Syafinuddin Al-Mandari
Ketua Umum PB HMI 2001-2003, Dosen
Ketua Umum PB HMI 2001-2003, Dosen
Kepiawaian memainkan pena ibarat pendekar Shaolin yang lihai memainkan pedang. Ia bisa memisahkan sesuatu yang samar dari yang nyata. Tak jauh beda dengan lisannya yang fasih. Diperkuat dengan wawasannya yang sangat luas, Kang Jalal dapat menyampaiakan uraian-uraian dengan sangat membekas.
"Kang Jalal!" Saya memanggilnya dengan suara cukup nyaring. Badannya yang masih sangat tegap berbalik ke belakang. Saya menghampirinya. Sesudah menulis alamat dan nomor telepon rumahnya di buku saya, cendekiawan muslim itu tergopoh menuju taksi yang sudah menunggunya. Ia harus segera ke Bandara Hasanuddin, Mandai. Kegiatan lain sudah harus dihadirinya malam hari nanti di Bandung.
Saya bergegas kembali ke ruangan Auditorium Andi Pengerang Pettarani Universitas Hasanuddin (Unhas) Ujungpandang tempat kegiatan Dialog Sunni Syiah digelar. Riuh peserta berbincang dalam kelompoknya masing-masing. Mereka belum juga meninggalkan ruangan walau acara telah selesai setengah jam lalu. “Bintang” yang sedang diperbicangkan itu adalah Kang Jalal, panggilan akrab Jalaluddin Rakhmat. Ia salah seorang narasumber selain beberapa cendekiawan dan ulama Kota Ujungpandang.
Saya sudah berada di ruangan itu setengah jam sebelum kegiatan dimulai. Setelah cukup lama menahan kesabaran untuk melihat langsung penulis buku "Islam Alternatif" dan "Islam Aktual" itu, Syamsuddin Baharuddin, sang ketua panitia tampil ke depan. Ia menyampaikan bahwa dialog ini dilaksanakan dalam bingkai ukhuwah; persaudaraan dalam Islam.
Koridor itulah yang secara konsisten dilalui oleh Kang Jalal meski sepanjang dialog berkali-kali dipojokkan dengan berbagai cara. Dialog itu memojokkannya sebagai seorang Syiah, meski ia sudah menjelaskan diri masih sebagai anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah di tempatnya. Kang Jalal tak melayaninya. Kang Jalal menegaskan bahwa dalam setiap dialog antar mazhab pada umumnya pembicara akan mengutarakan argumentasi yang membela mazhabnya dan menyerang mazhab selainnya. “Izinkan saya menggunakan pendekatan ukhuwah ini secara konsisten dengan mengambil rujukan dari kedua mazhab guna membicarakan pokok-pokok persamaan ajaran Sunni dan Syiah. Bukan perbedaan antara kduanya belaka!” tandas Kang Jalal.
Secara sadar saya harus mengubah pandangan saya tentang tokoh ini. Semula saya berangkat dari Politeknik Pertanian Universitas Hasanuddin di Segeri Mandalle, Kabupaten Pangkajene Kepulauan dengan sejumlah informasi yang sangat buruk tentang Kang Jalal. Syahdan, kata kawan yang mengajak saya ke acara itu, Kang Jalal selalu “lari” setiap kali diundang dalam suatu dialog. Itu karena dia selalu mau mengelak untuk disebut Syiah. “Padahal memang dia sudah Syiah,” kata kawan saya itu.
Manakah yang benar, Kang Jalal telah sesat bersama dengan sesatnya ajaran Syiah, atau Syiah dan Sunni keduanya adalah mazhab Islam yang benar sebagaimana tersirat dalam bukunya, Islam Alternatif? Dialog Mei 1994 itulah yang menjadi jawabannya.
