[Tulisan ini dikutip kembali dari website JIL di link berikut http://islamlib.com/id/artikel/yang-manusiawi-jangan-dianggap-ilahi tanggal 27 September 2012 jam 10.00. Redaksi majulah-ijabi.com]
****
Sebagai pakar komunikasi yang aktif menggeluti wacana keislaman, Dr. Jalaluddin Rakhmat memiliki kompetensi untuk berbicara masalah freedom of speech sebagai bagian integral dari kebebasan berekspresi yang dijunjung tinggi ajaran Islam. Kang Jalal, demikian sapaan akrab beliau, menumpahkan kegalauannya atas fenomena institusionalisasi agama yang menyebabkan tersingkirnya pendapat-pendapat pinggiran atas nama Tuhan.
Kali ini, Ulil Abshar-Abdalla dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) mewawancarai Kang Jalal, pengasuh Yayasan Muthahhari, Bandung yang disiarkan Radio 68H dan jaringannya di seluruh Indonesia pada hari Kamis, 13 Juni 2002. Berikut petikannya:
****
Sebagai pakar komunikasi yang aktif menggeluti wacana keislaman, Dr. Jalaluddin Rakhmat memiliki kompetensi untuk berbicara masalah freedom of speech sebagai bagian integral dari kebebasan berekspresi yang dijunjung tinggi ajaran Islam. Kang Jalal, demikian sapaan akrab beliau, menumpahkan kegalauannya atas fenomena institusionalisasi agama yang menyebabkan tersingkirnya pendapat-pendapat pinggiran atas nama Tuhan.
Kali ini, Ulil Abshar-Abdalla dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) mewawancarai Kang Jalal, pengasuh Yayasan Muthahhari, Bandung yang disiarkan Radio 68H dan jaringannya di seluruh Indonesia pada hari Kamis, 13 Juni 2002. Berikut petikannya:
Kang Jalal, Islam memiliki diktum “lâ ikrâha fî al-dîn” (Tidak ada paksaan dalam beragama -red) dan “lakum dîinukum wa liyadîn” (bagimu agamamu dan bagiku agamaku -red). Nah, dari sini, bagaimana Islam melihat kebebasan berpendapat?
Saya kira rujukannya bukan pada “lâ ikrâha fî al-dîn”. Kalau rujukannya dari situ, orang akan mengatakan: “Memang nggak ada sih, paksaan untuk masuk agama, tapi begitu kita sudah berada dalam agama tertentu, seseorang harus beragama!” Kalau mau masuk suatu akidah, begitu masuk dia dipaksa. Ini sama seperti ungkapan “tidak ada paksaan masuk PKB”. Tapi setelah seseorang berada di dalam PKB, dia harus dipaksa memenuhi kewajibannya sebagai anggota PKB. Jadi, keterangan tentang kebebasan berekspresi dalam Islam, bisa kita rujukkan kepada dua hal. Pertama, melalui sumber-sumber Islam dari Alquran dan Sunnah. Kedua, melalui praktik-praktik sejarah.
Lantas apa landasan kebebasan berekspresi dalam doktrin agama?
Secara doktrin, kita akan banyak sekali menemukan ayat-ayat Alquran yang memberikan kebebasan kepada manusia, bahkan dalam memilih agama itu sendiri. Ayat-ayat “faman syâ’a falyu’min, wa man syâ’a falyakfur (barangsipa yang menghendaki bolehlah dia beriman dan barangsiapa yang menghendaki bolehlah dia kafir).
Kalau begitu, ada juga hak untuk tidak beragama yang dihormati oleh Islam?
Ya, ada hak juga untuk kafir sekalipun dari ayat itu. Dan itu dihormati oleh Islam.
Kalau kita lihat dalam sejarah Islam, bagaimana fakta kebebasan berekspresi?
Dalam periode Nabi Saw, kebebasan berpendapat sangat dihormati. Nabi malah melarang orang memerangi pendapat yang berbeda. Di kalangan para sahabat saja, terjadi perbedaan pendapat dalam memahami Sunnah Nabi. Semua itu, berdasar fakta sejarah, diapresiasi oleh Nabi dengan arif. Dan yang paling penting, Nabi tidak menyebutkan —misalnya— ini yang paling benar dan itu salah.
Namun demikian, dalam perkembangan sejarah ada beberapa skandal tentang pemberangusan kebebasan berpendapat seperti perlakuan terhadap aliran Mu’tazilah maupun kasus inkuisisi yang dilakukan Khalifah al-Makmun. Bagaimana menjelaskan ini?
