[Wawancara ini dimuat di website Tempo Online di www.tempo.co pada tanggal 3 September 2012 secara berseri sampai 6 tulisan saat sedang hangatnya kasus penyerangan pengikut Syiah di Sampang Madura untuk kedua kalinya. Di sini dimuat kembali dan 6 seri tulisan wawancara tersebut dikumpulkan dalam satu tulisan saja untuk menyederhanakannya. Kutipan diambil tanggal 27 September 2012 jam 09.00. Redaksi majulah-ijabi.com]
****
****
TEMPO.CO, Jakarta - Perseteruan antara penganut Sunni dan Syiah bukanlah hal baru. Konflik ini telah berjalan ribuan tahun. Lokasi bentrokan tak cuma di Indonesia saja, melainkan pada banyak negara. Karena itu, cendekiawan Jalaluddin Rakhmat menyatakan konflik Sunni-Syiah bukan problem lokal atau nasional, melainkan permasalahan internasional.
Ketika Tempo berkunjung ke kediamannya, Kamis, 29 Agustus 2012, lelaki yang biasa disapa Kang Jalal ini bercerita soal Syiah di Indonesia. Mulai dari proses penyebaran, konflik, cara beribadah, hingga ancaman yang kerap diterima pengikut Syiah. Dan inilah hasil perbincangan wartawan Tempo: Choirul Aminuddin, Erwin Zachri, Cornila Desyana, dan Praga Utama dengan Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia itu.
Kapan kali pertama Syiah masuk Indonesia?
Tak ada yang tahu pasti karena tidak pernah ada sejarah yang mencatatnya. Tapi saya duga, Islam yang pertama kali masuk ke Aceh sekitar abad ke-8 atau waktu Dinasti Abbasiyah. Ketika itu, orang Hadramaut dari Arab masuk ke Aceh untuk berdakwah. Tapi mereka tak menunjukkan dirinya Syiah. Melainkan ber-taqiyah (berpura-pura) menjadi pengikut mahzhab Syafi''i. Karena itu, secara kultur Nahdlatul Ulama adalah Syiah. Tapi tak pernah ada sejarah yang merekam jejak mereka. Jadi, dianggapnya tak ada Syiah di kala itu. (Baca juga: Penyebaran Syiah di Aceh )
Kenapa mereka berpura-pura menganut Mahzab Syafi''i?
Mereka tetap orang Syiah. Tapi di luarnya mempraktikkan mahzab Syafi''i. Tujuannya untuk melindungi diri dari serangan.
Apa yang membuat Anda yakin Syiah sudah masuk Indonesia kala itu?
Anda bisa lihat dari beberapa tradisi di Indonesia. Tabot, misalnya. Tradisi itu kerap dilakukan masyarakat Bengkulu pada 1 hingga 10 Muharram tiap tahunnya. Tak kurang dari seribu orang mengikuti Tabot. Mereka melakukan drama kolosal yang mengenang tragedi pembantaian keluarga nabi dan tewasnya Imam Hussein di Karbala.
Awalnya, tradisi itu diperkenalkan saudagar India yang kapalnya terdampar di Bengkulu. Tapi warga tak tahu jika tabot adalah tradisi Syiah. Sampai sekarang pemerintah dan warga Bengkulu tetap menggelar tabot, meskipun mereka bukan Syiah. (Baca: Tabot, Jejak Syiah dalam Tradisi Indonesia)
Lalu kapan jejak Syiah di Indonesia mulai terbaca sejarah?
Pada penyebaran gelombang kedua, Syiah masuk sekitar 1982. Berawal dari revolusi Islam di Iran pada 1979-1980-an, yakni peristiwa perebutan kekuasaan di Iran dari pemerintahan otokrasi, Mohammad Reza Shah Pahlavi, oleh ulama tua, Ayatullah Rohullah Khomeini. (Baca juga: Syiah Berkembang di Indonesia Pasca-Evolusisi Iran)
Kakek ini (Khomeini) menarik perhatian mahasiswa. Buat gerakan Islam di Indonesia yang selalu gagal dalam pertarungan politik, Imam Khomeni dianggap sebagai harapan. Ia menjadi lambang negara dunia ketiga yang melawan Amerika.
Mahasiswa yang dilarang berkegiatan sosial oleh pemerintah kembali ke masjid. Mereka mengulas buku-buku revolusi Iran, mengenal Syiah, mempelajari ideologi serta filosofinya. Kemudian muncullah Syiah di kalangan pelajar yang berpusat pada masjid kampus.
Kelompok Syiah pertama kali muncul di daerah mana?
Di Bandung. Lalu Syiah masuk ke HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan mulai tersebar ke kampus di daerah lain. Aktivis HMI menyebarkan ajaran Syiah secara sistematis, yakni melalui pelatihan kepemimpinan. (Baca juga:Bandung, Kantong Syiah Terbesar di Indonesia )
Syiah di masa itu sudah menimbulkan protes dari masyarakat?