Penjelasan demi penjelasan Kang Jalan sangat jernih. Belum memasuki sesi tanya jawab, seorang narasumber langsung menyerangnya sebagai Syiah yang sedang bertaqiyah. Kang Jalal dianggap hanya berlindung di balik tembok keanggotaannya di Muhammadiyah. Itu dibuktikan dengan salawatnya yang berbeda dengan narasumber lain yang Sunni. Memang Kang Jalal hanya menyebutkan “Aali Muhammad (keluarga Muhammad) tanpa kata sahabat” dalam salawatnya. Ketika memberi jawaban, Kang Jalal mengajak hadirin untuk tidak terburu-buru menuduh Syiah orang yang salawatnya tak menyebutkan “sahabat” Nabi saw. Kalau kita menyatakan seseorang Syiah hanya karena dalam salawatnya tak mengikutkan sebutan “sahabat” maka semua orang yang salat di dunia ini adalah Syiah sebab dalam tasyahudnya pasti mengucapkan salawat yang hanya ada nama Nabi Muhammad dan keluarganya, tanpa sahabatnya. Hanya sedikit peserta yang tidak berdiri bertepuk tangan. Saya mulai kagum.
Begitu juga ketika seorang ulama yang hadir dipersilakan menyampaikan pertanyaan. Ia memperlihatkan sebuah kitab dalam bahasa Arab berjudul “Kasyf al-Asrar” karya Imam Khomeini. Ia mengaku dulu sangat kagum kepada Imam Khomeini karena slogan “La syaqiyyah wa la gharbiyyah”, bahkan fotonya dipsang di dinding kamarnya. Namun kini tidak lagi. Ia menyatakan bahwa di dalam kitab tersebut sangat banyak pernyataan Khomeini yang bertentangan dengan syariat Allah dalam Alquran. Satu di antaranya adalah kehalalan mencampuri istri dalam keadaan menstruasi. Saya tersentak kaget. Saya kembali ragu sebelum Kang Jalal menjawab dengan juga memperlihatkan sebuah kitab. Judulnya sama. Bahasanya yang berbeda. Kitab yang ada di tangan Kang Jalal berbahasa Persia. Kang Jalal mengatakan bahwa kitab yang dibawanya adalah kitab asli sedangkan yang ada di tangan penanya itu adalah terjemahan. Kang Jalal mengaku telah membandingkan dua kitab tersebut sebab ia memiliki keduanya. Selain itu ia paham Bahasa Persia sebagus pemahamannya terhadap Bahasa Arab. Kang Jalal tahu juga bahwa penerjemah kitab itu dari Bahasa Persia ke Arab adalah pembenci Imam Khomeini. Saya makin kagum.
Berbagai kecaman akhirnya muncul menyusul terbantahnya semua sanggahan yang mencoba memisahkan Sunni dan Syiah sebagai dua mazhab penting dalam Islam. Kang Jalal laksana mesin diesel; kian lama kian hangat dan powerful. Kini dialog mulai terlihat kurang sehat karena kecaman yang dialamatkan kepada pribadi Kang Jalal amat buruk. Satire yang amat kasar. Kang Jalal hanya menghadapinya dengan tenang. Sambil mengutip sebuah peristiwa yang terjadi di zaman Imam Ali Zainal Abidin ra. Beliau adalah cucu Rasulullah saw, putra Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib ra. Ketika seseorang mencaci maki beliau bahkan juga ibunya, beliau hanya mendengarkan dan berlalu. Namun beberapa saat kemudian beliau berbalik badan dan memanggil orang yang menghinanya itu. Murid-muridnya menyangka bahwa beliau akan marah. “Jika tuduhan yang engkau alamatkan padaku memang benar ada padaku, maka aku akan bersujud ke tanah memohon ampun untuk diriku. Namun, jika itu tak ada padaku, aku juga akan bersujud ke tanah memohonkan ampunan untukmu,” ujar Imam Ali Zainal Abidin. Kang Jalal menyambung bahwa dirinya akan menggunakan perkataan Imam Ali Zainal Abidin itu, yakni memohon ampun jika segala tuduhan buruk ada padanya, namun akan memohonkan ampun para pencacinya jika tuduhannya tidak benar. Sekali lagi semua hadirin kecuali sangat sedikit, berdiri bertepuk tangan. Kali ini tepuk tangannya lumayan lama.
Saya menangis. Kang Jalal telah memperlihatkan tiga hal yang pantas membuat saya terpukau; keluasan ilmu, kefasihan retorika, dan kemuliaan akhlak. Mungkin juga sebagian besar peserta yang hadir dalam dialog itu merasakan hal yang sama dengan saya. Kini saya tidak lagi ragu bahwa selain mazhab Sunni, dalam Islam juga ada mazhab Syiah yang dapat mencerahkan umat. Ini sudah saya yakini ketika masih duduk di bangku sekolah menengah. Buku Aboebakar Atjeh, “Syiah; Rasionalisme dalam Islam” telah lebih dahulu meyakinkan bahwa Syiah memiliki kontribusi sangat penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Saya segera berniat mengembalikan buku yang dipinjamkan seorang dosen saya, “I’tikad Ahlussunnah Waljamaah” karena di dalamnya hanya memuji mazhab Sunni sebagai keyakinan yang benar.