Ya, saya kira pemberangusan atau pembatasan kebebasan berpendapat bahkan dimulai sejak zaman kekhalifahan Abu Bakar yang memuncak pada zaman Umar bin Khattab. Lalu, mulai bebas lagi pada masa Ali bin Abi Thalib. Pada zaman Abu Bakar, dimulai larangan periwayatan hadits. Padahal, seperti yang kita ketahui, hadits merupakan upaya para sahabat yang sezaman dengan Nabi untuk menangkap makna dari ucapan dan perilaku Nabi. Yang disebut Sunnah, menurut Fazlurrahman, adalah opini yang dikembangkan para sahabat berkaitan dengan perilaku Nabi. Mereka memberikan makna pada perilaku Nabi, dan kemudian menuliskannya. Pada zaman khalifah Abu Bakarlah larangan pengumpulan dan periwayatan hadits itu.
Bukankah pelarangan itu ada motifnya, yakni khawatir bisa menyaingi Alquran?
Itu terjadi pada masa Umar bin Khatab. Alasannya memang takut menyaingi Alquran. Khalifah Umar bahkan memenjarakan beberapa sahabat yang meriwayatkan hadits.
Saya kira, ketidaksenangan akan periwayatan hadits berlanjut jauh setelah khalifah yang empat?
Betul, sampai zaman Thâbiîn (penerus sahabat -red) masih banyak orang yang takut meriwayatkan hadits. Akibatnya, salah satu sumber berekspresi dan berpendapat kaum muslim menjadi terbengkalai. Kemudian pasca wafatnya Imam Ali atau sejak masa Muawiyyah, semua pendapat yang bertentangan dengan paham politik Muawiyyah diberangus. Waktu itu terjadi manipulasi besar-besaran terhadap hadits Nabi. Jadi, masa itu ada hadits Nabi yang dilarang untuk diberitakan, dan pada waktu bersamaan, ada juga hadits yang diciptakan. Itu karena kepentingan-kepentingan politik. Lalu siapa saja yang haditsnya bertentangan dengan hadits penguasa dihukum.
Saya kira, sejarah seperti itu berulang terus sampai sekarang. Kalau kita tanyakan hal ini secara kritis, maka soal yang muncul adalah: “Mengapa pada level doktrinal, Islam menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, tapi pada fakta sejarah terjadi skandal-skandal seperti itu?”
Saya kira, itu terjadi juga pada agama lainnya. Kalau kita meniru doktrinnya, kita akan menemukan kebebasan berpendapat. Tapi setelah agama itu terlembagakan (institutionalized), mulai ada hierarki dan doktrin-doktrin yang dianggap resmi dan yang tidak resmi. Yang tidak resmi kemudian dianggap menyimpang dan tidak punya hak untuk tetap hidup bersama doktrin yang resmi. Itu gejala yang sama di setiap agama.
Begitu agama dilembagakan dan ada pengawalnya, kebebasan lenyap. Bisa dijelaskan lebih detail?
Mungkin kita bisa melakukan beberapa analisis. Bisa analisis psikologis, maupun sosiologis. Kita mulai dari analisis sosiologis. Agama yang sudah dilembagakan akan berkaitan erat dengan kekuasaan. Dan –tentu saja—kekuasaan dilegitimasi oleh suatu ideologi. Sementara, ideologi sebetulnya merupakan pendapat yang sudah dibakukan menjadi pendapat resmi.
Munculnya dualisme pendapat resmi dan tidak resmi yang mengakibatkan pendapat resmi dianjurkan dan yang tidak resmi disingkirkan memang terjadi pada semua agama. Tapi yang ingin saya tanyakan secara spesifik, kenapa itu terjadi dalam agama Islam?
Pertanyaan “mengapa” itu, mungkin butuh jawaban panjang. Namun saya mencoba mencari jawaban yang pendek. Saya kira, ini berkaitan dengan sebuah sikap yang oleh Nabi selalu ditegur. Yaitu, sikap merasa diri yang paling benar. Karena merasa paling benar, maka pendapat-pendapat yang bertentangan dengannya dianggap salah. Karena salah, secara agama harus dihancurkan. Istilah agama menyebut kesalahan itu bâthil. Sementara, doktrin agama menyebutkan adanya pertarungan antara haq dengan bâthil seperti disinyalir Alquran: “Wa qul jâ’a al-haq wa zahaqa al-bhâtil inna al-bhâtil kâna zahûqa” (dan katakanlah: “kebenaran telah datang, dan kebatilan akan sirna. Sesungguhnya kebatilan itu akan (selalu) sirna –red). Ironisnya, tidak jarang yang dianggap benar adalah pendapat pribadi dia. Pendapat dia dianggap satu-satunya kebenaran.
