Enton Supriyatna Sind
Alumni Jurnalistik UNPAD
Alumni Jurnalistik UNPAD
Kang Jalal paham betul beratnya kehidupan petani di kampung-kampung seperti itu, apalagi petani penggarap. Beliau ingin meyakinkan, bahwa apa yang mereka lakukan selama ini punya nilai tersendiri di hadapan Allah SWT. Bukan perkejaan untuk dunia semata. Pahalanya akan terus mengalir meskipun mereka sudah meningalkan dunia ini.
Pada suatu ketika di tahun 2017, Kang Jalal berbincang dengan para petani di Kampung Cikawari Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung. Perbicangan dilakukan di rumah seorang warga setempat. Sebagai komunikator yang baik, beliau berbicara dengan “bahasa kaumnya”. Menggunakan bahasa Sunda halus yang sesekali dicampur bahasa Indonesia.
Tema pembicaraan juga tidak jauh-jauh dari keseherian warga, yaitu dunia pertanian. Kang Jalal mengutarakan sebuah hadis tentang tujuh perkara yang pahalanya akan tetap mengalir meskipun seseorang sudah meninggal dunia.
Ketujuh amalan tersebut meliputi mengajarkan ilmu pengetahuan, mengalirkan sungai, membuat sumur, menanam pohon, membangun masjid, memberi Alquran, dan meninggalkan seorang anak yang senantiasa memohonkan ampun untuknya setelah ia wafat.
Bagi kebanyakan orang, tentu hadis ini tergolong baru didengar. Sebab yang popular selama ini adalah hadis tentang tiga perkara yang akan terus mengalir pahalanya, yakni sedekah jariah, ilmu bermanfaat, dan doa anak saleh.
Di hadapan para petani itu, Kang Jalal memberi penekanan kepada tiga hal yaitu mengalirkan sungai, yang diterangkannya sebagai saluran air (semisal irigasi) yang antara lain untuk mengairi lahan-lahan pertanian. Kemudian membuat sumur, untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga sehari-hari.
Lalu tentang menanam pohon, yang dimaknai lebih luas mengenai manfaatnya bagi kehidupan manusia dan lingkungannya. Sebuah hadis dikutip Kang Jalal, “Sekiranya kiamat akan terjadi besok hari, sedangkan di tangan kalian ada bibit pohon kurma, maka tanamlah”.
Kang Jalal paham betul beratnya kehidupan petani di kampung-kampung seperti itu, apalagi petani penggarap. Beliau ingin meyakinkan, bahwa apa yang mereka lakukan selama ini punya nilai tersendiri di hadapan Allah SWT. Bukan perkejaan untuk dunia semata. Pahalanya akan terus mengalir meskipun mereka sudah meningalkan dunia ini. (*)
Kang Jalal dan Totopong Sunda di Lebanon
MUNGKIN dalam tujuh atau delapan tahun terakhir, ada yang berubah dari penampilan KH. Dr. Jalaluddin Rakhmat. Kang Jalal -sapaan akrabnya- seringkali mengenakan totopong atau iket (tutup kepala khas Sunda) berwarna hitam jika tampil di depan umum. Terkadang dipadu dengan kain serban bergaris merah putih membalut pundak dan dibiarkan ngarumbay.
Bahkan iket warna hitam yang sering dipakainya, sudah melanglang buana dan pernah dikenakan saat menghadiri sebuah konferensi Islam sedunia di Lebanon beberapa tahun lalu. Para delegasi dari berbagai negara banyak yang mengenakan tutup kepala khas negaranya masing-masing. Tentu saja penampilan Kang Jalal seperti itu mengundang kepenasaranan sejumlah peserta. Mungkin karena tampak asing dan dianggap tidak lazim.
“Banyak yang bertanya kepada saya tentang tutup kepala ini. Sebab bentuknya lain dari pada yang lain. Ya saya jawab saja, ini tutup kepala khas Sunda dan saya orang Sunda. Saya jelaskan pula apa dan bagaimana itu Sunda dalam wilayah Indonesia. Saya bangga mengenakan ini, karena menjadi identitas tersendiri saat berada di tengah masyarakat dunia,” ujarnya dalam sebuah kesempatan berbincang dengan warga Desa Cimekar, Kec. Cileunyi, Kab. Bandung pada tahun 2015.
Kebiasaan menggunakan penutup kepala tradisional itu, muncul dari keyakinan bahwa tanah kelahirannya, Tatar Sunda, memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang tinggi. Karenanya, Kang Jalal yang saat itu masih menjadi anggota DPR Komisi VIII, memberi penghormatan sendiri terhadap kearifan tersebut.
Kang Jalal merasa terpanggil untuk ikut memelihara tradisi. Sebab masyarakat Sunda yang begitu terbuka, seringkali melupakan kesundaan pada dirinya. Berbeda dengan suku bangsa lain di Indonesia yang memiliki hubungan lebih kuat pada tradisi mereka. Hal itu boleh jadi karena pada masyarakat Sunda tidak ada primordialisme yang mengikat seperti dalam kekerabatan suku bangsa Batak atau Ambon.
Tema pembicaraan juga tidak jauh-jauh dari keseherian warga, yaitu dunia pertanian. Kang Jalal mengutarakan sebuah hadis tentang tujuh perkara yang pahalanya akan tetap mengalir meskipun seseorang sudah meninggal dunia.
