati. Amien rais pun segera dituduh Syi’ah dan kang Jalal sempat menjadi terdakwa di sidang MUI Kota Bandung sehingga ia dilarang ceramah di berbagai masjid di Bandung. Upaya membendung Jalal seperti sia-sia. Pertama, tertutupnya peluang ceramah Islam di berbagai tempat, membuat blessing in disguise (hikmah terselubung), banyaknya waktu berdakwah lewat tulisan. Terbitnya Islam Aktual, Islam Alternatif dan Dahulukan Akhlak Di atas Fiqh misalnya, telah membawa popularitas Jalal sebagai pemikir Islam di level nasional maupun internasional.
Kedua, corak pemikiran Kang Jalal ditunjang juga oleh penerbitan, terutama Mizan, pimpinan Haidar Bagir yang hampir sejalan dengan Jalal dalam usaha memperkenalkan pemikiran Syiah yang kaya intelektualisme dan filsafat Islam yang kurang berkembang di kalangan Sunni. Mazhab Jalalian hampir serupa dengan mazhab Mizanian. Dasar-dasar komunitas atau kelompok Jalal mulai semakin terbentuk. Apalagi Kang Jalal membuka pengajian khusus di rumahnya bagi para pengikut yang semakin tertarik dengan corak keislamanan kang Jalal. Berikutnya, Kang Jalal mendirikan masjid al-Munawwarah di dekat rumahnya, tempat semakin berseminya para pengikut Kang Jalal dalam mencari corak Islam yang berbeda dengan mainstream Islam yang ada selama ini.
Ketiga, sikap pluralis Islam yang dimiliki Cak Nur maupun Gus Dur telah membuka jalan bagi Jalal untuk mengeskpresikan gagasan-gagasan keislamanannya di level nasional. Dengan diberinya tempat di diskusi kajian Islam Paramadina, Kang Jalal mampu menunjukkan perpektif islam yang lain selain perspektif Cak Nur dan para pemikir islam lainnya waktu itu. Di dalam berbagai diskusi itu, Kang Jalal mampu semakin mempertegas mazhab pemikiran yang punya corak yang berbeda.
Dalam soal modernisasi misalnya, Cak Nur dan Gus Dur condong ke arah penyesuaian islam terhadap arus modernisasi. Sementara Kang Jalal dan Amien Rais kritis terhadap modernisasi. Bahkan Amien Rais menyamakan modernisasi sebagai westernisasi. Dalam konteks Islam dan demokrasi misalnya, Cak Nur menunjukkan syura (musyawarah) sebagai pilar Islam dalam demokrasi. Berbeda dengan Kang Jalal, ternyata studi historis menunjukkan bahwa cara memilih pemimpin Islam zaman Khulafaurrasyidin punya corak yang tak seragam: ada pola “musyawarah” zaman Abu Bakar, ada cara penunjukkan zaman Umar, cara ahwa dan Utsman dan cara pedang.
Kontribusi Gus Dur terhadap Kang Jalal ialah memberi ruang bagi terbentuknya IJABI. “Restu” Gus Dur yang kala itu sebagai Presiden RI, bukan hanya ia seorang pluralis tapi juga melihat NU sebagai “syiah kultural” yang selama ini sudah lama mempraktikkan tradisi-tradisi Syi’ah seperti misalnya, “marhabaan” dan ziarah kubur. Kedekatan dengan Gus Dur terutama ketika cucu kyai Hasyim Asy’ari itu, sering memanfaatkan Kang Jalal sebagai wakil Indonesia dalam kunjungannya ke Iran. Di kalangan tokoh NU Jawa Barat, Kang Jalal cukup dekat dengan KH Totoh Abdul Fatah dan Kyai kondang Totoh Ghazali. Tulisan-tulisan Kang Jalal tentang penghormatan terhadap ulama, ziarah kubur dan marhabaan, dan tasauf pada umumnya, menunjukkan afinitas teologi NU dengan ahl bait.
“Perang Dingin” Sunni-Syi’ah
Gause III (2014) memotret Timur Tengah sekarang dalam kondisi “perang dingin baru” (new cold war). Perang dingin terjadi antara Arab Saudi dan Iran. Musim semi Arab (the Arab spring) sedikit banyak dipengaruhi oleh insprisasi revolusi Iran terhadap rezim-rezim otoriter yang ada di Timur Tengah sekarang. Maka tak heran bila Saudi “kebakaran jenggot”. Sejak pertengahan 2000-an berbagai media Arab, banyak mengangkat isu “al-Madd ash-Shi’i”(ekspansi syi’ah), “Shi’i Wave”, atau “Shi’i Danger”. Pimpinan syi’ah, Hassan Nasrullah dijuluki sebagai “a son of Satan. Orang-orang sunni yang mendukung kelompok Hizbullah difatwakan ulama sunni Abdullah bin Jibriin sebagai sebuah “dosa”(Alloul, 2011:1).
Sikap khawatir Saudi terhadap Iran, lebih khusus lagi “madzhab syi’ah”, mempengartuhi kebijakan diplomasinya di Indonesia. Banyak kelompok dan institusi dakwah di Indonesia yang berafiliasi ke saudi, dijadikan instrumen menangkal pengaruh ajaran syi’ah. Padahal, kata Gus Mus, sewaktu Iran dikuasai Reza Pahlevi, Saudi merupakan “sahabat dekat” Iran yang keduanya “dikendalikan” Amerika. Setelah revolusi Iran, dan bangkitnya para mullah berhasil melakukan revolusi, Arab Saudi berbalik memusuhi Iran, khawatir datangnya penetrasi revolusi model “syi’ah” ke negara-negara monarkhi itu. Jadi, inti persoalannya bukan “state vs state”, tapi perang sipil antara madzhab sunni dan syi’ah yang dilegitimasi negara.