Kemarin saya sempat berbincang dengan Pak Alwi Shihab. Katanya, salah satu penyebab terjadinya legalisme dalam Islam adalah kecenderungan untuk mengangkat pendapat kita yang sangat manusiawi menjadi sangat Ilahi. Sebetulnya, terkadang yang ada hanya pendapat kita tentang Alquran dan hadits, tapi lantas kita malah berpendapat itulah Alquran dan hadits sebenar-benarnya. Kalau orang seperti ini –misalnya—berbeda pendapat dengan saya, maka saya diklaim bertentangan dengan Alquran dan hadits. Padahal tak jarang itu hanya pendapat mereka tentang Alquran dan hadits. Kasusnya sama seperti pendapat orang yang menganggap perlunya mendirikan negara berdasar syariat Islam. Di situ, syariat dianggap sangat divine (sangat Ilahi). Padahal, yang kita sebut syariat mungkin sembilan puluh persen sangat manusiawi. Artinya, syariat adalah pemahaman kita tentang syariat itu sendiri.
Sebagai contoh, saya pernah berdebat tentang syariat Islam di Makassar. Pada waktu itu, saya berhadapan dengan “orang-orang salih” yang berusaha menerapkan syariat Islam. Ketika saya bertanya: “Syariat Islam yang mana yang akan Anda terapkan di sini?” Sebab, syariat Islam itu sangat bergantung pada mazhab Anda: apakah syariat Islam ala Taliban, ala PAS di Malaysia, ala NAD di Aceh, Arab Saudi atau Iran? Jadi, penafsiran tentang itu berbeda-beda. Di situ, saya hanya ingin menyadarkan, bahwa apa yang kita sebut syariat, kebanyakan lebih manusia ketimbang yang ilahi. Malangnya, terkadang yang manusiawi itu sudah dianggap ilahi. Bila suatu pendapat sudah kita anggap sakral, maka setiap orang yang bertentangan dengan kita akan kita hancurkan karena dianggap bagian kebatilan.
Dulu ada pelarangan terhadap Darul Arqam, dan sekarang muncul usaha untuk memeriksa ajaran di Pesantren Zaytun Indramayu. Terlepas dari itu, bagaimana kita menyikapi perbedaan-perbedaan pemahaman dalam suatu ajaran?
Saya sendiri beranggapan, biarlah orang-orang Islam mengembangkan pendapat mereka sendiri dan tidak seorang pun di antara kita yang berhak menghakimi suatu kebenaran. Dan perlu diingat, sesuatu yang bisa kita lakukan dalam agama hanyalah mendekati (to aproximate) kebenaran dengan cara kita sendiri. Jadi ketika kita mencoba menghakimi suatu kelompok seperti Pesantren Zaytun, yang perlu dipertanyakan adalah: “Dari mana kriteria penyimpang itu?” Bukankah itu dari kriteria yang kita bikin?
Bukankah problem freedom of speech dalam konteks Indonesia juga sering terjadi pada masa lalu (baca: Orde Baru)?
Itu juga pertanyaan saya: kenapa kita baru meneriakkan kebebasan berpendapat sekarang? Sesuai concern saya sudah dari dulu memperjuangkan kebebasan berpendapat dengan resiko apa pun. Saya melihat, sebetulnya sepanjang sejarah, ada saja kelompok-kelompok yang berjuang menegakkan kebebasan berpendapat. Umpamanya di zaman khulafâ al-râsyidîn, muncul orang seperti Abu Dzar al-Ghifari yang oleh Nabi, lidahnya dijuluki sebagai orang yang paling jujur di bawah kolong langit. Itu merupakan pujian Nabi untuk seorang yang memperjuangkan kebebasan berpendapat.
Di Indonesia, pada zaman Orba juga ada beberapa orang yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Umumnya, mereka masuk penjara dan memikul resiko tinggi. Mungkin baru zaman Gus Dur orang yang bebas berpendapat tidak dipenjarakan. Maka muncullah hiruk pikuk freedom of speech. Mestinya, kita tidak lagi berbicara masalah ini, karena kita sudah menyaksikannya dalam realitas. Idealnya, sejak dulu kita meneriakkan itu. Hanya saja, sekarang —zaman Megawati— kita melihat adanya ancaman terhadap kebebasan berpendapat. Mungkin saya melihat ini secara remang-remang. Tapi ada ketakutan, dan kekhawatiran akan kembali lagi ke zaman Orba.
Tadi ada yang bertanya bagaimana menghadapi kelompok-kelompok yang keras dan tidak menerima adanya perbedaan pendapat seperti yang kita saksikan sekarang. Bagaimana menghadapi mereka ini?