Sepulang dari acara dialog itu, saya segera mendatangi sahabat saya, lulusan Pesantren Darul Da’wah Wal-Irsyad, Mangkoso. Ia sangat fasih berbahasa Arab. Saya sodorkan lembaran hadis yang terdapat dalam kitab ”Yanabi’ al-Mawaddah”. Lembaran foto copy itu dibawa oleh Kang Jalal sebagai bahan dalam paparannya pada dialog tersebut. Teman saya itu membaca satu persatu lalu menerjemahkannya. Makin jelaslah bahwa Kang Jalal tidak berbohong dalam penjelasannya tentang salah satu isi kitab itu bahwa Rasulullah saw memang pernah mengabarkan nama penggantinya satu persatu untuk setiap zaman. Kitab itu adalah kitab Sunni. Sembari menegaskan bahwa secara substansial Sunni dan Syiah masih memiliki kesamaan. Kesamaan keduanya justru ada dalam perkara yang dianggap sebagai pemisah Syiah dengan Sunni, yakni konsep kepemimpinan sesudah Nabi saw. Menurutnya, baik Sunni maupun Syiah sama-sama meyakini wajibnya umat memiliki pemimpin. Perbedaan hanya terdapat pada pilihan imamah atau khilafah.
Sejak saat itu, saya mencari kembali buku “Islam Alternatif” dan “Islam Aktual”. Satu di antaranya adalah bacaan favorit selain buku karangan Soekarno yang saya gemari sejak SMA. Buku itu juga adalah dua dari dua puluh lima referensi yang wajib kami baca sebelum mengikuti seleksi Intermediate Training di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Tulisan-tulisan Kang Jalal pun tak pernah saya lewatkan. Kolomnya di halaman akhir Majalah Ummah Antara tahun 1996-1997 selalu menjadi bacaan wajib saya. Namanya di rubrik itu adalah Fikri Yathir dan kadang juga Mustafa Syauqi. Sangat mencerahkan. Ia hadir tepat ketika banyak problem sosial, keagamaan, bahkan politik dalam dan luar negeri perlu ditemukan jawabannya.
Kepiawaian memainkan pena ibarat pendekar Shaolin yang lihai memainkan pedang. Ia bisa memisahkan sesuatu yang samar dari yang nyata. Tak jauh beda dengan lisannya yang fasih. Diperkuat dengan wawasannya yang sangat luas, Kang Jalal dapat menyampaiakan uraian-uraian dengan sangat membekas. Hampir setiap tahun Kang Jalal ke Ujungpandang usai dialog fenomenal di Unhas, 1994 itu. Setahun kemudian ia datang lagi dalam forum yang hampir sama. Kali ini diadakan di IAIN Alauddin Ujungpandang (sekarang: UIN Alauddin Makassar). Kepiawaian Kang Jalal tetap terasa. Kali ini dialog tidak sekeras di Unhas setahun lalu. Keakraban tokoh antar mazhab mulai terlihat. Kang Jalal Nampak sukses menggandenga tokoh-tokoh toleran lainnya di kota ini. Misinya sama, menjembatani dua mazhab besar agar penganutnya saling memahami dan bertoleransi. Kang Jalal selalu mebawakan kisah-kisah segar yang masih jarang didengarkan oleh khalayak terutama para aktivis mahasiswa.
Setahun kemudian Kang Jalal datang lagi di Unhas. Saya mengikuti ceramahnya di Mesjid Kampus Unhas Tamalanrea. Beliau kini kian arif dan banyak mengutip kisah Jalaluddin Rumi. Menurutnya, tasawuf sangat penting dihidupkan dalam masyarakat untuk mendorong terciptanya situasi sosial yang lebih arif. Dalam kuliahnya di hadapan para pengajar dan mahasiswa di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Kang Jalal menguraikan bahwa ulama sufi lebih mampu mengantarkan seseorang mengenali dirinya. Ia mencoba membandingkan psikologi dengan tasawuf. Ia menguraiakan dengan sangat jelas ringkasan buku babon yang melejitkannya menjadi pakar komunikasi yang diakui secara internasional, “Psikologi Komunikasi”.
