Kita belajar tentang nilai-nilai keadilan, kebebasan dan kemanusiaan dari Imam Husain as dengan beberapa cara.
Pertama, Imam Husain as mengajarkan bahwa mati untuk mempertahankan kehormatan lebih baik daripada hidup dalam kehinaan. Tujuan kita bukan hanya untuk hidup saja. Kita harus memiliki tujuan mulia di balik kehidupan kita ini. Hidup yang diisi dengan eksploitasi dan penindasan terhadap orang lain, berdiam diri di depan ketidakadilan, dan hidup yang menafikan keadilan bukanlah hidup yang pantas dijalani. Di dalam hidup kita saat ini, kita harusnya memuliakan hidup sendiri dengan bekerja untuk tujuan yang benar. Sekiranya menegakkan keadilan mengharuskan kita mengorbankan waktu, kekayaan dan kehidupan, kita mestinya tidak boleh ragu-ragu untuk melakukannya. Jika di dalam hidup ini kita hanya menerima penghinaan yang tidak adil, maka kehidupan semacam itu tidak layak dijalani. Oleh karena itu, Imam Husain as pernah mengatakan, "Saya tak melihat kematian (untuk tujuan yang benar) selain kebahagiaan semata, dan saya tak melihat kehidupan bersama penindas kecuali sebagai penderitaan."
Kedua, Imam Husain as bukan hanya mengajarkan bagaimana caranya bebas dari tirani dan kezaliman, tetapi juga bagaimana caranya kita bisa mengalahkan keinginan dan godaan duniawi. Mereka yang terbelenggu oleh hawa nafsunya bukanlah manusia yang merdeka. Pada hakikatnya mereka adalah budak. Di dunia modern saat ini, dengan banyaknya gangguan dan godaan untuk memenuhi hawa nafsu dengan cara yang tidak benar, pesan Imam Husain as menjadi jauh lebih relevan disbanding sebelumnya. Seseorang tidak akan mampu mencapai kesuksesan tanpa bisa mengatur keinginannya dan memperkuat pemihakannya kepada hal-hal yang benar. Salah satu faktor yang menyebabkan banyak orang memerangi Imam Husain as di hari Asyura adalah karena mereka diperbudak oleh hawa nafsunya. Mereka mengisi kehidupannya dengan cara-cara yang tidak benar, bahkan sering dengan menginjak-injak hak orang lain. Meskipun teknologi yang serba cepat saat ini memaksa kita mencari kesenangan instan, kita harusnya bisa memanfaatkan waktu singkat ini untuk kesuksesan yang lebih panjang.
Ketiga, Imam Husain as mengajarkan kita bahwa kehidupan orang beriman bukanlah jalan yang dihiasi dengan kembang dan karpet merah. Hidup ini penuh dengan kesulitan dan kita mestinya selalu siap untuk menghadapinya. Tujuan hidup kita bukanlah untuk mendapatkan kesenangan walau harus dibayar dengan harga berapapun. Kita harus membuat keputusan yang tepat, bukan keputusan yang mudah. Di dalam hidup ini ada masanya kita harus berkorban. Dalam konteks ini, pengorbanan itu tak harus dilihat sebagai beban, tetapi justru sebagai kesempatan dan rahmat yang melaluinya kita bisa mencapai kesempurnaan dan meninggikan maqam spiritual. Kita harus berjuang untuk keadilan sosial dan kesejajaran. Kita harus berjuang untuk mencapai kesetaraan ekonomi dan memenuhi tugas kita dalam melawan kemiskinan. Setiap hari, hamper 30.000 anak meninggal karena kemiskinan, kekurangan gizi dan keterbatasan akses terhadap fasilitas kesehatan. Betapa banyak masyarakat di berbagai belahan bumi yang terpinggirkan sekaligus dieksploitasi oleh kelompok yang lebih kuat. Inilah yang harus kita tuntaskan.
Keempat, Imam Husain as jelas mengajarkan kita bahwa apa yang benar tidak selalu populer, dan apa yang populer tidak selalu benar. Kebanyakan orang saat jamannya memilih untuk mengikuti arus. Mereka puas dengan status quo. Hanya beberapa sahabat yang mulia memutuskan untuk pergi melawan arus dan memilih apa yang benar. Pada hari Asyura, Hurr Ibn Yazid al-Riyahi, yang merupakan salah satu komandan tentara Yazid, menemukan dirinya gemetar. Rekan-rekannya, terkejut, mengatakan bahwa ia adalah salah satu prajurit pAli asng berani yang pernah mereka tahu, jadi bagaimana bisa ia dipukul dengan sikap pengecut dalam menghadapi memerangi Imam Husain as? Dia terkenal menjawab mereka, "Aku mendapati diriku di antara surga dan neraka, dan demi Tuhan, aku tidak akan memilih apa pun atas langit." Dia meninggalkan pasukannya dan bergabung dengan kamp Imam Husain as, dan ia menjadi salah satu dari para martir pertama dari pertempuran membela Imam Husain as.
