Kitab hadis terkenal Al-Targhib wa al-Tarhib 4:125 memberikan judul pada hadis ini “Dorongan Beramal Saleh di Tengah Kerusakan Zaman”. Para mufassir, seperti al-Suyuthi, mencantumkan hadis ini untuk menjelaskan makna ayat: Hai orang-orang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka dia akan menerangkan kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (al-Maidah: 105). Sepeninggal Rasulullah SAW, para pengikutnya akan hidup dalam situasi yang korup. Manusia berlomba-lomba menumpuk kekayaan dengan memuji kebakhilan. Kebanyakan masyarakat kehilangan panduan, menghabiskan umurnya untuk mengejar-ngejar kesenangan. Kepentingan dunia lebih diutamakan ketimbang kepentingan akhirat. Orang-orang membanggakan pendapatnya sebagai yang paling benar. Orang beriman harus menyempal dari kebanyakan orang. Ia harus tabah melakukan kebajikan. Ia harus bertahan untuk melakukan amal saleh, betapa pun beratnya.
Kata “amal saleh” dikaitkan dengan “iman” dalam Al-Qur’an lebih dari tujuh puluh kali. Apa yang disebut amal saleh itu? Sebagian berpendapat bahwa amal saleh ialah pekerjaan yang disepakati sebagai kebajikan, apapun agamanya. Misalnya, semuanya sepakat bahwa membela orang yang dizalimi itu adalah perbuatan baik. Sebagian orang membatasi amal saleh pada pekerjaan-pekerjaan yang tidak menuntut upah. Yang lain membatasi amal saleh sebagai pekerjaan yang dilakukan tanpa perencanaan yang baik. Banyak juga yang berpendapat bahwa amal saleh itu berupa sedekah dan ibadah-ibadah ritual. Apa sebetulnya kriteria amal saleh dalam Sunnah?
Ikhlas dan sesuai dengan Ajaran Islam. Memang betul, orang dengan mudah mengidentifikasi amal saleh. Menolong orang miskin terlihat sebagai perbuatan baik. Tapi amal saleh bukan hanya terlihat dari bentuk luarnya saja. Menolong orang miskin tidak dapat disebut amal saleh bila orang melakukannya hanya untuk merebut suara dalam pemilu. Ibn Qayyim al-Jauziyyah menyebutkan dua syarat amal saleh: mengikuti Rasulullah SAW dan ikhlas. | Kata “amal saleh” dikaitkan dengan “iman” dalam Al-Qur’an lebih dari tujuh puluh kali. Apa yang disebut amal saleh itu? Sebagian berpendapat bahwa amal saleh ialah pekerjaan yang disepakati sebagai kebajikan, apapun agamanya. |
Berikut ini kita kutipkan hadis tentang ikhlas: ikhlaskan amal kamu karena Allah; karena Allah tidak menerima kecuali amal yang ikhlas; beramallah untuk satu wajah saja, amal itu akan mencukupimu dari semua wajah yang lain; sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk-bentuk dan harta kamu, tetapi Ia melihat kepada hatimu dan amalmu; barangsiapa beramal ikhlas selama empat puluh hari, sumber-sumber hikmah akan memancar dari hatinya ke lidahnya (Kanz al-‘Ummal, 3:23-25).
Dikerjakan berkesinambungan dan terus-menerus. Aisyah r.a. meriwayatkan: Rasulullah SAW mempunyai tikar. Beliau menggulung tikar itu di malam hari dan shalat ke atasnya. Beliau menghamparkannya pada siang hari dan duduk di atasnya. Ketika Nabi SAW shalat, orang-orang mengikuti Nabi dan shalat bersama shalat beliau, sehingga jumlah mereka makin banyak. Usai shalat, beliau menghadap mereka seraya berkata, “Wahai manusia, lakukanlah amal yang kamu mampu melakukannya. (Jangan memaksakan diri) karena Allah tidak akan bosan melimpahkan anugerah-Nya kepada kamu sampai kamu bosan melakukan ketaatan kepada-Nya. Sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah ialah amal yang dilakukan terus menerus, walaupun sedikit.” (Al-Targhib wa al-Tarhib, 4:128).