Ditambahkannya bahwa ke depan ia bermaksud memperkenalkan psikologi agama sebagai suatu studi baru guna melengkapi teori psikologi paling baru; psikologi humanistik. Sufi selalu berupaya melihat dirinya dan mengupayakan kedekatannya dengan Tuhan selalu bertambah setiap hari. Sufi selalu berupaya menerangkan dirinya dengan menyerap sifat-sifat Tuhan. “Sekarang misi saya adalah memasyarakatkan tasawuf dan mentasawufkan masyarakat, “ kata Kang Jalal yang disambut gelak tawa para peserta.
Beberapa tahun kemudian saya lebih suka menyebutnya, Ustadz Jalal. Selainh menjadi guru yang ikhlas, dirinya telah tampil sebagai pembimbing ruhani para muridnya baik yang langsung maupun tidak. Selain itu ia makin dekat dengan orang-orang kecil. Seperti biasa ia kerap menghadiri undangan murid-muridnya. Suatu saat ia berkenan hadir memberi ceramah dan doa pada acara akikah anak saya. Rumah kontrakan saya yang sempit di Jalan Pabbentengan Kota Makassar disesaki jamaah untuk mendengar ceramah Ustadz Jalal.
Saya bergegas kembali ke ruangan Auditorium Andi Pengerang Pettarani Universitas Hasanuddin (Unhas) Ujungpandang tempat kegiatan Dialog Sunni Syiah digelar. Riuh peserta berbincang dalam kelompoknya masing-masing. Mereka belum juga meninggalkan ruangan walau acara telah selesai setengah jam lalu. “Bintang” yang sedang diperbicangkan itu adalah Kang Jalal, panggilan akrab Jalaluddin Rakhmat. Ia salah seorang narasumber selain beberapa cendekiawan dan ulama Kota Ujungpandang.
Saya sudah berada di ruangan itu setengah jam sebelum kegiatan dimulai. Setelah cukup lama menahan kesabaran untuk melihat langsung penulis buku "Islam Alternatif" dan "Islam Aktual" itu, Syamsuddin Baharuddin, sang ketua panitia tampil ke depan. Ia menyampaikan bahwa dialog ini dilaksanakan dalam bingkai ukhuwah; persaudaraan dalam Islam.
Koridor itulah yang secara konsisten dilalui oleh Kang Jalal meski sepanjang dialog berkali-kali dipojokkan dengan berbagai cara. Dialog itu memojokkannya sebagai seorang Syiah, meski ia sudah menjelaskan diri masih sebagai anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah di tempatnya. Kang Jalal tak melayaninya. Kang Jalal menegaskan bahwa dalam setiap dialog antar mazhab pada umumnya pembicara akan mengutarakan argumentasi yang membela mazhabnya dan menyerang mazhab selainnya. “Izinkan saya menggunakan pendekatan ukhuwah ini secara konsisten dengan mengambil rujukan dari kedua mazhab guna membicarakan pokok-pokok persamaan ajaran Sunni dan Syiah. Bukan perbedaan antara kduanya belaka!” tandas Kang Jalal.
Secara sadar saya harus mengubah pandangan saya tentang tokoh ini. Semula saya berangkat dari Politeknik Pertanian Universitas Hasanuddin di Segeri Mandalle, Kabupaten Pangkajene Kepulauan dengan sejumlah informasi yang sangat buruk tentang Kang Jalal. Syahdan, kata kawan yang mengajak saya ke acara itu, Kang Jalal selalu “lari” setiap kali diundang dalam suatu dialog. Itu karena dia selalu mau mengelak untuk disebut Syiah. “Padahal memang dia sudah Syiah,” kata kawan saya itu.
Manakah yang benar, Kang Jalal telah sesat bersama dengan sesatnya ajaran Syiah, atau Syiah dan Sunni keduanya adalah mazhab Islam yang benar sebagaimana tersirat dalam bukunya, Islam Alternatif? Dialog Mei 1994 itulah yang menjadi jawabannya.
