Ketua Dewan Syura IJABI
Terbangun karena berita duka tidak pernah melegakan hati. Akhir-akhir ini, kabar itu cukup sering menyambangi. Sejak kepergian kedua orangtua, handphone saya simpan pada moda getar. Sesekali bila emergency, saya mengaktifkannya. Saudara yang ingin menghubungi saya, mengirim pesan saja dulu. Saya akan menghubungi balik. Demikian karena berita bertubi akan kepergian orang-orang yang kita cintai.
Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa Ali Sayyidina Muhammad
"Kematian satu orang tragedi. Kematian jutaan orang, sekadar angka saja. Statistik saja." Demikin menurut Josef Stalin. Dia lupa, bahwa kematian satu orang juga bisa berarti kematian semesta seluruhnya.
Terbangun karena berita duka tidak pernah melegakan hati. Akhir-akhir ini, kabar itu cukup sering menyambangi. Sejak kepergian kedua orangtua, handphone saya simpan pada moda getar. Sesekali bila emergency, saya mengaktifkannya. Saudara yang ingin menghubungi saya, mengirim pesan saja dulu. Saya akan menghubungi balik. Demikian karena berita bertubi akan kepergian orang-orang yang kita cintai.
Terbangun di pagi hari dan melihat grup dipenuhi emoji tangisan atau salam perpisahan. Sticker dan ucapan inna lillah yang bersebaran. Ada berita lagi. Ada kehilangan lagi. Sembilu itu masih juga mengiris hati.
Belum lagi kabar yang terbaring di rumah sakit. Yang berjuang di rumah. Yang diombang-ambing ketidakpastian. Persediaan obat menipis, sebagian langka dicari. Oksigen tak terbeli, bahkan tak tersedia sama sekali. Toko online ada yang menjual dengan kenaikan 300 persen dari harga normal. Masih juga dalam situasi ini, ada yang mencari keuntungan. Para tenaga kesehatan sudah sangat berjuang luar biasa. Sebagian, meregang nyawa bersama pasien-pasien mereka. Di sebuah rumah sakit, korban kecelakaan lalu lintas ditolak di UGD, karena di dalam dipenuhi oleh antrian pasien Covid. Masih di rumah sakit yang sama, dua dari dua belas tenaga kesehatan di IGD, gugur karena pandemi. Tim Mitigasi Ikatan Dokter Indonesia merilis pejuang kesehatan yang gugur ini. Total ada 434 dokter per 5 Juli 2021, 00.00 WIB. 24 di antaranya guru besar dengan sejumlah pengalaman. Jumlah itu masih terus bertambah hingga kini.
Kehilangan para tenaga kesehatan itu alarm besar bagi kita. Kehilangan mereka bukan hanya kehilangan juru rawat, tapi kehilangan pengalaman hidup mereka yang kaya. Bersama mereka, kita juga kehilangan para guru. Para kyai dan cerdik cendekia. Mereka yang ahli di berbagai bidang keilmuan mereka. Saya, kami sekeluarga dan rekan-rekan, begitu banyak kehilangan para guru kami, para ulama kami. Doa dan cinta kita selalu untuk mereka.
Kehilangan mereka adalah kehilangan semesta. “Mautul ‘aalim, mautul ‘aalam." Meninggalnya orang yang berilmu adalah kematian dunia. Kalau meninggal seorang alim, terbuka rongga dalam Islam yang tak dapat ditutupi kecuali oleh pelanjutnya. Demikian dalam Ihya Ulumiddin 1/15. Dalam riwayat dari Imam Ja’far as, rongga itu takkan pernah dapat ditutupi selamanya. Idzaa maata al-mu’minul faqih, tsulima fil islami tsulmatun laa yasudduha syai. Dalam riwayat at-Thabrani, Baginda Nabi Saw bersabda, “Kepergian seorang alim adalah musibah tak tergantikan, rongga tak tertutupi. Ia adalah bintang yang meredup. (Sungguh) kehilangan satu kabilah, lebih ringan dari kepergian seorang alim.”
Betapa tidak, dengan perginya seorang alim, hilang juga pengalaman hidup yang kaya. Perjalanan pencarian pemahaman. Pencerahan kebijakan yang dialirkan. Ribuan buku yang dibaca, interaksi dengan sesama dan sebagainya. Demikian pula, kehilangan para tenaga kesehatan yang handal dan piawai. Para dokter yang berpengalaman. Para guru besar dan ilmuwan, mereka yang menghabiskan ribuan jam untuk menemukan penawar dan jalan kesembuhan.
