
“Sesungguhnya Allah lebih bahagia dengan taubatnya seorang hamba daripada seseorang yang datang ke suatu tempat yang gersang. Ia membawa unta tunggangannya. Di atas untanya itu ada makanan dan minumannya. Ia beristirahat meletakkan kepalanya dan tertidur lelap. Ketika ia bangun, untanya hilang.
Dengan kalimat-kalimat inilah Nabi SAW mengambarkan taubat. Tawbat dalam bahasa Arab berarti “kembali”. Dalam Al-Qur’an, salah satu nama Allah ialah ‘Al-Tawwab”, yang banyak bertaubat atau yang banyak kembali. Maka Adam menerima dari Tuhan-nya kalimat dan ia bertaubat dengannya. Sesungguhnya Allah Al-Tawwab dan Maha Pengasih (Al-Baqarah: 37). Kata yang sama digunakan untuk menunjukkan orang yang bertaubat kepada Allah: Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang mensucikan dirinya (Al-Baqarah: 222). Jadi, manusia bertaubat kepada Tuhan, dan Tuhan pun bertaubat kepada manusia. Tanpa merujuk kepada makna asalnya, yakni kembali, kita akan kesulitan memahami doa ini: wa tub ‘alaina innaka anta al-tawwab al-rahim (dan bertaubatlah kepada kami, sesungguhnya Engkau Yang Banyak Bertaubat dan Yang Maha Pengasih).
“Allah bertaubat kepadanya” berarti Dia kembali kepadanya dengan ampunan, atau kembali kepadanya dengan anugerah-Nya, dan menerima taubatnya serta memaafkannya. Karena itulah Allah itu Al-Tawwab. Pada kata taubat ada makna “kembali”-hamba kembali dari dosanya dan Tuhan kembali dengan rahmat dan ampunan-Nya.” (Mu’jam al-Fazh al-Qur’an Karim 1:162).
Ketika seorang hamba berbuat dosa, ia meninggalkan Tuhan. Tuhan pun meninggalkan dia juga. Seperti didendangkan Bimbo: “Aku dekat Engkat dekat. Aku jauh Engkau jauh”. Walaupun, berdasarkan hadis di atas, kalimat yang benar ialah “aku dekat Engkau lebih dekat lagi, aku jauh Engkau lebih jauh lagi”. Dalam salah satu hadis Qudsi yang masyhur, Tuhan berfirman: “Jika kamu datang kepadaku dengan merangkak, Aku akan menyongsongmu sambil berjalan. Jika kamu datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan menyambutmu sambil berlari, karena kasih-Nya yang tidak terbatas. Betapapun besar dosa yang dilakukan seorang manusia, Tuhan akan selalu menerima hamba-Nya yang kembali kepada-Nya.
Dahulu, dua ulama besar dari zaman tabi’in berbincang tentang dosa dan ampunan. Hasan Al-Bashri berkata, “Jika aku melihat dosa-dosa manusia, aku heran kalau masih ada orang yang bisa masuk surga.” Ali Zainal ‘Abidin menukas, “Jika aku melihat kasih sayang Tuhan, aku heran kalau masih ada manusia yang masuk neraka.”
Memang benar, keadilan Tuhan sangat menakutkan. Bukankah Nabi SAW bersabda bahwa tidak akan masuk surga orang yang mempunyai perasaan takabbur walaupun sebesar debu saja? Siapakah di antara kita yang tidak ditimpa kepongahan dalam kadar yang bermacam-macam? Tetapi kasih sayang Tuhan meliputi segala sesuatu yang mengalahkannya. Ridha Tuhan mengalahkan murka-Nya. Karena itu, dalam Al-Qur’an, Allah meletakkan “Yang Maha Keras dalam Menyiksa”sebagai salah satu nama-Nya setelah nama-nama yang mengungkapkan kasih sayang-Nya: Penghapus Dosa, Penerima Taubat, Yang Maha Keras dalam Menyiksa (Ghafir: 3)
Dalam hadis berikut ini, Nabi SAW menegaskan hadis di atas. “Sesungguhnya Allah lebih senang menerima taubat hamba-Nya daripada seorang perempuan mandul ketika memperoleh anak, daripada seorang yang sesat ketika menemukan jalan, daripada seorang yang haus ketika menemukan minuman” (Kanz al-‘Ummal, 10165).