Penjelasan demi penjelasan Kang Jalan sangat jernih. Belum memasuki sesi tanya jawab, seorang narasumber langsung menyerangnya sebagai Syiah yang sedang bertaqiyah. Kang Jalal dianggap hanya berlindung di balik tembok keanggotaannya di Muhammadiyah. Itu dibuktikan dengan salawatnya yang berbeda dengan narasumber lain yang Sunni. Memang Kang Jalal hanya menyebutkan “Aali Muhammad (keluarga Muhammad) tanpa kata sahabat” dalam salawatnya. Ketika memberi jawaban, Kang Jalal mengajak hadirin untuk tidak terburu-buru menuduh Syiah orang yang salawatnya tak menyebutkan “sahabat” Nabi saw. Kalau kita menyatakan seseorang Syiah hanya karena dalam salawatnya tak mengikutkan sebutan “sahabat” maka semua orang yang salat di dunia ini adalah Syiah sebab dalam tasyahudnya pasti mengucapkan salawat yang hanya ada nama Nabi Muhammad dan keluarganya, tanpa sahabatnya. Hanya sedikit peserta yang tidak berdiri bertepuk tangan. Saya mulai kagum.
Begitu juga ketika seorang ulama yang hadir dipersilakan menyampaikan pertanyaan. Ia memperlihatkan sebuah kitab dalam bahasa Arab berjudul “Kasyf al-Asrar” karya Imam Khomeini. Ia mengaku dulu sangat kagum kepada Imam Khomeini karena slogan “La syaqiyyah wa la gharbiyyah”, bahkan fotonya dipsang di dinding kamarnya. Namun kini tidak lagi. Ia menyatakan bahwa di dalam kitab tersebut sangat banyak pernyataan Khomeini yang bertentangan dengan syariat Allah dalam Alquran. Satu di antaranya adalah kehalalan mencampuri istri dalam keadaan menstruasi. Saya tersentak kaget. Saya kembali ragu sebelum Kang Jalal menjawab dengan juga memperlihatkan sebuah kitab. Judulnya sama. Bahasanya yang berbeda. Kitab yang ada di tangan Kang Jalal berbahasa Persia. Kang Jalal mengatakan bahwa kitab yang dibawanya adalah kitab asli sedangkan yang ada di tangan penanya itu adalah terjemahan. Kang Jalal mengaku telah membandingkan dua kitab tersebut sebab ia memiliki keduanya. Selain itu ia paham Bahasa Persia sebagus pemahamannya terhadap Bahasa Arab. Kang Jalal tahu juga bahwa penerjemah kitab itu dari Bahasa Persia ke Arab adalah pembenci Imam Khomeini. Saya makin kagum.
Berbagai kecaman akhirnya muncul menyusul terbantahnya semua sanggahan yang mencoba memisahkan Sunni dan Syiah sebagai dua mazhab penting dalam Islam. Kang Jalal laksana mesin diesel; kian lama kian hangat dan powerful. Kini dialog mulai terlihat kurang sehat karena kecaman yang dialamatkan kepada pribadi Kang Jalal amat buruk. Satire yang amat kasar. Kang Jalal hanya menghadapinya dengan tenang. Sambil mengutip sebuah peristiwa yang terjadi di zaman Imam Ali Zainal Abidin ra. Beliau adalah cucu Rasulullah saw, putra Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib ra. Ketika seseorang mencaci maki beliau bahkan juga ibunya, beliau hanya mendengarkan dan berlalu. Namun beberapa saat kemudian beliau berbalik badan dan memanggil orang yang menghinanya itu. Murid-muridnya menyangka bahwa beliau akan marah. “Jika tuduhan yang engkau alamatkan padaku memang benar ada padaku, maka aku akan bersujud ke tanah memohon ampun untuk diriku. Namun, jika itu tak ada padaku, aku juga akan bersujud ke tanah memohonkan ampunan untukmu,” ujar Imam Ali Zainal Abidin. Kang Jalal menyambung bahwa dirinya akan menggunakan perkataan Imam Ali Zainal Abidin itu, yakni memohon ampun jika segala tuduhan buruk ada padanya, namun akan memohonkan ampun para pencacinya jika tuduhannya tidak benar. Sekali lagi semua hadirin kecuali sangat sedikit, berdiri bertepuk tangan. Kali ini tepuk tangannya lumayan lama.