“Terus-menerus” adalah terjemahan dari mudawamah, yang secara harfiah berarti “membiasakan”. Berdekatan maknanya dengan mudawamah adalah istiqamah. Sekali ia menetapkan pekerjaan tertentu, ia melakukannyan dengan konsisten. Apapun rintangan yang dihadapinya, ia tetap mengerjakannya. “Istiqamah-lah kamu, tentu kamu akan memperoleh kemajuan sejauh-jauhnya. Jika kamu berbelok ke kiri atau ke kanan, kamu akan sesat sejauh-jauhnya juga.” (Shahih al-Bukhari, 4:257). Jadi, amal saleh meningkat kualitasnya bila orang melakukannya dengan istiqamah. Inilah salah satu bagian dari etos kerja seorang Muslim. Konon, menurut cerita yang beredar di pesantren-pesantren, ada seorang santri yang merasa jenuh belajar. Ia merasa tidak mampu lagi melanjutkan pelajarannya. Ketika pulang, ia melewati perbukitan. Di suatu tempat, ia melihat air menitik ke atas bebatuan. Air itu sedikit saja, tetapi menetes terus menerus. Ia melihat pada tempat tetesan air itu. Batu itu menjadi cekung. Kilasan gagasan terbersit. Jika ia tabah, betapapun sedikitnya ilmu yang ia peroleh, pada satu saat akhirnya ia akan berilmu juga. Ia kembali lagi ke pesantrennya. Selama ratusan tahun sampai sekarang, ia dikenal sebagai ahli hadis besar, yaitu Ibn Hajar al-‘Asqalany. Ia belajar dari batu; ia anak batu, ibnu hajar. Wallahu a’lam.
Dilakukan sebaik-baiknya. Seorang mukmin bukan saja melakukan pekerjaan secara sinambung; ia juga melakukannya dengan sebaik-baiknya, ia “perfeksionis” dalam arti tidak mau melakukan pekerjaan asal saja. Jika ia berkata, ia tidak mau asbun (asal bunyi). Jika ia bekerja, ia tidak mau asker (asal kerja). Rasulullah SAW bersabda: “Berkatalah yang baik, atau diam saja.” Beliau juga bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai seorang pekerja yang melakukan pekerjaan sebaik-baiknya” (Kanz al-‘Ummal, 3:907).
Diriwayatkan, Nabi SAW ikut serta dalam peristiwa pemakaman Sa’ad bin Muadz. Beliau turun ke lubang lahad. Ia meratakan bebatuan di atasnya. Berkali-kali beliau berkata: “Berikan padaku batu. Berikan padaku tanah yang basah.” Dengan tanah yang basah itu Rasulullah SAW merapatkan batu-bata. Setelah selesai, beliau menginjak-injak tanah dan meratakan kuburan. Beliau bersabda: “Sungguh aku tahu, jasad Sa’ad akan aus. Berbagai bala akan menimpanya. Tetapi Allah mencintai seorang hamba, yang bila ia melakukan sesuatu ia melakukannya sebaik-baiknya.” (Mizan al-Hikmah, 7:29).
Bekerja dengan Ilmu Pengetahuan. Tidak mungkin orang dapat mengerjakan pekerjaan dengan baik bila ia tidak memiliki ilmunya. Sebagaimana Islam mengecam ilmu tanpa amal, Islam juga mengecam beramal tanpa ilmu. Di antara wasiat Nabi SAW kepada Ibn Mas’ud, “Hai Ibnu Mas’ud, jika kamu melakukan pekerjaan, lakukanlah dengan ilmu dan akal. Jauhilah pekerjaan yang kamu lakukan tanpa pengaturan dan pengetahuan, karena Allah SWT berfirman: Janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai-berai kembali. (Makarim al-Akhlaq).