Maka organisasi DDII adalah kelompok paling getol menangkal pengaruh syi’ah. Demikian juga sebagian kelompok kecil di NU, Muhammadiyah dan Persis yang tergabung di MUI pernah memfatwakan “syi’ah sesat”. Dalam sebuah seminar yang diprakarsai kelompok “Saudi”, dibuat kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut: (1) syi’ah menganggap Qur’an sekarang tidak lengkap; (2) mereka percaya taqiyyah; (3) shalat jumat tidak diwajibkan sebelum ada imam yang mengikat mereka; (4) syi’ah mengubah kalimat adzan dengan kata-kata, wa ashhadu anna Aliyyan waliyullah;( 5) syi’ah mempraktikkan kawin mut’ah; (6) syi’ah dianggap sebagai pengkhianat (betrayers), jahat dan teroris yang selalu menentang pemerintahan resmi yang dipimpin sunni. Seminar itu pun merekomendasikan agar: (1) pemerintah melarang penyebaran doktrin syi’ah di Indonesia karena berpotensi makar terhadap pemerintahan yang sah; (2) melarang penyebaran buku-buku syi’ah; (3) membubarkan institusi pendidikan dan organsdasi yang berafiliasi syi’ah.
Tugas mereka, membangun stigmatisasi bahwa syi’ah sesat, di luar ajaran Islam, membahayakan umat, meracuni anak-anak muda Islam. Sejumlah buku diterbitkan untuk mengkonter buku-buku syi’ah. Mereka bukan hanya mencela ajaran syi’ah tapi tokoh-tokoh syi’ah seperti Jalaluddin Rakhmat menjadi bulan-bulanan “kecaman” dan “hinaan”. Lihat misalnya, media sosial kita. Agaknya, di media sosial bukan lagi “perang dingin”, melainkan sudah menjadi “perang terbuka”(cyber war). “Piyungan online”, VOA Islam, dan lain-lain, bukan hanya “mengadili” sesatnya syi’ah, melainkan “menghujat” secara personal dengan kata-kata yang tak pantas dilontarkan para pendakwah. Isu yang diangkat, karena niatnya memojokkan, hanya masalah sepele fiqh bukan hal-hal substansial.
Dakwah demikian agaknya bisa efektif bagi internal “umat” mereka. Namun bagi kelompok muda Islam terpelajar yang butuh pencerahan, justru dakwah demikian menimbulkan sikap antipati. Lalu, orang pun penasaran atas berbagai doktrin syi’ah yang dihujat. Dari “kepenasaran” itu justru banyak di antara mereka menjadi simpati, mengapresiasi dan menyetujui berbagai pandangan syiah, terutama perspektif intelektual dan kedalaman filsafatnya, sambil tidak meninggalkan tradisi klasik Islam mereka. Inilah yang menjadi cikal-bakal para “pengikut” Jalal. Orang-orang Islam “abangan” yang terdidik, lalu menemukan jati dirinya dalam perspektif Islam Kang Jalal.
Di internal organisasi umat pun seperti sebagian kecil Muhammadiyah dan Persis non struktural ada lah pengikut Kang Jalal. Bila di Muhammadiyah dan Persis, kelompoknya bersifat “sempalan” yakni anak-anak terpelajar Muhammdiyah dan Persis di berbagai universitas, pada jamaah NU, pengaruh pemikiran dan aktivitas Islam Kang Jalal, relatif massif. Para pemimpin NU seperti Gus Dur dan kyai Said Agil Siradz mengakui Syi’ah sebagai bagian dari Islam. Bahkan Siradz pernah mengatakan: “Sunni ahl sunnah wal jama’ah. Shi’ah itu ahl sunnah wal a’dalah”. Anak-anak muda Islam kota yang orangtuanya tidak terafiliasi dengan basis-basis ormas Islam, agaknya merupakan “pasar potensial” berseminya pemikiran Islam Kang Jalal. Anak-anak muda islam itu, relatif tak mengalami “ketegangan teologis” sebagaimana yang pernah dialami anak-anak muda yang dibesarkan dalam keluarga Muhammadiyah, Persis dan NU.
Pengaruh pemikiran Kang Jalal dalam dataran corak dan elit pemikiran Islam, berada pada corak “jalan tengah” (middle path) di antara “Islam liberal” (Islib) dengan “Islam literal”(Islit). Kelompok Islam liberal adalah mereka yang mengenyam pendididkan tinggi ilmu agama secara formal dan mengadaptasikan isu-isu Islam dengan kemoderenan melalui pemanfaatkan metodologi ilmu-ilmu sosial Barat. Sementara kelompok Islam literal adalah mereka yang tidak memiliki latar belakang dan pendidikan agama keluarga dan “menemukan” Islam dalam “khalaqah-khalaqah” di kampus universitas. Rujukan teologi dan jurisprudensi (fiqh) mereka adalah para ulama timur tengah seperti Muhammad Abdul Wahhab, Hasan al-Banna, Abdullah bin Baz, dan Said Hawwa.
Pemikiran Islam Kang Jalal, ingin menggabungkan kekurangan dari Islib dan Islit dengan cara “mempertemukan ilmu-ilmu Islam tradisional dengan ilmu-ilmu modern”(Malik, 1997:155). Pertemuan kedua tradisi ini “jalan tengah” ini disebut orang sebagai “Islam alternatif” yakni: “related to the worldview, philosophical and religious standpoint of Shi’a tradition”(Latief, 2008:321). Kelompok Islat ini, agak sejalan dengan pernyataan Haidar Bagir saat menjelaskan posisi Mizan di antara kedua corak Islit dan Islib sbb:”suatu cara pandang yang ingin menampilkan penafsiran Islam secara rasional dan progresif sedemikian, sehingga terus bisa berdialog dan menjawab tantangan zaman, tetapi pada saat yang sama berupaya untuk secara “autentik” bersikap sesetia mungkin kepada sumber-sumber nilai Islam dan seapresiatif mungkin terhadap khazanah Islam klasik”.