Saya akan jawab dari pengalaman hidup saya saja. Pertama, saya akan mengajak mereka perlahan-lahan kepada kebebasan berpendapat atau penghargaan terhadap cara pandang lain. Biasanya, saya akan membuat mereka ragu lebih dulu atas pahamnya. Sebab sikap ekstrim biasanya muncul karena seseorang terlalu yakin bahwa pendapatnya adalah satu-satunya kebenaran. Saya tunjukkan kepada mereka —secara dialektis— bahwa pendapat mereka keliru dan menggiring mereka untuk menemukan sendiri kekeliruan itu. Tapi cara itu tidak gampang, karena memerlukan forum untuk berbicara seperti itu. Sementara kelompok seperti itu pada galibnya tidak memberikan forum seperti itu kepada kita. Biasanya sudah ada capnya. Misalnya, kelompok Ulil Abshar dari Jaringan Islam Liberal sudah pasti salah. Kalau sudah begini, Anda tidak akan diizinkan untuk masuk ke forum itu. Bila ini yang terjadi, cara yang terbaik adalah qâlû salâma. Saya akan ucapkan salam saja, ketimbang menghambur-hamburkan waktu untuk berdiskusi dengan mereka.
Masalahnya, membuat ragu orang lain selalu diasumsikan sebagai tindakan tasykîk (membuat bimbang -red) yang cenderung dituduh meragukan kebenaran Allah dan rasul-Nya?
Ya, disitulah kesalahannya. Kita meragukan pendapat mereka, lantas diartikan ingin meragukan kebenaran Alquran dan Sunnah.
Biasanya sebagian kelompok yang anti-dialog itu berkelit dengan dalih bahwa apa yang mereka ungkapkan bukan pendapat pribadi mereka, tapi sejalan dengan yang tertera dalam Alquran dan hadits. Seolah-olah, orang yang meragukan pendapat mereka, telah menentang Alquran dan hadits tadi?
Mungkin kita harus membedakan antara fikih dengan syariat. Saya belakangan ini kembali mendalami fikih dan membuat rangkain tulisan yang nanti akan saya berikan pada Mas Ulil untuk bisa dimasukkan dalam situs islamlib.com. Judulnya “Dahulukan Akhlak di atas Fikih!”. Judulnya sederhana saja. Saya ingin menunjukkan bahwa fikih adalah proses atau hasil pemahaman kita terhadap Alquran dan Sunnah. Fikih tidak ada yang seratus persen Alquran dan Sunnah. Fikih, bila dikalkulasikan, mungkin 90 persen adalah pemahaman, sementara 10 persen Alquran dan Sunnah.
Bagaimana jika ada fikih yang seratus persen Alquran dan Sunnah? Menurut saya, itu bukan fikih lagi. Maksudnya begini, ketika kita membuka Alquran, lantas berpendapat bahwa daging babi haram, bagi saya itu bukanlah fikih. Sebab gagasan itu sudah disebutkan secara eksplisit dalam Alquran: “Hurrimat ‘alaikum al-maitat-u wa al-dam-u wa lahma al-khinzîr” (diharamkan atasmu (daging) mayat, darah dan daging babi -red). Alquran sudah menyebut, secara detail kata haramnya, dan jenis dagingnya secara spesifik. Nah, dalam hal yang seperti itu, saya tidak akan menentang pendapat Anda, karena itu bukan fikih. Contoh itu seratus persen nash (teks suci –red). Tapi ada pendapat (misalnya) bahwa bersentuhan dengan orang kafir yang basah adalah najis, dan mesti mandi. Kesimpulan fikih itu, tentu saja melalui proses bernalar yang panjang dan ayat Alqurannya sedikit dan tidak eksplisit: “Innamâ al-musyrikûn najasun” (orang musyrik itu najis). Pertanyaannya: Apakah yang musyrik itu orang atau tubuhnya atau bila tubuhnya basah saja? Bagaimana kalau tubuhnya kering? Contoh ini sudah mesti mengalami proses berfikir atau penalaran. Ada kemungkinan, orang-orang yang dihadapi Mas Ulil adalah orang-orang yang berpendapat bahwa pendapat mereka itu semata Alquran. Mereka mungkin akan mengatakan: “Kalau tidak percaya orang musyrik itu najis, baca dong ayat ini: “Innamâ al-musyrikûn najasun.” Kita bisa bertanya lebih lanjut: dari mana Anda tahu?
Mungkin contoh lebih kongkrit adalah masalah boleh tidaknya orang non-Islam masuk masjid berdasar dalil “innamâ ya‘muru masâjidallâh…” (yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang beriman saja)?
Betul. Untuk sampai pada kesimpulan begitu, kan melalui proses berpikir. Alquran secara tegas begini: “Sesungguhnya yang memakmurkan mesjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman pada Allah…”Ayat itu sebetulnya berbentuk “berita” saja. Tapi apakah defenisi “memakmurkan” di situ termasuk di dalamnya kegiatan memasuki masjid? Terus, ayat itu kan tidak secara eksplisit mengatakan kalau orang kafir tidak boleh masuk masjid. Di situ, yang dikatakan hanya orang mukminlah yang memakmurkan masjid.
