Pelatihan yang dilakukan di Tangerang, 19-21 Februari ini dihadiri oleh 27 perempuan dari berbagai latar belakang agama, termasuk peserta dari Fathimiyyah IJABI. Bersama para peserta dari beragam organisasi, Dini Fauziyah Zahro dan Syahbanu, dua Fathimiyyah IJABI Muda hadir menjadi peserta aktif dalam pelatihan tersebut. Pada hari pertama, pelatihan dibuka oleh Ibu Ruby Kholifah, Kongres Ulama Perempuan Indonesia, dengan materi Perempuan, Toleransi, dan Perdamaian. Dalam penyampaiannya, Ibu Ruby menampilkan dua video kolaborasi antar AMAN Indonesia dengan Nyai Luluk dan Pdt. Obertina.
SETARA Institute merupakan sebuah organisasi riset dan advokasi kebijakan yang didirikan dengan tujuan untuk mewujudkan masyarakat setara, pluar, dan bermartabat atas semua orang. Berdasarkan hasil temuannya selama lima tahun terakhir, terdapat tren yang cukup tinggi mengenai pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan. Dalam temuannya, terdapat bibit-bitit intolernasi, ekslusitivitas, dan ancaman terhadap perdamaian yang tumbuh di berbagai sektor seperti Pendidikan, institusi pemerintahan, organisasi pergerakan, bahkan media. Merespon kondisi tersebut, SETARA Institute di bawah konsorsium INKLUSI yang beranggotakan INFID, Maarif Institute, Perkumpulan Media Link, PW Fatayat NU Jawa Barat, PW Fatayat NU Jawa Timur, SETARA Institute, UNIKA Soegijapranata, dan Yayasan Inklusif bermaksud menyelenggarakan kegiatan pelatihan penyusunan produk penulisan yang inklusif melalui Jurnalisme Inklusif. Pelatihan serupa sebelumnya telah dilaksanakan Agustus lalu, menyasar jurnalis dan pers mahasiswa. Pelatihan serupa kembali dilakukan dengan target sasaran kelompok perempuan pada kelompok-kelompok minoritas yang memungkinkan memiliki kerentanan berlipat. Pelatihan ini diharpakan dapat berkontribusi pada peningkatan kapasitas kelompok perempuan rentan dalam upaya menyuarakan isu-isu kelompok marjinal yang seringkali dihadapi dengan mengimplementasikan penyusunan produk-produk jurnalisme yang inklusif.
Pelatihan yang dilakukan di Tangerang, 19-21 Februari ini dihadiri oleh 27 perempuan dari berbagai latar belakang agama, termasuk peserta dari Fathimiyyah IJABI. Bersama para peserta dari beragam organisasi, Dini Fauziyah Zahro dan Syahbanu, dua Fathimiyyah IJABI Muda hadir menjadi peserta aktif dalam pelatihan tersebut.
Pada hari pertama, pelatihan dibuka oleh Ibu Ruby Kholifah, Kongres Ulama Perempuan Indonesia, dengan materi Perempuan, Toleransi, dan Perdamaian. Dalam penyampaiannya, Ibu Ruby menampilkan dua video kolaborasi antar AMAN Indonesia dengan Nyai Luluk dan Pdt. Obertina. Kedua video animasi tersebut menceritakan mengenai situasi dan kondisi yang mendorong Nyai Luluk dan Pdt. Obertina untuk menyebarkan toleransi dan perdamaian di lingkungannya masing-masing. Nyai Luluk dengan memerangi tafsir-tafsir keagamaan yang radikal, yang kerap menyudutkan perempuan, dengan melakukan dialog bersama tetangganya yang lebih terasa intim, membumikan agama, dan membawa kembali nilai Islam yang rahmatan lil alamin dengan mengutamakan akhlak yang baik.
Baca Juga : Di YERUSALEM
Sementara pada cerita Pdt. Obertina, diperlihatkan penolakan yang terjadi di gerejanya, Gereja Kristen Pasundan Dayeuh Kolot. Seringkali gerejanya diserang dan dilarang digunakan untuk beribadah. Tak hanya gerejanya, terkadang rumah pribadi Pdt. Obertina pun menjadi sasaran unjuk rasa. Meskipun banyaknya penolakan yang dirasakan oleh Pdt. Obertina dan gereja, hal tersebut tidak menyurutkan kebaikan hati Pdt. Obertina untuk tetap mengabdi di lingkungannya, tak jarang gerejanya menjadi posko banjir, hingga pelaksanaan bakti sosial. Dengan melakukan pendekatan tanpa kekerasan, diharapkan suatu saat nanti Pdt. Obertina dapat melakukan pelayanan di gerejanya dengan aman, nyaman, dan tanpa rasa takut.