Saya menangis. Kang Jalal telah memperlihatkan tiga hal yang pantas membuat saya terpukau; keluasan ilmu, kefasihan retorika, dan kemuliaan akhlak. Mungkin juga sebagian besar peserta yang hadir dalam dialog itu merasakan hal yang sama dengan saya. Kini saya tidak lagi ragu bahwa selain mazhab Sunni, dalam Islam juga ada mazhab Syiah yang dapat mencerahkan umat. Ini sudah saya yakini ketika masih duduk di bangku sekolah menengah. Buku Aboebakar Atjeh, “Syiah; Rasionalisme dalam Islam” telah lebih dahulu meyakinkan bahwa Syiah memiliki kontribusi sangat penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Saya segera berniat mengembalikan buku yang dipinjamkan seorang dosen saya, “I’tikad Ahlussunnah Waljamaah” karena di dalamnya hanya memuji mazhab Sunni sebagai keyakinan yang benar.
Sepulang dari acara dialog itu, saya segera mendatangi sahabat saya, lulusan Pesantren Darul Da’wah Wal-Irsyad, Mangkoso. Ia sangat fasih berbahasa Arab. Saya sodorkan lembaran hadis yang terdapat dalam kitab ”Yanabi’ al-Mawaddah”. Lembaran foto copy itu dibawa oleh Kang Jalal sebagai bahan dalam paparannya pada dialog tersebut. Teman saya itu membaca satu persatu lalu menerjemahkannya. Makin jelaslah bahwa Kang Jalal tidak berbohong dalam penjelasannya tentang salah satu isi kitab itu bahwa Rasulullah saw memang pernah mengabarkan nama penggantinya satu persatu untuk setiap zaman. Kitab itu adalah kitab Sunni. Sembari menegaskan bahwa secara substansial Sunni dan Syiah masih memiliki kesamaan. Kesamaan keduanya justru ada dalam perkara yang dianggap sebagai pemisah Syiah dengan Sunni, yakni konsep kepemimpinan sesudah Nabi saw. Menurutnya, baik Sunni maupun Syiah sama-sama meyakini wajibnya umat memiliki pemimpin. Perbedaan hanya terdapat pada pilihan imamah atau khilafah.
Sejak saat itu, saya mencari kembali buku “Islam Alternatif” dan “Islam Aktual”. Satu di antaranya adalah bacaan favorit selain buku karangan Soekarno yang saya gemari sejak SMA. Buku itu juga adalah dua dari dua puluh lima referensi yang wajib kami baca sebelum mengikuti seleksi Intermediate Training di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Tulisan-tulisan Kang Jalal pun tak pernah saya lewatkan. Kolomnya di halaman akhir Majalah Ummah Antara tahun 1996-1997 selalu menjadi bacaan wajib saya. Namanya di rubrik itu adalah Fikri Yathir dan kadang juga Mustafa Syauqi. Sangat mencerahkan. Ia hadir tepat ketika banyak problem sosial, keagamaan, bahkan politik dalam dan luar negeri perlu ditemukan jawabannya.
Kepiawaian memainkan pena ibarat pendekar Shaolin yang lihai memainkan pedang. Ia bisa memisahkan sesuatu yang samar dari yang nyata. Tak jauh beda dengan lisannya yang fasih. Diperkuat dengan wawasannya yang sangat luas, Kang Jalal dapat menyampaiakan uraian-uraian dengan sangat membekas. Hampir setiap tahun Kang Jalal ke Ujungpandang usai dialog fenomenal di Unhas, 1994 itu. Setahun kemudian ia datang lagi dalam forum yang hampir sama. Kali ini diadakan di IAIN Alauddin Ujungpandang (sekarang: UIN Alauddin Makassar). Kepiawaian Kang Jalal tetap terasa. Kali ini dialog tidak sekeras di Unhas setahun lalu. Keakraban tokoh antar mazhab mulai terlihat. Kang Jalal Nampak sukses menggandenga tokoh-tokoh toleran lainnya di kota ini. Misinya sama, menjembatani dua mazhab besar agar penganutnya saling memahami dan bertoleransi. Kang Jalal selalu mebawakan kisah-kisah segar yang masih jarang didengarkan oleh khalayak terutama para aktivis mahasiswa.
