Semua mazhab dalam Islam berpegang pada hadis. Sebagai semata-mata obyek kajian, bagi ahli hadis; sebagai sumber hukum, bagi ahli fikih; sebagai sumber nilai, bagi para sufi. Literatur hadis yang dikembangkan para ahli hadis dipenuhi dengan problema pembawa hadis (rawi), kesinambungan mata rantai rawi (sampai atau tidak kepada Rasulullah), dan perubahan atau pertentangan dalam bunyi kata-kata yang digunakan.
Masyarakat kenal betul pembahasan hadis dari para ahli hadis maupun fukaha. Ketika pelajaran hadis diberikan, biasanya orang mengambil salah satu di antaranya. Jarang sekali kita menemukan pembahasan hadis dari perspektif tasawuf. Begitu langkanya, sehingga pakar hadis sering menuding tasawuf mengabaikan hadis atau menggunakan hadis-hadis lemah, bahkan hadis mawdhu’ (hadis palsu). Ihya Ulum al-Din, kitab tasawuf yang paling banyak dibaca, sering dituding sebagai tumpukan hadis lemah. Hilyat al-Awliya, walaupun berisi biografi sahabat dan tabi’in, sama sekali tak diperhitungkan bila dibandingkan dengan Tahdzib al-Tahdzib, Who’s Who-nya ahli hadis. Semua itu terjadi karena sufi tak mempersoalkan keabsahan hadis, juga tidak implikasi hukumnya. Sufi melihat hadis sebagai petunjuk jalan untuk mengenal Tuhan. Ia melihat Nabi SAW tidak sebagai hakim, tetapi lebih sebagai pemimpin kafilah ruhani. Karena itu, hadis Qudsi, yang berisi firman Tuhan seperti disampaikan Nabi, umumnya menjadi rujukan tasawuf.
Salah satu hadis Qudsi yang terkenal adalah hadis Kanzun Makhfiy. Tuhan berfirman, “Aku adalah khazanah yang tersembunyi (kanzun makhfiy). Aku rindu untuk dikenal. Karena itu Aku ciptakan makhluk supaya Aku diketahui.” Kitab-kitab tasawuf tidak pernah luput mengutip hadis ini. Muhammad bin Ibrahim, ahli hadis berkomentar: Hadis ini diriwayatkan oleh para sufi. Jika Anda menelitinya dengan melihat ayat Al-Qur’an ini, Anda akan segera melihat hadis ini sahih. Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (Al-Qur’an, 65:12)
Sufi sering menghubungkan hadis ini dengan penafsiran Ibnu Abbas atas ayat Al-Qur’an, 51:56. “Supaya mereka menyambah-Ku” ditafsirkan Ibnu Abbas sebagai “supaya mereka mengenal Aku.” Tujuan penciptaan kita tidak lain untuk memperoleh pengetahuan tentang Dia, pengetahuan yang langsung. Pengetahuan itu hanya bisa dicapai lewat kecintaan yang tulus kepada-Nya. Pengetahuan rasional didasarkan pada tak kenal maka tak sayang. Khwaja Nizamuddin Mahbub Illahi, dalam Risalah Tawhidiyyah menulis, “Tuhan berfirman: Aku adalah khazanah yang tersembunyi (kanzun makhfiy). Aku rindu untuk dikenal. Karena itu Aku ciptakan makhluk supaya Aku diketahui. Ketika Maharaja Cinta rindu untuk menyingkapkan tirai yang menutup Keindahan Wajah-Nya, mengungkapkan sifat-sifat-Nya, dan mencintai Diri-Nya…Cahaya Diri-Nya terbagi dua. Setengah Cahaya memadat dan menjadi api. Ketika api memadat, ia menjadi udara; Ketika udara menjadi tebal, ia menjadi air; air memadat ia menjadi bumi. Dari bumi diciptakan berbagai macam bentuk. Setengahnya yang lain muncul dalam berbagai bentuk dan ingin melihat keagungan Keindahan itu pada mereka. Cahaya itu memerlukan cermin untuk melihatnya. Diciptakanlah manusia dan alam sebagai cermin. Dari sini, muncullah sifat Cinta dan Kekasih. Keduanya tak lagi tersembunyi.”
