Al-Quran tak pernah menyebut kata kemerdekaan. Istilah itu memang punya makna spesifik dalam sejarah manusia. Ketika masyarakat terdiri dari dua macam anggota -orang merdeka dan budak- merdeka berarti bebas dari perbudakan. Al-Quran menyebut kata budak dan tuan, abd dan mawla. [majulah-IJABI]
Al-Quran tak menyebut bangsa penjajah dan bangsa terjajah. Tetapi Al-Quran berkisah tentang kelompok-kelompok manusia -boleh jadi terdiri dari satu bangsa atau bangsa-bangsa lain yang berlainan- yang berhubungan satu sama lain dengan sistem yang tidak adil. Alih-alih menyebut penjajah dan yang dijajah, Al-Quran menyebut alladzinastakbaru dan alladzinastudh’ifu. Ada kelompok yang arogan dan penindas serta ada kelompok yang dilemahkan atau ditindas. Karena bertahan hidup dalam sistem yang tidak adil, keduanya disebut sebagai orang-orang zalim. Penduduk negeri mana pun, yang mempertahankan sistem yang zalim, akan dihempaskan dalam pengadilan Tuhan. Keduanya nanti akan saling menyalahkan.
Sekiranya kamu melihat peristiwa dahsyat ketika orang-orang zalim dihadapkan pada Tuhan mereka sambil mereka saling melemparkan omongan satu sama lain. Berkata orang-orang yang tertindas kepada mereka yang arogan: Sekiranya tidak karena kamu, tentulah kami termasuk orang-orang yang beriman. Berkata para penguasa arogan kepada orang-orang tertindas: Betulkah kami yang menyimpangkan kamu dari petunjuk setelah petunjuk itu datang kepada kamu? Justru kamu sendiri yang berdosa. Berkata orang-orang yang tertindas kepada penguasa yang arogan: Tidak, bukankah kamu yang membuat rekayasa siang dan malam ketika kalian menguasai kami dengan memerintahkan kami ingkar kepada Tuhan dan mengangkat saingan-saingan Tuhan.
Kedua belah pihak merasakan penyesalan ketika mereka melihat azab dan kami jadikan belenggu di atas kuduk orang-orang kafir. Mereka tidak dibalas kecuali dengan apa yang mereka kerjakan.
Di depan Tuhan, orang-orang tertindas mengadu kepada Tuhan. Mereka mempersalahkan para penguasa arogan untuk dosa-dosa mereka. Sebaliknya, para penindas menolak tuduhan itu dengan mengatakan bahwa kebenaran sudah datang kepada mereka. Di sini Al-Quran tidak menjelaskan penindasan dengan cara Marxian, yakni menimpakan semua kesalahan kepada pihak penindas.
Al-Quran tidak membangkitkan kesadaran kelas. Baik penindas maupun orang tertindas, bertanggung jawab atas sistem yang tidak adil. Penindas bersalah karena arogansinya, kekayaannya, dan kekuasaannya. Orang tertindas bersalah karena menerima penindasan itu dengan tidak melakukan perlawanan. Dengan begitu, penindas secara leluasa melanjutkan penindasannya dan orang-orang yang ditindas tidak bangkit menumbangkan sistem yang korup. Para penguasa bebas merancang, merekayasa, mendesain berbagai peristiwa untuk menipu orang-orang tertindas. Pada gilirannya, kaum mustadh’afin tak pernah mau berpikir kritis, sehingga dengan mudah digiring ke dalam rekayasa para penindas.
Inilah penjelasan Al-Quran untuk negara-negara yang hidup dalam sistem yang zalim. Karena kasih sayangnya, Tuhan selalu mengirimkan para pembaharu, para pemberi peringatan. Sayangnya, kaum mustakbirin menolak mereka dengan membanggakan kekayaan dan para pengikutnya; kaum mustadhafin mencurigai mereka karena rekayasa kaum mustakbirin.
Al-Quran juga menyebutkan, “Dan kami tidak mendatangkan kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan kecuali orang-orang yuang hidup mewah di negeri itu akan berkata kepadanya: Sesungguhnya kami menolak misi kamu. Seraya mereka berkata: Kami lebih banyak kekayaan dan anak buah dari kamu dan kami tidak akan disiksa. Katakan sesungguhnya Tuhanku meluaskan dan menyempitkan rezeki kepada siapa yang dikehendakinya. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.”
Para pemberi peringatan itu dahulu adalah para nabi, yang salah satu tugasnya ialah “...membuang beban-beban yang menghimpit mereka dan melepaskan belenggu-belenggu yang memasung mereka.” (QS. Al-A’raf: 157). Perjuangan kemerdekaan bukan hanya mengusir penjajah asing, atau menghancurkan orang-orang kaya, atau menggantikan satu rezim dengan rezim yang lain. Perjuangan kemerdekaan adalah penciptaan suatu kondisi ketika orang-orang yang kaya dan berkuasa bekerja sama dengan orang miskin dan lemah membangun tatanan sosial yang adil. Kedua pihak berjuang -dalam istilah Al-Quran- “dalam jalan Allah dan jalan mustadhafin.” Dengan begitu, mereka menjadi kelompok yang mengemban misi Ilahi: melindungi dan menyelamatkan bangsa dari sistem yang menindas.
“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan di jalan kaum mustadh’afin -yakni laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang tertindas- yang berkata: Tuhan kami, keluarkan kami dari negeri yang penduduknya orang zalim. Jadikan bagi kami dari sisi-Mu pelindung dan berilah kami dari sisi-Mu pembela.” (QS. Al-Nisa: 75)
Mereka yang menjerit memohonkan kehadiran kaum pembela itu bukan hanya orang-orang tua kita di zaman Belanda, tetapi juga penduduk Indonesia pada zaman Orla ketika mereka ramai-ramai memuja Soekarno dan menahan lapar demi revolusi; juga bangsa Indonesia pada zaman Orba ketika tanah mereka digusur, anak-anak mereka diculik, dan keamanan hidup mereka diancam; saya takut, juga bangsa Indonesia kini yang memperingati kemerdekaan dengan perut yang lapar, jiwa yang frustasi, dan hati yang mencemaskan hari esok. Pemerintahan berulang kali berganti, tetapi kita masih juga termasuk kaum mustadh’afin. (*)