Konon, katanya ada ‘adât al-taqshîr (kata yang berfungsi sebagai pembatas), pada kata innamâ (hanya/saja -red). Kalau ada kata innamâ, itu berarti ada pembatasan. Lalu, ada proses penyimpulaan dengan mekanisme mafhûm al-mukhâlafah (analogi terbalik -red). Ahli fikih sampai pada kesimpulan: “Bila dalam redaksinya hanya orang-orang mukmin yang memakmurkan masjid, maka mafhûm mukhâlafah-nya, yang tidak beriman tidak boleh memakmurkan masjid. Tapi perlu diingat, dalam Ushul Fikih saja, pemakaian mafhûm mukhâlafah ini juga polemik di kalangan ulama. Polemik itu menyangkut apakah ia boleh dijadikan dalil atau tidak? Sebagian ulama mengatakan tidak boleh. Jadi dari sini jelas terlihat banyaknya proses berpikir dalam penyimpulan hukum Islam. []
Saya kira rujukannya bukan pada “lâ ikrâha fî al-dîn”. Kalau rujukannya dari situ, orang akan mengatakan: “Memang nggak ada sih, paksaan untuk masuk agama, tapi begitu kita sudah berada dalam agama tertentu, seseorang harus beragama!” Kalau mau masuk suatu akidah, begitu masuk dia dipaksa. Ini sama seperti ungkapan “tidak ada paksaan masuk PKB”. Tapi setelah seseorang berada di dalam PKB, dia harus dipaksa memenuhi kewajibannya sebagai anggota PKB. Jadi, keterangan tentang kebebasan berekspresi dalam Islam, bisa kita rujukkan kepada dua hal. Pertama, melalui sumber-sumber Islam dari Alquran dan Sunnah. Kedua, melalui praktik-praktik sejarah.
Lantas apa landasan kebebasan berekspresi dalam doktrin agama?
Secara doktrin, kita akan banyak sekali menemukan ayat-ayat Alquran yang memberikan kebebasan kepada manusia, bahkan dalam memilih agama itu sendiri. Ayat-ayat “faman syâ’a falyu’min, wa man syâ’a falyakfur (barangsipa yang menghendaki bolehlah dia beriman dan barangsiapa yang menghendaki bolehlah dia kafir).
Kalau begitu, ada juga hak untuk tidak beragama yang dihormati oleh Islam?
Ya, ada hak juga untuk kafir sekalipun dari ayat itu. Dan itu dihormati oleh Islam.
Kalau kita lihat dalam sejarah Islam, bagaimana fakta kebebasan berekspresi?
Dalam periode Nabi Saw, kebebasan berpendapat sangat dihormati. Nabi malah melarang orang memerangi pendapat yang berbeda. Di kalangan para sahabat saja, terjadi perbedaan pendapat dalam memahami Sunnah Nabi. Semua itu, berdasar fakta sejarah, diapresiasi oleh Nabi dengan arif. Dan yang paling penting, Nabi tidak menyebutkan —misalnya— ini yang paling benar dan itu salah.
Namun demikian, dalam perkembangan sejarah ada beberapa skandal tentang pemberangusan kebebasan berpendapat seperti perlakuan terhadap aliran Mu’tazilah maupun kasus inkuisisi yang dilakukan Khalifah al-Makmun. Bagaimana menjelaskan ini?
Ya, saya kira pemberangusan atau pembatasan kebebasan berpendapat bahkan dimulai sejak zaman kekhalifahan Abu Bakar yang memuncak pada zaman Umar bin Khattab. Lalu, mulai bebas lagi pada masa Ali bin Abi Thalib. Pada zaman Abu Bakar, dimulai larangan periwayatan hadits. Padahal, seperti yang kita ketahui, hadits merupakan upaya para sahabat yang sezaman dengan Nabi untuk menangkap makna dari ucapan dan perilaku Nabi. Yang disebut Sunnah, menurut Fazlurrahman, adalah opini yang dikembangkan para sahabat berkaitan dengan perilaku Nabi. Mereka memberikan makna pada perilaku Nabi, dan kemudian menuliskannya. Pada zaman khalifah Abu Bakarlah larangan pengumpulan dan periwayatan hadits itu.
Bukankah pelarangan itu ada motifnya, yakni khawatir bisa menyaingi Alquran?
Itu terjadi pada masa Umar bin Khatab. Alasannya memang takut menyaingi Alquran. Khalifah Umar bahkan memenjarakan beberapa sahabat yang meriwayatkan hadits.
Saya kira, ketidaksenangan akan periwayatan hadits berlanjut jauh setelah khalifah yang empat?