Sangat sulit dipahami, tentu saja. Nizamuddin kemudian mengutip puisi Persia. “Berapa lama Aku mesti bersembunyi. Kini Kuungkapkan Diri-Ku dari kedalaman-Ku. Dengan segala sifat Kusingkap Diri-Ku. Dalam gejolak cinta dan rindu. Ketika Adam kami kirim ke dunia, Kami tampakkan Keindahan Kami di Sahara. Sekarang terserah Anda untuk memahami apa yang disebut Cinta, Pecinta, dan Yang Dicintai. Siapa Pecinta? Zat Yang Suci. Apa Cinta? Hakikat segala sesuatu. Dan Yang Dicintai berarti Wujud relatif.”
Masih juga sulit dipahami. Tuhan, dalam perspektif sufi, adalah Tuhan yang penuh kerinduan untuk menampakkan keindahan-Nya. Dalam istilah Corbin, Tuhannya sufi adalah Tuhan yang patetik. Ia menyembunyikan cinta-Nya, tetapi menampakkan keindahan-Nya di seluruh penciptaan. “Ketahuilah.” Kata penyair sufi yang lain, “Cinta ada di mana-mana. Cinta meliputi seluruh dunia. Cinta adalah Pecinta Yang Dicinta.”
Tuhan berfirman, “Aku adalah khazanah yang tersembunyi (kanzun makhfiy). Aku rindu untuk dikenal. Karena itu Aku ciptakan makhluk supaya Aku diketahui.” | Tidak semua sufi menjelaskan hadis ini dengan pelik. Fariduddin Attar, misalnya, menjelaskannya dengan kisah perjalanan burung. Di bawah bimbingan burung Hudhud, mereka diajak melintas lembah dan bukit untuk menemui Simorgh, Puncak Segala Keindahan. Satu demi satu burung itu berguguran. Hanya tiga puluh yang sampai. Ketika berjumpa dengan Dia, |
Tradisi membahas hadis-hadis sufistik dengan cerita berlangsung sepanjang zaman. Terserah kepada Anda bagaimana menafsirkan kisah berikut, yang dituturkan Jalaluddin Rumi. Rumi sebetulnya menjelaskan kandungan makna hadis Kanzun Makhfiy dengan cara lain. Alkisah ada seorang gembala berjiwa merdeka, tak punya uang dan tidak berminat untuk mempunyai uang. Yang ia miliki hanyalah hati yang bersih, yang bergetar dengan kecintaan kepada Tuhan. Sepanjang hari ia menggembalakan ternaknya di padang dan lembah. Tidak henti-hentinya ia bernyanyi dan berbicara kepada Tuhan Kekasihnya: “Tuhan tercinta, di mana Engkau gerangan untuk menerima persembahan jiwaku? Di mana Dikau yang akan menerima daku sebagai hamba-Mu? Tuhan, kepada-Mu aku hidup dan bernafas. Karena rahmat-Mu aku ada. Kuingin mengorbankan kambingku di hadapan-Mu.”
Pada suatu hari, Musa as melewati padang gembala ketika ia pergi ke kota. Ia melihat penggembala itu duduk di samping ternaknya dengan kepala mendongak ke atas. Ia berbicara kepada Tuhan: “Di manakah Engkau supaya kujahit baju-Mu, kurajut kasut-Mu, dan kubereskan ranjang-Mu? Di manakah Engkau supaya kusisir rambut-Mu, dan kucium kaki-Mu? Di manakah Engkau supaya kusemir sepatu-Mu dan kubawakan susu untuk minuman-Mu?” Musa mendekati penggembala itu dan bertanya: Dengan siapa kamu bicara? “Dengan Dia yang menciptakan kita. Yang menciptakan siang dan malam, bumi dan langit.” Musa marah mendengar jawaban penggembala itu: “Alangkahnya beraninya kamu berbicara kepada Tuhan seperti itu? Ucapanmu itu kufur. Kamu harus menyumpal mulutmu dengan kapas jika tak bisa mengendalikan lidahmu, atau paling tidak orang tak mendengar kata-katamu yang penuh penghinaan, yang meracuni udara. Kamu harus berhenti bicara seperti itu sekarang juga sebelum Tuhan menurunkan azab karena dosamu.”