Belum. Bahkan masyarakat tak merisaukan kesibukan mahasiswa yang mempelajari Syiah. Sebab mereka tak membicarakan soal fiqih. Jadi hanya dianggap sebagai gerakan intelektual.
Lalu kapan Syiah mulai diprotes?
Pada gelombang ketiga. Waktu orang-orang sudah mengerti ideologi dan filofosi Syiah. Kemudian mereka ingin mengenal Syiah dari segi fiqih. Mereka belajar dari habib yang pernah belajar di Khum, Iran. Karena sudah masuk ke ranah fiqih, muncullah perbedaan paham. Dan timbullah benih konflik.
Apa sampai di situ saja penyebaran Syiah di Indonesia?
Tidak. Ada gelombang keempat, ketika orang Syiah mulai membentuk ikatan. Misalnya Ikatan Jemaah Ahlul Bait Indonesia, IJABI. Berdiri 1 Juli 2000, IJABI merupakan organisasi massa yang diakui keberadaannya oleh Kementerian Dalam Negeri.
Tapi penyebaran kali ini tak mengutamakan fiqih, kami mengedepankan akhlak. Alasannya, fiqih sudah menimbulkan konflik. Sedangkan bagi kami, yang penting Islam bersatu dan Indonesia tenteram. Jadi IJABI lebih fokus pada kegiatan sosial.
Berapa populasi umat Syiah di Indonesia?
Berdasarkan penelitian pemerintah, paling sedikit ada 500 ribu orang. Ada juga yang memberikan perkiraan tertinggi, sekitar lima juta umat. Tapi menurut saya sekitar 2,5 juta jiwa yang tersebar di banyak daerah. (Baca:Berapa Populasi Syiah di Indonesia)
Di daerah mana saja?
Kalau berdasarkan ranking jumlah pengikut, ada tiga lokasi terbesar. Pertama, Bandung, lalu Makassar, dan Jakarta. (Baca: Bandung, Kantong Syiah Terbesar di Indonesia)
Kalau di Sampang, berapa orang?
Sedikit. Sekitar 700 orang. Karena kecil itu, Syiah di Sampang sering diserang. Coba mereka serang Bandung…. (Baca: Bagaimana Kronologi Syiah Masuk Sampang?)
Apa perbedaan Syiah di Indonesia dengan Iran?
Tidak ada. Syiah di Iran menganut Syiah Itsna Asyariyah atau Imamah, yakni ajaran yang mengutamakan masalah kepemimpinan. Ajaran itu tercantum dalam Undang-Undang Iran. Dan kami juga Syiah Itsna Asyariyah.
Lalu bagaimana hubungan Syiah di Indonesia dengan Iran?
Kami hanya punya hubungan ideologi saja. Iran adalah negara Syiah. Tapi selain itu, mereka hampir tak pernah memberikan bantuan apa pun. Saya mendirikan sekolah di berbagai tempat, tapi orang-orang memuji Kedutaan Iran. Mereka dianggap berhasil memajukan Syiah di Indonesia. (Baca: Iran Tak Pernah Bantu Syiah Indonesia)
Apa mereka tahu keberadaan IJABI?
Ya. Bahkan, pernah ada ulama Indonesia yang mengadu ke pemerintah Iran. Mereka meminta Iran membubarkan IJABI. Alasannya, IJABI menentang ideologi Iran. Memang kami menentangnya karena ideologi kami Pancasila, seperti yang dipakai Indonesia. Lalu kata utusan Iran, hal itu bukan urusannya. Sebab, Iran tak bisa membubarkan organisasi di negara lain.
Kalau hubungan dengan pemerintah, bagaimana?
Baik. Beberapa kali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta saya menjadi perwakilan Syiah di Indonesia yang pergi ke luar negeri. Permintaan itu datang ketika ada pertemuan menyangkut Syiah di dunia internasional dan Kementerian Agama yang mengutus saya.
IJABI pun diakui secara resmi oleh Kementerian Dalam Negeri. Jadi, dalam politik, kedudukan kami sama dengan yang lain, yakni memiliki hak berserikat dan berkumpul. (Baca: Hubungan Pemerintah-Penganut Syiah Indonesia Baik )
Bagaimana umat Syiah menjalankan ibadah?
Tak beda dengan penganut aliran lainnya. Kami salat di masjid biasa, yang notabene milik ahlul sunnah.
Kenapa tak di masjid Syiah?
Karena tidak ada masjid Syiah di Indonesia. Bukan tak memiliki dana, tapi kami tidak mau menimbulkan provokasi. Kalau mendirikan masjid, nanti malah dibakar. We used things and we love people. Bukan kami tidak cinta masjid. Tapi masjid itu benda, kami lebih cinta manusia. Cinta damai. (Baca lengkap di: Soal Ibadah, Umat Syiah di Indonesia Tak Tertutup)
Apa karena alasan itu juga penganut Syiah bersembunyi?
