Waktu itu, di Shiffin, dua pasukan Islam berhadap-hadapan. Pada kedua pasukan itu ada sahabat-sahabat Nabi yang mulia. Pada satu pihak ada ‘Âli bin Abî Thâlib, kemenakan Nabi saw., putra-putranya, dan para pendukungnya. Bergabung di dalamnya ‘Âmmâr bin Yassir, dari generasi perintis dalam sejarah perjuangan Islam. Pada pihak lain ada ‘Amr bin Ash dan putranya, ‘Abdullâh bin ‘Amr, yang terkenal banyak menuliskan hadis Nabi. Dalam tampuk pimpinan ada Mu’âwiyah bin Abî Sufyân, yang menurut kabar termasuk salah seorang penulis wahyu.
‘Âli ingin mengingatkan sang penanya bahwa mereka adalah orang Islam juga. Mereka shalat, berzikir, dan berdoa seperti juga ‘Âli dan para pengikutnya. “Kalau begitu, bagaimana kita harus menyebut mereka?” “Mereka adalah saudara-saudara kita, yang berbeda paham dengan kita,” ujar ‘Âli, tokoh yang terkenal karena kefasihan bicaranya dan ketinggian ilmunya. Ucapannya menghilangkan kebingungan dan menghentikan fanatisme pengikutnya. Pada diri kebanyakan orang, keahlian mengotak-atik kata dan kecerdasan sangat sering digunakan untuk meracuni otak dengan keraguan dan ketertutupan.
Dunia pernah dikejutkan dengan propaganda yang sangat perkasa. Dibimbing Goebbels, Hitler menggunakan kefasihan bicara untuk menanamkan fanatisme rasial. Ia berhasil mencetak “robot-robot” yang siap mati untuk meneriakkan “Heil Hitler”. Ia menyihir jutaan manusia untuk menjadikan kepongahan sebagai ideologi. Ketika ia meminta mereka untuk menegakkan kemuliaan bangsa Aria, jutaan orang Jerman berubah jadi buldoser yang meluluhlantakkan kemanusiaan dan peradaban. Dalam kepulan asap mesiu Perang Dunia II, di sela-sela tembakan meriam, kita mendengar ‘zikir’ yang mengerikan: “Hitler befehlt, wir folgen – Hitler memerintah, kita mematuhinya.”
Ketika Hitler ditanya apa yang menyebabkan kesuksesannya, ia berkata, “Ich konnte reden -Aku memang bisa bicara.” Kelak, para peneliti ilmiah menganalisis pembicaraan Hitler. Mereka menemukan beberapa teknik bicara yang dia gunakan. Pertama, Hitler tidak ragu-ragu menggunakan kebohongan. Kebenaran, kata Hitler, adalah kebohongan yang dikalikan seribu kali. Jika Anda berdusta, ulangi dusta itu ribuan kali. Orang banyak akan mempercayainya. Kedua, kebencian – untuk menumbuhkan kesetiaan kelompok, kembangkan kebencian kepada lawan. Dunia harus dibagi dua. Bagian pertama adalah golongan kita dengan segala kebaikan dan kemuliaan; bagian kedua adalah golongan lain dengan segala kehinaan dan kejahatan. Semua yang tidak setuju dengan kita adalah penjahat –karena mereka bersekongkol untuk menyerang kita. Seperti film, kejadian di dunia harus dijelaskan dari pertempuran “yang punya lakon”, yakni kita dan “penjahat”, yaitu kelompok yang lain. Ketiga, berkaitan dengan upaya menumbuhkembangkan kebencian adalah rufmordes, penistaan. Jatuhkan kehormatan lawan dengan memberikan gelar-gelar yang buruk. Jangan sebut Yahudi, sebutlah mereka “penghisap darah”. Nazi kemudian mengembangkan bahasa Jerman yang memberikan sebutan-sebutan indah kepada para pendukungnya dan nama-nama buruk pada lawan-lawannya.
Para propagandis komunisme mengikuti resep Hitler ini dengan setia. Mereka menyebarkan fitnah tentang lawan-lawan mereka. Dusta dijadikan bahan pembicaraan yang utama. Mereka mengajarkan kebencian sebagai senjata untuk meningkatkan semangat perjuangan. Lunatsarsky, pemikir komunis terkenal, berkata, “Singkirkan cinta jauh-jauh. Apa yang kita perlukan adalah kebencian. Kita harus belajar membenci. Hanya dengan cara itu kita akan menguasai dunia”.
Musuh-musuh komunis diberi nama-nama jelek. Orangtua kita masih ingat bagaimana PKI menyebut lawan-lawannya di desa sebagai tujuh setan desa. Mereka menyebut lawan-lawannya di kota sebagai kapitalis birokrat atau kelompok reaksioner. Kata-kata cecunguk, lintah darat, antek-antek imperialis, dikenakan kepada musuh-musuh PKI. Dengan cara-cara itu, baik Nazi maupun komunis, tak dapat menguasai dunia. Keduanya hancur, Nazisme dikubur segera setelah Perang Dunia berakhir. Komunisme disimpan di museum tak lama setelah Uni Soviet bubar. Tentu saja, paham mereka masih tetap ada. Neo-nazisme masih hidup di Jerman sekarang. Neo-komunisme masih muncul dalam berbagai bentuknya di mana-mana.
Yang mengherankan kita ialah masuknya cara-cara mereka –fitnah, kebencian dan penistaan- pada cara-cara perjuangan orang-orang Islam. Ketika kita berhadapan dengan sesama bangsa dan bahkan sesama umat Islam, demi fanatisme kelompok, tak jarang kita berani memfitnah kelompok Islam yang lain. Kita hidupkan kebencian dan kita berikan gelar-gelaran buruk pada mereka yang tidak masuk kelompok kita.
Mengapa kita meniru Hitler dan Lunatsarsky? Mengapa kita tidak mengikuti ‘Âli bin Abî Thâlib? Seperti di Shiffin, hari ini kita memerlukan pemimpin Islam yang dengan lapang dada menyebut orang-orang Islam yang memusuhinya, “Mereka adalah saudara-saudara kita, yang berbeda paham dengan kita”. Dalam kalimat itu tergambar kebenaran, kecintaan, dan persaudaraan. Bukankah ketiganya adalah tonggak-tonggak utama ajaran Islam? (*)