Posisi Kang Jalal dan Institusionalisasi Ahl Bayt
Menurut salah seorang alumni Qum, Ahmad Barakbah, “tak kurang dari 40 organisasi yang terkait dengan Syi’ah di seluruh Indonesia”(Al-Kaff, 1998:67). Beberapa di antaranya: Mulla Sadra Foundation (Bogor), Pesantren al-Hadi (Pekalongan), al-Jawad Foundation (Jakarta), al-Muntazhar Foundation (Jakarta), Yayasan Pesantren Islam/YAPI(Bangil), Yayasan Fatimah (Jakarta), Yayasan al-Muhibbin (Probolinggo), dan beberapa yayasan yang berlokasi di Malang, Yogyakarta, Malang, Pontianak, Ujung Pandang, Samarinda dan Banjarmasin. Kebanyakan missi yayasan itu adalah:”mempraktikkan ajaran ahl bayt dalam kehidupan sehari-hari baik secara individual maupun komunal dan penyebarluaskannya kepada masyarakat”. Bulletin semacam Al-Jawad, Al-Ghadir dan An-Naba misalnya, banyak memuat masalah-masalah fiqh dan teologi ahl bayt yang frontal menyerang doktrin-doktrin Sunni.
Berbeda dengan Muthahhari, yayasan Kang Jalal ini pernah membuat bulletin Al-Tanwir yang berisi pemikiran Islam berkiblat syi’ah dan orientalisme Islam. Di Muthahhari pun diajarkan perbandingan lima mazhab. Maksud didirikan yayasan ini, bukan untuk mempropagandakan syi’ah, melainkan membangun jembatan dialog sunni-syi’ah yang sudah lama tak akur. Meski Muthahhari ahl bayt, tapi ia tokoh pluralis, terbuka dan mengajarkan kebaikan sebagai kebajikan universal dari agama apapun datangnya. Siapa saja yang berbuat baik, darimana pun agamanya akan dipertimbangkan Tuhan. Posisi kang Jalal lebih memilih dimensi intelektual daripada ritual. Tujuannya, memperkenalkan mazhab ahl bayt agar terjadi dialog dan saling mengenal hingga terwujud ukhuwwah Islamiyah, “bersatu dalam perbedaan”.
Meski posisi Kang Jalal lewat Muthahhari bersikap moderat dalam memperkenalkan ahl-bayt, publik menyebut “Kang Jalal sebagai tokoh syi’ah paling terkemuka Indonesia dewasa ini” (Zulkifli. 2009:86). Ini karena produktivitas menulisnya yang tak pernah henti, termasuk melayani diskusi, debat atau seminar tentang syi’ah. Dia memang yang paling artikulatif – lisan maupun tulisan - di antara tokoh-tokoh syi’ah yang ada. Ia pun piawai berbicara isu apa saja. Masalah yang dibahas boleh jadi berat seperti soal filsafat atau tasauf misalnya, tapi Kang Jalal menuturkannya dengan santai dan cair tanpa kehilangan substansi. Sejak awal 2000 Kang Jalal lebih intensif berbicara tasauf, tafsir al-Qur’an dan filsafat Islam, tentu dengan perspektif ahl bayt. Periode ini, penetrasi “pasar” Kang Jalal bukan saja terbatas di kalangan terdidik kampus, melainkan telah menjangkau lintas ormas Islam terutama kaum menengah kota yang terdidik dan tidak “terjangkau” oleh ormas atau gerakan Islam mana pun. Ironisnya di komunitas internal syi’ah Indonesia ada sikap tidak mengakui Kang Jalal sebagai pemimpin utama syi’ah. “He still lacks support from the majority of shi’i ustadh of arab descendants and Qum alumni.” Kata Zulkifli (2009:86).
Atas respons tiadanya pengakuan internal di komunitas syi’ah itu, agaknya Kang Jalal tak merasa terusik. Sama tidak terusiknya Kang Jalal dengan “celaan dan cercaan” banyak pihak di banyak buku dan media sosial atas “kesesatannya” mendakwahkan ahl bayt. Cercaan terhadap pribadinya, tak ada artinya dibandingkan mission sacre (tugas suci) dakwah memperkenalkan perspektif ahl bayt kepada publik Indonesia. Satu hari, entah 20 atau 40 tahun lagi, hasrat Kang Jalal agar umat saling belajar atas berbagai mazhab, terbentuknya ukhuwwah dan dialog sunni-syi’ah, termasuk pentingnya akhlak di atas fiqh dalam pergaulan internal umat, insya Allah akan terwujud secara massif. Kerja dakwah Kang Jalal boleh jadi tidak akan dinikmatinya semasa ia masih hidup. Tapi “tinta emas” sejarah Indonesia akan mencatat, sosok semacam Kang Jalal, akan diletakkan sebagaimana para pembaru KH Dahlan, KH Hasyim Ash’ary, atau ustadz A Hassan, saat pahit-getir menghadapi penolakan umatnya waktu itu. Hasilnya ormas-ormas Islam sepertti NU, Muhammadiyah dan Persis berdiri kokoh dan kini berkhidmat bagi NKRI ini. IJABI pun 20 atau 40 tahun kemudian, berdiri kokoh diapresiasi oleh umat. Dan orang pun ingat akan athsar-athsar Kang Jalal dalam berkhidmat untuk umat Islam Indonesia, khususnya kaum ijabiyyun.