Apakah Taubat itu? Para sufi melihat perjalanan hidup ini sebagai perjalanan menuju Tuhan. Mereka menyebut dirinya salik atau sair (sayr), yang sedang bepergian. Sepanjang perjalanan itu, ia akan menemui stasiun-stasiun, atau maqam, manzil. Maqam yang pertama adalah taubat. Kaena itulah, hampir setiap pengantar tasawuf membahas pengertian taubat, syarat-syarat taubat, dan dari apa kita harus bertaubat.
Ketika menjelaskan ayat, “siapa yang tidak bertaubat, mereka termasuk orang yang zalim” (Al-Hujurat 11), Al-Tilmisani menulis, “Taubat menurut bahasa artinya “kembali”. Ketika Anda berkata “taba ‘ala atsarih”, yang Anda maksud adalah kembali ke tempat semula. Di sini maksudnya, kembali dari menentang Tuhan kepada mengikuti-Nya. Seorang yang bertaubat kembali dari jalan yang dimurkai dan jalan yang sesat ke jalan orang-orang yang diberi nikmat” (Syarh Manazil al-Sairin: 61).
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa taubat terdiri dari tiga unsur: ilmu, keadaan, dan perbuatan. Ilmu melahirkan keadaan, dan keadaan melahirkan perbuatan. Ilmu ialah kesadaran akan bahaya dosa yang pernah dilakukan dan kesadaran akan jatuhnya tirai yang menghalangi seseorang dengan kekasihnya. Bila ia tahu Tuhan telah meninggalkannya, ia akan merasakan kepedihan hati. Ia kehilangan kekasihnya. Hatinya dipenuhi penyesalan. Inilah keadaan psikologis atau spiritual, yang tumbuh dari kesadaran akan dosa. Setelah hatinya dipenuhi penyesalan, ia segera meninggalkan dosanya pada waktu kini dan bertekad tidak akan melakukannya pada waktu yang akan datang (Ihya’ ‘Ulum al-Din, Kitab al-Tawbah). Al-Ghazali boleh jadi merujuk pada ucapan Imam Ali bin Abi Thalib kw., “Taubat ditegakkan di atas empat fondasi: penyesalan dalam hati, permohonan ampunan dalam lidah, perbuatan dalam anggota (badan), dan tekad untuk tidak mengulangi dosa (Bihar al-Anwar, 78:81). Rasulullah SAW bersabda: “Penyesalan itu taubat.” (Kanz al-‘Ummal, 10301).
Dari sini para sufi merumuskan tiga syarat taubat: penyesalan, meninggalkan maksiat, dan tekad untuk tidak mengulanginya. Tidak sempurna taubat tanpa memenuhi syarat-syarat ini. Penyesalan adalah suasana psikologis yang dirasakan seorang hamba sahaya yang bertaubat. Bayangkanlah keadaan ketika seorang budak melarikan diri dari tuannya.