Ya. Kalau mengaku, kami akan diusir. Karena itu kami mempraktikkan taqiyah (bertindak layaknya pemeluk Islam yang berbeda aliran). Tujuannya, menyembunyikan identitas ke-Syiah-an demi persatuan.
Jadi biarlah kami menyesuaikan cara beribadah kalian (Sunni), tak apa kami menjadi makmum, tidak disebut Syiah juga tak masalah, asal Islam rukun. Kami dahulukan akhlak ketimbang fikih.
Apakah tak masalah bagi Syiah menjalankan ibadah di masjid Sunni?
Tidak. Bahkan banyak ulama Syiah yang memberikan ceramah atau mengajarkan bahasa Arab di masjid Sunni, tanpa diketahui identitas ke-Syiah-annya. Tujuannya untuk berkegiatan sosial. Dan karena tidak terbuka, yang mengetahui seseorang Syiah adalah umat Syiah lainnya. Di luar itu, tidak.
Kenapa masyarakat benci Syiah?
Saya yakin mereka tidak benci. Tapi karena terpengaruh ulama mereka. Apalagi masyarakat tradisional, seperti Sampang. Dibanding pusing memikirkan hadis, fikih, atau tafsir Al-Quran, sebaiknya semua urusan agama mereka serahkan pada ulama. Mereka sendiri memilih bekerja.
Jadi, bila ulamanya bilang A, mereka bakal ikut A. Beda dengan masyarakat kota.
Sejak kapan konflik terhadap Syiah muncul?
Waktu pengikut Syiah mulai tertarik fikih. Konflik pertama terjadi pada 2000 lalu di Batang, Jawa Tengah. Waktu itu pesantren milik Ustad Ahmad B diserbu massa usai salat Jumat. Tapi itu hanya percikan kecil. Pelaku ditangkap polisi, dan sampai sekarang umat Syiah dan Sunni hidup rukun di sana.
Setelah itu, ada juga perseteruan di Bangil, Bondowoso, atau Pasuruan, tapi skalanya kecil. Karena polisi bertindak tegas, konflik langsung menurun. Sampai sekarang tak terjadi lagi.
Konflik di Sampang, sudah sejak kapan?
2004 lalu. Kemudian di 2006 dan Desember 2011.
Kenapa Syiah di Sampang sering menjadi sasaran serangan?
Pertama, karena jumlah mereka sedikit, 700 orang. Kedua, penganut Syiah di sana kondisinya lemah, terutama dari segi ekonomi. Sedangkan si penyerang mendapat kucuran dana dari luar desa untuk menyerang. Ketiga, sikap pemerintah yang terkesan mendorong penyerangan itu. Buktinya, tiga kali penyerangan, polisi tak langsung menangkap si pelaku. Malah Ustad Tajul Muluk, yang diserang, mereka tangkap. (Baca Polri Bantah Lambat Tangani Kasus Sampang)
Apa dampak fatwa Syiah sesat dari Majelis Ulama Indonesia di Jawa Timur?
Fatwa itu juga memperkeruh suasana. Karena di Madura, pendapat kiai itu sangat didengar. Preman saja patuh pada kiai. Apalagi Menteri Agama sempat satu suara akan fatwa itu. Maka halallah darah umat Syiah. Orang sesat harus disingkirkan, begitu pikir mereka. Jadi ucapan Menteri itu sangat berpengaruh pada penegakan hukum di Sampang.
Apa benar konflik di Sampang dipicu masalah keluarga antara Ustad Tajul Malik dengan adiknya, Roisul Hukama?
Semuanya bilang begitu. Tapi sesungguhnya, konflik berdasarkan agama itu sudah ada sejak lama. Jadi bukan masalah agama yang mengatasnamakan keluarga, melainkan perseteruan aliran pada agama yang memperalat problem keluarga. (Baca lengkap di: Karena Fikih, Konflik Syiah Mulai di Indonesia)
Anda katakan konflik Sampang bukan masalah keluarga. Lalu karena apa?
Begini. Roisul Hukama atau Rois itu dulunya penganut Syiah. Bahkan dia dan kakaknya, Tajul Muluk, saya lantik menjadi pengurus Ikatan Jemaah Ahlul Bait Indonesia di Sampang. Tapi kemudian muncul masalah keluarga. Rois bergabung dengan penyerang dan mengatakan ia tobat dari Syiah. Pertobatan Rois itu membuat senang orang-orang yang dari dulu antipati terhadap Syiah. Jadi konflik agama itu sudah ada terlebih dulu, baru problem keluarga.
Masalah apa yang membuat Rois pergi dari keluarga dan Syiah?
Rois memang doyan perempuan. Dia sering gonti-ganti istri. Satu perempuan yang ia taksir itu santrinya Ustad Tajul Muluk. Masalahnya, umur si gadis masih di bawah 17 tahun. Jadi Tajul Muluk menolak permintaan Rois untuk menikahi anak itu.