Dari sisi lain, Kang Jalal pun ingin menggabungkan antara intelektualisme dengan aktivisme. Aktivisme Islam aktual Kang Jalal, sudah banyak berbuah lewat pendirian pendidikan SD gratis; dan menyantuni kelompok-kelompok “pinggiran”, mustadz’afin. Medan baru aktivisme politik pun dijalani Kang Jalal di parlemen sekarang. Kiprahnya sebagai wakil rakyat, diharapkan mampu mengawal berbagai produk perundang-undangan prorakyat “kecil” yang selama ini diperjuangkannya.Dalam konteks aktivismenya, langkah ini akan semakin memperkokoh penetrasi politiknya di “akar rumput” lewat berbagai tugas resesnya sehingga dialog Kang Jalal dengan realitas semakin “membumi” dan kontekstual.
Kembali kepada ilustrasi cerita Iroh dan Ukar di awal tulisan ini, tantangan baru Kang Jalal khususnya di Jawa Barat, terlebih lagi di Kabupaten Bandung, bagaimana “urban sufi” dibawa ke kantong-kantong komunitas yang tidak beragama “resmi” sebagaimana yang dihayati Ukar dan Iroh. Dakwah ke depan Kang Jalal, perlu dibuat format dan model semacam “rural sufi” demi memenuhi segmen khalayak semacam Ukar dan Iroh. Dan komunitas-komunitas ini, tak tersentuh oleh dakwah ormas-ormas Islam yang ada; apalagi oleh gerakan-gerakan Islam puritan yang serba “hitam-putih”. Dan, menurut hasil penelitian sang informan, dimana ada komunitas agama Sunda, di situ pulalah kantong-kantong “merah” bersemi. Ini medan baru dakwah Kang Jalal yang tengah dinanti publik!. Wilujeng tepang taun, Kang...
Bandung, 28 Agustus 2015.
Disampaikan pada kajian pemikiran Kang Jalal yang diadakan di Aula Muthahhari, Bandung.
Kepustakaan
Al-Kaff, Thohir Abdullah (1998).”Perkembangan Syi’ah di Indonesia,” dalam Mengapa Kita Menolak Syi’ah: Kumpulan Makalah dan Kumpulan Seminar Nasional Sehari tentang Shi’ism. Jakarta: LPPI.
Alloul, Jaafar (2011). The Shi’a Crescent Theory. Disertasi di Universiteit Gent, Near East and Nort Africa.
Bagir, Haidar (2015). “Mereka-reka Mazhab Mizan”. http://mizan.com/detail (diunduh 25 Agustus 2015).
Gause III, F. Gregory (2014). Beyond Sectarianism: The New Middle East Cold War. Washington DC and Qatar: Brooking Doha Center.
Latief, Hilman (2008). “The Identity of Shi’a Sympathizers in Contemporary Indonesia”. Journal of Indonesian Islam. Volume 02/02.
Malik, Dedy Djamaluddin dan Ibrahim, Idi (1997). Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrachman Wahid, Nurcholis Madjid, Amien Rais dan Jalaluddin Rakhmat. Bandung: Zaman.
Wawancara penulis dengan seorang informan peneliti “agama-agama pribumi” di Litbang Harian Umum Pikiran Rakyat, Bandung, 26 Agustus 2015.
Zulkifli (2009). The Struggle of the Shi’is in Indonesia. Belanda: Disertasi Doktor.
Karena panggilan imannya, ia tinggalkan suami dan pulang ke rumah orangtua yang merupakan tokoh Islam yang disegani di desa itu. Berbulan Iroh tafakkur dalam kesendiriannya. Sesekali ia mendengarkan radio atau acara televisi. Dari hasil terpaannya dengan media itu, Iroh mendapat informasi ada tokoh partai Islam yang korupsi; banyak orang Islam yang berpoligami. Meski tak begitu jelas duduk perkaranya, Iroh juga mendengar orang sekampung membicarakan seorang “tokoh Islam”, telah mengambil tanah wilayat yang sudah turun-temurun dihuni komunityas setempat.
Satu hari. Iroh pamit kepada orangtua untuk kembali kepada suaminya. Bapak dan ibunya tak kuasa melepas Iroh. Hanya linangan air mata dan do’a yang mengantarkan Iroh kembali kepada suaminya. Setelah itu, hingga sekarang Iroh tak pernah pulang kembali kepada kedua orangtuanya. Motif apa yang mendorong Iroh kembali kepada suaminya?. Menurut penuturan salah seorang informan, Iroh berontak terhadap praktik orang-orang Islam dalam beragama. Suaminya memang, tak pernah shalat dan puasa, tapi memperlakukannya dengan penuh kasih sayang. Tak ada perilaku suami yang menyakitkan hatinya. Pergaulan suaminya dengan tetangga, penuh damai dan toleransi. Iroh pun hidup bahagia bersama suaminya. Karena “akhlak”suaminya itu, Iroh akhirnya menanggalkan keyakinan Islamnya. Ia ikut suaminya menganut agama Sunda aliran “perjalanan”, besutan Mei Kartawinata.
Belakangan ini, begitu banyak Iroh lain yang melakukan konversi dari Islam ke ajaran nenek moyang. Doktrin agama para leluhur itu sederhana. Aliran “perjalanan” misalnya, memiliki ajaran “Mapipitu” yaitu tujuh pantangan agar orang bisa dianggap baik: maen, maling, madon, madat, minum, mateni (membunuh), margoni (menindas). Proses Islamisasi yang dimulai sejak 1950-an oleh para kyai dan ustadz asal Tasik dan Garut yang hijrah ke Lembang, ternyata tidak seluruhnya berhasil. Salah satu ketidakberhasilan itu, menurut informan, karena dakwah mereka dianggap kaku dengn titik berat fiqh dan “syariat” dalam artian yang sempit.