“Pengaturan” dalam hadis ini disebut tadbir. Mungkin terjemahan yang paling tepat sekarang adalah manajemen. Amal saleh –menurut Sunnah- harus dilakukan dengan manajemen yang baik. Ali bin Abi Thalib r.a. menyimpulkannya dengan kalimat pendek: Man sa-a tadbiruh, ta’ajjala tadmiruh (siapa yang jelek pengaturannya, akan cepat kehancurannya). Ketika Nabi SAW hijrah, beliau melakukan perencanaan yang baik. Abu Bakar disuruh mencari kendaraan; Ali diperintahkan berbaring di ranjang Nabi; Asma binti Abu Bakar ditugaskan mengantarkan makanan ke gua di malam hari. Ada juga pemuda yang ditugaskan menjadi pencari informasi untuk mengawasi gerak-gerik kaum Quraisy. Nabi SAW juga pemimpin militer, yang selalu mempersiapkan strategi sebelum bertempur. Baca tulisan Afzalur Rahman, “Muhammad as a Unique Military Leader”. Tanpa koordinasi, boleh jadi kita melakukan pekerjaan yang bagus pada satu masa. Tetapi pekerjaan sesudahnya merusak hasil pekerjaan kita sebelumnya. Kita mengurai benang setelah memintalnya.
Mempunyai manfaat sosial. Amal saleh bertingkat-tingkat. Membaca Al-Qur’an secara terus menerus adalah amal saleh, tetapi membacakan Al-Qur’an kepada orang lain lebih saleh lagi. Makin banyak orang memperoleh manfaat dari suatu perbuatan, makin tinggi nilai amal salehnya. Ibn Qayyim menyebut empat macam amal saleh yang paling utama. Salah satu di antaranya ialah pekerjaan yang memberikan manfaat sosial. Ia membedakan antara ahli ibadah dan ahli manfaat. Yang pertama hanya memberikan manfaat kepada dirinya saja. Yang kedua memberikan manfaat kepada orang lain.
Karena itu, orang berilmu lebih tinggi derajatnya dari orang yang beribadah saja. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya para malaikat tidak henti-hentinya berdoa buat orang yang mengajarkan kebaikan pada manusia.” Mencari dan mengajarkan ilmu dipandang sebagai amal saleh yang utama, karena besar manfaatnya bagi orang banyak. Contoh-contoh lain dapat Anda tambahkan. Memberi beasiswa kepada anak-anak tidak mampu sebesar tiga juta rupiah lebih utama dari melakukan umrah sunnat. Menyumbang guru atau ustadz yang mengajar umat Islam lebih tinggi pahalanya daripada wirid sepanjang malam.
Ahli ibadah ketika mati terputus amalnya. Ahli manfaat ketika mati amalnya berlanjut. Rasulullah SAW bersabda: “Manusia yang paling dicintai Allah ialah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Amal yang paling disukai Allah ialah memasukkan kebahagiaan kepada orang Islam, menghilangkan kesusahannya, atau membayarkan utangnya, atau mengenyangkan rasa laparnya. Sekiranya aku berjalan memenuhi keperluan saudaraku orang Islam, tentu lebih aku sukai itu daripada iktikaf di masjid ini satu bulan… Barang siapa berjalan untuk memenuhi keperluan saudaranya orang Islam, sampai ia berhasil memperkuatnya (memberdayakannya), Allah akan memperkuat kaki-kakinya pada hari ketika kaki-kaki yang lain tergelincir.” (Kanz al-‘Ummal, 15:917). [JR]
Tulisan ini dimuat di Majalah UMMAT dalam Rubrik SUNNAH oleh Musthafa Syauqi dengan judul “Kriteria Amal Saleh”