KH. Dr. Jalaluddin Rakhmat
Ketua Dewan Syura IJABI
Ketua Dewan Syura IJABI
Rasa sukacitanya bertambah, ketika Abu Rafi’ melihat Nabi saw mengumumkan di depan khalayak sahabatnya: Wahai manusia, siapa yang ingin melihat kepercayaanku (amini) untuk diriku dan keluargaku. Lihatlah Abu Rafi’, kepercayaanku!”.
Siapakah Abu Rafi’ budak Rasulullah? Hampir tidak ada yang mengenalnya. Saudara juga tidak mengenalnya. Ia tertindih dalam arsip sejarah. Ia dilupakan para muarrikh.
Sebagaimana Salman adalah sahabat yang mewakili Persia, Abu Rafi’ ditakdirkan menjadi wakil bangsa Mesir. Persia dan Mesir kelak menjadi dua pusat peradaban Islam.
Salman datang ke Madinah sebagai budak. Orang menyebutnya Salman al-Farisi. Tapi Nabi saw yang ingin menghapuskan tribalisme menamainya Salman al-Muhammadi. Abu Rafi’, nama awalnya Aslam, juga dinisbahkan kepada negeri asalnya, Aslam al-Qibthi. Tetapi ia lebih bahagia dengan sebutan Abu Rafi’ maula Rasulullah saw. Abu Rafi’ budak Rasulullah. Namanya didampingkan dengan manusia suci yang sangat dicintainya.
Ketika berada di Mekah, pada usia 24 tahun ia terpesona dengan fajar Islam yang baru terbit. Tubuhnya yang jangkung dan kurus, kulitnya yang kemerah-merahan karena dibakar panas matahari padang pasir, kini disepuh oleh cahaya ruhani dari Nabiyyur Rahmah, Nabi Kasih Sayang.
Ia masuk Islam sebelum tuannya, Abbas bin Abdul Muthalib. Untuk menghindari persekusi dan siksaan dari orang Quraisy, ia menyembunyikan imannya. Ia sangat berharap paman Nabi itu menjadi Muslim. Betapa bahagianya jika budak Muslim itu sekarang berlindung pada Tuan yang muslim juga.
Pada suatu hari, seluruh keluarga Abbas dikumpulkan. Pada sebuah tempat yang sepi, lepas dari mata-mata kebencian Quraisy. Dengan suara yang parau dan lembut, dibarengi dengan linangan air mata, Abbas mengumumkan: Asyhadu an La ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah. Seluruh anggota keluarga menangis. Abu Rafi’ menangis paling keras.
Waktu itu, Abu Rafi sudah diberikan kepada Nabi saw. Tapi ia masih tinggal bersama Abbas. Usai mendengar kesaksian itu, ia bergegas menghadap Nabi menyampaikan kabar gembira tentang keislaman Abbas. Menerima kabar itu, Nabi saw bersyukur dengan membebaskan Abu Rafi’.
Ia kini menjadi orang merdeka. Tapi ia masih tetap ingin disebut abdi Rasulullah.
Di Madinah, ia dipercaya Nabi saw untuk membantu Arqam bin Abi Arqam untuk mengumpulkan zakat. Untuk kepayahannya dalam menghimpun dan memikul zakat, Ibn Abi Arqam menyerahkan kepadanya hak amilin. Abu Rafi’ menolaknya. Ia mau berkonsultasi kepada Nabi. Nabi saw melarang Abu Rafi’ menerima bagian dari zakat, karena ia maula Rasul Allah. Bayangkan betapa bahagianya ia ketika Nabi saw bersabda: Sesungguhnya Ahlul Bait tidak halal menerima shadaqah. Dan maula kaum adalah bagian dari keluarga kaum itu. Abu Rafi’ sudah dihitung sebagai keluarga Nabi saw.
Rasa sukacitanya bertambah, ketika Abu Rafi’ melihat Nabi saw mengumumkan di depan khalayak sahabatnya: Wahai manusia, siapa yang ingin melihat kepercayaanku (amini) untuk diriku dan keluargaku. Lihatlah Abu Rafi’, kepercayaanku!”.
Abu Rafi’ tidak mengambil uang sepeser pun dari haknya sebagai amilin karena wara’nya, karena ketakutannya untuk jatuh pada yang diharamkan. Wara’nya mengantarkan ia menjadi kepercayaan Rasulullah. Bukan sekali itu saja, ia beruntung karena wara’nya.
Ia berkata: Tidak ada orang yang seberuntung aku. Aku berbaiat dua kali: Ridhwan dan Aqabah. Aku salat menghadap dua kiblat: Masjid al-Aqsha dan Masjid al-Haram, dan aku berhijrah tiga kali: ke Habasyah pada awal Islam, ke Madinah menyusul Nabi saw, dan kali ini aku mengikuti Ali bin Abi Thalib hijrah ke Kufah.