Lalu Tajul memulangkan si santri ke orangtuanya. Tapi, oleh mereka, anak itu malah dinikahkan dengan Rois. Mereka menikah di bawah tangan. Dan Tajul marah karenanya.
Apakah Tajul menyukai santri itu?
Tidak. Dia hanya kasihan dengan santrinya yang masih kecil. Jadi Tajul melindunginya. Karena itu Rois marah. Dan muncullah konflik itu.
(Menurut versi lain, sekitar 2006, seorang santri ustad Tajul Muluk bernama Halimah diminta adik Tajul, Ustad Rois, untuk dijadikan pembantu di rumahnya. Waktu itu usia Halimah baru 8 tahun. Suatu saat ada teman ustad Tajul yang tertarik pada santri itu. Teman ustad Tajul memohon kepada Tajul agar melamarkan Halimah untuknya. Tajul pun setuju dan lamaran pun diterima.
Beberapa bulan setelah lamaran, orang tua Halimah mendatangi Ustad Rois untuk meminta Halimah dibawa pulang karena mau dikawinkan. Mendengar itu, Rois marah dan melabrak Tajul. Rupanya Rois juga suka pada Halimah. Sejak itulah, hubungan Rois dan Tajul tidak baik. Rois pun keluar dari Syiah dan kembali ke Sunni.
Ditemui wartawan Tempo Musthofa Bisri di pengungsian, 31 Agustus 2012, Halimah meminta agar masa lalunya dan suaminya tidak dibawa-bawa dan dijadikan sebagai penyebab kerusuhan. "Jangan kambing hitamkan keluarga saya," katanya lalu pergi.)
Jadi menurut Anda, ada yang mengatur konflik di Sampang?
Ya. Saya kira memang ada grand design dalam konflik Sampang. Kalau dilihat sekarang, yang menguasai desa itu sekarang bukanlah polisi, tapi warga. Bahkan polisi tak berkutik di hadapan penyerang. Bila ada petugas yang membawa ponsel berkamera, warga bakal menyitanya. Hebat ya, masyarakat punya kekuatan semacam itu.
Kemudian dari transportasi yang digunakan penyerang. Mereka menyewa bus lebih dari 10 buah. Kabar dari sana, tiap bus disewa sekitar Rp 500 ribu. Mereka tak datang dengan gratis. Tapi uang dari mana, untuk makan saja mereka kesulitan. Jelas sudah para penyerang mendapat bantuan finansial dari luar. Itu fakta.
Jadi menurut Anda ada yang membiayai penyerangan itu?
Ya. Informasi yang saya terima, ada dua supplier uang di Sampang. Satu pengusaha Madura yang tinggal di Jakarta dan satu lagi orang Arab di Surabaya.
Lagi pula, membakar masjid itu bukan tradisi orang Madura. Bagi mereka, merusak masjid bisa menimbulkan perasaan kualat. Dan inilah pertama kali ada masjid atau pesantren yang dibakar di Madura.
Untuk apa mereka mengeluarkan duit itu?
Saya duga ada yang mau mengeliminasi Syiah dari Indonesia. Saya tidak dapat menyebut siapa orangnya, karena bisa jadi serangan itu merupakan satu gerakan terencana. Penggeraknya banyak, gerakan ilegal, jadi tak bakal ketahuan siapa otaknya.
Anda katakan, ada yang mengatur penyerangan di Sampang. Apakah itu gerakan baru?
Tidak. Gerakan ini sudah melalui proses yang panjang dan melewati beberapa tahap. Sebelum mereka serang Syiah, diserang dulu Ahmadiyah. Ternyata berhasil.
Tapi kenapa mereka mau singkirkan Syiah? Apa keuntungannya?
Banyak. Dari segi lokal, ada satu tokoh agama di Jawa Timur yang mengatakan ini sebetulnya bukan soal pendapat, tetapi soal pendapatan. Ada yang mendapatkan dana sekian atau mobil, ada lagi yang tidak mendapat. Jadi menimbulkan konflik.
Lalu ada juga yang mengatakan kalau Ustad Tajul Muluk sering memberikan pengajian tanpa pernah menerima amplop. Padahal tradisi di Madura, para ustad menerima amplop usai pengajian. Maka analisis saya, sebagian ustad menganggap sikapnya Tajul itu merusak pasar. Itu kesimpulan saya.
Tajul juga membangun rumah perawatan untuk orang sakit. Dan bila ada bencana dia memberikan bala bantuan. Hasilnya, orang-orang menyukai dia. Jemaah Tajul jadi semakin banyak. Dan bagi ustad di daerah, kehilangan satu jemaah itu merupakan masalah. Apalagi kalau banyak jemaahnya yang pindah pengajian. Perkara besar itu.
Itu dari segi lokal. Kalau tingkat nasionalnya?