Setahun kemudian Kang Jalal datang lagi di Unhas. Saya mengikuti ceramahnya di Mesjid Kampus Unhas Tamalanrea. Beliau kini kian arif dan banyak mengutip kisah Jalaluddin Rumi. Menurutnya, tasawuf sangat penting dihidupkan dalam masyarakat untuk mendorong terciptanya situasi sosial yang lebih arif. Dalam kuliahnya di hadapan para pengajar dan mahasiswa di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Kang Jalal menguraikan bahwa ulama sufi lebih mampu mengantarkan seseorang mengenali dirinya. Ia mencoba membandingkan psikologi dengan tasawuf. Ia menguraiakan dengan sangat jelas ringkasan buku babon yang melejitkannya menjadi pakar komunikasi yang diakui secara internasional, “Psikologi Komunikasi”.
Ditambahkannya bahwa ke depan ia bermaksud memperkenalkan psikologi agama sebagai suatu studi baru guna melengkapi teori psikologi paling baru; psikologi humanistik. Sufi selalu berupaya melihat dirinya dan mengupayakan kedekatannya dengan Tuhan selalu bertambah setiap hari. Sufi selalu berupaya menerangkan dirinya dengan menyerap sifat-sifat Tuhan. “Sekarang misi saya adalah memasyarakatkan tasawuf dan mentasawufkan masyarakat, “ kata Kang Jalal yang disambut gelak tawa para peserta.
Beberapa tahun kemudian saya lebih suka menyebutnya, Ustadz Jalal. Selainh menjadi guru yang ikhlas, dirinya telah tampil sebagai pembimbing ruhani para muridnya baik yang langsung maupun tidak. Selain itu ia makin dekat dengan orang-orang kecil. Seperti biasa ia kerap menghadiri undangan murid-muridnya. Suatu saat ia berkenan hadir memberi ceramah dan doa pada acara akikah anak saya. Rumah kontrakan saya yang sempit di Jalan Pabbentengan Kota Makassar disesaki jamaah untuk mendengar ceramah Ustadz Jalal.
Ketika saya hijrah ke Jakarta pertama kali saya berkunjung ke murid-murid terdekat Ustadz Jalal. Itu untuk dapat mengakses tulisan-tulisan dan jadwal ceramahnya. Saya dengan sepenuh-penuhnya meyakini akan banyaknya hikmah pada dua kekuatan dahsyat Ustadz Jalal. Tak satupun kalimat dalam tulisan-tulisannya yang sia-sia atau tanpa makna. Itu membuatnya selalu diburu para pembaca yang haus pengetahuan dan hikmah. Persis sama dengan forum yang menghadirkannya. Ruangan selalu disesaki oleh peserta.
Ketika beliau harus menyapa umat hanya lewat media online pun selalu dihadiri oleh ratusan peserta di masing-masing saluran yang berbeda. Saya merasakan itu sebab pada beberapa kali kesempatan saya diberi kehormatan menjadi moderator dalam kajian yang menghadirkannya sebagai pembicara. Kang Jalal tak mengenal saya dengan baik, namun saya beruntung bisa mengenal dan mereguk hikmah dari dua kekuatannya. Saya menyaksikan gelombang kecintaan umat melekat pada dua kekuatan istimewa milik Kang Jalal itu sejak dulu; pena dan podiumnya. Penanya setajam pedang Samurai, dan podiumnya selantang Cicero. Keduanya telah membuat Kang Jalal teguh bak Socrates. Ia tak pernah menyerah menggenggam kebenaran yang diyakininya hingga utusan Tuhannya datang menjemputnya menuju peristirahatannya yang baru.
Selamat jalan, Kang Jalal!
Ketika beliau harus menyapa umat hanya lewat media online pun selalu dihadiri oleh ratusan peserta di masing-masing saluran yang berbeda. Saya merasakan itu sebab pada beberapa kali kesempatan saya diberi kehormatan menjadi moderator dalam kajian yang menghadirkannya sebagai pembicara. Kang Jalal tak mengenal saya dengan baik, namun saya beruntung bisa mengenal dan mereguk hikmah dari dua kekuatannya. Saya menyaksikan gelombang kecintaan umat melekat pada dua kekuatan istimewa milik Kang Jalal itu sejak dulu; pena dan podiumnya. Penanya setajam pedang Samurai, dan podiumnya selantang Cicero. Keduanya telah membuat Kang Jalal teguh bak Socrates. Ia tak pernah menyerah menggenggam kebenaran yang diyakininya hingga utusan Tuhannya datang menjemputnya menuju peristirahatannya yang baru.
Selamat jalan, Kang Jalal!