Miftah Fauzi Rakhmat
Anggota Dewan Syura IJABI
Anggota Dewan Syura IJABI
"Sejak awal itu, kami sudah tahu, Bapak bukan hanya milik kami, bahkan mungkin, tidak pernah jadi milik kami. Jalan hidup kami, jalan hidup yang dipilihkannya."
Saya tak henti menitikkan airmata setiap kali melihat foto ayah saya. Kapan saja kawan-kawan mengirim foto dan berita kegiatan yang sedang dilakukannya, saya selalu terharu. Usia Bapak 70 tahun menurut penanggalan hijriah. Sepuh, tapi semangatnya tak pernah lusuh. Tua? Tidak, karena muda dan tua bukan perkara usia. Ia tentang karya yang dibangunnya.
Maka muda adalah ia yang hidupnya berisi dan penuh makna. Tua adalah duduk menepi, menarik diri, memandang pada apa yang sudah diselesaikannya, ditempuhnya, dicapainya.
Maka muda adalah ia yang hidupnya berisi dan penuh makna. Tua adalah duduk menepi, menarik diri, memandang pada apa yang sudah diselesaikannya, ditempuhnya, dicapainya.
Setiap kali berjumpa saya mencium tangannya. Bersama ciuman itu terbayang segala yang telah dilaluinya. Suka, duka, musibah, tantangan. Semuanya. Saya hirup aroma tangan itu dalam-dalam. Segala apa yang ada dalam diri saya adalah karenanya. Semua yang Allah Ta'ala alirkan pada saya adalah melaluinya. Jalan hidup saya tak pernah sama tanpa kehadirannya.
Benar, tak banyak Bapak bermain bersama kami--anak-anaknya. Masa kecil kami lewati mengetahui sekian naskah ia tulis, sekian diktat ia siapkan, buku-buku yang berserakan. Ada dua pesan Mamah pada kami: jangan ganggu Bapak kalau sudah bekerja, dan jangan pindahkan buku dari tempatnya. Di mana pun ia.
Maka kami sering memandangi Bapak dari belakang. Punggung yang memisahkan antara kami dan layar komputer atau mesin tik tempatnya bekerja. Sejak kecil, kami sudah tahu, Bapak bukan hanya milik kami. Tamu berdatangan silih berganti. Bapak pun sering meninggalkan kami. Undangan pengajian, khutbah, ceramah…berbagai tempat ia penuhi.
Kadang-kadang, saya dibawa serta. Dua tempat yang paling saya ingat adalah kajian Subuh di Masjid Cipaganti dan 'blusukan' di kompleks Jati Dua, sebuah pemukiman pemulung tepat di depan Gedung Sate Bandung. Saya ingat Bapak menikahkan para pemulung itu. Walimah di kompleks tengah 'danau' itu berbalurkan bau sampah di sekitarnya. Saya tak pernah bertanya. Saya lihat bagaimana Bapak mengisi hidupnya.
Sejak awal itu, kami sudah tahu, Bapak bukan hanya milik kami, bahkan mungkin, tidak pernah jadi milik kami. Jalan hidup kami, jalan hidup yang dipilihkannya. Ketika terjadi gunjang-ganjing di Kampus tempatnya mengabdi, ia dipersonanongratakan. Kami sekeluarga 'hijrah' ke Iran. Di sana, Bapak berniat mengambil program doktoral di Fakultas Filsafat (Ilahiyyah) Univ. Teheran. Tapi proses administrasi yang sulit, lebih dari setahun lamanya, memberi banyak pertimbangan. Bapak (dan keluarga) pulang persis setelah muncul tanda penerimaan. Saya memilih untuk meneruskan studi di sana sedang keluarga pulang ke tanah air.
Begitu kembali ke tanah air, kami sekeluarga diajak serta ke Australia. Mencoba hidup di dua budaya yang berbeda. Bapak mengambil program Doktoral Ilmu Politik di Australian National University. Ia dijanjikan dan diberikan beasiswa oleh lembaga ilmiah dan penelitian di negeri ini. Proses beasiswa ternyata tak semudah yang diduga. Keluarga kesulitan keuangan. Adik saya, bahkan harus memecahkan celengannya, agar keluarga dapat bertahan. Mobil Honda Accord di tanah air yang akan kami jual untuk bekal hidup di sana, mengalami kecelakaan. Menurut saksi mata, ia hancur begitu rupa, tak tersisa. Bahkan batang besi rongsokannya pun tak cukup dapat dijual sedikit pun juga.