Si penggembala, yang bangkit setelah mengenal sang Nabi, berdiri menggigil. Dengan air mata yang mengalir deras, ia diam mendengarkan ucapan Musa as. selanjutnya: “Apakah kamu kira Tuhan seperti manusia yang memakai kaos dan sepatu? Tentu saja tidak! Apakah Dia bocah kecil yang memerlukan susu? Tentu saja tidak! Tuhan Maha Sempurna, tak memerlukan siapa pun. Dengan berkata seperti itu kepada Tuhan, kamu telah menghinakan bukan saja dirimu tetapi juga makhluk Allah yang lain. Kamu ingkar kepada agama dan menjadi musuh Tuhan! Pergilah dan mintakan ampunan jika kamu masih sadar.”
Penggembala sederhana itu tak mengerti mengapa ucapannya terhadap Tuhan dianggap kasar, atau mengapa Nabi menyebutnya musuh. Tapi ia tahu, Nabi Allah pasti lebih tahu dari siapapun. Dengan menahan isakan, ia berkata kepada Musa, “Kau telah membakar jiwaku, sejak saat ini mulutku membisu!” Sambil menarik napas panjang, ia tinggalkan ternaknya dan menuju Sahara.
Dengan perasaan puas karena telah menunjuki jalan kepada jiwa yang tersesat, Musa melanjutkan perjalanan ke kota. Tiba-tiba ia mendengar Tuhan menegurnya: “Mengapa kau halangi Kami dengan hamba Kami yang setia? Mengapa kau pisahkan pecinta dari Kekasinya? Kuutus kau untuk menyambungkan kasih sayang, bukan memutuskannya.” Musa mendengarkan firman Tuhan dengan penuh rasa takut dan rendah diri.
“Kami tidak menciptakan dunia untuk keuntungan Kami. Kami tidak memerlukan pujian atau sanjungan. Pemujalah yang akan memperoleh faedah. Ingatlah bahwa dalam Cinta, kata-kata hanyalah desahan napas dan tidak ada artinya. Kami tidak memperhatikan keindahan kalimat atau susunan kata. Kami hanya melihat jauh ke dalam hati. Di situlah Kami tahu ketulusan makhluk Kami, walaupun kata-katanya tidak berseni. Karena mereka yang telah terbakar dengan cinta sudah membakar habis kata-kata.”
Berkatalah Suara Langit selanjutnya, “Mereka yang terikat dengan pemilikan tidak sama dengan mereka yang terikat dalam Cinta. Pecinta tidak memiliki agama selain Kekasih sendiri.” Dengan begitu Tuhan mengajarkan Musa rahasia cinta. Segera setelah menyadari kealpaannya, Musa bergegas mencari penggembala itu untuk meminta maaf. Setelah hampir berputus asa, Musa menemukan penggembala itu termenung di pinggir mata air dengan pakaian yang lusuh dan rambut yang kusut masai. Musa menunggu lama. Akhirnya penggembala itu mengangkat kepalanya dan melihat sang Nabi.
“Saya ingin menyampaikan pesan kepadamu,” kata Musa. “Tuhan telah berfirman kepadaku. Kau bebas berkata kepada-Nya dengan cara apa pun yang kau sukai, dengan kata apa pun yang kau pilih. Karena yang aku kira sebagai kekafiran ternyata keimanan dan kecintaan yang menyelamatkan dunia.”
Penggembala menjawab dengan sederhana, “Aku sudah melewati tingkat kalimat dan kata. Hatiku sekarang sudah disinari dengan kehadiran-Nya. Tidak dapat aku jelaskan kepadamu keadaanku kini. Tidak ada kata-kata yang dapat melukiskan-Nya.” Ia bangkit pergi ke Sahara, diikuti tatapan Musa. [JR]
Tulisan ini dimuat di Majalah UMMAT dalam Rubrik SUNNAH oleh Musthafa Syauqi dengan judul “Hadis Kanzun Makhfiy”