Mereka mau membuat Indonesia tidak aman. Membuat pemerintah yang sekarang tak bisa tidur.
Apa konflik Syiah di Sampang bisa dikategorikan terbesar?
Ya. Untuk di Indonesia. Dan sekarang kondisinya sudah di luar kendali Rois (adik sekaligus tersangka kasus penyerangan kelompok Syiah Sampang). Sebab konfliknya sudah sebesar ini. Dan menurut saya, Rois juga harus dihukum. Dialah yang menyerang.
Ketika Tempo berkunjung ke kediamannya, Kamis, 29 Agustus 2012, lelaki yang biasa disapa Kang Jalal ini bercerita soal Syiah di Indonesia. Mulai dari proses penyebaran, konflik, cara beribadah, hingga ancaman yang kerap diterima pengikut Syiah. Dan inilah hasil perbincangan wartawan Tempo: Choirul Aminuddin, Erwin Zachri, Cornila Desyana, dan Praga Utama dengan Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia itu.
Kapan kali pertama Syiah masuk Indonesia?
Tak ada yang tahu pasti karena tidak pernah ada sejarah yang mencatatnya. Tapi saya duga, Islam yang pertama kali masuk ke Aceh sekitar abad ke-8 atau waktu Dinasti Abbasiyah. Ketika itu, orang Hadramaut dari Arab masuk ke Aceh untuk berdakwah. Tapi mereka tak menunjukkan dirinya Syiah. Melainkan ber-taqiyah (berpura-pura) menjadi pengikut mahzhab Syafi''i. Karena itu, secara kultur Nahdlatul Ulama adalah Syiah. Tapi tak pernah ada sejarah yang merekam jejak mereka. Jadi, dianggapnya tak ada Syiah di kala itu. (Baca juga: Penyebaran Syiah di Aceh )
Kenapa mereka berpura-pura menganut Mahzab Syafi''i?
Mereka tetap orang Syiah. Tapi di luarnya mempraktikkan mahzab Syafi''i. Tujuannya untuk melindungi diri dari serangan.
Apa yang membuat Anda yakin Syiah sudah masuk Indonesia kala itu?
Anda bisa lihat dari beberapa tradisi di Indonesia. Tabot, misalnya. Tradisi itu kerap dilakukan masyarakat Bengkulu pada 1 hingga 10 Muharram tiap tahunnya. Tak kurang dari seribu orang mengikuti Tabot. Mereka melakukan drama kolosal yang mengenang tragedi pembantaian keluarga nabi dan tewasnya Imam Hussein di Karbala.
Awalnya, tradisi itu diperkenalkan saudagar India yang kapalnya terdampar di Bengkulu. Tapi warga tak tahu jika tabot adalah tradisi Syiah. Sampai sekarang pemerintah dan warga Bengkulu tetap menggelar tabot, meskipun mereka bukan Syiah. (Baca: Tabot, Jejak Syiah dalam Tradisi Indonesia)
Lalu kapan jejak Syiah di Indonesia mulai terbaca sejarah?
Pada penyebaran gelombang kedua, Syiah masuk sekitar 1982. Berawal dari revolusi Islam di Iran pada 1979-1980-an, yakni peristiwa perebutan kekuasaan di Iran dari pemerintahan otokrasi, Mohammad Reza Shah Pahlavi, oleh ulama tua, Ayatullah Rohullah Khomeini. (Baca juga: Syiah Berkembang di Indonesia Pasca-Evolusisi Iran)
Kakek ini (Khomeini) menarik perhatian mahasiswa. Buat gerakan Islam di Indonesia yang selalu gagal dalam pertarungan politik, Imam Khomeni dianggap sebagai harapan. Ia menjadi lambang negara dunia ketiga yang melawan Amerika.
Mahasiswa yang dilarang berkegiatan sosial oleh pemerintah kembali ke masjid. Mereka mengulas buku-buku revolusi Iran, mengenal Syiah, mempelajari ideologi serta filosofinya. Kemudian muncullah Syiah di kalangan pelajar yang berpusat pada masjid kampus.
Kelompok Syiah pertama kali muncul di daerah mana?
Di Bandung. Lalu Syiah masuk ke HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan mulai tersebar ke kampus di daerah lain. Aktivis HMI menyebarkan ajaran Syiah secara sistematis, yakni melalui pelatihan kepemimpinan. (Baca juga:Bandung, Kantong Syiah Terbesar di Indonesia )
Syiah di masa itu sudah menimbulkan protes dari masyarakat?
Belum. Bahkan masyarakat tak merisaukan kesibukan mahasiswa yang mempelajari Syiah. Sebab mereka tak membicarakan soal fiqih. Jadi hanya dianggap sebagai gerakan intelektual.
Lalu kapan Syiah mulai diprotes?