Dalam seluruh perjalanan itu, Bapak punya tanggungjawab. Sekolah yang didirikannya, tempat-tempat kegiatan yang dibinanya. Ia tak pernah berhenti bekerja. Di rumah, selalu saja ada yang dibacanya. Ia selalu berkata, ''Bagiku, surga adalah tempat yang dipenuhi dengan banyak buku untuk dibaca...'' Makin sering ia diundang kajian. Makin jarang ia bersama kami berkegiatan. Milenium 20 ditutup dengan mencuatnya empat tokoh keagamaan ke pentas nasional: Bapak satu di antaranya.
Awal milenium bergulir, jalan itu semakin jelas ditempuhnya. Dalam sebuah dialog di televisi nasional, diadakan Diskusi Sunnah-Syiah. Saya mengantar Bapak pulang. Di jalan, Bapak berkata, ''Acara tadi sebuah deklarasi tentang Syiah di Indonesia.'' Saya menjawab, ''Tidak Pak. Garis kita tetap ukhuwwah. Bapak hadir tadi mewakili mazhab Syiah. Bila satu saat ada yang meminta Bapak diskusi mewakili Sunni, apa salahnya?''
Sejak itu, ramai kawan bertanya tentang jalan yang akan ditempuh Bapak. Dulu, orang Syiah masih sedikit bersuara, malu-malu, bahkan perhitungan melihat situasi yang ada. Tapi tidak dengan Bapak. Sejak awal milenium itu, gerakan pecinta keluarga Nabi Saw menemukan momentumnya. Bagai busur panah, ia melesat tinggi ke angkasa. Menorehkan guratan dalam langit sejarah Indonesia. Sejak saat itu pula penentangan makin kencang. Hasutan, fitnah, makian tak henti-henti datang. Kami pun tumbuh mengakrabinya. Pesan singkat, petikan yang menghujat, potongan gambar yang mengancam kadang-kadang singgah di layar telepon saya. Kawan-kawan itu baik hati. Kapan pun ada kabar yang mengkhawatirkan, mereka dengan cepat memberitahukannya. Saya harus memilah, menahan diri, dan pada saat yang sama juga waspada. Maka kepada siapa lagi kuadukan semua, kecuali kepada Dia.
Di hadapanNya saya tersungkur dan saya menangis. Begitu banyak saat penting, saya tak bersamanya. Begitu banyak saat genting, saya tak menjaganya. Maafkan Bapak, saya tak hadir di sana. Tetapi pada malam-malam itu kubacakan doa seorang anak untuk orangtuanya. Kumohonkan pada Dia sebaik-baiknya penjaga. Kusampaikan pada dia, sebaik-baiknya pecinta. Agar kasihNya dan kerinduan pada mereka senantiasa melindungi, menjaga, menaungi…dan membimbingmu, selamanya. Selamanya.
Kini, kami tahu jalan yang ditempuhnya. Tugas yang diembannya. Ia memilih untuk mewakafkan seluruh hidupnya untuk memperkenalkan keluarga Rasulullah Saw yang tercinta. Kerinduan pada Ahlul Bait Nabi menjadi motor yang menggerakkan seluruh dirinya. Ia hanya ingin datang dengan persembahan terbaik saat nanti menghadapNya.
Semua yang ia lakukan untuk keluarga suci tersayang. Maka ketika hari ini, ia pertahankan disertasi tentang penerima wasiat Nabi Saw, saya tersungkur dalam haru. Di UIN Alauddin, Makassar, ia pancangkan tonggak para pecinta keluarga Nabi. Saya berharap, nun jauh di ufuk sana, para teladan kekasih hati menunggu saat menuai janji.
Terima kasih pada semua pihak yang telah membantu. Saudaraku Syamsuddin Baharuddin dan teman-teman di Makassar yang gigih menghadapi berbagai hadangan. Saudara-saudara di IJABI, Yayasan Muthahhari, dan seluruh sahabat serta handai taulan.