Ketujuh amalan tersebut meliputi mengajarkan ilmu pengetahuan, mengalirkan sungai, membuat sumur, menanam pohon, membangun masjid, memberi Alquran, dan meninggalkan seorang anak yang senantiasa memohonkan ampun untuknya setelah ia wafat.
Bagi kebanyakan orang, tentu hadis ini tergolong baru didengar. Sebab yang popular selama ini adalah hadis tentang tiga perkara yang akan terus mengalir pahalanya, yakni sedekah jariah, ilmu bermanfaat, dan doa anak saleh.
Di hadapan para petani itu, Kang Jalal memberi penekanan kepada tiga hal yaitu mengalirkan sungai, yang diterangkannya sebagai saluran air (semisal irigasi) yang antara lain untuk mengairi lahan-lahan pertanian. Kemudian membuat sumur, untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga sehari-hari.
Lalu tentang menanam pohon, yang dimaknai lebih luas mengenai manfaatnya bagi kehidupan manusia dan lingkungannya. Sebuah hadis dikutip Kang Jalal, “Sekiranya kiamat akan terjadi besok hari, sedangkan di tangan kalian ada bibit pohon kurma, maka tanamlah”.
Kang Jalal paham betul beratnya kehidupan petani di kampung-kampung seperti itu, apalagi petani penggarap. Beliau ingin meyakinkan, bahwa apa yang mereka lakukan selama ini punya nilai tersendiri di hadapan Allah SWT. Bukan perkejaan untuk dunia semata. Pahalanya akan terus mengalir meskipun mereka sudah meningalkan dunia ini. (*)
Kang Jalal dan Totopong Sunda di Lebanon
MUNGKIN dalam tujuh atau delapan tahun terakhir, ada yang berubah dari penampilan KH. Dr. Jalaluddin Rakhmat. Kang Jalal -sapaan akrabnya- seringkali mengenakan totopong atau iket (tutup kepala khas Sunda) berwarna hitam jika tampil di depan umum. Terkadang dipadu dengan kain serban bergaris merah putih membalut pundak dan dibiarkan ngarumbay.
Bahkan iket warna hitam yang sering dipakainya, sudah melanglang buana dan pernah dikenakan saat menghadiri sebuah konferensi Islam sedunia di Lebanon beberapa tahun lalu. Para delegasi dari berbagai negara banyak yang mengenakan tutup kepala khas negaranya masing-masing. Tentu saja penampilan Kang Jalal seperti itu mengundang kepenasaranan sejumlah peserta. Mungkin karena tampak asing dan dianggap tidak lazim.
“Banyak yang bertanya kepada saya tentang tutup kepala ini. Sebab bentuknya lain dari pada yang lain. Ya saya jawab saja, ini tutup kepala khas Sunda dan saya orang Sunda. Saya jelaskan pula apa dan bagaimana itu Sunda dalam wilayah Indonesia. Saya bangga mengenakan ini, karena menjadi identitas tersendiri saat berada di tengah masyarakat dunia,” ujarnya dalam sebuah kesempatan berbincang dengan warga Desa Cimekar, Kec. Cileunyi, Kab. Bandung pada tahun 2015.
Kebiasaan menggunakan penutup kepala tradisional itu, muncul dari keyakinan bahwa tanah kelahirannya, Tatar Sunda, memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang tinggi. Karenanya, Kang Jalal yang saat itu masih menjadi anggota DPR Komisi VIII, memberi penghormatan sendiri terhadap kearifan tersebut.
Kang Jalal merasa terpanggil untuk ikut memelihara tradisi. Sebab masyarakat Sunda yang begitu terbuka, seringkali melupakan kesundaan pada dirinya. Berbeda dengan suku bangsa lain di Indonesia yang memiliki hubungan lebih kuat pada tradisi mereka. Hal itu boleh jadi karena pada masyarakat Sunda tidak ada primordialisme yang mengikat seperti dalam kekerabatan suku bangsa Batak atau Ambon.
Selain itu, menurutnya, nilai-nilai kesundaan juga sesuai dengan nilai-nilain keislaman. Misalnya konsep silih asah silih asih silih asuh, itu sarat dengan ajaran sosial dalam Islam. “Dulu, kalau ada orang Sunda yang tidak beragama Islam kerap dianggap sudah bukan orang Sunda lagi,” tutur pakar komunikasi ini.
Kecintaan pada asal usul budayanya, diungkapkan dalam sebuah kesempatan berbicara pada acara warga Sumatera Barat di Bandung. Kang Jalal memuji etos kerja, keuletan, kekompakan, dan juga kepedulian orang Padang. "Karena itu, seandainya Tuhan melahirkan saya kembali ke dunia ini, saya akan meminta untuk menjadi orang....Sunda " katanya disambut geeerr hadirin.
Kini penampilan Kang Jalal dengan totopongnya, tinggal kenangan. Penulis lebih dari 45 buku itu telah berpulang keharibaan Gusti Allah anu Mahawelas tur Mahaasih. (*)
Kecintaan pada asal usul budayanya, diungkapkan dalam sebuah kesempatan berbicara pada acara warga Sumatera Barat di Bandung. Kang Jalal memuji etos kerja, keuletan, kekompakan, dan juga kepedulian orang Padang. "Karena itu, seandainya Tuhan melahirkan saya kembali ke dunia ini, saya akan meminta untuk menjadi orang....Sunda " katanya disambut geeerr hadirin.
Kini penampilan Kang Jalal dengan totopongnya, tinggal kenangan. Penulis lebih dari 45 buku itu telah berpulang keharibaan Gusti Allah anu Mahawelas tur Mahaasih. (*)