Sekitar lima puluh tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat, Gubernur Madinah adalah Marwan bin Hakam. Sebagaimana lazimnya di zaman itu, gubernur harus menjadi imam shalat di Masjid Nabi. Pada suatu shalat Idul Fitri, Marwan berkhutbah sebelum shalat. Lalu seorang laki-laki berdiri dan berseru, “Khutbah sebelum shalat?” Ia mempertanyakan perilaku imam itu, karena sepanjang pengetahuannya Rasulullah SAW dan para khalifah sebelumnya melakukan shalat dulu baru kemudian khutbah. Jamaah tentu saja ramai. Maka jadilah perdebatan antara imam dengan salah seorang makmum.
Peristiwa ini bukan saja menggambarkan keberanian rakyat biasa untuk mengkritik pemimpinnnya (gubernur); juga bukan semata-mata menggambarkan pentingnya amar makruf nahi mungkar. Kejadian tersebut dimasukkan Imam Muslim ke dalam kitab shahih-nya sebagai bagian dari Kitab Iman. Ia menamai bab yang bersangkutan dengan judul “Bab Nahi Mungkar termasuk Bagian Iman”. Segera setelah hadis tersebut, Muslim menurunkan hadis berikut:
Rasulullah SAW bersabda, “Setiap Nabi yan diutus Allah pada umat sebelumku, mempunyai para pembelanya (hawariyyun) di antara umatnya dan sahabat-sahabat yang berpegang pada sunnahnya serta mengikuti perintahnya. Tetapi setelah mereka, datanglah generasi yang mengucapkan apa yang tidak mereka lakukan dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang berjihad terhadap mereka dengan tangannya, ia mukmin. Barangsiapa yang berjihad terhadap mereka dengan lidahnya, ia mukmin. Barangsiapa yang berjihad terhadap mereka dengan hatinya, ia mukmin. Bila ia di luar kelompok-kelompok itu, tidak ada di hatinya iman walau sebesar debu sekalipun.”
Di sini keimanan ditandai dengan keterlibatan dalam “aksi-aksi sosial”. Bila dalam masyarakat sudah muncul orang-orang hipokrit, yang mengucapkan apa yang tidak mereka lakukan, seorang mukmin harus berjuang memperbaiki keadaan tersebut dengan tangannya, dengan lidahnya, atau paling tidak dengan hatinya. Bila ia diam sama sekali, bahkan hati pun tidak keberatan dengan apa yang terjadi, ia dianggap sedikit pun tidak memiliki iman. “Sudah sepakat para imam Ahli Sunnah wal Jama’ah bahwa iman adalah ucapan dan tindakan. Karena itulah mereka sepakat bahwa iman bertambah dan berkurang. Sekiranya iman itu hanyalah perbenaran dalam hati, tentulah tidak ada pertambahan dan pengurangannnya,” ujar Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim.
Menarik untuk dicatat judul-judul tiga bab sebelum hadis Muslim yang kita bicarakan: bab tentang petunjuk bahwa sebagian dari iman ialah mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri; bab keterangan tentang haramnya menyakiti tetangga; bab dorongan untuk memuliakan tetangga, tamu dan membiasakan diam, kecuali dalam kebaikan dan bahwa semuanya itu termasuk iman. Muslim memang senang memberi judul yang panjang-panjang. Pada bab yang terakhir tersebut, ia menurunkan hadis ini, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia berkata yang baik atau diam saja. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia memuliakan tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya.”