Dari dua video animasi tersebut, dapat dilihat baik Nyai Luluk maupun Pdt. Obertina memiliki situasi dan kondisi tersendiri, strategi dan pendekatan khusus, dan memegang nilai etik dalam peran perempuan sebagai penjaga kehidupan. Dalam penciptaan produk jurnalisme yang inklusif, diperlukan kemampuan analisis dan melihat dari berbagai sudut pandang sehingga mengangkat esensi yang diperlukan dalam suatu berita. Seperti dalam kisah Nyai Luluk dan Pdt. Obertina, perlu diangkat bagaimana pengalaman khas perempuan ketika terjadinya kekerasan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan, melihat sudut pandang korban, bagaimana efek kekerasan bagi perempuan dan anak-anak.
Materi kedua disampaikan oleh tim SETARA Institute mengenai juralisme inklusif, mulai dari pengertian hingga contoh produk jurnalisme yang inklusif. Salah satu kata kunci yang penting dalam jurnalisme inklusif adalah, memberikan suara bagi mereka yang tidak memiliki suara. Seperti kelompok-kelompok rentan yang terkadang tidak memiliki hak yang sama untuk berkontribusi dalam sebuah produk jurnalisme, kita perlu memberikan ruang khusus untuk mereka dapat membicarakan mengenai diri mereka sendiri.
Baca Juga :
Tanggung Jawab Otoritas Agama Menghentikan Bencana Kemanusiaan
Di hari kedua, materi dibuka leh Kebebasan Berekspresi dan Peran Media, dan Kemunduran Demokrasi oleh Ibu Ika Ningtyas, AJI Indonesia. Dalam penyampaiannya, Ibu Ika menyampaikan bahwa media yang bebas dan independent menjadi elemen penting dalam hidup demokrasi yang sehat, namun jika terjadi kemunduran pada demokrasi dapat mempengaruhi pula kebebasan media dan kemunduran pers.
Media memiliki peran penting dalam memberikan berita kepada publik sehingga publik dapat berkontribusi pada proses demokrasi. Namun, sayangnya, kini kebebasan media memiliki hambatan konsentrasi media arus utama di tangan pemimpin ekonomi-politik sehingga kepentingan media menjadi condong pada kepentingan ekonomi-politik pemimpinnya.
Materi selanjutnya merupakan Penyiaran yang Inkulsif, disampaikan oleh Tulus Santoso, Komisi Penyiaran Indonesia. Menurutnya, inklusif dalam konteks penyiaran terbagi menjadi tiga, yaitu, pertama, kelompok rentan memiliki akses untuk menikmati isi siaran dan memiliki akses dalam berkontribusi dalam siaran; kedua, dalam isi siaran yang terbagi menjadi informasi, hburan, edukasi, dengan kategori program drama, berita, komedi, religi, dan isu-isu kelompok rentan dan kekhasan daerah; dan terakhir, mengenai infrastruktur penyiaran, apakah semua daerah mendapatkan akses terhadap penyiaran?
Setelah penyampaian dua materi, kami diberi waktu bebas untuk berdiskusi dan sesi tanya jawab untuk menambah pengetahuan. Di hari ketiga, dilakukan praktek dalam penulisan produk jurnalisme yang inklusif dalam bentuk berita, opini, dan juga feature.
Oleh : Dini Fauziyah Zahro
Aktifis Fathimiyyah IJABI Muda
Pelatihan yang dilakukan di Tangerang, 19-21 Februari ini dihadiri oleh 27 perempuan dari berbagai latar belakang agama, termasuk peserta dari Fathimiyyah IJABI. Bersama para peserta dari beragam organisasi, Dini Fauziyah Zahro dan Syahbanu, dua Fathimiyyah IJABI Muda hadir menjadi peserta aktif dalam pelatihan tersebut.
Pada hari pertama, pelatihan dibuka oleh Ibu Ruby Kholifah, Kongres Ulama Perempuan Indonesia, dengan materi Perempuan, Toleransi, dan Perdamaian. Dalam penyampaiannya, Ibu Ruby menampilkan dua video kolaborasi antar AMAN Indonesia dengan Nyai Luluk dan Pdt. Obertina. Kedua video animasi tersebut menceritakan mengenai situasi dan kondisi yang mendorong Nyai Luluk dan Pdt. Obertina untuk menyebarkan toleransi dan perdamaian di lingkungannya masing-masing. Nyai Luluk dengan memerangi tafsir-tafsir keagamaan yang radikal, yang kerap menyudutkan perempuan, dengan melakukan dialog bersama tetangganya yang lebih terasa intim, membumikan agama, dan membawa kembali nilai Islam yang rahmatan lil alamin dengan mengutamakan akhlak yang baik.