Betul, sampai zaman Thâbiîn (penerus sahabat -red) masih banyak orang yang takut meriwayatkan hadits. Akibatnya, salah satu sumber berekspresi dan berpendapat kaum muslim menjadi terbengkalai. Kemudian pasca wafatnya Imam Ali atau sejak masa Muawiyyah, semua pendapat yang bertentangan dengan paham politik Muawiyyah diberangus. Waktu itu terjadi manipulasi besar-besaran terhadap hadits Nabi. Jadi, masa itu ada hadits Nabi yang dilarang untuk diberitakan, dan pada waktu bersamaan, ada juga hadits yang diciptakan. Itu karena kepentingan-kepentingan politik. Lalu siapa saja yang haditsnya bertentangan dengan hadits penguasa dihukum.
Saya kira, sejarah seperti itu berulang terus sampai sekarang. Kalau kita tanyakan hal ini secara kritis, maka soal yang muncul adalah: “Mengapa pada level doktrinal, Islam menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, tapi pada fakta sejarah terjadi skandal-skandal seperti itu?”
Saya kira, itu terjadi juga pada agama lainnya. Kalau kita meniru doktrinnya, kita akan menemukan kebebasan berpendapat. Tapi setelah agama itu terlembagakan (institutionalized), mulai ada hierarki dan doktrin-doktrin yang dianggap resmi dan yang tidak resmi. Yang tidak resmi kemudian dianggap menyimpang dan tidak punya hak untuk tetap hidup bersama doktrin yang resmi. Itu gejala yang sama di setiap agama.
Begitu agama dilembagakan dan ada pengawalnya, kebebasan lenyap. Bisa dijelaskan lebih detail?
Mungkin kita bisa melakukan beberapa analisis. Bisa analisis psikologis, maupun sosiologis. Kita mulai dari analisis sosiologis. Agama yang sudah dilembagakan akan berkaitan erat dengan kekuasaan. Dan –tentu saja—kekuasaan dilegitimasi oleh suatu ideologi. Sementara, ideologi sebetulnya merupakan pendapat yang sudah dibakukan menjadi pendapat resmi.
Munculnya dualisme pendapat resmi dan tidak resmi yang mengakibatkan pendapat resmi dianjurkan dan yang tidak resmi disingkirkan memang terjadi pada semua agama. Tapi yang ingin saya tanyakan secara spesifik, kenapa itu terjadi dalam agama Islam?
Pertanyaan “mengapa” itu, mungkin butuh jawaban panjang. Namun saya mencoba mencari jawaban yang pendek. Saya kira, ini berkaitan dengan sebuah sikap yang oleh Nabi selalu ditegur. Yaitu, sikap merasa diri yang paling benar. Karena merasa paling benar, maka pendapat-pendapat yang bertentangan dengannya dianggap salah. Karena salah, secara agama harus dihancurkan. Istilah agama menyebut kesalahan itu bâthil. Sementara, doktrin agama menyebutkan adanya pertarungan antara haq dengan bâthil seperti disinyalir Alquran: “Wa qul jâ’a al-haq wa zahaqa al-bhâtil inna al-bhâtil kâna zahûqa” (dan katakanlah: “kebenaran telah datang, dan kebatilan akan sirna. Sesungguhnya kebatilan itu akan (selalu) sirna –red). Ironisnya, tidak jarang yang dianggap benar adalah pendapat pribadi dia. Pendapat dia dianggap satu-satunya kebenaran.
Kemarin saya sempat berbincang dengan Pak Alwi Shihab. Katanya, salah satu penyebab terjadinya legalisme dalam Islam adalah kecenderungan untuk mengangkat pendapat kita yang sangat manusiawi menjadi sangat Ilahi. Sebetulnya, terkadang yang ada hanya pendapat kita tentang Alquran dan hadits, tapi lantas kita malah berpendapat itulah Alquran dan hadits sebenar-benarnya. Kalau orang seperti ini –misalnya—berbeda pendapat dengan saya, maka saya diklaim bertentangan dengan Alquran dan hadits. Padahal tak jarang itu hanya pendapat mereka tentang Alquran dan hadits. Kasusnya sama seperti pendapat orang yang menganggap perlunya mendirikan negara berdasar syariat Islam. Di situ, syariat dianggap sangat divine (sangat Ilahi). Padahal, yang kita sebut syariat mungkin sembilan puluh persen sangat manusiawi. Artinya, syariat adalah pemahaman kita tentang syariat itu sendiri.