Ia tertangkap. Kuduknya diseret dan tubuhnya dilemparkan ke hadapan tuannya. Ia tersungkur dalam keadaan lemah, hina dan tidak berdaya. Ia jatuh di hadapan tuannya yang berkuasa dan siap menjatuhkan hukuman yang berat baginya. Ia merintih memohon ampunan. Ia berjanji untuk tidak berbuat hal yang sama. Seperti itulah, seorang yang bertaubat di hadapan Tuhan-nya. | “Taubat ditegakkan di atas empat fondasi: penyesalan dalam hati, permohonan ampunan dalam lidah, perbuatan dalam anggota (badan), dan tekad untuk tidak mengulangi dosa" |
Aku datang kini menghadap-Mu, ya Ilahi
dengan segala kekuranganku
dengan segala kedurhakaanku
seraya menyampaikan pengakuan dan penyesalanku
dengan hati yang hancur luluh
memohon ampun dan berserah diri
dengan rendah hati mengakui segala kenistaanku
Karena segala cacatku ini
tiada aku dapatkan tempat melarikan diri
tiada tempat berlindung untuk menyerahkan urusanku
selain pada kehendak-Mu
untuk menerima pengakuan kesalahanku
dan memasukkan aku pada keluasan kasih-Mu
Ya Allah,
terimalah pengakuanku
kasihanilah beratnya kepedihan
lepaskan aku dari kekuatan belengguku
Ya Rabbi, kasihanilah kelemahan tubuhku
kelembutan kulitku
dan kerapuhan tulangku
Cara Bertaubat. Cara bertaubat bergantung pada jenis dosa yang dilakukan. Ada dua macam dosa: dosa kepada Allah dan dosa kepada makhluk-Nya. Bertaubat dari dosa kepada Allah dapat dilakukan dengan memohonkan ampunan kepada-Nya langsung atau melakukan berbagai amal yang menurut syariat dapat menghapuskan dosa itu. Nabi SAW bersabda: “Apabila dosa seorang hamba sangat banyak dan amal-amalnya tidak cukup untuk menebusnya, Allah memberikan padanya berbagai kesusahan sebagai penghapus dosa-dosanya”(HR Ahmad). “Di antara dosa-dosa, ada dosa yang tidak dapat dihapus, kecuali dengan kesulitan mencari nafkah” (HR Ath-Thabrani). Bertaubat dari dosa kepada sesama manusia hanya bisa dilakukan setelah mengembalikan hak-hak mereka yang sudah dirampas.
Berkenaan dengan dosa kezaliman, Al-Ghazali mengatakan bahwa kezaliman menggabungkan kedua dosa; dosa kepada Tuhan karena Ia melarang kita berbuat zalim, dan dosa kepada manusia karena kita mengambil haknya dengan paksa. Kepada Tuhan ia dapat memohonkan ampunan dengan merintih dan menangisi kesalahan-kesalahannya, serta berjanji untuk tidak mengulanginya. Kepada manusia, ia harus menghentikan perbuatan zalimnya dan mengembalikan hak yang telah dirampasnya. Jika yang diambil itu hartanya, ia harus mengembalikan harta itu. Jika yang dihancurkan itu kehormatannya, ia harus merehabilitasi kehormatan itu. Tanpa pengembalian hak, Tuhan tidak akan mengampuni dosa-dosanya.
Pada suatu hari, Imam Ali bin Abi Thalib kw. menemukan seseorang sedang membaca istighfar. Ia berkata, “Sesungguhnya istighfar itu hanya terjadi setelah memenuhi enam hal. Pertama, penyesalan terhadap perbuatan yang telah dilakukan. Kedua, bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan itu selama-lamanya. Ketiga, mengembalikan hak-hak makhluk yang telah dirampas. Keempat, menunaikan segala kewajiban yang telah dilalaikannya. Kelima, berusaha untuk menghilangkan daging dalam tubuh, yang tumbuh dari makanan yang haram. Ia menghilangkan daging-daging itu dengan kesedihannya, sehingga tumbuh daging yang baru. Keeanam, membiasakan kepada tubuh sakitnya menjalankan ketaatan sebagaimana sebelumnya telah menikmati manisnya kemaksiatan. Setelah keenam perbuatan itu, barulah ia boleh berkata, “Astaghfirullah”. [JR]
Tulisan ini dimuat di Majalah UMMAT dalam Rubrik SUNNAH oleh Musthafa Syauqi dengan judul “Tobat”