Bendera itu telah dikukuhkan. Hari ini hari bersejarah. Mazhab keluarga Nabi Saw secara ilmiah dipertanggungjawabkan. Tak ada lagi dikotomi Sunnah-Syiah. Islam Sunni dan Islam Syiah adalah dua pilar penopang bangsa. Bagai burung yang terbang dengan dua sayapnya. Saya tahu, Bapak akan tetap menjadi jembatan itu. Bertahun-tahun lalu, ia menyebut dirinya ''Susyi'' Sunnah-Syiah. Kini, ia mengusung Islam Madani. Islam yang rahmatan lil 'aalamin, apa pun mazhab Anda, apa pun latar belakang kelompok Anda.
Selamat, Doktor Jalaluddin Rakhmat. Berbahagialah kedua orangtua yang mengantarkanmu ke dunia. Bahagia tak terkira, kami jadi bagian dari hidup Bapak. Maafkan kurangnya perkhidmatan. Ampuni kami yang hanya bisa mengantarmu, dengan doa dan tangisan.
I love you. We love you. And we will always be with you.
Benar, tak banyak Bapak bermain bersama kami--anak-anaknya. Masa kecil kami lewati mengetahui sekian naskah ia tulis, sekian diktat ia siapkan, buku-buku yang berserakan. Ada dua pesan Mamah pada kami: jangan ganggu Bapak kalau sudah bekerja, dan jangan pindahkan buku dari tempatnya. Di mana pun ia.
Maka kami sering memandangi Bapak dari belakang. Punggung yang memisahkan antara kami dan layar komputer atau mesin tik tempatnya bekerja. Sejak kecil, kami sudah tahu, Bapak bukan hanya milik kami. Tamu berdatangan silih berganti. Bapak pun sering meninggalkan kami. Undangan pengajian, khutbah, ceramah…berbagai tempat ia penuhi.
Kadang-kadang, saya dibawa serta. Dua tempat yang paling saya ingat adalah kajian Subuh di Masjid Cipaganti dan 'blusukan' di kompleks Jati Dua, sebuah pemukiman pemulung tepat di depan Gedung Sate Bandung. Saya ingat Bapak menikahkan para pemulung itu. Walimah di kompleks tengah 'danau' itu berbalurkan bau sampah di sekitarnya. Saya tak pernah bertanya. Saya lihat bagaimana Bapak mengisi hidupnya.
Sejak awal itu, kami sudah tahu, Bapak bukan hanya milik kami, bahkan mungkin, tidak pernah jadi milik kami. Jalan hidup kami, jalan hidup yang dipilihkannya. Ketika terjadi gunjang-ganjing di Kampus tempatnya mengabdi, ia dipersonanongratakan. Kami sekeluarga 'hijrah' ke Iran. Di sana, Bapak berniat mengambil program doktoral di Fakultas Filsafat (Ilahiyyah) Univ. Teheran. Tapi proses administrasi yang sulit, lebih dari setahun lamanya, memberi banyak pertimbangan. Bapak (dan keluarga) pulang persis setelah muncul tanda penerimaan. Saya memilih untuk meneruskan studi di sana sedang keluarga pulang ke tanah air.
Begitu kembali ke tanah air, kami sekeluarga diajak serta ke Australia. Mencoba hidup di dua budaya yang berbeda. Bapak mengambil program Doktoral Ilmu Politik di Australian National University. Ia dijanjikan dan diberikan beasiswa oleh lembaga ilmiah dan penelitian di negeri ini. Proses beasiswa ternyata tak semudah yang diduga. Keluarga kesulitan keuangan. Adik saya, bahkan harus memecahkan celengannya, agar keluarga dapat bertahan. Mobil Honda Accord di tanah air yang akan kami jual untuk bekal hidup di sana, mengalami kecelakaan. Menurut saksi mata, ia hancur begitu rupa, tak tersisa. Bahkan batang besi rongsokannya pun tak cukup dapat dijual sedikit pun juga.
Dalam seluruh perjalanan itu, Bapak punya tanggungjawab. Sekolah yang didirikannya, tempat-tempat kegiatan yang dibinanya. Ia tak pernah berhenti bekerja. Di rumah, selalu saja ada yang dibacanya. Ia selalu berkata, ''Bagiku, surga adalah tempat yang dipenuhi dengan banyak buku untuk dibaca...'' Makin sering ia diundang kajian. Makin jarang ia bersama kami berkegiatan. Milenium 20 ditutup dengan mencuatnya empat tokoh keagamaan ke pentas nasional: Bapak satu di antaranya.