Sebagai contoh, saya pernah berdebat tentang syariat Islam di Makassar. Pada waktu itu, saya berhadapan dengan “orang-orang salih” yang berusaha menerapkan syariat Islam. Ketika saya bertanya: “Syariat Islam yang mana yang akan Anda terapkan di sini?” Sebab, syariat Islam itu sangat bergantung pada mazhab Anda: apakah syariat Islam ala Taliban, ala PAS di Malaysia, ala NAD di Aceh, Arab Saudi atau Iran? Jadi, penafsiran tentang itu berbeda-beda. Di situ, saya hanya ingin menyadarkan, bahwa apa yang kita sebut syariat, kebanyakan lebih manusia ketimbang yang ilahi. Malangnya, terkadang yang manusiawi itu sudah dianggap ilahi. Bila suatu pendapat sudah kita anggap sakral, maka setiap orang yang bertentangan dengan kita akan kita hancurkan karena dianggap bagian kebatilan.
Dulu ada pelarangan terhadap Darul Arqam, dan sekarang muncul usaha untuk memeriksa ajaran di Pesantren Zaytun Indramayu. Terlepas dari itu, bagaimana kita menyikapi perbedaan-perbedaan pemahaman dalam suatu ajaran?
Saya sendiri beranggapan, biarlah orang-orang Islam mengembangkan pendapat mereka sendiri dan tidak seorang pun di antara kita yang berhak menghakimi suatu kebenaran. Dan perlu diingat, sesuatu yang bisa kita lakukan dalam agama hanyalah mendekati (to aproximate) kebenaran dengan cara kita sendiri. Jadi ketika kita mencoba menghakimi suatu kelompok seperti Pesantren Zaytun, yang perlu dipertanyakan adalah: “Dari mana kriteria penyimpang itu?” Bukankah itu dari kriteria yang kita bikin?
Bukankah problem freedom of speech dalam konteks Indonesia juga sering terjadi pada masa lalu (baca: Orde Baru)?
Itu juga pertanyaan saya: kenapa kita baru meneriakkan kebebasan berpendapat sekarang? Sesuai concern saya sudah dari dulu memperjuangkan kebebasan berpendapat dengan resiko apa pun. Saya melihat, sebetulnya sepanjang sejarah, ada saja kelompok-kelompok yang berjuang menegakkan kebebasan berpendapat. Umpamanya di zaman khulafâ al-râsyidîn, muncul orang seperti Abu Dzar al-Ghifari yang oleh Nabi, lidahnya dijuluki sebagai orang yang paling jujur di bawah kolong langit. Itu merupakan pujian Nabi untuk seorang yang memperjuangkan kebebasan berpendapat.
Di Indonesia, pada zaman Orba juga ada beberapa orang yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Umumnya, mereka masuk penjara dan memikul resiko tinggi. Mungkin baru zaman Gus Dur orang yang bebas berpendapat tidak dipenjarakan. Maka muncullah hiruk pikuk freedom of speech. Mestinya, kita tidak lagi berbicara masalah ini, karena kita sudah menyaksikannya dalam realitas. Idealnya, sejak dulu kita meneriakkan itu. Hanya saja, sekarang —zaman Megawati— kita melihat adanya ancaman terhadap kebebasan berpendapat. Mungkin saya melihat ini secara remang-remang. Tapi ada ketakutan, dan kekhawatiran akan kembali lagi ke zaman Orba.
Tadi ada yang bertanya bagaimana menghadapi kelompok-kelompok yang keras dan tidak menerima adanya perbedaan pendapat seperti yang kita saksikan sekarang. Bagaimana menghadapi mereka ini?
Saya akan jawab dari pengalaman hidup saya saja. Pertama, saya akan mengajak mereka perlahan-lahan kepada kebebasan berpendapat atau penghargaan terhadap cara pandang lain. Biasanya, saya akan membuat mereka ragu lebih dulu atas pahamnya. Sebab sikap ekstrim biasanya muncul karena seseorang terlalu yakin bahwa pendapatnya adalah satu-satunya kebenaran. Saya tunjukkan kepada mereka —secara dialektis— bahwa pendapat mereka keliru dan menggiring mereka untuk menemukan sendiri kekeliruan itu. Tapi cara itu tidak gampang, karena memerlukan forum untuk berbicara seperti itu. Sementara kelompok seperti itu pada galibnya tidak memberikan forum seperti itu kepada kita. Biasanya sudah ada capnya. Misalnya, kelompok Ulil Abshar dari Jaringan Islam Liberal sudah pasti salah. Kalau sudah begini, Anda tidak akan diizinkan untuk masuk ke forum itu. Bila ini yang terjadi, cara yang terbaik adalah qâlû salâma. Saya akan ucapkan salam saja, ketimbang menghambur-hamburkan waktu untuk berdiskusi dengan mereka.
Masalahnya, membuat ragu orang lain selalu diasumsikan sebagai tindakan tasykîk (membuat bimbang -red) yang cenderung dituduh meragukan kebenaran Allah dan rasul-Nya?