Kitab al-Iman adalah kitab pertama dalam Shahih Muslim, tetapi kitab yang kedua dalam Shahih Al-Bukhari. Imam Al-Bukhari memulai hadis-hadis tentang iman dengan menulis, “Iman itu ucapan dan perbuatan. Bertambah dan berkurang. Allah berfirman: Supaya iman mereka bertambah bersama keimanan mereka (QS. Al-Mudatsir: 31); orang-orang yang sudah mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan Ia berikan kepada mereka ketakwaannya (QS. Muhammad: 17); dan orang-orang beriman bertambah keimanannya (QS. Al-Fath: 4); Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya (QS. At-Taubah); maka takutilah mereka, maka perkataan itu menambah keimanan mereka (QS. Ali Imran: 173); dan tidak menambah mereka kecuali iman dan kepasrahan (QS. Al-Ahzab: 22). Cinta karena dan benci karena Allah adalah termasuk iman. Umar bin Abdul ‘Aziz menulis surat kepada ‘Adi bin Adi, “Sesungguhnya iman itu kewajiban, syariat, batas-batas, dan sunnah. Siapa yang menjaga ini semua dengan sempurna, sempurnalah imannya. Siapa yang tidak memeliharannya dengan sempurnah, tidak sempurnalah imannya. Seperti Muslim, Bukhari pun menurunkan hadis-hadis yang menjelaskan iman dengan ucapan dan perbuatan.
Dari hadis-hadis itu kita menyimpulkan bahwa keimanan bukanlah semata-mata perkara hati yang tidak kelihatan. Keimanan muncul dalam akhlak. Mukmin berarti yang berakhlak baik dan bukan mukmin pastilah berakhlak buruk.
Dalam banyak hadis, Nabi SAW memperinci karakteristik mukmin itu dari akhlaknya. Perhatikanlah hadis-hadis iman yang dikumpulkan dalam Kanz al-‘Ummal ini. Untuk memudahkan Anda, berikut ini kita turunkan beserta nomor-nomornya. Mukmin ialah yang apabila orang berada bersamanya harta dan jiwanya terlindungi (676). Mukmin itu menyayangi dan disayangi. Tidak ada baiknya orang yang tidak dapat menyayangi dan tidak disayangi (679). Mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar menanggung gangguan mereka lebih baik dari mukmin yang tidak bergaul dan tidak sabar atas gangguan mereka (686). Mukmin itu bermanfaat; jika kamu berjalan bersamanya ia bermanfaat bagimu; jika kamu berkonsultasi dengannya ia berguna bagi kamu; jika kamu berserikat dengannya, ia juga bermanfaat bagi kamu. Seluruh perilakunya bermanfaat (692). Jika kebaikan yang kamu lakukan membuat kamu bahagia dan jika kejelekan yang kamu lakukan membuat kamu menderita, pastilah kamu mukmin (699). Perumpamaan mukmin adalah seperti lebah. Ketika makan, ia makan yang baik. Ketika membuang, ia membuang yang baik. Bila ia hinggap di ranting yang rapuh, ranting itu tidak patah. Perumpamaan mukmin juga seperti bongkahan emas, bila dibakar ia menjadi merah, tetapi bila ditimbang, timbangannya tidak berkurang (735).
Lalu, apa cirinya orang yang tidak beriman? Nabi SAW bersabda: Tidak beriman seseorang sebelum aku lebih dicintai dari anaknya, orangtuanya, dan seluruh manusia (92). Bukanlah seorang mukmin yang makan kenyang sedangkan tetangganya kelaparan. Bukanlah mukmin yang suka menusuk perasaan orang, yang suka melaknat, yang suka berkata kotor, yang suka berkata kasar (720). Iman itu seperti kemeja, sekali waktu dipakai dan pada waktu yang lain ditanggalkan. Ketika seseorang berzinah, ia bukan mukmin lagi. Ketika seseorang mencuri, ia bukan mukmin lagi. Ketika meminum minuman keras, ia bukan mukmin lagi. Ketika ia membunuh, ia bukan mukmin lagi (1324).