Baca Juga : Di YERUSALEM
Sementara pada cerita Pdt. Obertina, diperlihatkan penolakan yang terjadi di gerejanya, Gereja Kristen Pasundan Dayeuh Kolot. Seringkali gerejanya diserang dan dilarang digunakan untuk beribadah. Tak hanya gerejanya, terkadang rumah pribadi Pdt. Obertina pun menjadi sasaran unjuk rasa. Meskipun banyaknya penolakan yang dirasakan oleh Pdt. Obertina dan gereja, hal tersebut tidak menyurutkan kebaikan hati Pdt. Obertina untuk tetap mengabdi di lingkungannya, tak jarang gerejanya menjadi posko banjir, hingga pelaksanaan bakti sosial. Dengan melakukan pendekatan tanpa kekerasan, diharapkan suatu saat nanti Pdt. Obertina dapat melakukan pelayanan di gerejanya dengan aman, nyaman, dan tanpa rasa takut.
Dari dua video animasi tersebut, dapat dilihat baik Nyai Luluk maupun Pdt. Obertina memiliki situasi dan kondisi tersendiri, strategi dan pendekatan khusus, dan memegang nilai etik dalam peran perempuan sebagai penjaga kehidupan. Dalam penciptaan produk jurnalisme yang inklusif, diperlukan kemampuan analisis dan melihat dari berbagai sudut pandang sehingga mengangkat esensi yang diperlukan dalam suatu berita. Seperti dalam kisah Nyai Luluk dan Pdt. Obertina, perlu diangkat bagaimana pengalaman khas perempuan ketika terjadinya kekerasan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan, melihat sudut pandang korban, bagaimana efek kekerasan bagi perempuan dan anak-anak.
Materi kedua disampaikan oleh tim SETARA Institute mengenai juralisme inklusif, mulai dari pengertian hingga contoh produk jurnalisme yang inklusif. Salah satu kata kunci yang penting dalam jurnalisme inklusif adalah, memberikan suara bagi mereka yang tidak memiliki suara. Seperti kelompok-kelompok rentan yang terkadang tidak memiliki hak yang sama untuk berkontribusi dalam sebuah produk jurnalisme, kita perlu memberikan ruang khusus untuk mereka dapat membicarakan mengenai diri mereka sendiri.
Baca Juga :
Tanggung Jawab Otoritas Agama Menghentikan Bencana Kemanusiaan
Di hari kedua, materi dibuka leh Kebebasan Berekspresi dan Peran Media, dan Kemunduran Demokrasi oleh Ibu Ika Ningtyas, AJI Indonesia. Dalam penyampaiannya, Ibu Ika menyampaikan bahwa media yang bebas dan independent menjadi elemen penting dalam hidup demokrasi yang sehat, namun jika terjadi kemunduran pada demokrasi dapat mempengaruhi pula kebebasan media dan kemunduran pers.
Media memiliki peran penting dalam memberikan berita kepada publik sehingga publik dapat berkontribusi pada proses demokrasi. Namun, sayangnya, kini kebebasan media memiliki hambatan konsentrasi media arus utama di tangan pemimpin ekonomi-politik sehingga kepentingan media menjadi condong pada kepentingan ekonomi-politik pemimpinnya.
Materi selanjutnya merupakan Penyiaran yang Inkulsif, disampaikan oleh Tulus Santoso, Komisi Penyiaran Indonesia. Menurutnya, inklusif dalam konteks penyiaran terbagi menjadi tiga, yaitu, pertama, kelompok rentan memiliki akses untuk menikmati isi siaran dan memiliki akses dalam berkontribusi dalam siaran; kedua, dalam isi siaran yang terbagi menjadi informasi, hburan, edukasi, dengan kategori program drama, berita, komedi, religi, dan isu-isu kelompok rentan dan kekhasan daerah; dan terakhir, mengenai infrastruktur penyiaran, apakah semua daerah mendapatkan akses terhadap penyiaran?
Setelah penyampaian dua materi, kami diberi waktu bebas untuk berdiskusi dan sesi tanya jawab untuk menambah pengetahuan. Di hari ketiga, dilakukan praktek dalam penulisan produk jurnalisme yang inklusif dalam bentuk berita, opini, dan juga feature.
Oleh : Dini Fauziyah Zahro
Aktifis Fathimiyyah IJABI Muda