Pada gelombang ketiga. Waktu orang-orang sudah mengerti ideologi dan filofosi Syiah. Kemudian mereka ingin mengenal Syiah dari segi fiqih. Mereka belajar dari habib yang pernah belajar di Khum, Iran. Karena sudah masuk ke ranah fiqih, muncullah perbedaan paham. Dan timbullah benih konflik.
Apa sampai di situ saja penyebaran Syiah di Indonesia?
Tidak. Ada gelombang keempat, ketika orang Syiah mulai membentuk ikatan. Misalnya Ikatan Jemaah Ahlul Bait Indonesia, IJABI. Berdiri 1 Juli 2000, IJABI merupakan organisasi massa yang diakui keberadaannya oleh Kementerian Dalam Negeri.
Tapi penyebaran kali ini tak mengutamakan fiqih, kami mengedepankan akhlak. Alasannya, fiqih sudah menimbulkan konflik. Sedangkan bagi kami, yang penting Islam bersatu dan Indonesia tenteram. Jadi IJABI lebih fokus pada kegiatan sosial.
Berapa populasi umat Syiah di Indonesia?
Berdasarkan penelitian pemerintah, paling sedikit ada 500 ribu orang. Ada juga yang memberikan perkiraan tertinggi, sekitar lima juta umat. Tapi menurut saya sekitar 2,5 juta jiwa yang tersebar di banyak daerah. (Baca:Berapa Populasi Syiah di Indonesia)
Di daerah mana saja?
Kalau berdasarkan ranking jumlah pengikut, ada tiga lokasi terbesar. Pertama, Bandung, lalu Makassar, dan Jakarta. (Baca: Bandung, Kantong Syiah Terbesar di Indonesia)
Kalau di Sampang, berapa orang?
Sedikit. Sekitar 700 orang. Karena kecil itu, Syiah di Sampang sering diserang. Coba mereka serang Bandung…. (Baca: Bagaimana Kronologi Syiah Masuk Sampang?)
Apa perbedaan Syiah di Indonesia dengan Iran?
Tidak ada. Syiah di Iran menganut Syiah Itsna Asyariyah atau Imamah, yakni ajaran yang mengutamakan masalah kepemimpinan. Ajaran itu tercantum dalam Undang-Undang Iran. Dan kami juga Syiah Itsna Asyariyah.
Lalu bagaimana hubungan Syiah di Indonesia dengan Iran?
Kami hanya punya hubungan ideologi saja. Iran adalah negara Syiah. Tapi selain itu, mereka hampir tak pernah memberikan bantuan apa pun. Saya mendirikan sekolah di berbagai tempat, tapi orang-orang memuji Kedutaan Iran. Mereka dianggap berhasil memajukan Syiah di Indonesia. (Baca: Iran Tak Pernah Bantu Syiah Indonesia)
Apa mereka tahu keberadaan IJABI?
Ya. Bahkan, pernah ada ulama Indonesia yang mengadu ke pemerintah Iran. Mereka meminta Iran membubarkan IJABI. Alasannya, IJABI menentang ideologi Iran. Memang kami menentangnya karena ideologi kami Pancasila, seperti yang dipakai Indonesia. Lalu kata utusan Iran, hal itu bukan urusannya. Sebab, Iran tak bisa membubarkan organisasi di negara lain.
Kalau hubungan dengan pemerintah, bagaimana?
Baik. Beberapa kali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta saya menjadi perwakilan Syiah di Indonesia yang pergi ke luar negeri. Permintaan itu datang ketika ada pertemuan menyangkut Syiah di dunia internasional dan Kementerian Agama yang mengutus saya.
IJABI pun diakui secara resmi oleh Kementerian Dalam Negeri. Jadi, dalam politik, kedudukan kami sama dengan yang lain, yakni memiliki hak berserikat dan berkumpul. (Baca: Hubungan Pemerintah-Penganut Syiah Indonesia Baik )
Bagaimana umat Syiah menjalankan ibadah?
Tak beda dengan penganut aliran lainnya. Kami salat di masjid biasa, yang notabene milik ahlul sunnah.
Kenapa tak di masjid Syiah?
Karena tidak ada masjid Syiah di Indonesia. Bukan tak memiliki dana, tapi kami tidak mau menimbulkan provokasi. Kalau mendirikan masjid, nanti malah dibakar. We used things and we love people. Bukan kami tidak cinta masjid. Tapi masjid itu benda, kami lebih cinta manusia. Cinta damai. (Baca lengkap di: Soal Ibadah, Umat Syiah di Indonesia Tak Tertutup)
Apa karena alasan itu juga penganut Syiah bersembunyi?
Ya. Kalau mengaku, kami akan diusir. Karena itu kami mempraktikkan taqiyah (bertindak layaknya pemeluk Islam yang berbeda aliran). Tujuannya, menyembunyikan identitas ke-Syiah-an demi persatuan.
Jadi biarlah kami menyesuaikan cara beribadah kalian (Sunni), tak apa kami menjadi makmum, tidak disebut Syiah juga tak masalah, asal Islam rukun. Kami dahulukan akhlak ketimbang fikih.