Pada pemerintahan Ali, ia dipercaya untuk mengurus Baitul Mal. Abu Rafi’, budak dari Mesir, karena wara’nya, menjadi kepercayaan Rasulullah saw dan Ahli Baitnya!
Sebagaimana Salman adalah sahabat yang mewakili Persia, Abu Rafi’ ditakdirkan menjadi wakil bangsa Mesir. Persia dan Mesir kelak menjadi dua pusat peradaban Islam.
Salman datang ke Madinah sebagai budak. Orang menyebutnya Salman al-Farisi. Tapi Nabi saw yang ingin menghapuskan tribalisme menamainya Salman al-Muhammadi. Abu Rafi’, nama awalnya Aslam, juga dinisbahkan kepada negeri asalnya, Aslam al-Qibthi. Tetapi ia lebih bahagia dengan sebutan Abu Rafi’ maula Rasulullah saw. Abu Rafi’ budak Rasulullah. Namanya didampingkan dengan manusia suci yang sangat dicintainya.
Ketika berada di Mekah, pada usia 24 tahun ia terpesona dengan fajar Islam yang baru terbit. Tubuhnya yang jangkung dan kurus, kulitnya yang kemerah-merahan karena dibakar panas matahari padang pasir, kini disepuh oleh cahaya ruhani dari Nabiyyur Rahmah, Nabi Kasih Sayang.
Ia masuk Islam sebelum tuannya, Abbas bin Abdul Muthalib. Untuk menghindari persekusi dan siksaan dari orang Quraisy, ia menyembunyikan imannya. Ia sangat berharap paman Nabi itu menjadi Muslim. Betapa bahagianya jika budak Muslim itu sekarang berlindung pada Tuan yang muslim juga.
Pada suatu hari, seluruh keluarga Abbas dikumpulkan. Pada sebuah tempat yang sepi, lepas dari mata-mata kebencian Quraisy. Dengan suara yang parau dan lembut, dibarengi dengan linangan air mata, Abbas mengumumkan: Asyhadu an La ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah. Seluruh anggota keluarga menangis. Abu Rafi’ menangis paling keras.
Waktu itu, Abu Rafi sudah diberikan kepada Nabi saw. Tapi ia masih tinggal bersama Abbas. Usai mendengar kesaksian itu, ia bergegas menghadap Nabi menyampaikan kabar gembira tentang keislaman Abbas. Menerima kabar itu, Nabi saw bersyukur dengan membebaskan Abu Rafi’.
Ia kini menjadi orang merdeka. Tapi ia masih tetap ingin disebut abdi Rasulullah.
Di Madinah, ia dipercaya Nabi saw untuk membantu Arqam bin Abi Arqam untuk mengumpulkan zakat. Untuk kepayahannya dalam menghimpun dan memikul zakat, Ibn Abi Arqam menyerahkan kepadanya hak amilin. Abu Rafi’ menolaknya. Ia mau berkonsultasi kepada Nabi. Nabi saw melarang Abu Rafi’ menerima bagian dari zakat, karena ia maula Rasul Allah. Bayangkan betapa bahagianya ia ketika Nabi saw bersabda: Sesungguhnya Ahlul Bait tidak halal menerima shadaqah. Dan maula kaum adalah bagian dari keluarga kaum itu. Abu Rafi’ sudah dihitung sebagai keluarga Nabi saw.
Rasa sukacitanya bertambah, ketika Abu Rafi’ melihat Nabi saw mengumumkan di depan khalayak sahabatnya: Wahai manusia, siapa yang ingin melihat kepercayaanku (amini) untuk diriku dan keluargaku. Lihatlah Abu Rafi’, kepercayaanku!”.
Abu Rafi’ tidak mengambil uang sepeser pun dari haknya sebagai amilin karena wara’nya, karena ketakutannya untuk jatuh pada yang diharamkan. Wara’nya mengantarkan ia menjadi kepercayaan Rasulullah. Bukan sekali itu saja, ia beruntung karena wara’nya.
Ia berkata: Tidak ada orang yang seberuntung aku. Aku berbaiat dua kali: Ridhwan dan Aqabah. Aku salat menghadap dua kiblat: Masjid al-Aqsha dan Masjid al-Haram, dan aku berhijrah tiga kali: ke Habasyah pada awal Islam, ke Madinah menyusul Nabi saw, dan kali ini aku mengikuti Ali bin Abi Thalib hijrah ke Kufah.
Pada pemerintahan Ali, ia dipercaya untuk mengurus Baitul Mal. Abu Rafi’, budak dari Mesir, karena wara’nya, menjadi kepercayaan Rasulullah saw dan Ahli Baitnya!