Awal milenium bergulir, jalan itu semakin jelas ditempuhnya. Dalam sebuah dialog di televisi nasional, diadakan Diskusi Sunnah-Syiah. Saya mengantar Bapak pulang. Di jalan, Bapak berkata, ''Acara tadi sebuah deklarasi tentang Syiah di Indonesia.'' Saya menjawab, ''Tidak Pak. Garis kita tetap ukhuwwah. Bapak hadir tadi mewakili mazhab Syiah. Bila satu saat ada yang meminta Bapak diskusi mewakili Sunni, apa salahnya?''
Sejak itu, ramai kawan bertanya tentang jalan yang akan ditempuh Bapak. Dulu, orang Syiah masih sedikit bersuara, malu-malu, bahkan perhitungan melihat situasi yang ada. Tapi tidak dengan Bapak. Sejak awal milenium itu, gerakan pecinta keluarga Nabi Saw menemukan momentumnya. Bagai busur panah, ia melesat tinggi ke angkasa. Menorehkan guratan dalam langit sejarah Indonesia. Sejak saat itu pula penentangan makin kencang. Hasutan, fitnah, makian tak henti-henti datang. Kami pun tumbuh mengakrabinya. Pesan singkat, petikan yang menghujat, potongan gambar yang mengancam kadang-kadang singgah di layar telepon saya. Kawan-kawan itu baik hati. Kapan pun ada kabar yang mengkhawatirkan, mereka dengan cepat memberitahukannya. Saya harus memilah, menahan diri, dan pada saat yang sama juga waspada. Maka kepada siapa lagi kuadukan semua, kecuali kepada Dia.
Di hadapanNya saya tersungkur dan saya menangis. Begitu banyak saat penting, saya tak bersamanya. Begitu banyak saat genting, saya tak menjaganya. Maafkan Bapak, saya tak hadir di sana. Tetapi pada malam-malam itu kubacakan doa seorang anak untuk orangtuanya. Kumohonkan pada Dia sebaik-baiknya penjaga. Kusampaikan pada dia, sebaik-baiknya pecinta. Agar kasihNya dan kerinduan pada mereka senantiasa melindungi, menjaga, menaungi…dan membimbingmu, selamanya. Selamanya.
Kini, kami tahu jalan yang ditempuhnya. Tugas yang diembannya. Ia memilih untuk mewakafkan seluruh hidupnya untuk memperkenalkan keluarga Rasulullah Saw yang tercinta. Kerinduan pada Ahlul Bait Nabi menjadi motor yang menggerakkan seluruh dirinya. Ia hanya ingin datang dengan persembahan terbaik saat nanti menghadapNya.
Semua yang ia lakukan untuk keluarga suci tersayang. Maka ketika hari ini, ia pertahankan disertasi tentang penerima wasiat Nabi Saw, saya tersungkur dalam haru. Di UIN Alauddin, Makassar, ia pancangkan tonggak para pecinta keluarga Nabi. Saya berharap, nun jauh di ufuk sana, para teladan kekasih hati menunggu saat menuai janji.
Terima kasih pada semua pihak yang telah membantu. Saudaraku Syamsuddin Baharuddin dan teman-teman di Makassar yang gigih menghadapi berbagai hadangan. Saudara-saudara di IJABI, Yayasan Muthahhari, dan seluruh sahabat serta handai taulan.
Bendera itu telah dikukuhkan. Hari ini hari bersejarah. Mazhab keluarga Nabi Saw secara ilmiah dipertanggungjawabkan. Tak ada lagi dikotomi Sunnah-Syiah. Islam Sunni dan Islam Syiah adalah dua pilar penopang bangsa. Bagai burung yang terbang dengan dua sayapnya. Saya tahu, Bapak akan tetap menjadi jembatan itu. Bertahun-tahun lalu, ia menyebut dirinya ''Susyi'' Sunnah-Syiah. Kini, ia mengusung Islam Madani. Islam yang rahmatan lil 'aalamin, apa pun mazhab Anda, apa pun latar belakang kelompok Anda.
Selamat, Doktor Jalaluddin Rakhmat. Berbahagialah kedua orangtua yang mengantarkanmu ke dunia. Bahagia tak terkira, kami jadi bagian dari hidup Bapak. Maafkan kurangnya perkhidmatan. Ampuni kami yang hanya bisa mengantarmu, dengan doa dan tangisan.
I love you. We love you. And we will always be with you.