Setelah era Soeharto berakhir, di banyak tempat, termasuk Lembang, terjadi kebangkitan agama-agama pribumi di Indonesia. Di Bandung, pernah terselenggara konperensi agama-agama “kebatinan” se-Indonesia. Ratusan tokoh hadir yang mewakili propinsi, kota dan kabupaten di seluruh Indonesia. Salah satu alasan mereka berkumpul ialah, sudah terlalu lama mereka didominasi agama ekspor Budha, Hindu, Krisiten dan Islam. Mereka ingin menunjukkan bahwa masyarakat lokal punya kearifannya sendiri-sendiri dalam mengarungi kehidupan dunia ini.
Lalu, apa relevansi cerita di atas dengan kontribusi pemikiran Islam Kang Jalal?. Ditilik dari sudut strategi dakwah, pilihan Kang Jalal untuk menyebarluaskan Islam dengan titik berat mendahulukan akhlak di atas fiqh, mengajarkan pluralisme dalam Islam, intelektualisme islam lewat filsafat (irfan) atau urban sufi dan pembentukan masyarakat Islam madani, adalah isu-isu yang tepat untuk ditonjolkan di era sekarang karena pasarnya terbuka lebar. Kemampuannya menggabungkan khasanah Islam klasik dengan ilmu-ilmu sosial kontemporer dalam berdakwah merupakan sosok ideal yang dibutuhkan umat dewasa ini.
Dampak terhadap Umat Islam Indonesia
Diawali di pertengahan 1980-an, sepulang dari Iowa Kang Jalal, selain menjadi ilmuwan komunikasi, ia pun sering diundang ceramah di Salman ITB berkat dorongan Bang Imad yang pernah sama-sama “nyantri” di Amerika. Bang Imad tertarik dengan pemikiran anak muda Jalal dalam diskusi-diskusi terbatas yang dipimpin Bang Imad sendiri. Materi diskusi yang pernah disampaikan Jalal kemudian sempat dibukukan yang bertajuk “Khotbah-Khotbah di Amerika”. Selain ceramah di Salman, ia pun diminta mengajar mata kuliah agama di ITB. Penetrasi pemikiran Kang Jalal agaknya cepat merembes dan “mensubversi” anak-anak muda Islam di ITB dan Salman, termasuk Unpad dan menyebar ke berbagai pelosok kampua di seluruh nusantara. Lahirlah kelompok Jalal yang punya corak pemikiran “Islam alternatif” yang membedakannya dengan kelompok Cak Nur, yang waktu itu tengah menjadi “mainstreram” modernisme Islam di kalangan muda terdidik Islam.
Sehabis pulang dari konperensi Islam di Kolombo, Kang Jalal semakin rajin memperkenalkan para pemikir Syiah yang, dari sudut politik para pemikir Iran itu, mampu mengembalikan kepercayaan umat akan kemampuan umat Islam yang selama ini “terpinggirkan” dalam percarturan politik nasional dan global. Bukan hanya Jalal, Amien Rais getol juga memperkenalkan pemikiran seperti Ali Shariati. Amien rais pun segera dituduh Syi’ah dan kang Jalal sempat menjadi terdakwa di sidang MUI Kota Bandung sehingga ia dilarang ceramah di berbagai masjid di Bandung. Upaya membendung Jalal seperti sia-sia. Pertama, tertutupnya peluang ceramah Islam di berbagai tempat, membuat blessing in disguise (hikmah terselubung), banyaknya waktu berdakwah lewat tulisan. Terbitnya Islam Aktual, Islam Alternatif dan Dahulukan Akhlak Di atas Fiqh misalnya, telah membawa popularitas Jalal sebagai pemikir Islam di level nasional maupun internasional.
Kedua, corak pemikiran Kang Jalal ditunjang juga oleh penerbitan, terutama Mizan, pimpinan Haidar Bagir yang hampir sejalan dengan Jalal dalam usaha memperkenalkan pemikiran Syiah yang kaya intelektualisme dan filsafat Islam yang kurang berkembang di kalangan Sunni. Mazhab Jalalian hampir serupa dengan mazhab Mizanian. Dasar-dasar komunitas atau kelompok Jalal mulai semakin terbentuk. Apalagi Kang Jalal membuka pengajian khusus di rumahnya bagi para pengikut yang semakin tertarik dengan corak keislamanan kang Jalal. Berikutnya, Kang Jalal mendirikan masjid al-Munawwarah di dekat rumahnya, tempat semakin berseminya para pengikut Kang Jalal dalam mencari corak Islam yang berbeda dengan mainstream Islam yang ada selama ini.
Ketiga, sikap pluralis Islam yang dimiliki Cak Nur maupun Gus Dur telah membuka jalan bagi Jalal untuk mengeskpresikan gagasan-gagasan keislamanannya di level nasional. Dengan diberinya tempat di diskusi kajian Islam Paramadina, Kang Jalal mampu menunjukkan perpektif islam yang lain selain perspektif Cak Nur dan para pemikir islam lainnya waktu itu. Di dalam berbagai diskusi itu, Kang Jalal mampu semakin mempertegas mazhab pemikiran yang punya corak yang berbeda.
Dalam soal modernisasi misalnya, Cak Nur dan Gus Dur condong ke arah penyesuaian islam terhadap arus modernisasi. Sementara Kang Jalal dan Amien Rais kritis terhadap modernisasi. Bahkan Amien Rais menyamakan modernisasi sebagai westernisasi. Dalam konteks Islam dan demokrasi misalnya, Cak Nur menunjukkan syura (musyawarah) sebagai pilar Islam dalam demokrasi. Berbeda dengan Kang Jalal, ternyata studi historis menunjukkan bahwa cara memilih pemimpin Islam zaman Khulafaurrasyidin punya corak yang tak seragam: ada pola “musyawarah” zaman Abu Bakar, ada cara penunjukkan zaman Umar, cara ahwa dan Utsman dan cara pedang.