Kelima, Imam Husain as dengan terang mengajarkan kepada kita bahwa kebenaran tidak selalu popular serta apa yang popular belum tentu adalah kebenaran. Pada masa beliau, kebanyakan orang memilih ikut arus saja. Mereka puas dengan status quo. Hanya segelintir orang terhormat yang memilih jalan yang benar. Pada hari Asyura, Hurr Ibn Yazid al-Riyahi yang merupakan salah seorang pemimpin pasukan tentara Yazid, mengalami goncangan kejiwaan yang hebat. Kawan-kawannya yang juga terkejut melihat perubahan al-Hurr yang tiba-tiba, memberinya nasehat sembari mengatakan bahwa al-Hurr adalah salah seorang tentara pemberani yang terkenal, lalu bagaimana mungkin al-Hurr tiba-tiba menjadi seorang pengecut ketika berhadapan dengan Imam Husain as? Namun jawaban al-Hurr sangat menyentak, “Saya menemukan diriku di antara surge dan neraka, dan demi Allah, saya tidak akan menukar surga dengan apapun”. Al-Hurr meninggalkan pasukannya dan bergabung dengan pasukan Imam Husain as. Beliau menjadi salah seorang syahid pertama yang gugur dari pasukan Imam Husain as.
Keenam, tragedi Karbala memberikan kita pelajaran indah dari sebuah kesetiaan. Sekiranya orang-orang Kufah itu tetap setia kepada Imam Husain as, mungkin saja perang itu bisa dihindarkan. Pengkhianatan orang-orang Kufah itu menjadi salah satu faktor penting penyebab perang Karbala. Sebaliknya, 70 atau lebih sahabat Imam Husain as telah mencapai puncak kesetiaannya di hari Asyura dengan tetap berada bersama Imam Husain as dan melindungi beliau dengan segala cara. Wahab al-Kalbi, salah seorang sahabat Imam Husain as berasal dari suku yang beragama Kristen. Mendengar seruan Imam Husain as, beliau lalu masuk Islam dan bergabung dengan kafilah Imam Husain as untuk mengucap janji setia. Istri dan Ibu Wahab juga kemudian mengikutinya. Ketika ibunya menyemangatinya maju ke medan perang saat perang dimulai, istrinya justru meminta agar Wahab tak pergi. Memang, mereka adalah sepasang pengantin baru waktu itu. Sang istri baru saja memulai hidup baru dengan suaminya, lalu bagaimana mungkin dia akan merelakannya pergi berperang secepat itu? Wahab mendengarkan Ibunya dan berlari ke medan perang. Saat Wahab melawan musuh-musuhnya dengan gagah berani, dia melihat istrinya maju ke medan perang yang sama sambal berteriak, “Wahab, teruskan perjuanganmu. Lindungilah cucu Baginda Nabi!”. Wahab menjawab istrinya dengan keheranan, “Istriku, beberapa saat yang lalu engkau melarangku ke medan perang, mengapa tiba-tiba engkau datang untuk menyemangatiku?” Istrinya menjawab, “Wahab suamiku, jangan salahkan aku, teriakan Husain telah menyayat hatiku! Aku telah melihat beliau bersandar ke salah satu tenda dan berkata ‘Adakah orang yang hendak menolong kami? Adakah orang yang ingin mendukung kami? Tak adakah seorangpun yang hendak melindungi keluarga Muhammad?’ Oh Wahab suamiku, teruskanlah perjuanganmu membela Imam Husain as. Ketika musuh melihat istri Wahab menyemangati suaminya, musuh tak hanya berusaha membunuh Wahab, tetapi juga istrinya sekaligus. Istri Wahab kemudian tercatat menjadi syahidah pertama di Karbala. Betapa menjadi pelajaran indah tentang kesetiaan. Di dunia kita saat ini, kita mestinya belajar dari pelajaran berharga ini bagaimana harusnya kita setia kepada nilai-nilai agama dan moral, kepada orang tua, keluarga, sahabat, dan kerabat lainnya. Menusuk mereka dari belakang dan menjatuhkannya ketika mereka sangat membutuhkan kita adalah sebuah dosa besar di sisi Allah Swt. Tak ada perbuatan yang lebih mulia di sisi Allah selain membantu mereka yang membutuhkan.
Siapa yang memulai pertempuran di Karbala? Apakah Imam Husain as benar-benar ingin melawan musuh-musuhnya?
Imam Husain as telah mencoba segala upaya untuk menghindari pertempuran. Namun sebaliknya, musuh-musuh beliau telah bertekad untuk membunuhnya. Di Karbala, sebelum perang di mulai, Imam Husain as telah berjanji kepada mereka bahwa beliau akan kembali ke Madinah dan tidak akan melanjutkan perjalanan mereka ke Kufah. Tapi musuh-musuh Imam Husain as menolak tawaran itu. Imam Husain as lalu mengatakan bahwa beliau akan pergi jauh demi menghindari pertumpahan darah itu, mereka juga menolaknya. Imam Husain as bukanlah orang yang menghendaki peperangan. Misi beliau adalah melawan penindasan dan mengembalikan masyarakat Islam yang telah dibangun oleh kakeknya. Berbaiat kepada diktator Yazid bukanlah opsi baginya, karena hal itu bertentangan dengan pesan keadilan yang didengungkannya. Mengakui pemerintah zalim seperti Yazid berarti mengakui prilaku buruk dan kejahatannya yang berbahaya bagi kemanusiaan. Namun di hari Asyura, Imam Husain as tetap menolak untuk memulai perang. Beliau berkata kepada para sahabatnya, “Saya tidak akan memulai peperangan”. Dan ketika Imam Husain as sedang salat berjamaah dengan para sahabatnya, musuh memulai perang dengan menembakkan anak panah kea rah mereka.