Apakah tak masalah bagi Syiah menjalankan ibadah di masjid Sunni?
Tidak. Bahkan banyak ulama Syiah yang memberikan ceramah atau mengajarkan bahasa Arab di masjid Sunni, tanpa diketahui identitas ke-Syiah-annya. Tujuannya untuk berkegiatan sosial. Dan karena tidak terbuka, yang mengetahui seseorang Syiah adalah umat Syiah lainnya. Di luar itu, tidak.
Kenapa masyarakat benci Syiah?
Saya yakin mereka tidak benci. Tapi karena terpengaruh ulama mereka. Apalagi masyarakat tradisional, seperti Sampang. Dibanding pusing memikirkan hadis, fikih, atau tafsir Al-Quran, sebaiknya semua urusan agama mereka serahkan pada ulama. Mereka sendiri memilih bekerja.
Jadi, bila ulamanya bilang A, mereka bakal ikut A. Beda dengan masyarakat kota.
Sejak kapan konflik terhadap Syiah muncul?
Waktu pengikut Syiah mulai tertarik fikih. Konflik pertama terjadi pada 2000 lalu di Batang, Jawa Tengah. Waktu itu pesantren milik Ustad Ahmad B diserbu massa usai salat Jumat. Tapi itu hanya percikan kecil. Pelaku ditangkap polisi, dan sampai sekarang umat Syiah dan Sunni hidup rukun di sana.
Setelah itu, ada juga perseteruan di Bangil, Bondowoso, atau Pasuruan, tapi skalanya kecil. Karena polisi bertindak tegas, konflik langsung menurun. Sampai sekarang tak terjadi lagi.
Konflik di Sampang, sudah sejak kapan?
2004 lalu. Kemudian di 2006 dan Desember 2011.
Kenapa Syiah di Sampang sering menjadi sasaran serangan?
Pertama, karena jumlah mereka sedikit, 700 orang. Kedua, penganut Syiah di sana kondisinya lemah, terutama dari segi ekonomi. Sedangkan si penyerang mendapat kucuran dana dari luar desa untuk menyerang. Ketiga, sikap pemerintah yang terkesan mendorong penyerangan itu. Buktinya, tiga kali penyerangan, polisi tak langsung menangkap si pelaku. Malah Ustad Tajul Muluk, yang diserang, mereka tangkap. (Baca Polri Bantah Lambat Tangani Kasus Sampang)
Apa dampak fatwa Syiah sesat dari Majelis Ulama Indonesia di Jawa Timur?
Fatwa itu juga memperkeruh suasana. Karena di Madura, pendapat kiai itu sangat didengar. Preman saja patuh pada kiai. Apalagi Menteri Agama sempat satu suara akan fatwa itu. Maka halallah darah umat Syiah. Orang sesat harus disingkirkan, begitu pikir mereka. Jadi ucapan Menteri itu sangat berpengaruh pada penegakan hukum di Sampang.
Apa benar konflik di Sampang dipicu masalah keluarga antara Ustad Tajul Malik dengan adiknya, Roisul Hukama?
Semuanya bilang begitu. Tapi sesungguhnya, konflik berdasarkan agama itu sudah ada sejak lama. Jadi bukan masalah agama yang mengatasnamakan keluarga, melainkan perseteruan aliran pada agama yang memperalat problem keluarga. (Baca lengkap di: Karena Fikih, Konflik Syiah Mulai di Indonesia)
Anda katakan konflik Sampang bukan masalah keluarga. Lalu karena apa?
Begini. Roisul Hukama atau Rois itu dulunya penganut Syiah. Bahkan dia dan kakaknya, Tajul Muluk, saya lantik menjadi pengurus Ikatan Jemaah Ahlul Bait Indonesia di Sampang. Tapi kemudian muncul masalah keluarga. Rois bergabung dengan penyerang dan mengatakan ia tobat dari Syiah. Pertobatan Rois itu membuat senang orang-orang yang dari dulu antipati terhadap Syiah. Jadi konflik agama itu sudah ada terlebih dulu, baru problem keluarga.
Masalah apa yang membuat Rois pergi dari keluarga dan Syiah?
Rois memang doyan perempuan. Dia sering gonti-ganti istri. Satu perempuan yang ia taksir itu santrinya Ustad Tajul Muluk. Masalahnya, umur si gadis masih di bawah 17 tahun. Jadi Tajul Muluk menolak permintaan Rois untuk menikahi anak itu.
Lalu Tajul memulangkan si santri ke orangtuanya. Tapi, oleh mereka, anak itu malah dinikahkan dengan Rois. Mereka menikah di bawah tangan. Dan Tajul marah karenanya.
Apakah Tajul menyukai santri itu?
Tidak. Dia hanya kasihan dengan santrinya yang masih kecil. Jadi Tajul melindunginya. Karena itu Rois marah. Dan muncullah konflik itu.