Sungguh, lebih dari sewajarnya, inilah saat-saat kita mesti mengalirkan air mata. Al-Qur’an mengisahkan tentang umat Firaun yang ditenggelamkan di lautan. Kemudian, “Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan mereka pun tidak diberi tangguh.” (QS. Ad-Dukhan [44]:29) Bagi umat Firaun itu, yang menyia-siakan nikmat Tuhan, bumi tidak bersedih akan kehilangan mereka. Langit tidak mencurahkan air mata untuk mereka. Pada saat yang sama, Al-Qur’an seperti hendak mengingatkan: ada sekolompok orang yang bagi mereka, bumi dan langit menangis karena kepergian mereka. Siapa mereka? Para ulama. Orang-orang yang berilmu.
Al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam tafsir beliau menjelaskan tangisan langit dan bumi ini. Setelah riwayat tentang dua pintu langit yang terbuka: mengantarkan amal dan menurunkan rezeki, dan bila ada seorang mukmin meninggal maka pintu itu tertutup, maka menangislah langit dan bumi. As-Suyuthi juga meriwayatkan berikut ini. Tidaklah meninggal seorang alim kecuali langit dan bumi menangisinya empat puluh pagi. Masih pada rujukan yang sama, dari Abd bin Hamid dari Wahab, “Sesungguhnya bumi bersedih atas kepergian seorang hamba yang salih empat puluh pagi.” (Tafsir ad-Durr al-Mantsur, 13:273).
Dalam riwayat mazhab Ahlul Bait as, dari Imam Musa al-Kazhim as, “Sekiranya seorang mukmin meninggal dunia, para malaikat menangisinya. Bongkah bumi tempatnya beribadah juga menangis. Dan pintu-pintu langit tempat amalnya diantarkan, juga menangisinya. Terbukalah dalam Islam rongga yang tidak akan pernah dapat ditutup setelahnya. Karena orang beriman yang faqih (yang memahami agama) adalah beteng Islam, sebagaimana tembok kota menjaga penghuninya.” (‘Allamah Kulayni, al-Kafi, 1:38)
Bila langit dan bumi menangis, siapakah yang bergembira? Dari Imam Ja’far as-Shadiq as, “Tidak ada kematian yang lebih dicintai Iblis dari kepergian seorang faqih.” Seorang ahli agama. Imam Ja’far as juga meriwayatkan tentang ayahanda tercinta beliau, “Ayahku sering berkata: Sesungguhnya Allah Swt tidak mencabut ilmu setelah menurunkannya. Melainkan dengan mewafatkan para ulama.” Kedua riwayat di atas bersumber dari al-Kafi 1:38.
Riwayat yang sama ada dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih al-Muslim. “Sesungguhnya Allah Swt tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari manusia. Tetapi mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sehingga tak tersisa seorang alim di antara mereka. Dan manusia akan mengambil seorang jahil sebagai pemimpin mereka. Mereka bertanya padanya dan ia memberikan fatwa tanpa ilmu. Mereka tersesat dan menyesatkan.” (Shahih Muslim 2673, Shahih Bukhari 100, riwayat Abdullah bin Umar).
Maka menangislah. Bersedihlah. Kehilangan para guru, para kyai dan ulama adalah musibah besar. Bumi dan langit menangis bagi mereka. Hanya Iblis yang bersuka cita. Para ulama, orang-orang yang berilmu bukan hanya para guru kita dalam agama. Melainkan juga para ilmuwan, para cendekiawan, para guru, para dokter dan tenaga kesehatan. Karena semua ilmu adalah ilmu Tuhan. Gugurnya para dokter itu adalah alarm bagi kita semua. Mereka telah berkhidmat untuk kemanusiaan. Merekalah para hamba Tuhan yang shalih. Shalih juga dalam Bahasa Arab artinya orang yang mendatangkan kebaikan. Yang berkhidmat untuk kemanusiaan. Bumi dan langit menangisi kepergian mereka. Dan kita, masih juga tak mengambil pelajaran daripadanya.
Kitakah orang-orang jahil itu? Kepada Allah Swt kita mohonkan sebaik perlindungan.
(Untuk para kyai, habaib, asaatidz dan para cendekia, dokter, ahli farmasi, perawat, tenaga kesehatan, petugas kebersihan, administrasi dan aparat yang gugur karena pandemi ini. Terkhusus untuk MahaGuru, Ibunda, keluarga besar, Kyai Mukhtar, Habib Ustadz Umar Ibrahim, Habib Ustadz Ahmad Rusydi, Habib Thaha Musawa, Pak Imam, Kang Ikmal, Pak Pandu…dan para tercinta, kita antarkan doa dan cinta kita. Semoga yang sakit disegerakan kebaikan kesembuhan, dan keluarga yang berkhidmat dalam kelapangan dada, kemudahan urusan, dan keluasan rezeki dalam keberkahan. Al-Fatihatu ma’as shalawat).