Kontribusi Gus Dur terhadap Kang Jalal ialah memberi ruang bagi terbentuknya IJABI. “Restu” Gus Dur yang kala itu sebagai Presiden RI, bukan hanya ia seorang pluralis tapi juga melihat NU sebagai “syiah kultural” yang selama ini sudah lama mempraktikkan tradisi-tradisi Syi’ah seperti misalnya, “marhabaan” dan ziarah kubur. Kedekatan dengan Gus Dur terutama ketika cucu kyai Hasyim Asy’ari itu, sering memanfaatkan Kang Jalal sebagai wakil Indonesia dalam kunjungannya ke Iran. Di kalangan tokoh NU Jawa Barat, Kang Jalal cukup dekat dengan KH Totoh Abdul Fatah dan Kyai kondang Totoh Ghazali. Tulisan-tulisan Kang Jalal tentang penghormatan terhadap ulama, ziarah kubur dan marhabaan, dan tasauf pada umumnya, menunjukkan afinitas teologi NU dengan ahl bait.
“Perang Dingin” Sunni-Syi’ah
Gause III (2014) memotret Timur Tengah sekarang dalam kondisi “perang dingin baru” (new cold war). Perang dingin terjadi antara Arab Saudi dan Iran. Musim semi Arab (the Arab spring) sedikit banyak dipengaruhi oleh insprisasi revolusi Iran terhadap rezim-rezim otoriter yang ada di Timur Tengah sekarang. Maka tak heran bila Saudi “kebakaran jenggot”. Sejak pertengahan 2000-an berbagai media Arab, banyak mengangkat isu “al-Madd ash-Shi’i”(ekspansi syi’ah), “Shi’i Wave”, atau “Shi’i Danger”. Pimpinan syi’ah, Hassan Nasrullah dijuluki sebagai “a son of Satan. Orang-orang sunni yang mendukung kelompok Hizbullah difatwakan ulama sunni Abdullah bin Jibriin sebagai sebuah “dosa”(Alloul, 2011:1).
Sikap khawatir Saudi terhadap Iran, lebih khusus lagi “madzhab syi’ah”, mempengartuhi kebijakan diplomasinya di Indonesia. Banyak kelompok dan institusi dakwah di Indonesia yang berafiliasi ke saudi, dijadikan instrumen menangkal pengaruh ajaran syi’ah. Padahal, kata Gus Mus, sewaktu Iran dikuasai Reza Pahlevi, Saudi merupakan “sahabat dekat” Iran yang keduanya “dikendalikan” Amerika. Setelah revolusi Iran, dan bangkitnya para mullah berhasil melakukan revolusi, Arab Saudi berbalik memusuhi Iran, khawatir datangnya penetrasi revolusi model “syi’ah” ke negara-negara monarkhi itu. Jadi, inti persoalannya bukan “state vs state”, tapi perang sipil antara madzhab sunni dan syi’ah yang dilegitimasi negara.
Maka organisasi DDII adalah kelompok paling getol menangkal pengaruh syi’ah. Demikian juga sebagian kelompok kecil di NU, Muhammadiyah dan Persis yang tergabung di MUI pernah memfatwakan “syi’ah sesat”. Dalam sebuah seminar yang diprakarsai kelompok “Saudi”, dibuat kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut: (1) syi’ah menganggap Qur’an sekarang tidak lengkap; (2) mereka percaya taqiyyah; (3) shalat jumat tidak diwajibkan sebelum ada imam yang mengikat mereka; (4) syi’ah mengubah kalimat adzan dengan kata-kata, wa ashhadu anna Aliyyan waliyullah;( 5) syi’ah mempraktikkan kawin mut’ah; (6) syi’ah dianggap sebagai pengkhianat (betrayers), jahat dan teroris yang selalu menentang pemerintahan resmi yang dipimpin sunni. Seminar itu pun merekomendasikan agar: (1) pemerintah melarang penyebaran doktrin syi’ah di Indonesia karena berpotensi makar terhadap pemerintahan yang sah; (2) melarang penyebaran buku-buku syi’ah; (3) membubarkan institusi pendidikan dan organsdasi yang berafiliasi syi’ah.
Tugas mereka, membangun stigmatisasi bahwa syi’ah sesat, di luar ajaran Islam, membahayakan umat, meracuni anak-anak muda Islam. Sejumlah buku diterbitkan untuk mengkonter buku-buku syi’ah. Mereka bukan hanya mencela ajaran syi’ah tapi tokoh-tokoh syi’ah seperti Jalaluddin Rakhmat menjadi bulan-bulanan “kecaman” dan “hinaan”. Lihat misalnya, media sosial kita. Agaknya, di media sosial bukan lagi “perang dingin”, melainkan sudah menjadi “perang terbuka”(cyber war). “Piyungan online”, VOA Islam, dan lain-lain, bukan hanya “mengadili” sesatnya syi’ah, melainkan “menghujat” secara personal dengan kata-kata yang tak pantas dilontarkan para pendakwah. Isu yang diangkat, karena niatnya memojokkan, hanya masalah sepele fiqh bukan hal-hal substansial.
Dakwah demikian agaknya bisa efektif bagi internal “umat” mereka. Namun bagi kelompok muda Islam terpelajar yang butuh pencerahan, justru dakwah demikian menimbulkan sikap antipati. Lalu, orang pun penasaran atas berbagai doktrin syi’ah yang dihujat. Dari “kepenasaran” itu justru banyak di antara mereka menjadi simpati, mengapresiasi dan menyetujui berbagai pandangan syiah, terutama perspektif intelektual dan kedalaman filsafatnya, sambil tidak meninggalkan tradisi klasik Islam mereka. Inilah yang menjadi cikal-bakal para “pengikut” Jalal. Orang-orang Islam “abangan” yang terdidik, lalu menemukan jati dirinya dalam perspektif Islam Kang Jalal.