(Menurut versi lain, sekitar 2006, seorang santri ustad Tajul Muluk bernama Halimah diminta adik Tajul, Ustad Rois, untuk dijadikan pembantu di rumahnya. Waktu itu usia Halimah baru 8 tahun. Suatu saat ada teman ustad Tajul yang tertarik pada santri itu. Teman ustad Tajul memohon kepada Tajul agar melamarkan Halimah untuknya. Tajul pun setuju dan lamaran pun diterima.
Beberapa bulan setelah lamaran, orang tua Halimah mendatangi Ustad Rois untuk meminta Halimah dibawa pulang karena mau dikawinkan. Mendengar itu, Rois marah dan melabrak Tajul. Rupanya Rois juga suka pada Halimah. Sejak itulah, hubungan Rois dan Tajul tidak baik. Rois pun keluar dari Syiah dan kembali ke Sunni.
Ditemui wartawan Tempo Musthofa Bisri di pengungsian, 31 Agustus 2012, Halimah meminta agar masa lalunya dan suaminya tidak dibawa-bawa dan dijadikan sebagai penyebab kerusuhan. "Jangan kambing hitamkan keluarga saya," katanya lalu pergi.)
Jadi menurut Anda, ada yang mengatur konflik di Sampang?
Ya. Saya kira memang ada grand design dalam konflik Sampang. Kalau dilihat sekarang, yang menguasai desa itu sekarang bukanlah polisi, tapi warga. Bahkan polisi tak berkutik di hadapan penyerang. Bila ada petugas yang membawa ponsel berkamera, warga bakal menyitanya. Hebat ya, masyarakat punya kekuatan semacam itu.
Kemudian dari transportasi yang digunakan penyerang. Mereka menyewa bus lebih dari 10 buah. Kabar dari sana, tiap bus disewa sekitar Rp 500 ribu. Mereka tak datang dengan gratis. Tapi uang dari mana, untuk makan saja mereka kesulitan. Jelas sudah para penyerang mendapat bantuan finansial dari luar. Itu fakta.
Jadi menurut Anda ada yang membiayai penyerangan itu?
Ya. Informasi yang saya terima, ada dua supplier uang di Sampang. Satu pengusaha Madura yang tinggal di Jakarta dan satu lagi orang Arab di Surabaya.
Lagi pula, membakar masjid itu bukan tradisi orang Madura. Bagi mereka, merusak masjid bisa menimbulkan perasaan kualat. Dan inilah pertama kali ada masjid atau pesantren yang dibakar di Madura.
Untuk apa mereka mengeluarkan duit itu?
Saya duga ada yang mau mengeliminasi Syiah dari Indonesia. Saya tidak dapat menyebut siapa orangnya, karena bisa jadi serangan itu merupakan satu gerakan terencana. Penggeraknya banyak, gerakan ilegal, jadi tak bakal ketahuan siapa otaknya.
Anda katakan, ada yang mengatur penyerangan di Sampang. Apakah itu gerakan baru?
Tidak. Gerakan ini sudah melalui proses yang panjang dan melewati beberapa tahap. Sebelum mereka serang Syiah, diserang dulu Ahmadiyah. Ternyata berhasil.
Tapi kenapa mereka mau singkirkan Syiah? Apa keuntungannya?
Banyak. Dari segi lokal, ada satu tokoh agama di Jawa Timur yang mengatakan ini sebetulnya bukan soal pendapat, tetapi soal pendapatan. Ada yang mendapatkan dana sekian atau mobil, ada lagi yang tidak mendapat. Jadi menimbulkan konflik.
Lalu ada juga yang mengatakan kalau Ustad Tajul Muluk sering memberikan pengajian tanpa pernah menerima amplop. Padahal tradisi di Madura, para ustad menerima amplop usai pengajian. Maka analisis saya, sebagian ustad menganggap sikapnya Tajul itu merusak pasar. Itu kesimpulan saya.
Tajul juga membangun rumah perawatan untuk orang sakit. Dan bila ada bencana dia memberikan bala bantuan. Hasilnya, orang-orang menyukai dia. Jemaah Tajul jadi semakin banyak. Dan bagi ustad di daerah, kehilangan satu jemaah itu merupakan masalah. Apalagi kalau banyak jemaahnya yang pindah pengajian. Perkara besar itu.
Itu dari segi lokal. Kalau tingkat nasionalnya?
Mereka mau membuat Indonesia tidak aman. Membuat pemerintah yang sekarang tak bisa tidur.
Apa konflik Syiah di Sampang bisa dikategorikan terbesar?
Ya. Untuk di Indonesia. Dan sekarang kondisinya sudah di luar kendali Rois (adik sekaligus tersangka kasus penyerangan kelompok Syiah Sampang). Sebab konfliknya sudah sebesar ini. Dan menurut saya, Rois juga harus dihukum. Dialah yang menyerang.