Mukmin secara harfiah berarti yang mendatangkan rasa aman, yang memberikan perlindungan, yang memberi dan menerima amanah. Bila Anda duduk di dekat mukmin, hati Anda akan tentram, aman dan merasa terlindung. Bila menitipkan sesuatu atau seseorang kepadanya, jiwa Anda tenang karena ia akan menerima amanah Anda sebaik-baiknya. Dalam hatinya ada kecintaan kepada Allah, Rasul-Nya dan sesama manusia. Ia bergaul dengan manusia atas dasar kasih sayang. Kebahagiannya terletak dalam menjalankan perbuatan baik. Seperti lebah, ia hanya memasukkan ke mulutnya sari bunga yang indah dan bersih dan menebarkan madu di tempat yang didatanginya. Secara singkat, mukmin dengan akhlaknya menyebarkan rasa aman kepada diri dan lingkungannya.
Ibn Hajar al-‘Asqalani menyimpulkan hadis-hadis tentang iman dengan mendaftar puluhan cabang iman. Ia mengkategorikannya ke dalam tiga kelompok: (1) amal hati, seperti ikhlas, keyakinan, kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, bersihnya hati dari dengki, dendam dan kesombongan; (2) amal lidah, seperti mempelajari dan mengajarkan ilmu, berzikir dan menjauhi kata-kata yang tidak bermanfaat; (3) amal tubuh, seperti beribadah, silaturrahim, memuliakan tetangga, mendamaikan yang bertengkar dan sebagainya (Fath al-Bari 1:52-53).
Tinggalkanlah perincian cabang-cabang iman untuk sementara. Pindahlah kepada hakikat Islam. Kita akan terkejut karena Islam pun didefinisikan Nabi dengan akhlak. “Ketahuilah, aku kabarkan kepadamu perihal mukmin. Mukmin ialah orang yang karena dia jiwa dan harta manusia terlindungi (aman). Muslim ialah yang selamat orang lain dari gangguan lidah dan tangannya. Mujahid ialah orang yang berjihad melawan nafsunya ketika mentaati Allah. Muhajir ialah yang menjauhi kesalahan dan dosa.” (Al-Hakim dan al-Thabrani).
Sekali waktu, ketika Nabi SAW masih berada di atas untanya di Arafah, seseorang mendatanginya. Ia menarik kendali unta Nabi, sehingga orang-orang berteriak. Para sahabat melihat perbuatan orang itu sangat tidak beradab. Tetapi Nabi yang mulia tersenyum dan berkata, “Biarkan dia. Kita perhatikan apa maunya.” Orang itu bertanya, “Ya Rasul Allah, tunjuki aku amal yang dapat mendekatkanku ke surga dan menjauhkan aku dari neraka. Aku mohon engkau persingkat pembicaraanmu.” Nabi SAW diam sejenak, lalu ia mengangkat kepalanya ke langit. Kemudian ia menoleh kepada orang itu. “Beribadahlah kamu kepada Allah dan jangan menyekutukan-Nya, engkau menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menyukai orang lain mendapat kebaikan seperti kamu menyukai hal itu ada pada dirimu. Engkau membenci sesuatu yang buruk menimpa orang lain seperti kamu sendiri tidak mau hal itu menimpa dirimu sendiri. Jauhkanlah manusia daripadanya. Lepaskan kendali unta.” (Kanz al-‘Ummal 1:280).
Walhasil, menurut Rasulullah SAW, iman dan Islam harus disempurnakan dengan berusaha membahagiakan manusia lain sebagaimana kita berusaha membahagiakan diri kita sendiri. Kepada Abu Sa’id, sufi besar yang hidup pada abad 11 H, seorang murid bertanya, “Guru, tunjukkan jalan untuk mencapai Tuhan.” Ia menjawab, “Jalan-jalan menuju Tuhan sama banyaknya dengan ciptaan-Nya, tetapi jalan yang paling cepat dan paling mudah ialah berkhidmat kepada orang lain, tidak mengganggu mereka, dan membuat mereka bahagia.” Dan itulah iman dan Islam yang hakiki. [majulah-ijabi.org]
****
Tulisan ini dimuat di Majalah UMMAT dalam Rubrik SUNNAH oleh Musthafa Syauqi dengan judul “Hadis Iman”