Ya, disitulah kesalahannya. Kita meragukan pendapat mereka, lantas diartikan ingin meragukan kebenaran Alquran dan Sunnah.
Biasanya sebagian kelompok yang anti-dialog itu berkelit dengan dalih bahwa apa yang mereka ungkapkan bukan pendapat pribadi mereka, tapi sejalan dengan yang tertera dalam Alquran dan hadits. Seolah-olah, orang yang meragukan pendapat mereka, telah menentang Alquran dan hadits tadi?
Mungkin kita harus membedakan antara fikih dengan syariat. Saya belakangan ini kembali mendalami fikih dan membuat rangkain tulisan yang nanti akan saya berikan pada Mas Ulil untuk bisa dimasukkan dalam situs islamlib.com. Judulnya “Dahulukan Akhlak di atas Fikih!”. Judulnya sederhana saja. Saya ingin menunjukkan bahwa fikih adalah proses atau hasil pemahaman kita terhadap Alquran dan Sunnah. Fikih tidak ada yang seratus persen Alquran dan Sunnah. Fikih, bila dikalkulasikan, mungkin 90 persen adalah pemahaman, sementara 10 persen Alquran dan Sunnah.
Bagaimana jika ada fikih yang seratus persen Alquran dan Sunnah? Menurut saya, itu bukan fikih lagi. Maksudnya begini, ketika kita membuka Alquran, lantas berpendapat bahwa daging babi haram, bagi saya itu bukanlah fikih. Sebab gagasan itu sudah disebutkan secara eksplisit dalam Alquran: “Hurrimat ‘alaikum al-maitat-u wa al-dam-u wa lahma al-khinzîr” (diharamkan atasmu (daging) mayat, darah dan daging babi -red). Alquran sudah menyebut, secara detail kata haramnya, dan jenis dagingnya secara spesifik. Nah, dalam hal yang seperti itu, saya tidak akan menentang pendapat Anda, karena itu bukan fikih. Contoh itu seratus persen nash (teks suci –red). Tapi ada pendapat (misalnya) bahwa bersentuhan dengan orang kafir yang basah adalah najis, dan mesti mandi. Kesimpulan fikih itu, tentu saja melalui proses bernalar yang panjang dan ayat Alqurannya sedikit dan tidak eksplisit: “Innamâ al-musyrikûn najasun” (orang musyrik itu najis). Pertanyaannya: Apakah yang musyrik itu orang atau tubuhnya atau bila tubuhnya basah saja? Bagaimana kalau tubuhnya kering? Contoh ini sudah mesti mengalami proses berfikir atau penalaran. Ada kemungkinan, orang-orang yang dihadapi Mas Ulil adalah orang-orang yang berpendapat bahwa pendapat mereka itu semata Alquran. Mereka mungkin akan mengatakan: “Kalau tidak percaya orang musyrik itu najis, baca dong ayat ini: “Innamâ al-musyrikûn najasun.” Kita bisa bertanya lebih lanjut: dari mana Anda tahu?
Mungkin contoh lebih kongkrit adalah masalah boleh tidaknya orang non-Islam masuk masjid berdasar dalil “innamâ ya‘muru masâjidallâh…” (yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang beriman saja)?
Betul. Untuk sampai pada kesimpulan begitu, kan melalui proses berpikir. Alquran secara tegas begini: “Sesungguhnya yang memakmurkan mesjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman pada Allah…”Ayat itu sebetulnya berbentuk “berita” saja. Tapi apakah defenisi “memakmurkan” di situ termasuk di dalamnya kegiatan memasuki masjid? Terus, ayat itu kan tidak secara eksplisit mengatakan kalau orang kafir tidak boleh masuk masjid. Di situ, yang dikatakan hanya orang mukminlah yang memakmurkan masjid.
Konon, katanya ada ‘adât al-taqshîr (kata yang berfungsi sebagai pembatas), pada kata innamâ (hanya/saja -red). Kalau ada kata innamâ, itu berarti ada pembatasan. Lalu, ada proses penyimpulaan dengan mekanisme mafhûm al-mukhâlafah (analogi terbalik -red). Ahli fikih sampai pada kesimpulan: “Bila dalam redaksinya hanya orang-orang mukmin yang memakmurkan masjid, maka mafhûm mukhâlafah-nya, yang tidak beriman tidak boleh memakmurkan masjid. Tapi perlu diingat, dalam Ushul Fikih saja, pemakaian mafhûm mukhâlafah ini juga polemik di kalangan ulama. Polemik itu menyangkut apakah ia boleh dijadikan dalil atau tidak? Sebagian ulama mengatakan tidak boleh. Jadi dari sini jelas terlihat banyaknya proses berpikir dalam penyimpulan hukum Islam. []