Di internal organisasi umat pun seperti sebagian kecil Muhammadiyah dan Persis non struktural ada lah pengikut Kang Jalal. Bila di Muhammadiyah dan Persis, kelompoknya bersifat “sempalan” yakni anak-anak terpelajar Muhammdiyah dan Persis di berbagai universitas, pada jamaah NU, pengaruh pemikiran dan aktivitas Islam Kang Jalal, relatif massif. Para pemimpin NU seperti Gus Dur dan kyai Said Agil Siradz mengakui Syi’ah sebagai bagian dari Islam. Bahkan Siradz pernah mengatakan: “Sunni ahl sunnah wal jama’ah. Shi’ah itu ahl sunnah wal a’dalah”. Anak-anak muda Islam kota yang orangtuanya tidak terafiliasi dengan basis-basis ormas Islam, agaknya merupakan “pasar potensial” berseminya pemikiran Islam Kang Jalal. Anak-anak muda islam itu, relatif tak mengalami “ketegangan teologis” sebagaimana yang pernah dialami anak-anak muda yang dibesarkan dalam keluarga Muhammadiyah, Persis dan NU.
Pengaruh pemikiran Kang Jalal dalam dataran corak dan elit pemikiran Islam, berada pada corak “jalan tengah” (middle path) di antara “Islam liberal” (Islib) dengan “Islam literal”(Islit). Kelompok Islam liberal adalah mereka yang mengenyam pendididkan tinggi ilmu agama secara formal dan mengadaptasikan isu-isu Islam dengan kemoderenan melalui pemanfaatkan metodologi ilmu-ilmu sosial Barat. Sementara kelompok Islam literal adalah mereka yang tidak memiliki latar belakang dan pendidikan agama keluarga dan “menemukan” Islam dalam “khalaqah-khalaqah” di kampus universitas. Rujukan teologi dan jurisprudensi (fiqh) mereka adalah para ulama timur tengah seperti Muhammad Abdul Wahhab, Hasan al-Banna, Abdullah bin Baz, dan Said Hawwa.
Pemikiran Islam Kang Jalal, ingin menggabungkan kekurangan dari Islib dan Islit dengan cara “mempertemukan ilmu-ilmu Islam tradisional dengan ilmu-ilmu modern”(Malik, 1997:155). Pertemuan kedua tradisi ini “jalan tengah” ini disebut orang sebagai “Islam alternatif” yakni: “related to the worldview, philosophical and religious standpoint of Shi’a tradition”(Latief, 2008:321). Kelompok Islat ini, agak sejalan dengan pernyataan Haidar Bagir saat menjelaskan posisi Mizan di antara kedua corak Islit dan Islib sbb:”suatu cara pandang yang ingin menampilkan penafsiran Islam secara rasional dan progresif sedemikian, sehingga terus bisa berdialog dan menjawab tantangan zaman, tetapi pada saat yang sama berupaya untuk secara “autentik” bersikap sesetia mungkin kepada sumber-sumber nilai Islam dan seapresiatif mungkin terhadap khazanah Islam klasik”.
Posisi Kang Jalal dan Institusionalisasi Ahl Bayt
Menurut salah seorang alumni Qum, Ahmad Barakbah, “tak kurang dari 40 organisasi yang terkait dengan Syi’ah di seluruh Indonesia”(Al-Kaff, 1998:67). Beberapa di antaranya: Mulla Sadra Foundation (Bogor), Pesantren al-Hadi (Pekalongan), al-Jawad Foundation (Jakarta), al-Muntazhar Foundation (Jakarta), Yayasan Pesantren Islam/YAPI(Bangil), Yayasan Fatimah (Jakarta), Yayasan al-Muhibbin (Probolinggo), dan beberapa yayasan yang berlokasi di Malang, Yogyakarta, Malang, Pontianak, Ujung Pandang, Samarinda dan Banjarmasin. Kebanyakan missi yayasan itu adalah:”mempraktikkan ajaran ahl bayt dalam kehidupan sehari-hari baik secara individual maupun komunal dan penyebarluaskannya kepada masyarakat”. Bulletin semacam Al-Jawad, Al-Ghadir dan An-Naba misalnya, banyak memuat masalah-masalah fiqh dan teologi ahl bayt yang frontal menyerang doktrin-doktrin Sunni.
Berbeda dengan Muthahhari, yayasan Kang Jalal ini pernah membuat bulletin Al-Tanwir yang berisi pemikiran Islam berkiblat syi’ah dan orientalisme Islam. Di Muthahhari pun diajarkan perbandingan lima mazhab. Maksud didirikan yayasan ini, bukan untuk mempropagandakan syi’ah, melainkan membangun jembatan dialog sunni-syi’ah yang sudah lama tak akur. Meski Muthahhari ahl bayt, tapi ia tokoh pluralis, terbuka dan mengajarkan kebaikan sebagai kebajikan universal dari agama apapun datangnya. Siapa saja yang berbuat baik, darimana pun agamanya akan dipertimbangkan Tuhan. Posisi kang Jalal lebih memilih dimensi intelektual daripada ritual. Tujuannya, memperkenalkan mazhab ahl bayt agar terjadi dialog dan saling mengenal hingga terwujud ukhuwwah Islamiyah, “bersatu dalam perbedaan”.
Meski posisi Kang Jalal lewat Muthahhari bersikap moderat dalam memperkenalkan ahl-bayt, publik menyebut “Kang Jalal sebagai tokoh syi’ah paling terkemuka Indonesia dewasa ini” (Zulkifli. 2009:86). Ini karena produktivitas menulisnya yang tak pernah henti, termasuk melayani diskusi, debat atau seminar tentang syi’ah. Dia memang yang paling artikulatif – lisan maupun tulisan - di antara tokoh-tokoh syi’ah yang ada. Ia pun piawai berbicara isu apa saja. Masalah yang dibahas boleh jadi berat seperti soal filsafat atau tasauf misalnya, tapi Kang Jalal menuturkannya dengan santai dan cair tanpa kehilangan substansi. Sejak awal 2000 Kang Jalal lebih intensif berbicara tasauf, tafsir al-Qur’an dan filsafat Islam, tentu dengan perspektif ahl bayt. Periode ini, penetrasi “pasar” Kang Jalal bukan saja terbatas di kalangan terdidik kampus, melainkan telah menjangkau lintas ormas Islam terutama kaum menengah kota yang terdidik dan tidak “terjangkau” oleh ormas atau gerakan Islam mana pun. Ironisnya di komunitas internal syi’ah Indonesia ada sikap tidak mengakui Kang Jalal sebagai pemimpin utama syi’ah. “He still lacks support from the majority of shi’i ustadh of arab descendants and Qum alumni.” Kata Zulkifli (2009:86).
Atas respons tiadanya pengakuan internal di komunitas syi’ah itu, agaknya Kang Jalal tak merasa terusik. Sama tidak terusiknya Kang Jalal dengan “celaan dan cercaan” banyak pihak di banyak buku dan media sosial atas “kesesatannya” mendakwahkan ahl bayt. Cercaan terhadap pribadinya, tak ada artinya dibandingkan mission sacre (tugas suci) dakwah memperkenalkan perspektif ahl bayt kepada publik Indonesia. Satu hari, entah 20 atau 40 tahun lagi, hasrat Kang Jalal agar umat saling belajar atas berbagai mazhab, terbentuknya ukhuwwah dan dialog sunni-syi’ah, termasuk pentingnya akhlak di atas fiqh dalam pergaulan internal umat, insya Allah akan terwujud secara massif. Kerja dakwah Kang Jalal boleh jadi tidak akan dinikmatinya semasa ia masih hidup. Tapi “tinta emas” sejarah Indonesia akan mencatat, sosok semacam Kang Jalal, akan diletakkan sebagaimana para pembaru KH Dahlan, KH Hasyim Ash’ary, atau ustadz A Hassan, saat pahit-getir menghadapi penolakan umatnya waktu itu. Hasilnya ormas-ormas Islam sepertti NU, Muhammadiyah dan Persis berdiri kokoh dan kini berkhidmat bagi NKRI ini. IJABI pun 20 atau 40 tahun kemudian, berdiri kokoh diapresiasi oleh umat. Dan orang pun ingat akan athsar-athsar Kang Jalal dalam berkhidmat untuk umat Islam Indonesia, khususnya kaum ijabiyyun.
Dari sisi lain, Kang Jalal pun ingin menggabungkan antara intelektualisme dengan aktivisme. Aktivisme Islam aktual Kang Jalal, sudah banyak berbuah lewat pendirian pendidikan SD gratis; dan menyantuni kelompok-kelompok “pinggiran”, mustadz’afin. Medan baru aktivisme politik pun dijalani Kang Jalal di parlemen sekarang. Kiprahnya sebagai wakil rakyat, diharapkan mampu mengawal berbagai produk perundang-undangan prorakyat “kecil” yang selama ini diperjuangkannya.Dalam konteks aktivismenya, langkah ini akan semakin memperkokoh penetrasi politiknya di “akar rumput” lewat berbagai tugas resesnya sehingga dialog Kang Jalal dengan realitas semakin “membumi” dan kontekstual.
Kembali kepada ilustrasi cerita Iroh dan Ukar di awal tulisan ini, tantangan baru Kang Jalal khususnya di Jawa Barat, terlebih lagi di Kabupaten Bandung, bagaimana “urban sufi” dibawa ke kantong-kantong komunitas yang tidak beragama “resmi” sebagaimana yang dihayati Ukar dan Iroh. Dakwah ke depan Kang Jalal, perlu dibuat format dan model semacam “rural sufi” demi memenuhi segmen khalayak semacam Ukar dan Iroh. Dan komunitas-komunitas ini, tak tersentuh oleh dakwah ormas-ormas Islam yang ada; apalagi oleh gerakan-gerakan Islam puritan yang serba “hitam-putih”. Dan, menurut hasil penelitian sang informan, dimana ada komunitas agama Sunda, di situ pulalah kantong-kantong “merah” bersemi. Ini medan baru dakwah Kang Jalal yang tengah dinanti publik!. Wilujeng tepang taun, Kang...
Bandung, 28 Agustus 2015.
Disampaikan pada kajian pemikiran Kang Jalal yang diadakan di Aula Muthahhari, Bandung.
Kepustakaan
Al-Kaff, Thohir Abdullah (1998).”Perkembangan Syi’ah di Indonesia,” dalam Mengapa Kita Menolak Syi’ah: Kumpulan Makalah dan Kumpulan Seminar Nasional Sehari tentang Shi’ism. Jakarta: LPPI.
Alloul, Jaafar (2011). The Shi’a Crescent Theory. Disertasi di Universiteit Gent, Near East and Nort Africa.
Bagir, Haidar (2015). “Mereka-reka Mazhab Mizan”. http://mizan.com/detail (diunduh 25 Agustus 2015).
Gause III, F. Gregory (2014). Beyond Sectarianism: The New Middle East Cold War. Washington DC and Qatar: Brooking Doha Center.
Latief, Hilman (2008). “The Identity of Shi’a Sympathizers in Contemporary Indonesia”. Journal of Indonesian Islam. Volume 02/02.
Malik, Dedy Djamaluddin dan Ibrahim, Idi (1997). Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrachman Wahid, Nurcholis Madjid, Amien Rais dan Jalaluddin Rakhmat. Bandung: Zaman.
Wawancara penulis dengan seorang informan peneliti “agama-agama pribumi” di Litbang Harian Umum Pikiran Rakyat, Bandung, 26 Agustus 2015.
Zulkifli (2009). The Struggle of the Shi’is in Indonesia. Belanda: Disertasi Doktor.